Anda di halaman 1dari 15

KONSEP ISTISHNA’

Dosen Pengampu : Nurul Inayah, ME. I

Disusun Oleh Kelompok 8

1. Ananda Syahfitri (0502202040)


2. Jihan Isnaini (0502202064)
3. Puja Lestari Sinaga (0502202063)

AKUNTANSI SYARIAH 2 B

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak
lupa pula shalawat dan salam kami haturkan kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah tentang “Konsep Istishna” dapat diselesaikan karena


bantuan banyak pihak. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi
pihak yang tertarik. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan
sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, terutama


pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembeca demi
penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Fiqh
Muamalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 5 Mei 2021

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Masalah...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Istishna’.....................................................................................3
B. Rukun dan Syarat Istishna’........................................................................5
C. Dasar Hukum Istishna’...............................................................................6
D. Landasan Syariah Istishna’........................................................................8
E. Sifat Akad Istishna’.....................................................................................8
F. Hikmah Disyariatkannya Istishna’............................................................9
G. Contoh Kasus Istishna’...............................................................................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................11
A. Kesimpulan................................................................................................11
B. Saran...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya, akad istishna’ lebih banyak digunakan
dilembaga keuangan syari’ah daripada salam. Hal ini disebabkan karena barang
yang dipesan oleh nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi
dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan barang yang sudah jadi. Secara
sosiologis, barang yang sudah jadi telah banyak tersedia dipasaran, sehingga tidak
perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya.

Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’


menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang
belum tersedia.

Akad Istishna’ sendiri adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’
dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara pemesanan atau penjual
seperti melalui perantara. Jika dilakukan melalui perantara maka akad disebut
dengan akad istishna’ parallel.

Menurut ulama fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-
salam. Biasanya jenis ini dipergunakan dibidang manufaktur dan konstruksi.
Dengan demikian ketentuan istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan dari bai’ as-
salam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Pengertian Istishna’ ?
2. Apa Rukun dan Syarat Istishna’ ?
3. Apa Dasar Hukum Istishna’ ?
4. Bagaimana Landasan Syariah Istishna’ ?
5. Bagaimana Sifat Akad Istishna’ ?
6. Apa Hikmah Disyariatkannya Istishna’ ?
7. Apa Contoh Kasus Dari Istishna’ ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Defenisi Dari Istishna’
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Rukun dan Syarat Istishna’
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Dasar Hukum Istishna’
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Landasan Syariah Istishna’
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Sifat Akad Istishna’
6. Untuk Mengetahui dan Memahami Hikmah Disyariatkannya Istishna’
7. Untuk Mengetahui dan Memahami Contoh Kasus Dari Istishna’

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishna’
Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’ah ( ‫ )صنع‬yang artinya membuat
sesuatu. Kemudian ditambah alif, sin dan ta’ menjadi Istishna’ ( ‫)استصنع‬.1

Istishna’ adalah akad yang berasal dari bahasa arab artinya buatan.
Menurut para ulama bai’al-istishna’ (jual beli dengan pesanan) merupakan suatu
jenis khusus dari akad bai’as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini
dipergunakan dalam bidang manufaktur. Arti bai’al-istishna’ akad adalah jual
barang pesanan diantara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran
tertentu. Barang yang di pesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran.
Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan, tergantung kesepakatan
kedua belah pihak.2

Istishna’ secara etimologi adalah masdar dari sishna a’asy-sya’i, artinya


meminta membuatkan sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk
mengerjakan sesuatu. Sedangkan secara terminologi Istishna’ adalah transaksi
terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk
mengerjakannya. Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan
pekerja pembuat barang itu.3

Dalam buku Fiqh Muamalah disebutkan, jual beli istishna’adalah jual beli
antara pemesan (mustashni’) dengan penerima pesanan (shani’) atas sebuah
barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’), contohnya untuk barang-barang

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 2010,
hlm. 221.
2
Siti Mujiatun, jual beli dalam prespektif islam : salam dan istishna Jurnal riset akuntansi dan
bisnis vol 13 no.2/September 2013.
3
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Kencana, 2012),hlm 124.

3
industri maupun properti. Spesifikasi dan harga barang haruslah sudah disepakati
di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

Apakah pembayaran dilakukan di muka,melalui cicilan atau ditangguhkan sampai


suatu waktu pada masa yang akan datang.4

Ibnu bidin menjelaskan istishna’ secara bahasa yaitu meminta kepada


seseorang untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan spesifikasi tertentu.
Istishna’ juga diartikan sebagai akad untuk membeli barang yang akan dibuat oleh
seseorang. Jadi, dalam akad istishna’ barang yang menjadi objek adalah barang-
barang buatan atau hasil karya. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat
barang tersebut berasal dari orang yang memesan atau yang meminta, maka akad
tersebut adalah akad ijarah bukan akad istishna’.5

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, istishna’ adalah jual beli


barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.6

Istishna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan qabul dari
sipenerima pesanan. Dalam hal ini, pemesanan adalah sebagai pembeli dan
sipenerima pesanan sebagai penjual. Pada dasarnya akad istishna’ sama halnya
dengan salam, dimana barang yang menjadi objek akad atau transaksi belum ada.
Hanya saja dalam akad istishna’ tidak diisyaratkan memberikan modal atau uang
kepada penerima pemesan atau penjual. Selain itu dalam istishna’ tidak ditentukan
masa penyerahan barangnya.7

4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet-1 (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008),
hlm 136.
5
Ibnu Abidin, radd al-mukhtar, sebagaimana dikutip oleh imam Mustofa…ibid, 94
6
Pasal 20 ayat (10), dikutip dalam mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH, (Jakarta:kencana
2012).h.124
7
Imam Mustofa, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Jakarta:raja walipers, 2016.

4
B. Rukun dan Syarat Istishna’
1. Rukun Istishna’

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa hal, yaitu :

1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan


memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan.

2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga
(tsaman)8

3. Shighah (ijab qabul)

Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya
dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk
menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.

Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak
bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di
masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna’
dan pihak lain untuk membeli barang istishna’. Istishna tidak dapat dibatalkan,
kecuali memenuhi kondisi :

1) Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya.

2) Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.9

8
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:Rajawali Pers.2013), hlm 97
9
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,….,126

5
2. Syarat Istishna’

Syarat jual beli Istishna’ menurut pasal 104 s/d pasal 108 kompilasi
hukum ekonomi syariah adalah sebagai berikut :10

a. Ba’i istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas


barang yang dipesan.
b. Ba’i istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
c. Dalam ba’i istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual
harus sesuai permintaan pemesanan.
d. Pembayaran dalam ba’i istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat
yang disepakati.
e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh
tawarmenawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
f. Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka
pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk
melanjutkan atau membatalkan pemesanan.

C. Dasar Hukum Istishna’


Dasar Hukum Istishna’ secara syar'i berdasarkan pada petunjuk Al-Quran, As-
Sunnah dan Al-Ijma' :

1. Dasar hukum menurut Al-Qur’an :

Q.S Al-Baqarah : 275

‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ با‬


Artinya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”11

Tafsir Ibnu Katsir dari surat al-Baqarah ayat 275 bahwa Orang-orang yang
memakan riba), artinya mengambilnya. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah

10
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), 97
11
Al-Qur’an al-Karim, (Semarang: PT KARYA TOHA PUTRA, 2005),48.

6
dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai
waktunya, (tidaklah bangkit) dari kuburkubur mereka (seperti bangkitnya orang
yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila) yang menyerang mereka; minal
massi berkaitan dengan yaquumuuna. Demikian itu, maksudnya yang menimpa
mereka itu maksudnya disebabkan mereka (mengatakan bahwa jual-beli itu seperti
riba) dalam soal diperbolehkannya. Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama'
menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

2. Dasar hukum menurut As-Sunnah :

‫ب ِإلَى ْال َع َج ِم‬ َ ُ‫ى هَّللا ِ ص َكانََأ َرا َد َأ ْن يَ ْكت‬


َّ ِ‫س رضي هللا عنه َأ َّن نَب‬ ٍ َ‫َع ْنَأن‬
َ ْ‫ فَاص‬.‫ون ِإالَّ ِكتَابًا َعلَ ْي ِه َخاتِ ٌم‬
‫طنَ َع َخاتَ ًما‬ َ ُ‫يل لَهُ ِإ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَل‬
َ ِ‫فَق‬
ِ َ‫ َكَأنِّى َأ ْنظُ ُر ِإلَى بَي‬:‫ال‬
‫ (رواه مسلم‬.‫اض ِه فِى يَ ِد ِه‬ َّ ِ‫ِم ْنف‬
َ َ‫ق‬.‫ض ٍة‬
Artinya : Dari Anas R.A bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim). Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad
yang dibolehkan.12

3. Dasar hukum menurut Al-Ijma’

12
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), 89

7
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-
facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad
yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat
atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya.13

D. Landasan Syariah Istishna’


Sebenarnya Istishna’ ini tidak diperbolehkan, karena objek akadnya tidak
ada. Namun, menurut Hanafiah, akad ini diperbolehkan Istishna’, karena sudah
sejak lama Istishna’ ini dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang
mengingkarinya, sehingga dengan hukum kebolehannya itu bisa digolongkan
kepada Ijma’. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah, akad Istishna’
dibolehkan atas dasar akad salam. Syarat – syarat yang berlaku untuk salam juga
berlaku untuk akad Istishna’. Diantara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh
harga di dalam majelis akad. Seperti hal nya akad akad salam, menurut Syafi’iyah,
Istishna’ itu hukumnya sah, baik masa penyerahan barang yang dibuat ditentukan
atau tidak, termasuk apabila diserahkan secara tunai.14

