Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ISTISHNA

DISUSUN OLEH :

MHD FADLI
2001280062

T.A 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah,
sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah.
Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai
jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen
juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak
intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin
banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini
disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen
lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu
dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.  Secara sosiologis barang
yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu
dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu
pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu
solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum
tersedia.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian istishna’
2. Apa saja dasar hukum istisna
3. Hak dan kewajiban para pihak istishna’
4. Ilustrasi dialog
5.  Isi kontrak istishna’
C. TUJUAN
Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian istishna’
2. Mengetahui dasar hukum istishna’
3. Mengetahui hak dan kewajiban para pihak istishna’
4. Mengerti bagaimana dialog beristishna’
5. Mengetahui isi kontrak istishna’
KATA PENGANTAR
                                                                                         
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan
kepada Allah SWT, yamg telah membentangkan jalan keselamatan buat
insan dan menerangi mereka dengan pelita yang terang benderang.
Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa
petunjuk buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula,
ucapan keselamatan atas keluarga, sahabat dan pengikut beliau sampai
hari kiamat.

Alhamdulillah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , saya menyadari


bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna
itu saya sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

  
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (‫ناع‬33333‫)استص‬ adalah bentuk ism mashdar dari kata
dasaristashna'a-yastashni'u (‫نع‬33‫ يستص‬- ‫نع‬33‫)اتص‬. Artinya meminta orang lain
untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1][1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab
Hanafi, istishna' adalah (‫ه العمل‬33‫رط في‬33‫ة ش‬33‫بيع في الذم‬33‫د على م‬33‫)عق‬. Artinya,sebuah
akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian
dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga
sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah
terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2][2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali
menyebutkan (‫لم‬33‫ير الس‬33‫)بيع سلعة ليست عنده على وجه غ‬. Maknanya adalah jual-beli
barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam.
Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan
pembuatan (‫)بيع بالصنعة‬.[3][3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad
istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (
‫ناعات‬33‫ير من الص‬33‫لم للغ‬33‫يء المس‬33‫)الش‬, yaitu suatu barang yang diserahkan kepada
orang lain dengan cara membuatnya. [4][4]
Jadi secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang
terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu
barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan
harga yang disepakati antara keduanya.
B. PERBEDAAN PENDAPAT TERHADAP ISTISHNA'
Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam
permasalahan ini ke dalam beberapa pendapat:

Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam
syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali
dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih
4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam
7/114 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185). Ulama' mazhab
Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin
Hizam radhiallahu 'anhu:
َ ‫الَ َتبِ ْع َما لَ ْي‬
‫س عِ ْندَ َك‬
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul
Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang
yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan
persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh
larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur
Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa
jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang
disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan
demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan
akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak
dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab
Maliki & Syafi'i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al
Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut 
Thalibin oleh An Nawawi 4/26.) Ulama' yang berfatwa dengan pendapat
kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.

Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat


disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan
baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.

Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka


yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai
persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang
berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.

Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah
pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan
ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi
12/138, Fathul Qadiroleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh
Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al
Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal
448)

C. RUKUN DAN SYARAT AKAD ISTISHNA’


Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna’ :
1. Transaktor
Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan
denganmustashni' (‫نع‬33‫ )المستص‬sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua
adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan
barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (‫)الصانع‬.
Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil
baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih yang optimal seperti tidak
gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan
transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan
dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar
penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan
jumlah yang telah disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan
jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut
tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna’ dan melaksanakan
semua ketentuan dalam kesepakatan istishna’. Akan tetapi, sekiranya ada
barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
2. Objek Istishna’
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (‫ )المحل‬adalah
rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad
ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan.
Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[5][10]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya
bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan
pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang
kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[6][11]
                        Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a.       Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
c.       Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan
d.      Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
e.       Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan
f.       Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
g.      Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan,
bukan barang missal.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu
untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak
yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan
haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi
yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik
yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk
menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang istishna’.
Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi[7][12] :
a.       Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
b.      Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
  Berakhirnya akad istishna
Kontrak istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1.      Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah piahk,
2.      Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
3.      Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal
untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan
masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

D. DASAR HUKUM ISTISHNA’


Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i
di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
 Al-Quran
‫ َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْال َبي َْع َو َحرَّ َم الرِّ با‬      
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al
Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa
hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata
diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
 As-Sunnah
َ ‫س رضي هللا عنه أَنَّ َن ِبىَّ هَّللا ِ ص َكا َنأ َ َرا َد أَنْ َي ْك ُت‬
َ ُ‫ب إِلَى ْال َع َج ِم َفقِي َل لَ ُه إِنَّ ْال َع َج َم الَ َي ْق َبل‬
‫ ِه‬3ْ‫ا َعلَي‬3ً‫ون إِالَّ ِك َتاب‬ ٍ ‫ َع ْنأ َ َن‬      
‫ رواه مسلم‬.ِ‫ظ ُر إِلَى َبيَاضِ ِه فِى َي ِده‬ ُ ‫ َكأ َ ِّنى أَ ْن‬:‫ َقا َل‬.ٍ‫ضة‬
َّ ِ‫ َفاصْ َط َن َع َخا َتمًا ِم ْنف‬.‫َخا ِت ٌم‬
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak
sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas
menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau
putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah
akad yang dibolehkan. [8][5]
 Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam
secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu
kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [9][6]

 Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang
ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal
selain ibadah:
‫ األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬      
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan akan keharamannya.
 Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan
bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan
demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk
memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka
masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang
tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar
tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[10][7]

E. HAKEKAT AKAD ISTISHNA’


Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad
istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang
yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau
gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah).[11][8] Sebagian
lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli.
Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh
barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang
yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.[12][9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad
istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya
melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan
kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan
syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang
diingikan oleh pemesan.

F. HAK dan KEWAJIBAN PIHAK ISTISHNA’


1.      Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL wajib dan dengan ini menyetujui
untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua dalam hal ini PEMBELI
atas segala kerugian apabila terdapat cacat pada barang pesanan
sebagai kelalaian pihak pertama.
2.      Pihak kedua dalam hal ini PEMBELI wajib dan menyetujui untuk
melakukan pembayaran cicilan kepada pihak pertama dalam hal ini
PENJUAL untuk membayar cicilan tepat waktu dan besaran cicilan,
misalnya sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua bulan.
3.      Pihak Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual
atas:
1.    Jumlah yang telah di bayarkan dan
2.   Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan
tepatwaktu.

G. DIALOG BERISTISHNA’
Dialog beristishna’ sama halnya seperti akad istishna’, akad
istishna adalah akad jual beli dimana seorang pembeli memesan suatu
barang kepada prosuden yang juga bertindak sebagai penjual, dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati, dan harga barang tidak
dapat berubah selama jangka waktu akad dengan cara pembayarannya
dapet berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau dapat ditangguhkan
dalam jangka waktu tertentu.
Begitu akad disepakati, maka akan mengikat para pihak yang bersepakat
dan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, kecualimemenuhi kondisi:
1.      Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, atau
2.      Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

H. ISI KONTRAK ISTISHNA’


CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA – MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : Muhammad Idris
Umur : 23 th
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Ahmad Yani Barat
Nomer KTP / SIM : 3504016207930009
Telepon : 082 345 678 001
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya
disebut PIHAK PERTAMA
2. Nama : Nur Aini
Umur : 21 th
Pekerjaan : Penyanyi
Alamat : Jalan Panglima Sudirman
Nomer KTP / SIM : 3754016207930049
 Telepon : 087 745 678 021
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut +
PIHAK PERTAMA telah setuju untuk menyewakan kepada PIHAK
KEDUA tanah berikut bangunan berupa rumah toko (ruko) berlantai [( 2 ) (
dua )] yang berdiri di atasnya yang terletak di ( Jalan Kh.Wakhid Hasyim )
dengan luas tanah [( 600 ) ( enam ratus)] meter persegi dengan sertifikat
hak milik Nomer ( 2.341.678.0045 ), gambar situasi Nomer ( 456.987 )
tanggal ( 22 oktober 2013 ).
Selanjutnya kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan
perjanjian yang tertulis dalam 15 (lima belas) pasal, sebagai berikut:

