AKAD ISTISHNA’
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah Keuangan Syariah
Disusun Oleh :
Istishna 'is a sales contract between the buyer and the maker of the goods
where the goods maker receives the order, then the maker of goods through another
person makes or buys the goods according to the agreed specifications and then sells
them to the final buyer. Both parties agree on the price and payment system in
advance, through installments or suspended until a time in the future. This istishna
contract is a development of the greeting contract in which the istishna contract is
usually applied in sharia banking in the field of construction and manufacturing. The
purpose of this paper is to find out the order-sale transactions with istishna contracts'
and how they are applied in Sharia Banking. The research method used is descriptive
qualitative research by collecting data based on books and or journals.
ABSTAK
A. Pengertian Istishna’
Secara bahasa, kata istishna’ diambil dari kata ) (صنعyang artinya membuat
kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ( اصتصنعistashna’a) yang berarti
meminta dibuatkan sesuatu.1 Istisna ialah pesanan untuk dibuatkan sesuatu menurut
prosedur tertentu dan bahan untuk membuat sesuatu tersebut berasal dari orang yang
menerima pesanan. Misalnya, seseorang memesan kepada orang lain untuk dibuatkan
meja, kursi, sepatu, lemari, dan sebagainya yang seluruh materialnya berasal dari
penerima pesanan.2
Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada awal
akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.3
Secara teknis, istishna’ bisa diartikan akad bersama produsen unruk suatu
pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan dibuat
oleh produsen yang juga menyediakan bahan bakunya, sedangkan jika bahan bakunya
dari pemesan, maka akad itu akan menjadi akad ijarah (sewa), pemesan hanya
menyewa jasa produsen untuk membuat barang.4
Menurut Jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari
bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-
salam.5
Kontrak istishna’ biasanya dipraktikkan pada perbankan dalam proyek
konstruksi, di mana nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatu konstruksi.
1
Mas Jupri, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Asnalitera, 2013), hlm. 147
2
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, Cet I, 2014), hlm.
118
3
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR,
Cet III, 2015) hlm. 136
4
Ibid., hlm. 137
5
Waluyo, Fiqh Muamalat, (Yogyakarta: CV. Gerbang Media Aksara, Cet I, 2014), hlm. 53
Akad ini identik dengan akad salam dalam hal cara memperoleh aset, maka kontrak
istishna’ selesai ketika barang/bangunan itu selesai dibuat.6
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memnuhi
kewajibannya pada kontrak pertama, kontrak ini dikenal sebagai istishna pararel.7
B. Hukum Istishna’
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 282
َ يا أَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُوا ِإذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَي ٍْن ِإلَى أ َ َج ٍل ُم
. ُس ِمى فَ ْكتُب ُْوه
2. Al-Hadis
.من اسلف في شئ ففي كيل معلوم ووزين معلوم الى اجل معلوم
6
Dimyauddin Djuwaini., op.cit. hlm. 137
7
Waluyo., op.cit. hlm. 55
8
Mas Jupri., op.cit. hlm. 148
9
Ibid.,
10
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 170
Hal yang sama juga terjadi di kalangan ulama syafi’iyah. Sebagian Ulama’
Syafi’iyah berpegangan pada kaidah qiyas. Maka, istishna’ tidak diperbolehkan sebab
bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku dalam jual beli, dimana obyeknya
harus jelas. Sementara dalam istishna’ obyek akad belum ada. Sehingga di sini
dimungkinkan munculnya unsur spekulasi. Menurut sebagian mereka, dasar hukum
dari istishna’ adalah adat kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat. Masyarakat
sudah menjadikan istishna’ sebagai salah satu model transaksi mereka, dan akad ini
sudah menjadi satu kebutuhan masyarakat.11
11
Ibid., hlm. 170-171
12
Waluyo., op.cit. hlm. 54
13
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 172
14
Waluyo., op.cit. hlm. 53
d. Pembayaran dalam ba’i istishna’dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e. Setelah akad jual beli pesan mengikat, tidak satupun boleh tawar menawar
kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
f. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pemesanan.