E. Sifat Akad Istishna’


Akad Istishna’ adalah akad yang ghair lazim, baik sebelum pembuatan
pesanan maupun sesudahnya. Oleh karena itu, bagi masing – masing pihak ada
hak khiyar untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, dan berpaling dari
akad sebelum mustashni’ (pemesan/konsumen) melihat barang yang
dibuat/dipesan. Apabila shani’ (pembuat/produsen) menjual barang yang
dibuatnya sebelum dilihat oleh mustashni’ maka hukum akadnya sah, karena
akadnya ghair lazim, dan objek akadnya bukan benda yang dibuat itu sendiri,

13
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), 89
14
Mahmudatus Sa’diyah, FIQH MUAMALAH II: Teori dan Praktik (Jawa Tengah: UNISNU
PRESS,2019), hal 46

8
melainkan sejenisnya yang masih ada dalam tanggungan. Apabila pembuat
membawa barang yang dibuatnya kepada mustashni’, maka hak khiyar nya
menjadi gugur, karena ia dianggap setuju dengan tindakannya mendatangi
konsumen tersebut, apabila mustashni’ telah melihat barang yang dipesannya,
maka ia memiliki hak khiyar.15

F. Hikmah Disyariatkannya Istishna’


Barang-barang produksi yang telah ada tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan manusia, khususnya pada masa modern sekarang ini
ketika produk-produk sudah berkembang pesat. Kebutuha manusia terhadap
produk-produk itu juga meningkat sehingga harus diciptakan produk-produk baru
untuk memenuhi kebutuhan dan selera mereka. Dalam kondisi seperti ini, pihak
produsen mendapat keuntungan dengan menciptakan kreasi dan inovasi produk-
produk yang sesuai dengan selera mereka. Sementara itu, konsumen mendapat
keuntungan dengan terpenuhinya kebutuhan dan selera mereka baik dari segi
bentuk kualitasnya. Dengan demikian, kedua belah pihak sama-sama memperoleh
kemaslahatan.16

G. Contoh Kasus Istishna’


Kasus: Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk
pembuatan kostum sepak bola sebesar 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh
pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar

15
Ibid., 49
16
Ibid.

9
biasanya Rp 40.000 . Sedangkan perusahaan itu bisa menjual kepada bank dengan
harga Rp 38.000.17

Jawaban: Produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum


tersebut, ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000 per kostum sekitar
Rp 1 juta (20 juta / Rp 38.000 x Rp 2000) atau 5 persen dari modal. Bank bisa
menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli
dengan harga pasar.18

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa dalam konsep istishna’ yaitu pembuat barang menerima pesanan
dari pembeli. Selanjutnya pembuat barang membuat barang sendiri atau melalui
17
Sa’diyah, Op. Cit., 51

18
Sa’diyah, Op. Cit., 51

10
jasa pihak ketiga dengan spesifikasi yang telah disepakati. Kedua belah pihak
bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah akan dibayar dimuka,
melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang telah ditentukan.

Sama halnya dengan akad jual beli lainnya, istishna’ juga memiliki rukun
dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu Pelaku akad, Objek
akad dan Shighah (ijab qabul) serta syarat istishna’ tercantum dalam pasal 104
s/d pasal 108 kompilasi hukum ekonomi syariah. Serta istishna’ juga memiliki
hikmah, sifat dan landasan syariah. Dengan begitu akad istishna' adalah akad yang
halal dan didasarkan secara syar'i berdasarkan petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan
Al-Ijma' di kalangan muslimin.

B. Saran
Demikian makalah sederhana yang kami buat ini. Terimakasih kepada
para pembaca yang telah menelaah isi makalah ini yang tentunya masih banyak
kekurangannya, disebabkan kurangnya pengetahuan dan bahan rujukan terkait
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan para
pembaca yang dirahmati Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wa


Dzurriyah, 2010, hlm. 221.
Siti Mujiatun, jual beli dalam prespektif islam : salam dan istishna Jurnal riset
akuntansi dan bisnis vol 13 no.2/September 2013.

11
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Kencana, 2012),hlm
124.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet-1 (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2008), hlm 136.
Ibnu Abidin, radd al-mukhtar, sebagaimana dikutip oleh imam Mustofa…ibid, 94
Pasal 20 ayat (10), dikutip dalam mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH,
(Jakarta:kencana 2012).h.124
Imam Mustofa, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Jakarta:raja walipers,
2016.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:Rajawali Pers.2013), hlm 97
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,….,126
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2007), 97
Al-Qur’an al-Karim, (Semarang: PT KARYA TOHA PUTRA, 2005),48.
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2007), 89
Mahmudatus Sa’diyah, FIQH MUAMALAH II: Teori dan Praktik (Jawa Tengah:
UNISNU PRESS,2019), hal 46
Ibid., 49
Sa’diyah, Op. Cit., 51

12

Anda mungkin juga menyukai