Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIQH MUAMALAH KEUANGAN SYARIAH

AKAD ISTISHNA’

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah Keuangan Syariah

Dosen Pengampu : Andi Cahyono, S.H.I., M.E.I

Disusun Oleh :

1. Diah Afifatul Maunah 162111085


2. Puspita Rahmah 162111093
3. Hanif Nur Hidayanto 162111105
HES 5C

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2018
ABSTRACT

Istishna 'is a sales contract between the buyer and the maker of the goods
where the goods maker receives the order, then the maker of goods through another
person makes or buys the goods according to the agreed specifications and then sells
them to the final buyer. Both parties agree on the price and payment system in
advance, through installments or suspended until a time in the future. This istishna
contract is a development of the greeting contract in which the istishna contract is
usually applied in sharia banking in the field of construction and manufacturing. The
purpose of this paper is to find out the order-sale transactions with istishna contracts'
and how they are applied in Sharia Banking. The research method used is descriptive
qualitative research by collecting data based on books and or journals.

Keywords: Istishna’, Sharia Banking.

ABSTAK

Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang


dimana pembuat barang menerima pesanan, lalu pembuat barang melalui orang lain
membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
kemudian menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga
serta sistem pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai
suatu waktu di masa yang akan datang. Akad istishna’ ini merupakan perkembangan
dari akad salam dimana akad istishna’ yang biasanya dalam perbankan syariah
diaplikasikan pada bidang kontruksi dan manufaktur. Tujuan dari makalah ini untuk
mengetahui transaksi jual beli pesanan dengan akad istishna’ serta bagaimana
pengaplikasiannya dalam Perbankan Syariah. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pengumpulan data berdasarkan buku dan
atau jurnal.

Kata kunci : Istishna’, Perbankan Syariah


BAB I
PENDAHULUAN

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan


sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual
beli yang melibatkan dua pelaku yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah
produsen, sedangkan pembeli adalah konsumen. Pada kenyataannya, konsumen
kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan
transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pemesanan.
Jual beli dengan pemesanan terbagi menjadi dua macam yaitu ba’i as-salam
dan ba’i al-istishna’. Ba’i istishna’ merupakan salah satu akad dalam transaksi jual
beli dengan metode pemesanan yang dalam perbankan syariah, jual beli ini
diaplikasikan pada bidang konstruksi dan manufaktur.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai ba’i al-istishhna’ secara lebih
mendalam mengenai pengertian, hukum Istishna’, syarat dan rukun istishna’ serta
perbedaan akad salam dan istishna’ dan praktek isishna’ dalam perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishna’
Secara bahasa, kata istishna’ diambil dari kata )‫ (صنع‬yang artinya membuat
kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ‫( اصتصنع‬istashna’a) yang berarti
meminta dibuatkan sesuatu.1 Istisna ialah pesanan untuk dibuatkan sesuatu menurut
prosedur tertentu dan bahan untuk membuat sesuatu tersebut berasal dari orang yang
menerima pesanan. Misalnya, seseorang memesan kepada orang lain untuk dibuatkan
meja, kursi, sepatu, lemari, dan sebagainya yang seluruh materialnya berasal dari
penerima pesanan.2
Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada awal
akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.3
Secara teknis, istishna’ bisa diartikan akad bersama produsen unruk suatu
pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan dibuat
oleh produsen yang juga menyediakan bahan bakunya, sedangkan jika bahan bakunya
dari pemesan, maka akad itu akan menjadi akad ijarah (sewa), pemesan hanya
menyewa jasa produsen untuk membuat barang.4
Menurut Jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari
bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-
salam.5
Kontrak istishna’ biasanya dipraktikkan pada perbankan dalam proyek
konstruksi, di mana nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatu konstruksi.

1
Mas Jupri, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Asnalitera, 2013), hlm. 147
2
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, Cet I, 2014), hlm.
118
3
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR,
Cet III, 2015) hlm. 136
4
Ibid., hlm. 137
5
Waluyo, Fiqh Muamalat, (Yogyakarta: CV. Gerbang Media Aksara, Cet I, 2014), hlm. 53
Akad ini identik dengan akad salam dalam hal cara memperoleh aset, maka kontrak
istishna’ selesai ketika barang/bangunan itu selesai dibuat.6
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memnuhi
kewajibannya pada kontrak pertama, kontrak ini dikenal sebagai istishna pararel.7

B. Hukum Istishna’
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 282
َ ‫يا أَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُوا ِإذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَي ٍْن ِإلَى أ َ َج ٍل ُم‬
. ُ‫س ِمى فَ ْكتُب ُْوه‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara


tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”8

2. Al-Hadis
.‫من اسلف في شئ ففي كيل معلوم ووزين معلوم الى اجل معلوم‬

“Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan


takaran dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka
waktu yan diketahui.”9

Dalam menentukan hukum akad istishna’ Ulama fiqh berbeda pendapat. Di


kalangan Ulama Hanafi sendiri terdapat dua pendapat, sebagian bahwa berpendapat
bahwa, jika akad ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) kepada jual beli, maka akad
istishna’ dianggap tidak syah, sebab obyek jual belinya belum ada. Hal ini masuk
dalam kategori jual beli ma’dum (jual beli yang obyeknya belum ada) yang dilarang
Rasulullah. Namun sebagian ulama Hanafi melihat bahwa istishna’ didasarkan pada
dalil istihsan (berpaling dari kehendak qiyas, karena ada kemaslahatan yang kuat yang
menjadi alasan pemalingan ini). Maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini
dibolehkan.10

6
Dimyauddin Djuwaini., op.cit. hlm. 137
7
Waluyo., op.cit. hlm. 55
8
Mas Jupri., op.cit. hlm. 148
9
Ibid.,
10
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 170
Hal yang sama juga terjadi di kalangan ulama syafi’iyah. Sebagian Ulama’
Syafi’iyah berpegangan pada kaidah qiyas. Maka, istishna’ tidak diperbolehkan sebab
bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku dalam jual beli, dimana obyeknya
harus jelas. Sementara dalam istishna’ obyek akad belum ada. Sehingga di sini
dimungkinkan munculnya unsur spekulasi. Menurut sebagian mereka, dasar hukum
dari istishna’ adalah adat kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat. Masyarakat
sudah menjadikan istishna’ sebagai salah satu model transaksi mereka, dan akad ini
sudah menjadi satu kebutuhan masyarakat.11

Sedangkan sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al- istishna’


adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli
biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan
dengan pencatuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan
barang tersebut.12

C. RUKUN AKAD ISTISHNA’


Akad Istishna’ dipandang syah apabila memenuhi rukun sebagai berikut:13
1. Shani’ (Produsen/pembuat)
2. Mustashni’ (Pemesan/pembeli)
3. Mashnu’ (Barang yang dipesan)
4. Ra’s al-mal (Harga/modal yang di bayarkan)
5. Shigat Ijab qabul (Ucapan serah terima)

D. SYARAT AKAD ISTISHNA’


Syarat Istisna’ menurut Pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
adalah sebagai berikut:14
a. Ba’i istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang
dipesan.
b. Ba’i istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c. Dalam ba’i istishna’, indifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesanan.

11
Ibid., hlm. 170-171
12
Waluyo., op.cit. hlm. 54
13
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 172
14
Waluyo., op.cit. hlm. 53
d. Pembayaran dalam ba’i istishna’dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e. Setelah akad jual beli pesan mengikat, tidak satupun boleh tawar menawar
kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
f. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pemesanan.

Salah satu syarat yang paling penting pada akad istishna’ adalah pada bahan
mentah (raw material) dari barang pesanan tersebut harus disediakan sendiri oleh
pembuat (shani’). Apabila bahan mentah berasal dari mustashni’, perjanjian ini tidak
bisa disebut sebagai akad istishna’ tetapi menjadi Ijarah. Apabila barang tersebut
sudah jadi, tetapi tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh mustashni’ maka
mustashni’ boleh menolak untuk menerima barang tersebut dan shani’ harus
menggantinya dengan barang yang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh
mustashni’ sebelumnya.15

E. Perbedaan Akad Salam dan Akad Istishna


Jumhur Ulama memandang bahwa akad Istishna merupakan bagian dari akad
salam. Namun demikian akad istishna mempunyai cirri khas tersendiri yang
membedakannya dengan akad salam. Diantaranya adalah:16
1. Barang (obyek) yang dijual dalam akad salam adalah berbentuk “utang” yang
wajib diselesaikan dan obyek itu sejenis barang yang ada contohnya di pasar.
Tetapi dalam istishna barang yang dipesan adalah materinya yang contohnya tidak
ada di pasar dan sekalipun ada tetapi tidak sama. Namun demikian jumhur ulama
tidak membedakan obyek istishna ini.
2. Dalam salam, jumhur Ulama mensyaratkan harus ada jangka waktu antara akad
dan penerimaan barang yang dipesan, kecuali menurut mazhab Syafi’i. Sementara
dalam istishna tidak boleh ada jangka waktu.
3. Dalam salam, akad bersifat mengikat, masing-masing pihak tidak boleh
membatalkan akad sapihak. Sedangkan dalam akad istishna akat tidak bersifat
mengikat, masing-masing pihak yang berakad boleh membatalkanya secara
sepihak (Aqidain memiliki hak khiyar).