Salah satu syarat yang paling penting pada akad istishna’ adalah pada bahan
mentah (raw material) dari barang pesanan tersebut harus disediakan sendiri oleh
pembuat (shani’). Apabila bahan mentah berasal dari mustashni’, perjanjian ini tidak
bisa disebut sebagai akad istishna’ tetapi menjadi Ijarah. Apabila barang tersebut
sudah jadi, tetapi tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh mustashni’ maka
mustashni’ boleh menolak untuk menerima barang tersebut dan shani’ harus
menggantinya dengan barang yang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh
mustashni’ sebelumnya.15
15
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT. Remaja Rosdaksarya, 2015),
hlm. 40
16
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 173.
4. Dalam akad salam, ra’s al-mal harus diserahkan seluruhnya di waktu terjadinya
transaksi. Sementara dalam akad istishna boleh menyerahkan ra-s al-mal sebagian
atau tidak sama sekali diwaktu terjadinya akad. Dana inilah yang menjadi
perbedaan mendasar antara keduanya.
Agar lebih jelas perbedaan keduana dapat dilihat pada table berikut:
Barang
2
17
Yadi Janwari., op.cit. hlm. 45-46.
Sedangkan apabila istishna paralel, maka berlaku persyaratan paling kurang
sebagai berikut:18
1. Bank sebagai penjual dalam akad istishna dapat membuat akad paralel dengan
pihak lainnya di mana bank bertindak sebagai pembeli.
2. Kewajiban dan hak dalam kedua akad istishna tersebut harus terpisah.
3. Pelaksanaan kewajiban salah satu akad istishna tidak boleh bargantung pada akad
istishna paralel atau sebaliknya,
4. Dalam hal bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna paralel harus
memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna
tidak memenuhi akad istishna.
5. Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara
proporsional.
Pesan Pesan
Nasabah
Nasabah Bank Perjanjian Istishna’
Perjanjian Istishna’ (Produsen)
Jual Jual
18
Ibid. hlm. 45-46.
Artinya, posisi pihak ketiga tidak boleh ikut campur terhadap akad pertama yang
dilakukan antara mustashi dan shani.19
1. Bank islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibanna. “Istishna parallel”
untuk sementara dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggungjawab atas setiap kesalahan, kelalaian
atau pelanggaran kontrak yang berasal dari paralel.
2. Penerima sub kontrak pembuatan pada istishna paralel bertanggung jawab
terhadap bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum
secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama. Bai’ al-istishna kedua
merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidek mempunyai
kaitan hukum sama sekali.
3. Bank sebagai pihak yang siap untuk mengadakan barang terhadap nasabah,
bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang menjadi dasar bahwa bank
boleh memungut keuntungan kalau ada.22
19
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 176.
20
Ibid.
21
Ibid. hlm. 177.
22
Ibid.
G. Fatwa DSN-MUI tentang Istishna’23
1. Fatwa tentang Istishna’
Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual-beli istishna’
memberikan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang pembayaran
Alat yang harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan uang.
b. Ketentuan tentang barang
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakuin sebagai utang.
Hartus dapat dijelaskan spesifikasinya.
Penyerahannya dilakukan kemudian
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesanan memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan.
c. Ketentuan Lain
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai denagn kesepakatan,
hukumnya mengikat.
Semua ketentuan dalam jual-beli salam yang tidak disebutkan diatas
berlaku pula pada jual-beli istishna’.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa tentang Istishna’ Paralel
23
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya.
(Jakarta: Kencana, 2014). Hlm. 258-259
Fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual-beli Istishna’
Paralel memberikan ketentuan sebagai berikut:
b. Ketentuan Umum
Jika LKS melakuakn transaksi istishna’, untuk memenuhi
kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi
dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat istishna’
pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC
(margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak
sesuai dengan prinsip syariah.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’ (Fatwa
DSN nomor 06/DSN-MUI/VI/2000) berlaku pula dalam istishna’
paralel.
c. Ketentuan Lain
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiabnnya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan