Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KELOMPOK ALI BIN ABI THALIB


1. LAODE BIN RAHMAN ( 4519042008 )
2. LAODE RAJIMAN NUROHMATULLAH (4519042019 )
3. RAMANDA PRATAMA ( 4519042021)
4. RIDAH AULIA ( 4519042009 )
5. RANA WAFIQAH ADIPUTRI (4519042002 )
6. ILHAM AMSIR ( 4519042013 )
7. DAMAYANI SUARDI ( 4519042041 )
8. NURUL NGAISAH ( 4519042038 )
9. ESSE SYAM ( 4519042024 )

PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah NYA sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mengenai definisi Ijtihad dengan tepat waktu sesuai yang
ditentukan.

Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak juga kepada media informan karena telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini.

kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Hal itu
tidak lain disebabkan karena keterbatasan penyusun. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini kedepannya.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami harapkan makalah ini dapat
membawa manfaat bagi para pembaca terutama bagi diri kami sendiri.

Makassar , 27 September 2019


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita
kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri,
ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad
dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu,
tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi
problematika kehidupan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-
dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli
fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih
kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun yang baru terjadi.
BAB II

PEMBAHASAN

Ijtihad (Bahasa arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad
sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat
tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain,
Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu
urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… ‫… دوُاللإذيدن دل يدإجهدوُدن إإلل هجمهددههمم‬
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih
dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
‫صلدووا ععلعيي عووجتعءهددا وو ءفىِ الددععاَءء‬
‫ع‬
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
‫عوأعيماَال د‬
‫سدجوودد عفاَوجتعءهددووا ءفىِ الددععاَءء‬
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti
sungguh-sungguh dan tidak disenangi.1[3]
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-
ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”
Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”.
Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau
badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau
memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak
1
menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y
atau at-tafkir.2[4]
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama
ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan
kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni
(dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya
sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan
ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”3[5]
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu
adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya.
Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah
dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid.
Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan
fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan
kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil
ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih
meyakinkan.4[6]

Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal
berikut:
a. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki
oleh nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang amali dengan
menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.

4
c. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang ‘amali
mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang
diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya. 5[7]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan
yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau

menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan had
Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan
Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa
waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada
dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al
Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al
Quran dan Al Hadist.

Jenis-jenis ijtihad

 Ijma

1. Pengertian ijma’

Ijmak artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu
hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian

5
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

a. Ijma’ menurut bahasa

Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam,yaitu:


Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, pengertian ini dijumpai dalam surat yusuf ayat
15,yaitu:
‫فلما ذهبوا به وُ اجمعواان يجعلوه في غيبت الجب‬
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.
Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah ‫( العجششز علششي شششيء‬ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus ayat 71, yaitu:
‫فاجمعوا امركم وُشركاءكم‬
makabulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu…
Pengertian ijma Secara bahasa diucapkan untuk salah satu dari dua makna :
a. Berkehendak untuk melakukan sesuatu, seperti sifulan ingin melakukan sesuatu, diambil
dari firman Allah surat yusuf ayat 71 : Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah
sekutu-sekutumu (untuk menghancurkanku), dan sabda nabi : Tidak sah puasanya orang yang
tidak melakukan niat dimalam hari.
b. Kesepakatan, contoh : Kaum sepakat atas hal ini. Maka makna ini butuh terhadap
kemurnian hati. Perbedaannya makna yg pertama diarahkan pada seorang saja, sedangkan makna
kedua melibatkan beberapa orang.
Menurut jumhur, Pengertian ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat islam pada suatu
masa setelah rosulullah wafat. Lantaran ketika rosulullah masih hidup hanya beliaulah tempat
kembalinya hukum syariat, dengan demikian tidak terjadi perbedaan mengenai hukum syariat
islam dan tidak ada kesepakatan, karena kesepakatan itu tidak akan pernah ada kecuali terdiri
dari beberapa orang. Jika terjadi suatu kejadian yg dihadapkan kepada seluruh mujtahid umat
islam pada waktu itu, kemudian mereka sepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian
tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’

b. Ijma’ menurut istilah


Secara terminologi,ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama ushul
fiqh. Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam,seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan
”setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu munculdari seseorang.”
Akan tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sepaham dengan pengertian etimologi di atas.
Imam al-ghazali, merumuskan ijma’dengan “kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang suatu masalah agama.umusan al-ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’
harus dilakukan umat Muhammad., yaitu umat Islam. Tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat
awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan
setelah wafatnya Rasulullah.
Rumusan ini, menurut al-amidi, ijma’ harus dilakukan dan dihasilkanoleh seluruh umat
Islam, karena suatu pendapatyang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila
disepkati oleh seluruh umat.
Jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu
Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab khallaf, merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan para mujtahid dari
umat Muhammad SAW.pada suatu masa, setelah wafatnya rasulullahSAW. Terhadap suatu
hukum syara’.”Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir definisi tersebut dengan kalimat:
”yang bersifat amaliyah,”hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’hanya berkaitan
dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).
2. MACAM-MACAM IJMA’
a. Macam ijma’ berdasarkan caranya
Ditinjau dari cara menghasilkan hukumnya, ijma’ dibagi menjadi dua, yakni:

 Ijma’qauli, yaitu ijma’ dimana para mujtahid menetapkan pendapat baik secara lisan
maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lainnya.
Ijma’ qauli disebut juga ijma’ qath’i.
 Ijma’ sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu
masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) di antara mereka atau
salah seorang di antara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu
keputusan.Ijma’ sukuti disebut juga ijma’ dzanni.

Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau
tidak.
b. Macam ijma’ berdasarkan tempat dan waktunya

 Ijma’ salaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada
masa tertentu.
 Ijma’ ulama Madinah, yaitu kesepakkatan para ulama Madinah pada masa
tertentu
 Ijma’ ulama Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kuffah tentang suatu masalah
 Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu kesepakan khalifah empat (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali) pada suatu masalah
 Ijma’ Ahlu Bait, yaitu kesepakatann keluarga nabi dalam suatu masalah.

3. KEHUJJAHAN IJMA’
Jumhul ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang Qorh’I sebagai sumber
hukumIslam yang ke-3 setelah al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dasar kehujjahan sebagai
berikut:
a. Firman Allah surat An-Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“Hai orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri kamu. Maka jika
kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul …”
Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. yang dimaksud ulil amri disini ada dua
penafsiran yaitu ulil amri fiddunya adalah penguasa atau pemerintah, dan ulil amri fiddin adalah
mujtahid atau para ulama, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada
para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.
b. Hadis Rasulullah SAW.
Beberapa hadis yang menunjukkan terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan,
yaitu hadis yang saling memperkokoh dan diterima oleh umat, serta mutawatir maknanya
sehingga dijadikan hujjah.
Seperti hadis Nabi berikkut ini:
Artinya:
“sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan.” (H.R. Ibn Majjah: Kitab al-
Fitan, No. 395)
Kehujjaan Ijma'.
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kehujjan ijma', misalnya apakah ijma’ itu
syar'i? dan Apakah ijma' itu merupakan landasan ushul fiqhi atau bukan? Bolehkah kita nafikan
atau mengingkari ijma'?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka para ulama berbeda pendapat sebagai
berikut:

 Al-Badawi berpendapat bahwa, orang-orang hawa tidak menjadikan ijma itu sebagai
hujjah secara mutlak
 Menurut Al-Hamidi, bahwa para ulama sepakat mengenai ijma' itu bukan sebagai hujjah
yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan syari'ah khawarij dan
Nizam dari golongan Mu'tazilah

 Al-Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam, khawarij dan
syi'ah

 Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma' itu pada dasarnya adalah hujjah

 Dalam kitab Qawaidul Ushul dan Ma'aqidul ushul dikatakan bahwa ijma' itu hujjah
pada setiap masa. Namun pendapat ini ditentang oleh daud yang mengatakan bahwa ijma'
itu terjadi pada masa sahabat.

4. KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’


Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan
terjadinya ijma’, bahkan secara aktual ijma’itu telah ada. mereka mencontohkan hukum-hukum
yang telah disepakati seperti kesepaktan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam
dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, mengatakan bahwa siapayang mengatakan adanya ijma’
terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang
tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap
hukum suatu masalah.
Sedangkan ijma’ menurut pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, bahwa ijma’ yang
mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada suatu daerah.
Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin karena luasnya wilayah
Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat.
Adapun sebab-sebab terjadinya ijma’ antara lain:
a. Adanya berbagai persoalan yang dicaarikan status hukumnya, sementara didalam al-
Qur’an dan as-Sunnag tidak ditemukkan hukumnya
b. Karena al-Qur’an atau as-Sunnah sudah tidak akan diturunkan lagi
c. Pada masa itu lebih mudah mengkkoordinasikan kmujtahid, karena jumlahnya tidak terlalu
banyak dan wilayahnya belum begitu luas
d. Perpecahan dan perselisihan antar mujtahid sangat kecil, sehingga masikh mudah mencapai
kesepakatan.
e. Yang bersepakat adalah para mujtahid
f. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
g. Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
h. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at
5. CONTOH-CONTOH KASUS HUKUM YANG DIDASARI IJMA’
Diantara kasus hukum yang kenjadikkan ijma’ sebagai dasar hukumnya adalah:
a. Upaya pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa Kholifah Abu Bakar As Shidiq r.a.
b. Pengangkatan Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah menggantikan Rasulullah SAW.
c. Menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelahal Qur’an. Para mujtahid
bahkan umat Islam seluruh dunia sepakkat menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam
d.Ijma shohabat terhadap kepemimpinan Abu Bakar Shiddiq, karena diqiyaskan dengan
dijadikannya beliau menjadi imam sholat saat nabi sakit. Diriwayatkan bahwa shohabat berkata:
Rosulullah ridho kepada beliau atas agama kita, apakah kita tidak ridho terhadap dunia kita?
e. Terjadinya ijma atas dibuangnya minyak simsim dan sejenisnya ketika kejatuhan tikus
kemudian tikus tersebut mati, karena diqiyaskan dengan minyak samin.
f. Terjadinya ijma’ atas pemberian 1/6 harta warisan kepada jaddah (nenek) karena diqiyaskan
dengan um (ibu).
g. Terjadinya ijma’ atas haramnya lemak babi karena diqiyaskan dengan dagingnya.
h. Terjadinya ijma’ atas kodifikasi alqur’an pada masa Abu Bakar karena adanya kemaslahatan
bagi umat islam.
i.Terjadinya ijma’ atas larangan menduduki daerah yg ditundukkan ghonimin pada masa Umar
bin Khotob karena adanya kemaslahatan bagi umat.

 Qiyâs

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum atau suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam
sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

 Beberapa definisi qiyâs (analogi)

1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.

2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu


persamaan di antaranya.

3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-


Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

4. menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-
qur'an dan hadits.

1. pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur. Sedangkan menurut ahli Ushul Fiqih adalah
menyertakan suatu perkara terhadap perkara lain dalam hukum syara karena terdapat
kesamaan ‘illat di antara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya
kesamaan antara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang
diqiyasi) dalam satu perkara, dan adanya penyatu di antara keduanya. Perkara yang
menyatukan tersebut adalah perkara yang mendorong disyari’atkannya hukum, yang
kemudian dikenal dengan istilah ‘illat.

2. Kehujjahan Qiyas

Sekalipun tidak terdapat otoritas yang jelas bagi qiyas didalam al- qur’an tetapi ulama-
ulama dari mazhab sunni telah mengesahkan qiyas dan mengutip berbagai ayat Al-Qur’an
untuk mendukung pendapat mereka. Oleh karena itu, rujukanah surah al- Nisa (4: 59)
yang memberikan pesan kepada orang- orang yang beriman: apabila kamu berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada
Allah.Pendukung- pendukung qiyas ini berargumentasi bahwa suatu perselisihan hanya
dapat dirujuk kepada Allah dan Rasul dengan mengikuti tanda- tanda dan indikasi-
indikasi yang kita temukan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Satu – satunya cara untuk
mencapai hal ini adalah dengan mengidentifikasi alasan ahkam dan menerapkannya
kepada persoalan – persoalan yang dipertentangkan dan ini adalah qiyas. Jalan penalaran
yang sama diterapkan dalam surah al- Nisa (4: 105) yang menyatakan: kami menurunkan
kepadamu kitab dengan membawa kebenaran sehingga kamu dapat mengadili di antara
pihak- pihak dengan apa yang diturunkan kepadamu. Al-Qur’an sering mengindikasikan
alasan hukum – hukumnya baik secara eksplisit maupun implisit atau dengan merujuk
kepada tujuan- tujuannya. Al-Qur’an memberikan indikasi – indikasi yang jelas yang
meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam nas, maka
qiyas harus digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan umum dari pemberi hukum. Karena
itu dapat disimpulkan bahwa indikasi alasan – alasan, tujuan, kesamaan dan perbedaan-
perbedaan adalah tidak berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman
dalam menentukan hukum.

3. Rukun Qiyas

a. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
b. Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang
diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
c. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum
itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya;dan
d. ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara’ sama dengan hokum ashal.

4. Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas ‘illat

Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya
mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas‘illat terbagi menjadi:

1). Qiyas jail Ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi
kepada:

a) Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat
larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
b) Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara’ sebenarnya lebih utama ditetapkan
dibanding dengan hukum pada ashal.

c) Qiyas musawi Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara’ sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal.

2) Qiyas khafi

Ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan
‘illat.

b. Qiyas dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu

hukum dari suatu peristiwa.

c. Qiyas syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.

 Istihsân

Beberapa definisi Istihsân

1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.

2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.

4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada


sebelumnya.

Istihsân secara bahasa bermakna "menganggap dan menilai baik atas suatu perkara".
Sedang dalam istilah fikih, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda yang
disampaikan oleh para ulama islam. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali meyakini dan
menggunakan kaidah Istihsân ini, dan masing-masing mereka mempunyai definisi yang
berbeda-beda tentangnya. Hanafiyah dalam mendefinisikan istihsân berkata: Istihsân
adalah suatu dalil yang terbesit dalam benak seorang mujtahid, tetapi tidak dapat
diungkapkan dengan lisan. Karena tidak ada kata-kata dan ungkapan untuk
menjelaskannya.