15
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT. Remaja Rosdaksarya, 2015),
hlm. 40
16
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 173.
4. Dalam akad salam, ra’s al-mal harus diserahkan seluruhnya di waktu terjadinya
transaksi. Sementara dalam akad istishna boleh menyerahkan ra-s al-mal sebagian
atau tidak sama sekali diwaktu terjadinya akad. Dana inilah yang menjadi
perbedaan mendasar antara keduanya.
Agar lebih jelas perbedaan keduana dapat dilihat pada table berikut:

SUBYEK SALAM ISTISHNA KETERANGAN


Pokok Kontrak Muslam fiih Mashnu Barang ditangguhkan
dengan spesifikasi.
Harga Dibayar saat kontrak Bisa saat kontrak, Cara penyelesaian
bisa diangsur, pembayaran
bisa kemudian hari merupakan
perbedaan utama
antara salam dan
istishna.
Obyek Kontrak Barang dengan Barang dengan Biasanya dalam akad
spesifikasi yang ketentuan yang salam, jenis barang
banyak ditemukan di jarang ditemukan di banyak dijumpai di
pasaran pasaran pasaran. Sedangkan
dalam istishna bentuk
dan spesifikasinya
tertentu sesuai
dengan keinginan
pemesan, meskipun
tidak selalu
demikian.
Sifat Kontrak Mengikat secara asli Mengikat secara Salam mengikat
(thabbi’i) ikutan (tabi’i) semua pihak sejak
semula, sedangkan
istishna menjadi
pengikat untuk
melindungi produsen
sehingga tidak
ditinggalkan begitu
saja oleh konsumen
secara tidak
bertanggung jawab.
Kontrak Paralel Salam paralel Istishna paralel Baik salam paralel
maupun istishna
parallel sah asalkan
kedua kontrak secara
hukum adalah
terpisah.

F. Praktek Istishna dalam Perbankan Syari’ah


Istishna di perbankkan syariah dapat diimplementasikan dalam dua bentuk,
yakni dalam bentuk istishna biasa antara nasabah dan bank dan bentuk istishna
paralel. Dalam Istishna bentuk biasa yakni berada dalam ranah penyaluran dana dari
bank syariah. Implementasikan istishna di perbankan syariah berlaku persyaratan
paling kurang sebgai berikut:17
1. Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka
waktu, tempat, dan harga yang disepakati.
2. Peambayaran oleh nasabah kepada bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan
utang nasabah kepada bank.
3. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai kesepakatan.
4. Pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada bank dilakukan secara bertahap
atau sesuai kesepakatan.
Dalam hal istishna biasa antara nasabah maka mekanisme operasionalnyadapat

dibuat bagan sebagai berikut:


1
Pesan

Nasabah Perjanjian Istishna’ Bank

Barang
2

17
Yadi Janwari., op.cit. hlm. 45-46.
Sedangkan apabila istishna paralel, maka berlaku persyaratan paling kurang
sebagai berikut:18

1. Bank sebagai penjual dalam akad istishna dapat membuat akad paralel dengan
pihak lainnya di mana bank bertindak sebagai pembeli.
2. Kewajiban dan hak dalam kedua akad istishna tersebut harus terpisah.
3. Pelaksanaan kewajiban salah satu akad istishna tidak boleh bargantung pada akad
istishna paralel atau sebaliknya,
4. Dalam hal bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna paralel harus
memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna
tidak memenuhi akad istishna.
5. Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara
proporsional.

Sedangkan apabila istishna paralel maka mekanisme operasionalnya dapat


dibuat bagan sebagai berikut:

Pesan Pesan

Nasabah
Nasabah Bank Perjanjian Istishna’
Perjanjian Istishna’ (Produsen)

Jual Jual

Ialah akad istishna dimana mustashni memberikan keleluasaan kepada shani


untuk mencari sub kontraktor dalam melaksanakan kewajibannya. Kemudian shani
melakukan kontrak kedua dengan pihak lain demi memenuhi kewajibannya terhada
mustashni tersebit. Maka, disini muncul tiga pihak yang sedang melakukan transaksi.
Akad istishna seperti ini merupakan pengembangan konsep istishna dan para ulama
fiqh modern menganggapnya syah selama akad keduanya terpisah secara hukum.

18
Ibid. hlm. 45-46.
Artinya, posisi pihak ketiga tidak boleh ikut campur terhadap akad pertama yang
dilakukan antara mustashi dan shani.19

Contoh kasus dalam Lembaga Perbankan Syari’ah (LPS): Sebuah yayasan


(pihak I) memerlukan seperangkat alat-alat kantor (mebeler) seharga Rp 50 Juta. Ia
mendatangi LPS (pihak II) untuk mewujudkan rencana tersebut. Kemudian LPS
mengontrakkan pesanan pembuatan alat-alat kantor tersebut kepada perusahaan
mebeler (pihak III) dengan harga yang telah disepakati, dan mereka sanggup untuk
mengerjakan dengan spesifikasi yang ditetapkan pemesan pertama.20

Beberapa konskuensi jika sebuah bank melakukan kontrak istishna paralel


diantaranya:21

1. Bank islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibanna. “Istishna parallel”
untuk sementara dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggungjawab atas setiap kesalahan, kelalaian
atau pelanggaran kontrak yang berasal dari paralel.
2. Penerima sub kontrak pembuatan pada istishna paralel bertanggung jawab
terhadap bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum
secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama. Bai’ al-istishna kedua
merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidek mempunyai
kaitan hukum sama sekali.
3. Bank sebagai pihak yang siap untuk mengadakan barang terhadap nasabah,
bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang menjadi dasar bahwa bank
boleh memungut keuntungan kalau ada.22

19
M. Yazid Afandi., op.cit. hlm. 176.
20
Ibid.
21
Ibid. hlm. 177.
22
Ibid.
G. Fatwa DSN-MUI tentang Istishna’23
1. Fatwa tentang Istishna’
Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual-beli istishna’
memberikan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang pembayaran
 Alat yang harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
 Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
 Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan uang.
b. Ketentuan tentang barang
 Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakuin sebagai utang.
 Hartus dapat dijelaskan spesifikasinya.
 Penyerahannya dilakukan kemudian
 Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
 Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
 Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
 Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesanan memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan.
c. Ketentuan Lain
 Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai denagn kesepakatan,
hukumnya mengikat.
 Semua ketentuan dalam jual-beli salam yang tidak disebutkan diatas
berlaku pula pada jual-beli istishna’.
 Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa tentang Istishna’ Paralel

23
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya.
(Jakarta: Kencana, 2014). Hlm. 258-259
Fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual-beli Istishna’
Paralel memberikan ketentuan sebagai berikut:
b. Ketentuan Umum
 Jika LKS melakuakn transaksi istishna’, untuk memenuhi
kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi
dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat istishna’
pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
 LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC
(margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak
sesuai dengan prinsip syariah.
 Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’ (Fatwa
DSN nomor 06/DSN-MUI/VI/2000) berlaku pula dalam istishna’
paralel.
c. Ketentuan Lain
 Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiabnnya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
 Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Istisna ialah pesanan untuk dibuatkan sesuatu menurut prosedur tertentu


dan bahan untuk membuat sesuatu tersebut berasal dari orang yang menerima
pesanan. Misalnya, seseorang memesan kepada orang lain untuk dibuatkan meja,
kursi, sepatu, lemari, dan sebagainya yang seluruh materialnya berasal dari
penerima pesanan. Kontrak istishna’ biasanya dipraktikkan pada perbankan dalam
proyek konstruksi, di mana nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatu
konstruksi. Akad ini identik dengan akad salam dalam hal cara memperoleh aset,
maka kontrak istishna’ selesai ketika barang atau bangunan itu selesai dibuat.

Istishna di perbankkan syariah dapat diimplementasikan dalam dua bentuk,


yakni dalam bentuk istishna biasa antara nasabah dan bank dan bentuk istishna
paralel. Dalam Istishna bentuk biasa yakni berada dalam ranah penyaluran dana
dari bank syariah. Sedangkan apabila istishna paralel, ialah akad istishna dimana
mustashni memberikan keleluasaan kepada shani untuk mencari sub kontraktor
dalam melaksanakan kewajibannya. Kemudian shani melakukan kontrak kedua
dengan pihak lain demi memenuhi kewajibannya terhada mustashni tersebit.
Maka, disini muncul tiga pihak yang sedang melakukan transaksi.
DAFTAR PUSTAKA

Masjupri, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Asnalitera, 2013.


Khosyi’ah, Siah, Fiqh Muamalah Perbandingan, Bandung: Pustaka Setia, Cet I,
2014.
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta : PUSTAKA
PELAJAR, Cet III, 2015.
Waluyo, Fiqh Muamalat, Yogyakarta: CV. Gerbang Media Aksara, Cet I, 2014.

Afandi, M. Yazid, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga


Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009

Janwari, Yadi, Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: PT. Remaja Rosdaksarya,


2015.

Sjahdeini, S. Remy, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya.


Jakarta: Kencana, 2014.

Anda mungkin juga menyukai