Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH FIKIH MUAMALAH

ISTISHNA’ DAN AKAD SHARF

Dosen Pengampu : Ibi Satibi, S.H.I., M. Si.

Disusun Oleh :

1. Firdaus Alhafiz (17108040029)


2. Sholichatun Ni’mah (17108040038)
3. Anjani Nafa’atul Dzikroh (17108040049)
4. Ahmad Hasin (17108040054)

PRODI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Istisna dan akad sharf”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
dari Dosen Mata Kuliah Fiqih Muammalah Bapak Ibi satibi, S.H.I., M. Si.

Makalah ini ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan materi
istisna dan akad sharf, serta infomasi dari berbagai media yang berhubungan dengan istisna
dan akad sharf.

Tak lupa penyusun sampaikan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Fikih
Muamalah atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Dan juga kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan pandangan, sehingga dapat
terselesaikannya makalah ini.

Penyusun berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan


mengenai istisna dan akad sharaf. Penyusun berharap bagi pembaca untuk dapat memberikan
pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

Yogyakarta, 11 April 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang .............................................................................. Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ......................................................................... Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan Makalah.............................................................................. Error! Bookmark not defined.

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB III KESIMPULAN .......................................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. Error! Bookmark not defined.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muamalah memang sangat tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan ini karena
berjalannya kehidupan dibarengi pula dengan kegiatan ke-muamalah-an. Bermuamalah
sendiri sudah sering dipraktekkan sejak zaman-zaman terdahulu bahkan sebelum zaman
Nabi Muhammad saw. Adapun sejak datangnya Nabi Muhammad saw itulah sebagai
pencerah kegiatan-kegiatan kehidupan ataupun akhlaknya seseorang, dengan
diturunkannya wahyu kepadanya sebagai pedoman kehidupan beserta hadis-hadisnya
khususnya dalam bermuamalah ini.
Bermuamalah berarti melaksanakan suatu ibadah yang mana melakukan kegiatan
antar manusia satu dengan manusia yang lain. Bisa dikatakan ibadah, ketika kita
melaksanakannya dengan adanya unsur lillah dan sesuai kaidah-kaidah. Lain halnya
apabila tidak sesuai dengan kaidah dan tanpa unsur lillah, seakan-akan hanya akan
menjadi tumpukan kegiatan atau pekerjaan sia-sia bahkan bisa membuahkan dosa.
Sebenarnya banyak sekali kegiatan muamalah-muamalah yang terjadi dikehidupan ini
tanpa kita sadari, seperti melakukan akad jual-beli, akad salam, dan lain-lain.
Adapun pada makalah ini, penyusun mencoba untuk mengungkap beberapa
kegiatan bermuamalah, yaitu istishna’ dan shorof. Karena bila ditelusuri, dalam kegiatan
bermuamalah ini sangat banyak dipraktekan baik atas nama pribadi, perusahaan, ataupun
pemerintahan. Misalnya dalam kegiatan istishna’ ini bisa kita telusuri dalam perusahaan
manufaktur yang mana perusahaan manufaktur melayani dengan pesanan disertai
spesifikasinya yang diinginkan oleh pembeli dari bahan yang dibuat sampai hasilnya
diatur dalam istishna’. Hanya saja pada zaman sekarang ini, banyak orang atau
perusahaan yang belum menyadari kegiatan pemesanan tersebut tergolong istishna’
ataupun tahu tapi tidak terlalu paham dengan hukum-hukum Islam yang ada. Begitupun
pada kegiatan sharf, seringkali kita melakukan kegiatn barter (tukar menukar) hanya saja
dalam prakteknya selalu terhindarkan karena biasanya hanya memakai hukum atau

2
kaidah konvensional. Dalam makalah ini penyusun mencoba untuk menelusuri istishna’
dan sharf tersebut secara rinci, agar kita memahami hukum-hukum didalamnya lalu dapat
mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari dan untuk melengkapi tugas kelompok
program studi fiqh muamalah.

B. Rumsan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas ada beberapa rumusan masalah yang timbul,
yaitu sebagai berikut.
1. Apa saja unsur-unsur didalam istishna’ dan akad sharf ?
2. Apa saja syarat-syarat istishna’ dan akad sharf ?
3. Bagaimana landasan normatif dan penasiran fukaha dalam istishna’ dan akad sharf ?
4. Bagaimana pengaplikasian konsep akad istishna’ dan sharf dalam fikih klasik dan
modern?