Malikiyah berkata: Istihsân ialah: Melakukan maslahat yang bersifat juz'i (partikular)
pada kondisi tertentu dan kebalikannya adalah dalil kulli (universal).

Hanbaili berkata: Apabila kita melakukan udul (pindah) dari dalil umum kepada dalil
khusus dalam sebuah masalah dimana masalah lainnya yang serupa dengannya
mempunyai hukum yang sama, maka hal itu dinamakan istihsân. Misalnya jika seorang
safih (dungu, bodoh) berwasiat agar sebagian harta kekayaannya digunakan untuk amal
jariah, apakah wasiat semacam ini dapat dibenarkan? Kaidah umum fikih mengatakan
bahwa seorang safih itu tidak boleh menggunakan dan mengelola harta kekayaannya,
kecuali jika wali atau pengasuhnya yang melakukan hal itu. Dengan memperhatikan
kaidah umum tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa wasiat semacam itu tidak sah.
Akan tetapi ulama Hanafi –berdasarkan istihsân- menganggapnya sah. Mereka
menjelaskan bahwa upaya dan perlakuan safih itu dianggap sah. Hal itu untuk menjaga
kebaikan dan kemaslahatannya yang berkaitan erat dengan kehidupannya. Oleh karena
itu, apabila si safih itu berwasiat bahwa setelah wafatnya agar hartanya digunakan untuk
amal kebajikan –mengingat wasiat semacam itu tidak mendatangkan mudarat baginya,
bahkan malah akan memberikan manfaat untuknya- oleh karena itu udul (berpindah) dari
kaidah umum dalam hal wasiat seperti ini, sesuai dengan kaidah istihsân dan dianggap
benar. Berikut ini akan kami sampaikan definisi istihsân yang lebih rinci dan detil disertai
dengan kritikan dan contohnya. Perhatikan baik-baik.

Jawaban Detil

Ungkapan bahwa hanya mazhab Ahlubait yang menolak istihsân dan ia tidak dianggap
sebagai hujjah di dalam mazhab Syiah tidak lebih dari sekedar tuduhan. Karena
kenyataannya banyak juga tokoh-tokoh dari empat mazhab Sunni pun sependapat dengan
pandangan Syiah tersebut, yakni mereka juga menganggap bahwa istihsân itu tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah dan hal ini akan kami jelaskan berikutnya. Atas dasar itu, maka
alangkah lebih baik jika pembahasan tentang istihsân ini dibagi kepada beberapa bahasan
utama.

1. Definisi istihsân

2. Dalil-dalil yang menilai bahwa istihsân itu sebagai hujjah

3. Dalil-dalil yang menegaskan bahwa istihsân itu bukan sebagai hujjah

Setiap orang yang memperhatikan pandangan para ulama –terutama ulama


Ahlusunnah- tentang definisi istihsân, maka ia akan memahami bahwa sesungguhnya
mereka berbeda pendapat mengenai definisi istihsân, dan dalam hal ini mereka
mengutarakan definisi yang berbeda-beda.

A. Defini secara Leksikal

Istihsân secara leksikal adalah menganggap dan menilai baik atas sesuatu.
Dalam hal ini yang pertama kali terbesit dalam benak kita tentang makna istihsân
adalah upaya menggunakan selera dan keinginan pribadi dalam mengambil
kesimplan suatu hukum syar’i. Dengan itu, maka ketika seorang mujtahid
mendapatkan suatu perbuatan itu sesuai dengan seleranya, maka hal itu dapat
mengungkap hukum wâqi’i (sebenarnya) bahwa perbuatan tersebut hukumnya
adalah mubah (dibolehkan). Akan tetapi jika suatu perbuatan tersebut tidak sesuai
dengan selera dan kehendak hatinya, maka hal itu dapat menunjukkan bahwa
hukum wâqi’i atas perbutan itu adalah haram. Yang jelas vonis keharaman atas
perbuatan itu terjadi jika tingkat ketidak sesuaian dengan seleranya begitu tinggi.
Adapun jika tingkat ketidak sesuaian itu rendah, maka hal itu menunjukkan
bahwa perbuatan itu disisi Tuhan hukumnya makruh.

B. Definisi Secara Teknis

Sayyid Muhammad Taqi Hakim, penulis buku Ushul Fikih perbandingan,


menukil beberapa definisi istihsân dalam kitab tersebut. Beliau mengatakan
bahwa ulama Ushul berbeda pendapat secara serius dalam mendefinisikan
istihsân. Dan kebanyakan definisi istihsân yang mereka paparkan itu tidak
memiliki ciri-ciri definisi hakiki, bahkan hanya merupakan saja’ (keindahan
sastra) yang biasa digunakan oleh ahli sastra untuk memperindah makna kalimat
dan lebih mendekati kepada definisi ulama mantiq. Sebagai contoh, berikut ini
kami nukilkan beberapa definisi istihsân yang disampaikan oleh Sarkhasi di
dalam kitabnya al-Mabsuth:
1. Istihsân ialah: Menghindari qiyâs (analogi) dan memperoleh sesuatu
yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.

2. Istihsân ialah: Mencari kemudahan dalam hukum yang diperlukan


oleh masyarakat, baik masyarakat umum ataupun khusus.

3. Istihsân ialah: Memperoleh sesuatu yang di dalamnya terdapat


keluasan dan kebaikan.

4. Istihsân ialah: Memperoleh sesuatu yang di dalamnya terdapat


kedamaian dan ketentraman.

Definisi-definisi tentang istihsân yang jauh dari definisi yang hakiki itu
sebagaimana pula definisi yang pernah disampaikan oleh Maliki. Beliau mengatakan
bahwa istihsân adalah: memperhatikan kemaslahatan dan keadilan.

Karena itu, membahas lebih jauh lagi tentang definisi istihsân seperti ini tidak
akan membuahkan hasil yang positif, karena membahasnya akan berakhir pada suatu
kesimpulan yang tidak jelas mengenai hujjah (argumentatif) dan tidaknya istihsân
tersebut. Karena itulah kami menghindari pembahasan ini secara jeluk. Definisi yang
mungkin dapat dicerna dan disampaikan secara agak logis adalah yang mengandung
pengertian dan makna khusus, yaitu definisi yang pernah disampaikan oleh sebagian
ulama, diantaranya adalah Bazdawi salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam
mendefinisikan istihsân ia mengatakan bahwa istihsân ialah: ‘Udul (pindah) dan keluar
dari qiyâs (analogi) menuju kepada qiyâs yang lebih kuat atau men-takhshish
(mengkhususkan) qiyâs dengan dalil yang lebih kuat. Berikut beberapa pendapat ulama
mengenai ihtihsan.

 Syathibi, salah seorang ulama mazhab Maliki berkata, istihsân ialah: Mengamalkan
salah satu dari dua dalil yang lebih kuat.

 Thufi salah seorang ulama Hanabilah di dalam kitabnya al-Mukhtashar berkata:


Istihsân ialah: Berpindah kepada hukum suatu masalah berdasarkan dalil syar’i
khusus.

