Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Tentang
IJMA’

Dosen Pembimbing : Dr. Mulyadi

Di Susun Oleh :

MUHAMMAD ZAHARI

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ( STIE ) BENGKALIS
TA. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga saya dapat  menyelesaikan makalah bertema ”Ijma’”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, saya mendapatkan begitu banyak bimbingan dari
berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada siapa saja yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar
mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun
makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang
akan menjadikan makalah ini lebih baik.

Bengkalis, 06 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Pembuatan Makalah...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma ..............................................................................................................2
B. Kehujjahan Ijma’............................................................................................................2
C. Rukun dan Syarat Ijma’..................................................................................................3
D. Macam-Macam Ijma’.....................................................................................................4
E. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam........................................................5
F. Contoh Hukum yang Didasari Ijma’Ijma’......................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................................8
B. Saran...............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang tidak lepas
dari peranan syari’at atau hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya.
Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah berjihad untuk
mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an dan hadist agar jelas dan tidak
subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal yang pada zaman rasul tidak terjadi,
untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama
( ijma’), maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijma’, macam- macam ijma’,
kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan ijma’?
2. Bagaimana kehujjahan ijma’?
3. Apa rukun dan syarat ijma’ ?
4. Apa saja macam-macam ijma’?
5. Bagaimana kedudukan ijma’ dalam pembinaan hukum islam?
6. Apa contoh hukum yang didasari ijma’?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang ijma’
2. Untuk mengetahui kehujjahan ijma’
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijma’
4. Untuk mengetahui macam-macam ijma’
5. Untuk mengetahui kedudukan ijma’ dalam pembinaan hukum islam
6. Untuk mengetahui contoh hukum yang didasari ijma’

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Secara  etimologi, ijma’ berarti “ kesepakatan “ atau konsensus.pengertian etimologi kedua
dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.1
Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencakup satu tekad saja, sedangkan
untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.
Adapun ijma’ dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua ulama mujtahid
muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang berkaitan dengan
hukum syara’.
Ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh fiqih, diantaranya
sebagai berikut :
1. Al-Amadi, sebagaimana dikutip Amir syarifuddin  merumuskan ijma’  adalah kesepakatan
sejumlah Ahlul Halli wal’Aqd ( para ahli yang berkompeten mengurusi umat ) dari umat
Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
2. Maulana Muhammad Ali yang dikutip oleh sudarsono kata ijma’ berasal dari kata jam’ ,
artinya menghimpun mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan
mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan memutuskan
suatu perkara, dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha’). Ijma’ berati kesepakatan
pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fiqih dari abad
tertentu mengenai masalah hukum.

B. Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan,
karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang
mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1) Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya “Dan barang siapa yang
menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah

1 Nasrun Harun.Ushul Fiqh 1.Cet III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm51

2
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”. Hal ini berarti wajib
mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid yang menyepakati suatu
hukum syara’.
2) Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan
kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah diterima
umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Diantara hadist-hadist itu adalah:
‫ضالَ لَ ٍة‬
َ ‫الَت َْجتَ ِم ُع اُ َّمتِى َعلَى‬
Artinya: “Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu kesalahan.
َ‫الج َما َعةَ َو َما ت‬
َ ‫ق‬ َ ‫َمنْ فَا َر‬
Arinya: “Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu
didalam keadaan jahiliyah.
3) Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan
mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab
seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka maka terjadilah
perselisihan di antara mereka.

C. Rukun dan Syarat Ijma’


Dalam definisi itu dikatakan, bahwa sepakat semua mujtahid muslim pada suatu masa
terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Rukun ijma’ itu ada 4 :2
1) Adanya  sejumlah para mujtahid pada saat terjadi suatu peristiwa. Karena sesungguhnya
kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana
masing-masing pendapat sesuaian dengan pendapat lainnya.
2) Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri
mereka, kebangsaan mereka atau kelompok mereka.
3) Kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat dari masing-masing orang
dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa.
4) Kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya
kebanyakan yang sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak terjadi ijma’,
kendatipun sangat sedikit mujtahid yang menentang.

2   Khallaf,Abdul Wahab.Ilmu Ushul Fikh.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995

3
Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
1) Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
2) Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3) Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak
disepakati para ulama, diantaranya:
1) Para mujtahid itu adalah sahabat.
2) Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh
menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
3) Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh
mujtahid yang menyepakatinya.
Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.3

D. Macam-Macam Ijma’
1) Ijma’ qauli atau ijma’ sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan
maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut
juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2) Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid
dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila
memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a) Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau
penolakan.
b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahan.
c) Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah ijtihad yang
bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.

3 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54

4
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat
dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama
mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum,
karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju
dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang
dengan tegas, artinya setuju.
3) Ijma’ sahabat. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4) Ijma’ ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi
Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli bait oleh mereka adalah: Fatimah, Ali, Hasan
dan Husain.
5) Ijma’ ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang telah diijma’i oleh ulama
Madinah, wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’ mereka dijadikan hujjah, wajib
diamalkan.4

E. Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam


Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun sunnah.
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu
hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan )
diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam
wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’sebagai sumber
hukum Islam adalah sebagai berikut :
a. Firman Allah SWT :
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad )
dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )

4 Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

5
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa
dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga
memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati
mereka.
b. Hadist RasulullahSAW
Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah
juga baik.
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama –
sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari
kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan
setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya
pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum,
karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan
memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas,
berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat
dikatakan telah terjadi ijma’. Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat
perorangan.5

F. Contoh-Contoh Hukum yang Didasari Ijma’


1. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
2. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
3. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an
dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah

5 Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

6
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan
beramal.
Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu Bakar
as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan dasar-dasar hukum
sesudah Nabi Muhammad.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma’ dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua ulama mujtahid muslim
dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang berkaitan dengan hukum
syara’.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun sunnah.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an
dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan
beramal.
Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu Bakar
as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan dasar-dasar hukum
sesudah Nabi Muhammad.

B. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran dan kritikan tentu akan di
tampung guna untuk meperbaiki kesalahan tersebut. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini belum semua penulis jelaskan dalam pembahasan diatas, masih terdapat banyak
kekurangan dari itu penulis akan menerima segala saran dan masukan yang membangun.

8
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Harun.Ushul Fiqh 1.Cet III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm51

 Khallaf,Abdul Wahab.Ilmu Ushul Fikh.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki


Putra, 1997.

Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

Anda mungkin juga menyukai