C. Tujuan Makalah
Tujuan disusunnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih
Muammalah yang diampu oleh Bapak Ibi Satibi, S.H.I., M. Si. yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi istisna dan akad sharf
2. Untuk mengetahui unsur-unsur istisna dan akad sharf
3. Untuk mengetahui syarat-syarat istisna dan akad sharf
4. Untuk mengetahui landasan normatif dan pendapat para fukaha

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Deifnisi dan Unsur-unsur Istishna’


Dalam kitab al-Mishbaah al muniir, mukhtar ash-shihaah dan al-Qaammus al-
muhiith disebutkan bahwa secara bahasa istishna’ berarti thalabus shun’ah (meminta
dibuatkan barang). Maksud dari pembuatan barang yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dalam membuat barang atau dalam pekerjaannya.
Dalam istilah para fuqaha, istisnha’ didefinisikan sebagai akad meminta
seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. Atau dapat
diartikan sebagai akad yang dilakukan dengan seseorang untuk membuat barang tertentu
dalam tanggungan. Maksudnya, akad tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang
akan dibuat oleh seseorang. Dalam istishna’ bahan baku dan pembuatan dari pengrajin.
Jika bahan baku berasal dari pemesan, maka akad yang dilakukan adalah akad ijarah
(sewa) bukan istishna’.
Jadi istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli/pemesan dan
penjual/pengrajin, dalam kontrak ini pengrajin menerima pesanan dari pemesan untuk
dibuatkan suatu barang dengan karakteristik tertentu dan harga tertentu, atau dapat
didefinisikan sebagai permintaan pembuatan barang sehingga bentuknya adalah
pekerjaan bukan barang.
Akad istishna’ akan tercapai dengan adanya ijab dan qabul antara pengrajin dan
pemesan. Pembeli disebut dengan pemesan dan penjual disebut dengan pengrajin dan
barang yang dibuat disebut dengan pesanan.
Adapun unsur-unsur istishna’ adalah sebagai berikut.
1. Pembeli atau pemesan (mushani’)
2. Penjual, pekerja atau pengrajin (shani)
3. Barang atau pokok kontrak (mashnu’)

4
B. Definisi Akad Sharf
Dalam bahasa Arab sharf atau al sharf yang disebutkan dalam kamus Al-Munjid
fi al-lughah berarti menjual uang dengan uang lainnya, secara harfiah al-sharf berarti
penambahan, penukaran atau transaksi jual beli. Kebanyakan orang menyebut al-sharf
dengan valuta asing(valas) dalam bahasa inggrisnya disebut money changer. Jadi sharf
adalah menjual nilai sesuatu dengan sesuatu. Meliputi emas dengan emas atau perak
dengan perak, dan emas dengan perak.
C. Syarat-syarat Istishna’
Ulama Hanafiyah menentukan tiga syarat bagi keabsahan adak istishna’. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Menjelaskan jenis, tipe, kadar dan bentuk barang yang dipesan. Karena barang yang
dipesan merupakan barang dagangan sehingga harus diketahui informasi barang itu
secara baik. Informasi barang dapat terpenuhi dengan mengetahui beberapa hal
tersebut. Jika salah satu informasi berkaitan dengan barang pesanan ini tidak ada
maka akad itu menjadi rusak karena ketidakjelasan yang mengakibatkan pertikaian
merusak akad. Dengan demikian ketika seseorang memesan sesuatu maka ia harus
menjelaskan jenis bahan dasar barang tersebut, ukurannya, bentuknya, dan jumlah
yang dipesan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ penyebutan
karakteristiknya lebih kompleks dibanding dengan akad salam yang hanya
menyebutkan kualitas dan kuantitasnya.
2. Barang yang dipesan harus barang yang biasa dipesan pembuatannya oleh masyarakat
Misalanya pemesanan susu kedelai di daerah pedalaman, akad istishna’ tidak berlaku
disini, karena barang yang dipesan tidak biasa dibuat oleh masyarakat. Tetapi hal ini
boleh dilakukan menggunakan akad salam yang tentunya dengan terpenuhinya syarat-
syarat akad salam. Contoh lain misalnya pemesanan sepatu kulit pada jaman Nabi
Adam tidak boleh dilakukan, hal ini jelas-jelas karena tidak adanya kebiasaan
masyarakat membuat barang tersebut.