 Ibnu Quddamah berpandangan bahwa istihsân itu mempunyai tiga pengertian

 1. Istihsân ialah: Berpindah kepada hukum suatu masalah dengan dalil khusus dari
kitab dan sunnah.

 2. Istihsân ialah: Sesuatu yang dinilai bagus oleh akal dan pandangan seorang
mujtahid.

 3. Istihsân ialah: Suatu dalil yang terdapat pada diri seorang mujtahid yang tidak
dapat dijelaskan dengan kata-kata.
 Demikianlah sebagian definisi tentang istihsân yang disampaikan oleh para ulama dan
bukan tempatnya disini untuk mengkritisi definisi-definisi terebut.

 Agar pengertian istihsân ini lebih jelas lagi, maka berikut ini kami sampaikan dua
buah contoh.

 Contoh pertama: Apabila seorang anak safih (dungu, bodoh) berwasiat agar sebagian
harta kekayaannya itu digunakan dalam amal kebajikan, apakah wasiat semacam ini
dapat dibenarkan? Kaidah umum fikih mengatakan bahwa seorang safih tidak boleh
mengelola harta kekayaannya, kecuali jika wali atau pengasuhnya yang
melakukannya. Memperhatikan kaidah umum ini, maka tidak diragukan lagi bahwa
wasiat semacam itu tidak dibenarkan. Tetapi para ulama Hanafi dengan berdadarkan
istihsân berpendapat bahwa wasiat tersebut dapat dibenarkan. Alasannya adalah demi
menjaga kemaslahatan yang berkaitan dengan kehidupan dan masa depannya. Karena
itu, apabila si safih berwasiat bahwa setelah wafatnya agar harta kekayaannya
diinfakkan dalam amal kebajikan, hal itu demi kemaslahatannya dan tidak
membahayakannya. Bahkan sangat bermanfaat baginya. Karena itu pindah (‘udul)
dari kaidah umum dalam hal wasiat seperti ini sesuai dengan kaidah istihsân yang
dibenarkan.

 Contoh kedua: Apabila telah diputuskan bahwa tangan kanan seorang pencuri harus
dipotong, tetapi pelaksana hukum melakukan kesalahan dalam menjalankan sanksi
tersebut, yang dia potong adalah tangan kirinya. Berdasarkan qiyâs (analogi),
pelaksana sanksi itu harus mengganti rugi atas kesalahannya itu dengan membayar
diyat. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa sekalipun yang dipotong adalah
tangan kirinya karena kesalahan, sementara tangan kanan yang lebih banyak
manfaatnya tetap dalam keadaan selamat, karena itu demi menjaga maslahat dan
berdasarkan dalil istihsân (apabila pelaksana berdasarkan ijtihad telah melakukan hal
itu), maka si pelaksana tidak dikenakan diyat dan ganti rugi. Karena dalam kasus
seperti ini tangan kanan si pencuri itu tidak mungkin akan dipotong.

Dalil atas Argumentatifnya Istihsân

Pandangan yang mengatakan bahwa istihsân itu bisa dijadikan sebagai hujjah (argumen),
menggunakan beberapa dalil. Sayyid Hakim dalam kitabnya Al-Ushûlu al-'Ammah
menulis bahwa argumentatifnya istihsân itu berdasarkan pada dalil dua ayat, sebuah
riwayat dan ijma’. Dan berikut ini kami akan jelaskan dalil-dalil tersebut dengan
beberapa kritikannya.

1. Allah Swt berfirman: "Maka berikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku


yang mendengarkan ucapan dan mengikuti yang paling baik." (Qs. Al-Zumar [39]:17-18)

2. Allah Swt berfirman: "Ikutilah apa-apa yang paling baik yang telah diturunkan oleh
Tuhanmu kepadamu." (Qs. Al-Zumar [39]:35)
Mereka menjelaskan metode penalaran (istidlâl) dengan ayat di atas dan berkata:
Allah Swt –pada ayat pertama- memuji orang-orang yang mengikuti ucapan yang paling
baik. Dan pada ayat kedua, mereka dituntut agar mengikuti dan mengamalkan yang
terbaik dari sesuatu yang telah diturunkan kepada mereka. Di dalam kedua ayat tersebut
Allah Swt telah menetapkan bahwa istihsân merupakan hujjah (argumen).

Adapun kritikan atas penalaran (istidlâl) dengan kedua ayat tersebut dan ayat-ayat
yang serupa adalah:

1. Pada ayat itu terdapat kata "‫ "احسن‬yang secara bahasa berarti menilai baik
dan bagus. Dan hal ini bertentangan dengan hasil istinbat dan kesimpulan yang Anda
maksudkan sebagai makna istilah. Apabila kita menerima bahwa ayat-ayat di atas sebagai
dalil atas hujjiah istihsân, maka dengan makna yang manakah yang bisa sesuai
dengannya sehingga bisa menjadi hujjah bagi istihsân? Karena antara makna-makna
tersebut terdapat kontradiksi, sementara tidak mungkin menghimpun dan apalagi
menemukan titik temu di antara makna-makna tersebut, kecuali dengan cara
memaksakannya. Sementara jika memilih satu diantara beberapa makna tersebut, maka
tidak ada dalil atasnya. Tetapi bisa saja bagi orang yang berpendapat bahwa istihsân itu
adalah mengambil dalil yang lebih kuat, mendasarkannya dengan ayat-ayat tersebut
sebagai dalil atas dakwaannya.

2. Ayat pertama, meskipun isinya memuji orang yang mengikuti ucapan yang
paling baik, akan tetapi mengenai ayat tersebut, terdapat pandangan yang berbeda-beda.
Dan jika diasumsikan bahwa sebagian pandangan itu ditarjih (dipilih) atas pandangan
lainnya, tetapi untuk menetapkan pilihan di antara beberapa pandangan tersebut harus
dikeluarkan dari Syâre' (Pemilik Syariat) mengingat pentingnya masalah tersebut,
sebagaimana adanya ungkapan "ahsan" menuntut hal seperti ini. Dan hal itu merupakan
urusan Al-Qur'an dan Sunnah. Sudah jelas, apabila kita mengangggap bahwa pada
kondisi terjadinya tazâhum (bentorkan antara beberapa masalah) atau ta'ârudh
(kontradiksi diantara beberapa masalah), maka untuk menetapkan tarjih (pilihan) dalil
lafzhi atas dalil yang lainnya, pada dasarnya adalah rujuk (kembali) kepada hujjah fi'li
(argumen aktual). Dan hal itu bisa terjadi ketika istihsân merupakan dalil mustaqil
(mandiri) di antara dalil-dalil lainnya. Padahal untuk menetapkan istihsân sebagai dalil
mustaqil melalui ayat-ayat tersebut adalah tidak mungkin. Sudah jelas pula bahwa
menetapkan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil itu tidak keluar dari menetapkan salah
satu dari kedua dalil. Dengan demikian kesimpulannya adalah bahwa istihsân tidak
mungkin dapat dianggap sebagai dalil mustaqil ketika berhadapan dengan kedua dalil
lainnya.

Penjelasan dan keterangan yang berkaitan dengan ayat pertama, dapat juga
diterapkan untuk ayat yang kedua. Disamping itu pula, bahwa hal-hal yang dianggap
pada ayat ini sebagai dalil bagi pendukung istihsân, sebenarnya ditujukan khusus untuk
sesuatu dimana ayat tersebut diturunkan untuknya. Dengan itu, maka ayat tersebut tidak
dapat digunakan untuk menetapkan dalil istihsân sebagai mishdaq (bukti, contoh) dari
ungkapan ayat yang berbunyi: ‫ما أهمنإزدل إإلدميهکمم إممن درببهکمم‬. Karena sudah jelas bahwa tidak suatu
proposisi pun (masalah) yang dapat ditetapkan tanpa menetapkan subjeknya .
3. Kedua ayat di atas, sama sekali tidak berkaitan dan tidak bersesuaian dengan
masalah penetapan hujjah atas istihsân dan dalil-dalil lainnya yang sejenis. Karena itu,
kedua ayat tersebut tidak dapat diterapkan atas subyek tersebut (istihsân). Dengan
demikin, apabila kata "ahsan" diganti (diartikan) dengan kata atau kalimat "mereka
adalah orang-orang yang mengamalkan hal-hal yang berkaitan dengan inferensi
(istinbâth) istihsân", maka makna tersebut sama sekali tidak benar.

Dalil-dalil Riwayat Istihsân

Ahlusunnah, untuk menetapkan kehujahan istihsân menggunakan dalil riwayat


yang disampaikan oleh Ibnu Mas'ud: "Setiap apa saja yang dinilai baik oleh kaum
muslimin, maka di sisi Allah pun dinilai baik pula". Beberapa kritikan yang dapat
disampaikan atas dalil tersebut ialah:

1. Sanad riwayat tersebut bersambung sampai kepada Ibnu Mas'ud,


sementara tidak seorang pun yang menukil ucapan beliau tersebut dari Rasulullah
Saw. Karena itu, bisa jadi bahwa ucapan semacam itu bersumber dari Ibnu Mas'ud
sendiri dan bukan dari Rasulullah Saw. Sebagai kesimpulannya bahwa dengan
adanya kemungkinan seperti itu, maka riwayat tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai dalil “idza ja’a al-ihtimal batala al-istidlal” (apabila datang kemungkinan
yang lain, maka istidlal menjadi batal).

2. Tidak ada dalil sama sekali yang menunjukkan atas kemutlakan


lafazh "husn" untuk istihsân secara teknis terminologis dalam riwayat tersebut.

Karena istihsân itu termasuk makna yang baru di kalangan mutaakhkhirin (ulama
kontemporer). Jika demikian halnya, bagaimana mungkin riwayat tersebut bisa
dinisbatkan kepada Ibnu Mas'ud? Lebih dari itu, makna yang manakah dari beberapa
makna istihsân yang dapat dinisbatkan kepada Ibnu Mas'ud? Apakah semua makna
istihsân itu yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas'ud? Padahal antara satu makna dengan
makna yang lainnya sangat berbeda sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.
Sementara tidak terdapat dalil untuk memaksudkan riwayat tersebut atas sebagian
maknanya saja, karena tidak satupun di antara makna-makna tersebut yang mempunyai
kelebihan atas yang lainnya. Apabila kita terima bahwa riwayat tersebut sebagai riwayat
yang sahih, maka harus menerima kaidah mulâzamah (kemestian) antara hukum akal dan
hukum syariat. Artinya, apabila hukum akal telah sepakat dan ijma’ dalam menerima
suatu masalah, maka pasti hal itu diterima dan dicintai oleh Allah Swt. Dan dalil
semacam itu dapat diterima ketika lafazh "muslimin", maksudnya adalah kaum muslimin
yang berakal sehat. Tetapi apabila kita menilai terdapat khususiyyah (keistimewaan) bagi
kata "muslimin", maka ketika itu riwayat tersebut menjadi dalil bagi ijma’, yakni ketika
yang dimaksudkan ijma’ tersebut adalah "umum majmu'i" (sekelompok muslimin). Sudah
jelas bahwa hal itu tidak bisa dimaksudkan dengan "umum istighrâqi" (seluruh muslimin
tanpa kecuali). Karena jika demikian akan terdapat banyak sisi yang perlu dikritisi.
Mengingat bahwa pribadi muslim, meskipun sebagai seorang awam, tidak akan berani
berkata bahwa pendapat saya merupakan hukum syar'i dan dapat menyingkap hukum
waqi'i (hukum yang sebenarnya dan sesungguhnya secara jelas). Hal semacam ini tentu
sangat pelik untuk diterima.

Ijma’ (Konsensus)

Dalil lainnya yang dapat dijadikan sebagai hujjah bagi istihsân bagi kaum
Ahlusunnah adalah dalil ijma’ (konsensus). Dengan dakwaan bahwa kaum muslimin telah
melakukan ijma’ dan kesepakatan atas istihsân. Misalnya ketika mereka memasuki kamar
mandi atau mengambil air dari tangan pemberi minum, maka tanpa ragu lagi mereka akan
membayar upahnya. Dalil semacam itu dapat dibantah dengan ungkapan bahwa apabila
ijma’ semacam ini dapat dinilai benar, maka hal itu hanya khusus untuk hukum itu saja,
dan bukan untuk istihsân, apalagi sampai dijadikan sebagai dalil untuk semua istihsân.
Hal itu hanya memadahi untuk masalah yang terbatas, yakni bahwa hukum tersebut dari
dalil lafzhiyah yang dianggap cukup dan memadahi dengan adanya kadar yang
meyakinkan. Sudah jelas bahwa ijma’ semacam itu sama sekali tidak mempunyai asas
dan pondasi yang kokoh. Karena sirah (pri laku dalam kehidupan) yang berlaku dan
berkelanjujtan terus sejak masa Nabi Saw adalah sirah yang berdasarkan ilmu
pengetahuan dan taqrir (kesepakatan) beliau Saw.

Para Penolak Istihsân dan Dalil-dalilnya

Termasuk yang paling mengingkari dan menolak kaidah istihsân adalah Imam
Syafi'i. Ia mempunyai dalil sebagai berikut: Apabila dalam suatu masalah si Mufti tidak
menemukan nash dan qiyas, maka ia (pendukung istihsân) berkata bahwa pada kondisi
seperti ini kita menggunakan istihsân. Apakah dengan demikian berarti selain mufti
(pemberi fatwa) boleh pula menggunakan dalil istihsân untuk menentang pandangannya?
Pada akhirnya maka setiap hakim dan mufti di setiap kota –dengan dalil istihsân- akan
mengeluarkan fatwa atas segala apa saja yang ia anggap baik. Dan sebagai lawannya
akan dikeluarkan fatwa yang lainnya. Dengan itu maka dalam sebuah masalah akan
ditemukan beberapa fatwa dan hukum. Apabila hukum ini menurut pandangan mereka
dibolehkan, maka mereka telah melakukan kesalahan dan apa saja yang sesuai dengan
selera mereka akan dikeluarkan hukum kebolehannya, dan apa saya yang tidak sesuai
dengan selera mereka akan dikeluarkan hukum keharamannya. Ucapan Imam Syafi'i
tersebut tidak ilmiah dan sangat lemah, karena jika pandangannya itu tepat, maka akan
berujung pada pelarangan ijtihad secara mutlak apapun sumber dan landasan ijtihad yang
diinginkannya. Karena ikhtilaf juz'i (perbedaan pada hal-hal partikular) itu terdapat pada
sebagian masalah dalam melakukan inferensi (istinbâth) dari sumber-sumbernya. Dan
masalah istihsân tidak dapat dikecualikan dari hal itu. Ketika itu, jika bagi seorang hakim
dibolehkan untuk berijtihad, maka bagi selainnya pun mesti dibolehkan pula, sehingga
satu masalah akan dipenuhi dengan fatwa yang beragam dan bermacam-macam. Dan
untuk menghindari problema tersebut harus menutup pintu ijtihad dari semua sisinya dan
hal ini pun tidak mungkin dilakukan. Di samping itu, ijtihadnya akan menyebabkan
pelarangan atas istihsân. Karena akan dikatakan bahwa jika kamu memberikan izin
berijtihad dalam pelarangan, maka pada hakikatnya kamu juga telah memberikan izin
kebolehan berijtihad kepada orang lain. Hal itu akan menyebabkan terjadinya ikhtilaf dan
perbedaan hukum dalam satu masalah.

Maslahah murshalah

A.pengertian Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan
kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari
kemudharatan.

1. Segi bahasa
Dilihat dari segi bahasa maslahah mursalah terdiri dari kata maslahah & mursalah, kata
maslahah sama seperti kata manfa’ah, baik artinya maupun wazannya (timbangannya), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti lafaz manfa’ah sama
artinya dengan an-naf’u.

2. Segi istilah
Maslahah mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau
tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan.
Al-khawarizmi mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikkut :
“Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-
hal yang merugikan diri manusia (al-khalq)”.

B. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum


(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah
tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan
agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan
syahwatnya sebagai syari`atnya
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah, dalil-dalil


kulli’, semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya. Seandainya
tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa
yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan, dan tidak ada keraguan, dalam arti harus ada
pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan
manfaat atau menolak kemudharatan.
3. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan
tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang
maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri
dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh
mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir
akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum
muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini
dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan
kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak
membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

C. Macam-Macam Maslahah Mursalah


1. Maslahah dharuriyah (primer)
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat berdirinya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia,
merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan
perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Maslahah hajjiyah (sekunder)
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan perilaku yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi dapat
menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah,
adat, muamalat, dan bidang jinayat.
3. Maslahah tahsiniyah (tersier)
Maslahah tasiniyah adalah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.
Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai
pakaian yang baik-baik ketika akan mendirikan salat, mendekatkan diri kepada Allah
melalui amalan-amalan sunah, seperti salat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
D. Kehujjahan Maslahah mursalah
Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama tentang maslahah mursalah :
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama
syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli
zahir.
2. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama
imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan
tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl
yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga
dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan.

 Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat.

1.pengertian saddu dzari’ah


1. Secara Etimologi
Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd (‫)دسدد‬dan adz-dzari’ah (‫)اللذإرميدعة‬. Secara etimologis, kata as-sadd (
‫)اللسدد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫دسلد يدهسدد دس ددا‬. Kata as-sadd tersebut berarti
menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (
‫ )اللذإرميدعة‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah)
dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (‫ )اللذإرميدعة‬adalah adz-dzara’i
(ِ‫)اللذدراإئع‬. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum
al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau
menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara
Dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang
dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh)
mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja
tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab
itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum,
sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah)
dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati
binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak
terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu,
sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-
dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang
mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2. Secara terminologi
Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya
dilarang yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan
yang disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan
shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan
Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk
kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu
perbuatan.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan
bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau
sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau
perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan
yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada
awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan
dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara
yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang
menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Contohnya:
- Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan
zina juga merupakan haram
- shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan
shalat jum’at wajib pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2. Dasar hukum saddu dzari’ah
1) Al qur’an
Surah Al-An’am ayat : 108
Artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan
menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai
dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum
balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd adz-dzari’ah). Seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 104.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap
sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata
raa ‘ina (‫ )دراإعدنششا‬berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada
mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata
raa’inan (‫)درإعدنا‬sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah(‫)هرهعمودنة‬yang berarti bodoh atau
tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang
biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar
belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-
dzari’ah.
2). As sunnah
1) Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya keulitan atas
manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berhutang
demi menutup celah riba.
2) Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris kepada
wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit kritis, demi untuk
menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan
‫صللىَّاللههدعلدميإهدودسللدمإ إنلإممنأ دمكبدإراملدكدبائإإرأدمنيدملدعدناللرهجلهدوالإددميإهإقيلدديادرهسودلللإهدودكميفديدملدعهناللرهجلهدوالإددميإهدقالديد‬ ‫دعمندعمبإدالللإهمبنإدعممرروُدر إ‬
‫ضدياللههدعمنههدمادقالددقالددرهسوهلللإه د‬
‫هسدباللرهجهلددبااللرهجلإفديدهسدبأ ددباههدويدهسدبأ هلمهه‬
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa
besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana
caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki
ayah dan ibu tua lelaki tersebut
1. Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak
menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan
Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih
dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu,
namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-
dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan
dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi
mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan
pada nashsecara langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an
yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
1.Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja,
bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina
itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan
mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
2.Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan
kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga menimbulkan
angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu
menjadi terlarang.
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah
mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:

1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa
menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.

2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian
bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.

3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan
sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama
musuh.

4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan


kesulitan manusia.

Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak
menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat
1.Objek Saddu Al-Dzari’ah
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya
yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1) Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di
belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh
kedalamnya.
2) Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak
menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat
khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak
pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin
karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap
kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati
ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat
khamar, hukumnya haram.
4) Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat
timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan.
Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.
1.Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:
1) Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi
dzari’ah menjadi 4 yaitu:
- Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya,
minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak
keturunan.
- Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan
untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau
tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
- Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan,
namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada
kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya,
sedangkan dia dalam masa iddah
- Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada
kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini
adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi
dzari’ah menjadi 4 macam:
- Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang
ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
- Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya
menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang
sedang mencari musuhnya.
- Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
- Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi
dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang.
Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, umpama si A
menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji
tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p
800.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000
pada si A. Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul ajal.
Contoh saddu Al-Dzari’ah
Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman keras,
padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu dilarang, untuk menyumbat
jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini untuk menutup jalan agar jangan sampai
muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.

 Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan menikah lagi
apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya?
maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya
adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas kematian suaminya
atau jelas perceraian keduanya.

Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala yang
bermakna ‫ استمرارالصششحبة‬kalau kata ‫ الصششحبة‬diartikan dengan teman atau sahabat dan ‫اسششتمرار‬
diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau
selalu menyertai[1]. Sedangkan menurut isthilah:“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum
yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut
Dan Istishab juga diartikan oleh Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang
mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.”
Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan
adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah
adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil
yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap
pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan
atas perubahannya. Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum
yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang
belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:

1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan
yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan
hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah[2] . “Pangkal sesuatu adalah kebolehan”
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
[3]
Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” .
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil
yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan
tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
B.PEMBAHAGIAN AL-ISTISHAB
Lanjutan dari pada pengertian al-istishab tadi, kita akan lihat pula kepada
pembahagiannya. Al-istishab mengikut klasifikasinya dapat dibahagikan kepada lima bahagian
yaitu[4]:
1. Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyyah
Al-istishab bahagian ini membawa maksud pada asalnya sesuatu itu adalah harus ketika
tiada dalil yang menyalahinya apabila perkara itu memberi manfaat dan haram apabila sesuatu
perkara itu mendatangkan kemudharatan.
Antara dalil yang menunjukkan bahawa hukum asal yaitu harus pada perkara-perkara yang
membawa manfaat ialah sebagaimana allah berfirman yg sekira2 artinya:“Dialah (Allah) yang
menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi”.
Dan sebagaimana pula pada firman allah yang lain:“Dan ia memudahkan untuk (faedah dan
kegunaaan) kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian)
daripadanya; Sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan
kemurahan dan kekuasaanNya) bagi kaum yang memikirkannya dengan teliti ”.
Jadi dari kedua arti ayat tersebut,dapat difahami bahwa segala yang ada di bumi adalah untuk
manusia dan ia diharuskan untuk mereka. Sekiranya perkara tersebut diharamkan ke atas mereka,
tentunya Allah tidak menjadikannya untuk manusia.
Selain itu, antara dalil yang menunjukkan bahwa asal pada perkara yang
memudharatkan dan tidak dijelaskan oleh syara’ hukum yang tertentu mengenainya adalah
haram seperti hadis yang bahwa Rasulullah bersabda: “ Tidak mudharat dan tidak
memudharatkan ”.
Melalui hadis ini, dapat difahami bahawa hadis ini merupakan larangan kepada setiap perkara
yang membawa kemudharatan samaada jiwa mahupun orang lain kerana setiap yang
membawa kemudharatan maka hukumnya adalah haram.
2. Istishab Al-Bara’ah Al-Ashliyah
Al-Istishab bahagian ini membawa maksud berterusan ataupun berkekalan.Al-Istishab ini
juga didefinisikan sebagai pada asalnya seseorang adalah terlepas daripada bebanan dan
kewajipan syara’ sehinggalah terdapat dalil atau bukti yang menunjukkan untuk memikul
tanggungjawab tersebut. Misalnya ialah lelaki dan wanita tidak ditaklifkan untuk memikul
tanggungjawab sebagai suami isteri selagi mereka belum diakad dengan perkahwinan yang sah.
Di antara contoh lain juga ialah jika seseorang mendakwa Muhammad berhutang
kepadanya sebanyak RM100 dan tidak mengemukakan bukti sedangkan Muhammad tidak
mengakui dakwaan tersebut,maka tertuduh iaitu Muhammad terlepas daripada hutang itu kerana
asalnya dia terlepas daripada sebarang bebanan atau tanggungjawab sehingga terdapat dalil
menunjukkan sebaliknya[5].
3. Istishab hukum
Al-Istishab ini bermaksud hukum itu tetap dengan sifat asalnya, iaitu asal
ketetapan syara’ pada sesuatu hukum sama ada ia harus atau haram sehingga terdapat dalil yang
menunjukkan hukum yang sebaliknya.
Antara contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih dan suci
kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori najis seperti berubah bau,
warna atau pun rasa.
Contoh lain ialah asal semua makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat al-
Quran yang menegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan haram
untuk dimakan.
Contoh al-istishab ini juga ialah sifat suci adalah berkekalan kerana sifat suci
apabila thabit, maka diharuskan untuk mengerjakan sembahyang dan hukum suci tersebut terus
kekal sehinggalah thabit sebaliknya iaitu berlaku salah satu daripada perkara-perkara yang
membatalkan wudu’.
4. Istishab Al Wasf
Al-Istishab ini membawa maksud sesuatu ketetapan hukum berlaku menurutsyara’ dan
akal tentang thabitnya dan berkekalannya. Erti kata lain, al-istishabdalam pembahagian yang ke-
empat ini diakui ada kaitannya dengan syara’ dan akal.
Antara contohnya ialah hukum halalnya perhubungan lelaki dengan perempuan adalah
disebabkan perkahwinan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan haramnya perhubungan
mereka seperti melalui perceraian atau punfasakh.
Contoh lain bagi al-istishab ini ialah punya hak milik apabila terdapat sebab yang
mewujudkan demikian, maka ia thabit sehinggalah terdapat perkara yang menghilangkannya
iaitu apabila thabit milik sesuatu bagi seseorang dengan mana-mana sebabnya seperti jual beli
atau pusaka, maka milik itu berterusan walaupun beberapa lama tempohnya sehingga terdapat
dalil yang menunjukkan ternafinyakerana sebab yang baru timbul.
C. KEHUJJAHAN ISTISHAB
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak ada dalil Syara’yang
menjelaskannya,antara lain[6] :
1. Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan dalil,karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.Demikian pula untuk
menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang,harus
berdasarkan dalil.
2. Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin Istishab bisa dijadikan
Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap
berlaku pada masa yang akan datang,tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa
Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah ada selama
belum ada dalil yang mengubahnya.Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan
pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I
maupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus,karena diduga keras belum
ada perubahanya.

 Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam
Alquran dan Hadis.

1. Bahasa

Secara bahasa, kata al-'urf (ْ‫ )الهعمرف‬bermakna al-khairu (‫)الخمير‬, al-ihsanu (‫)الحسان‬, dan ar-rifqu (
ْ‫)البرمفق‬, yang semuanya bermakna kebaikan.

2. Istilah

Sedangkan secara istilah, al-'urf bermakna :

‫س وُساهراوُا علميإه إفي أههموإر حياتإإهمم وُهمعاملتإإهمم إممن قمورل أموُ فإمعرل أموُ تمر ر‬
‫ك‬ ‫ما امعتاد الدنا ه‬

Apa yang menjadi kebiasaan manusia dan mereka melawati kehidupan dan muamalat mereka
dengan hal itu, baik berupa perkataan, perbuatan atau hal yang ditinggalkan.

Dan terkadang al-‘urf ini juga disebut al-‘adah (‫)العادة‬, atau kebiasaan yang berlaku di suatu
masyarakat tertentu.

Ada juga definisi al-urf yang lain, misalnya :

‫ع الدسلإميمةه إبالقهبوإل‬ ‫س إممن إجهدإة الهعهقوإل وُ تلقدمتهه ال ب‬


‫طبا ه‬ ‫ما امستقدر فإي الدنهفو إ‬

Apa-apa yang menempati jiwa dari segi logika dan diterima oleh tabiat yang sehat.

3. Antara Urf dengan Adat

Antara Urf dengan adat istiadat ada persamaan namun juga ada perbedaan.

 Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang
tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk.

 Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian,
makan danmengkonsumsi jenis makanan tertentu.
 Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah
tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu
dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya,
terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu.
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak.

 Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. Urf bagian dari ‘adat,
karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di
daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan.

 ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah
mentradisi. Misalnya harta bersama, konsinyasi, urbun dan lainnya.