5
3. Tidak menyebutkan batas waktu tertentu. Apabila salah satu pihak menyebutkan
tenggang waktu tertentu maka akad istishna’ gugur dan masuk kedalam golongan
akad salam.
D. Syarat-syarat Akad Sharf
Adapun syarat secara garis besar yaitu sebagai berikut.
1. Serah terima sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak
berpisah. Dalam akad sharf tidak boleh terdapat tenggang waktu antara
penyerahanmata uang yang saling dipertukarkan, karena sharf dikatakan sah
apabilapenguasaan objek akad dilakukan secara tunai atau dalam kurun waktu 2
x24 jam (harus dilakukan seketika itu juga dan tidak boleh di utang)
danperbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum
keduabelah pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah.
2. Al-Tamatsul (sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya adalah haram, syarat
ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran
uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Apabila mata uang atau
valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yangsama, maka jual beli mata
uang itu harus dilakukan dengan kuantitas yangsama, sekalipun model dari mata
uang itu berbeda.
3. Nilai tukar atau kurs mata uang telah diketahui oleh kedua belah pihak
4. Pembayaran dengan tunai
Tidak sah hukumnya apabila di dalam transaksi jual beli Al-sharf (pertukaran uang)
terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau
disepakati oleh kedua belah pihak.
5. Tidak mengandung akad khiyar syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah
pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak
sah. Hak yang d i m a k s u d k h i y a r s y a r a t a d a l a h h a k p i l i h b a g i p e m b e l i
u n t u k d a p a t melanjutkan atau tidak melanjutkan jual beli mata uang
tersebut setelah akadnya selesai dan syarat tersebut di perjanjikan ketika

6
transaksi jual beliberlangsung. Alasan tidak di perbolehkannya khiyar syarat
adalah untuk menghindari adanya ketidakpastian/gharar.

6. Ijab kabul
pernyataan dan ekspresi saling ridha di antar pihak-pihak pelaku akad yang
dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.

E. Landasan Hukum Istishna’


1. Al-Qur’an
Q.S An-Nisa: 29

ِ ‫ي َ ا أ َي ُّ َه ا ال َّ ِذ ي َن آ َم ن ُ وا ََل ت َأ ْكُ ل ُوا أ َ ْم َو ا ل َ ك ُ ْم ب َ يْ ن َ كُ ْم ب ِ الْ ب َ ا‬


‫ط ِل إ ِ ََّل أ َ ْن‬
َّ ‫اض ِم نْ كُ ْم ۚ َو ََل ت َقْ ت ُل ُوا أ َنْ ف ُسَ كُ ْم ۚ إ ِ َّن‬
‫ّللا َ كَ ا َن‬ ٍ ‫ار ة ً عَ ْن ت َ َر‬َ ‫ت َكُ و َن ت ِ َج‬
‫ب ِ كُ ْم َر ِح ي ًم ا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29)
Ayat ini memerintahkan untuk tidak memakan harta sesama.
2. Hadits Nabi:

)‫ال ضرار وال ضرار (رواه ابن ماجو والدارقطني وغير ىما عن ابي سعيد الدري‬

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu
Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa‟id al- Khudri).

Dalam istishna‟, kami mengutip hadits ini karena menurut hadits ini kita
dilarang memadharatkan diri sendiri maupun orang lain, kaitannya dengan istishna‟
adalah bahwa dalam istishna‟pun unsur ini dihindari agar tidak ada pihak yang
dimudharatkan. Oleh karena itu, istishna‟ ini tidak bertentangan dengan hadits
ini, maka hukum istishna‟ ini boleh.

7
3. Ulama Syafi’iyah

Ulama Syafi‟iyah juga tidak membenarkan akad istisna seperti yang


dijelaskan oleh ulama hanafiyah. Namun demikian ulama Syafi‟iyah membolehkan
akad istishna‟ ini dengan menyamakan dengan akad salam. Di antara syarat
utamnya adalah menyerahkan seluruh harga barang dalam majlis akad. Mereka
juga menyatakan bahwa harus ditentukan waktu penyerahan barang pesanan
sebagaimana dalam akad salam, jika tidak maka akad itu menjadi rusak. Selain itu
mereka juga mensyaratkan tidak boleh menentukan pembuat barang ataupun barang
yang dibuat. Begitupun juga syarat-syarat akad salam yang lain. Menurut al Asybah
As-Suyuti didalam kitab wahbah al zuhaili menjelaskan bahwa istishna‟ menurut
mazhab Syafi‟i disahkan semua, baik waktu penyerahan barang ditentukan ataupun
tidak yaitu dengan melakukan akad salam, dengan ketentuan penyerahan barang
secara langsung ditempat akad. Akad istishna’ secara kontan seperti ini adalah sah
menurut meraka.
4. Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika didasarkan pada qiyas dan
kaidah umum maka akad istishna‟ tidak bolehdilakukan, karena akad ini mengandung
jual beli barang yang tidak ada (bay‟ ma‟duum) seperti akad salam. Jual beli
barang yang tidak ada tidak dibolehkan berdasarkan larangan Nabi Saw. Untuk
menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu akad ini tidak
dapat dikatakan sebagai akad jual beli, karena merupakan jual beli barang yang tidak
ada.

8
F. Landasan Hukum Akad Sharf
1. Al-Qur’an
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan
hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah ayat 275, yaitu:
‫ان ِمنَ ْال َم ِس ذَ ِلك‬ ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬ ُ َّ‫الربَا َلَ يَقُو ُمونَ إَِلَّ َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫بِأَنَّ ُه ْم قَالُواْ الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
َ ‫ظةٌ ِمن َّر ِب ِه فَانت َ َه‬
‫ى فَلَهُ َما‬ َ ‫الر َبا فَ َمن َجاءهُ َم ْو ِع‬ ِ ‫الر َبا َوأ َ َح َّل ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬
ِ ‫ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
ِ َّ‫اب الن‬
﴾٢٧٥﴿ َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ْ َ ‫عادَ فَأ ُ ْولَـئِ َك أ‬
ُ ‫ص َح‬ َ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ إِلَى ّللاِ َو َم ْن‬
َ َ‫سل‬
َ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”

2. Al-Hadist
Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada
sejumlah hadist nabi yang antara lain pendapat :
a. Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima.
Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.”
b. Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas dengan emas
setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding” (H.R Ahmad,
Muslim dan Nasa’i)
c. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai
dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba,
kecuali yang berlainan warnanya” (H.R Muslim)

9
d. Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. Melarang (menjual) perak dengan perak, emas
dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas
sesuka kami dan membeli emas dengan perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim.
3. Menurut Ijma
Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu,
yaitu :
a. Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing
pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang
bersamaan.
b. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu
transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
c. Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru
ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang
akan datang.
d. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
e. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak
kepemilikan.

G. Pengaplikasian konsep akad istisna’ dan sharaf dalam fikih klasik


1. Pengaplikasian konsep akad istisna dan shraf dalam fikih Klasik
Akad istisna’ sejak dahulu telah memiliki peran yang penting dalm kehidupan
industri masyarakat. Para pembuat barang {pengrajin}meberikan pengalaman dan
keterampilannya yang tinggi untuk menghasilkan produk yang bermutu. Mereka juga
dapat menghasilkan inovasi dan seni sendiri dalam bahan baku yang dimilikinya serta
melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas produknya. Pemesan merasa
gembira dengan hasil yang memuaskan keinginan dan kebutuhannya sesuai dengan
ukuran dan seni tertentu yang cocok dengan dirinya.
Sedangkan pengaplikasian akad shraf dalam klasik sebagaimana seperti barter
(tukar menukar barang dengan barang).

10
2. Pengaplikasian konsep akad istisna dan shraf dalam modern
Pengapliksian dalam era modern bisnis istishna’ telah berkembang begitu
pesat. Saat ini bisnis ini tidak hanya terfokus pada pembuatan pakaian dan lain-
lainnya. Akan tetapi telah mencakup semua jenis produksi penting.
Sedangkan shraf pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata
uang tersebut dengan mata uang asing, seperti membeli pesawat dengan dollar, serta
pertukaran dollar dengan dinar dalam suatu kesepakatan.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat dapat disimpulkan bahwa:
1. Istishna’ merupakan model jual beli pengembangan transaksi salam. Unsur-unsur
istishna’ yaitu ada mashnu’ (barang yang dipesan), mushani’ (orang yang memesan)
dan shani’ (orang yang menerima pesanan). Sedangkan akad sharf yaitu tambahan
atau valuta asing.
2. Syarat-syarat istishna’ antara lain harus menyebutkan secara spesifik objek barang
yang dipesan (mashnu’), mashnu’ harus yang biasa dipesan oleh masyarakat, dan
tidak menyebutkan jangka waktu pembuatan sedangkan syarat-syarat akad sharf
yaitu serah terima sebelum berpisah, sama rata, pembayaran dengan tunai, tidak
mengandung khiyar syarat, dan ijab kabul disertai keridhoan antara dua belah pihak.
3. Ada beberapa dalil yang menerangkan tentang hukum istishna’ dan akad sharf
diantaranya dari al-Qur’an, as-sunah dan para fukaha.
4. Pengaplikasian antara istishna’ dan sharf klasik dengan modern dikarenakan waktu
dan pergeseran zaman.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nawawi,Ismail.2012.Fiqih Muammalah Klasik dan Kontemporer.Bogor: Penerbit Ghaila


Indonesia.

Azzuhaili,Wahbah.2011. Fiqih Islam Waadailatuhu.Jakarta: Gema Insani.

Muchlis, Ahmad Wardih. 2010. Fikih Muamalat. Jakarta: Amzah.

13

Anda mungkin juga menyukai