B. Kedudukan Urf

Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang
berkaitan dengan mu’amalah dan selama tidak bertentangan dengan syara'.

Demikian pula ketika syariat menetapkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari
nash itu sendiri maupun dari segi penggunaan bahasa.

Seperti ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat
dijadikan hujjah,

Demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan
dasar hujjah.

Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim)
dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf shahih khash.

C. Kaidah Fiqhiyah Terkait Dengan Urf

Atas dasar itulah para ahli ushul fiqih membuat Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf,
antara lain

1. Kaidah Pertama

‫الدعاددةه همدحلكدمةة‬

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai landasan hukum."


2. Kaidah Kedua

‫لديهمندكهر تددغديهر املهحمكإم بإتددغديإر الدممإكندإة دوُالدمزدماإن‬

"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan tempat dan
masa."

3. Kaidah Ketiga

‫ظابإطد لدهه فإميإه دوُلد اللددغةد يهمردجهعِ فإميإه إإدلىَ املهعمر إ‬


ْ‫ف‬ ‫ع هم م‬
‫طلددقا دوُلد د‬ ‫هكدل دما دوُدردد بإإه اللشمر ه‬

“Setiap ketentuan yang diterangkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada pembatasnya
dalam syara da tidak ada juga dalam ketentuan bahasa, maka ketentuan itu dikembalikan
kepada ‘urf”

D. Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya

Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat perkataan (qauli) dan yang
bersifat perbuatan (amali).

1. Urf Qauli

Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim memiliki makna
tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat yang lain yang urfnya
berbeda, maknanya bisa saja berbeda.

a. Dirham untuk Uang

Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau menyebut dirham berarti
maksudnya adalah uang.

b. Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat

Di masyarakat tertentu makna daabbah (‫ )دابة‬hanya terbatas pada hewan yang berkaki empat.
Padahal secara makna bahasa, daabbah adalah segala hewan yang melata di atas bumi, termasuk
ayam, ular dan lainnya.

c. Tha'am dan Burr

Ibnu Abidin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika orang Arab kata tha'am
(‫)طعام‬, maka yang dimaksud bukan sekedar makanan, tetapi burr (‫)بر‬, yaitu gandum.

Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (‫ )تح م‬maka yang dimaksud bukan sedekar daging
melainkan daging kambing.

d. Dalam Perceraian
Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i. Lafadz sharih
adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang searti dan tidak bisa
diterjemahkan selain talak.

Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus
sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.

Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”.
Kalimat ini masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan cerai.

Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf yang lazim
dikenal di suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah menganggapnya kalimat itu
adalah cerai, maka jatuhlah talak kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna
cerai, maka belum jatuh talak.

2. Urf Amali

Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi kebiasaan di tengah
masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.

a. Jual Beli Tanpa Lafadz Akad

Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad transaksi yang
tidak lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah
bersepakat dan saling rela untuk bertransaksi.

Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual berkata,"Saya jual barang ini
kepada Anda dengan harga sekian", lalu pembeli harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli
barang ini dengan harga sekian, tunai".

Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang
ini, khususnya untuk jual-beli yang ringan nilainya.

Akad jual-beli seperti ini dalam ilmu fiqih muamalat disebut dengan akad mu'athah (‫)معاطاه‬.

b. Mahar Muqaddam dan Muakhkhar

Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita tidak dikenal, yaitu mahar
atau mas kawin dibagi menjadi dua macam, yaitu muqaddam dan muakkhar.

Mahar muqaddam adalah mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar
diberikan kemudian.

E. Urf Aam dan Urf Khash

a. 'Urf Aam
Urf 'Aam 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip)
kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada
orang yang telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas
kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan
jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau
pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan
rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:

‫دممن دشفددعِ لدإخميإه دشدفادعةد فدأ دمهددىَ لدهه هدإديلةد فدقدبإلددها فدقدمد أددبىَ دبادبا دعإظميدما إممن أدمبدوا إ‬
‫ب البردبا‬

"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at
(jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka
perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu
riba. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf Khash

Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan
halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap
selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak
dibiasakan.

F. Urf Shahih dan Urf Fasid

Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan yang fasid.

1. ‘Urf Yang Shahih

‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta akhlaq yang
islami.

Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum
masa kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan makan, minum dan
tempat tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai di dalam syariat Islam.

Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti itu dilestarikan dan tidak dihapus,
karena sesuai dengan ajaran Islam.

2. ‘Urf Yang Fasid

Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks
syariah dan kaidah-kaidahnya.
Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi,
minum khamar, makan riba dan sejenisnya.

Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan
kita.

G. Syarat- ‘Urf Diterima Sebagai Dalil

Agar sebuah urf bisa diterima sebagai dalil dalam pengambilan hukum, para ulama menetapkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat-syarat itu antara lain :

1. Tidak Bertentangan Dengan Nash

Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan dengan nash syariah.

Misalnya kebiasaan buruk di tengah masyarakat untuk melakukan riba dan renten, tentu tidak
bisa diterima sebagai ‘urf yang menjadi dalil.

2. Mengandung Maslahat

Syarat ketiga adalah bahwa urf tersebut mengandung banyak maslahat bagi masyarakat.

Misalnya, urf atau kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat bahwa penjual dan pembeli
tidak harus saling bercakap-cakap secara langsung dalam akad jual-beli. Namun cukup dengan
kode atau isyarat saja, asalkan keduanya sama-sama paham dan mengerti serta saling bersepakat,
maka hakikat akad jual-beli sudah dianggap sah.

Sebab kalau setiap akad jual-beli harus dilakukan dengan mengucapkan lafadz ijab dan kabul,
tentu akan merepotkan. Bayang seorang kasir di mini market yang melayani ratusan pembeli
dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli rata-rata 10 item, kita tidak membayangkan
bagaimana mulut kasir akan berbusa.

3. Berlaku Pada Orang Banyak

Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti semua orang memang
mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf itu tidak bisa
dijadikan sebagai dasar hukum.

4. Sudah Berlaku Lama

Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara kurun
waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-masa sebelumnya dan bukan yang
muncul kemudian.
5. Tidak Bertentangan Dengan Syarat Dalam Transaksi

Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi yang sudah baku dalam
hukum fiqih muamalat.

Tingkatan-tingkatan

Ijtihad Muthlaq

Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan menemukan
'illah-'illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur'an dan sunnah, dengan
menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara', serta setelah lebih dahulu
mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.

Ijtihad fi al-Mazhab

Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara', dengan
menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang
berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam
mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun
untuk memfatwakan kan hukum yang diperlukan masyarakat.

Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan ini:

Ijtihad at-Takhrij

Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan
hukum syara' yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada
tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah
difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam
mazhabnya.

Ijtihad at-Tarjih

Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di
antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-
murid imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab
lainnya. Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak
melakukan istinbath hukum syara'.

Ijtihad al-Futya
Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat hukum imam
mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut
kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada
memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak
melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan
hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan
hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum
ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya
ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah
dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang
diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang
sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan dalam ijti
had dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah
iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.

B. Saran
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad. Karena
dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan menentukan dari kitab
dan sunnah.

Anda mungkin juga menyukai