Pasal Pertama
Perjanjian antar kedua belah pihak ini berlaku sah untuk jangka waktu
[( ------ ) ( ---jumlah dalam huruf --- )] tahun, terhitung sejak tanggal
------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) sampai dengan ( ------ tanggal,
bulan, dan tahun ------ ) dimana PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA sepakat untuk menentukan harga kontrak atas ruko berikut tanah
pekarangannya tersebut di atas dengan nilai harga [(Rp. ------------,00)
(------ jumlah uang dalam huruf ------ )] untuk jangka waktu [( ------ )
( --- jumlah dalam huruf --- )] tahun.
Pasal Dua
PIHAK KEDUA telah memberikan uang muka atau DP (Down Payment)
sebagai tanda jadi sewa sebesar [(------ ) % ( --- jumlah dalam huruf ---)]
persen atau sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam
huruf ------ )] pada hari ( ------------ ) tanggal ( --- tanggal, bulan, dan
tahun --- ) dan sisa pembayaran sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah
uang dalam huruf ------ )] akan dibayarkan pada waktu penandatanganan
Surat Perjanjian ini.

Pasal Tiga
1. PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah bangunan ruko berikut
pekarangannya di ( --- alamat lengkap ruko --- ) menjamin bahwa tanah
dan bangunan ruko berikut semua fasilitas yang terdapat di dalamnya
adalah hak milik sahnya dan bebas dari semua tuntutan hukum dan
persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK KEDUA atas
pemakaiannya dalam jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini.
2. Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK PERTAMA dalam
memenuhi kewajibannya tersebut sepenuhnya menjadi tanggung
jawab PIHAK PERTAMA.

Pasal Empat
Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal satu Surat
Perjanjian ini berakhir, PIHAK PERTAMA tidak dibenarkan
meminta PIHAK KEDUA untuk mengakhiri jangka waktu kontrak dan
menyerahkan kembali rumah tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali
telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal Lima
Selama waktu waktu berlakunya Surat Perjanjian ini, PIHAK KEDUA sama
sekali tidak dibenarkan untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan
kembali kepadaPIHAK KETIGA dengan dalih atau alasan apa pun juga
tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA.

Pasal Enam
1. PIHAK PERTAMA bertanggung jawab seluruhnya akibat dari kerusakan
maupun kerugian yang disebabkan oleh kesalahan struktur dari bangunan
ruko tersebut.
Yang dimaksudkan dengan struktur adalah sistim konstruksi bangunan
yang menunjang berdirinya bangunan, seperti: pondasi, balok, kolom,
lantai, dan dinding.
2. PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan mengubah struktur dan instalasi
dari unit ruko tersebut tanpa ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas kerusakan struktur sebagai
akibat pemakaian.
4. PIHAK KEDUA tidak bertanggung jawab atau dibebaskan dari segala
ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA yang terjadi akibat
kerusakan pada bangunan ruko yang diakibatkan oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah hal-hal yang disebabkan
oleh faktor extern yang tidak dapat diatasi maupun dihindari, seperti:
banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan, kebakaran, huru-
hara, kerusuhan, pemberontakan, dan perang.

Pasal Tujuh
Dalam perjanjian sewa-menyewa ini sudah termasuk hak bagi PIHAK
KEDUAuntuk menggunakan semua fasilitas yang telah terpasang
sebelumnya pada bangunan ruko yang disewa.
Fasilitas-fasilitas tersebut adalah:
1. Listrik,
2. Saluran nomor telepon,
3. Saluran air dari PDAM.
Pasal Delapan
PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas berlakunya peraturan-peraturan
Pemerintah yang menyangkut perihal pelaksanaan perjanjian ini,
misalnya: Pajak-pajak, Iuran Retribusi Daerah (IREDA), dan lain-lainnya.

Pasal Sembilan
PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
ketenteraman lingkungan.

Pasal Sepuluh
Setelah berakhir jangka waktu kontrak sesuai dengan pasal satu Surat
Perjanjian ini,PIHAK KEDUA diharuskan segera mengosongkan rumah
dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK PERTAMA serta telah
memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal tujuh dan delapan dari
Surat Perjanjian ini.

Pasal Sebelas
Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bermaksud melanjutkan
perjanjian kontrak, maka masing-masing pihak harus memberitahukan
terlebih dahulu minimal [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] bulan
sebelum jangka waktu kontrak berakhir.

Pasal Dua Belas


PIHAK KEDUA mendapat prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk
memperpanjang masa penyewaan berikutnya sebelum PIHAK
PERTAMAmenawarkan kepada calon-calon penyewa lainnya.
Pasal tiga Belas

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk menempuh jalan


musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau perselisihan
yang mungkin timbul sehubungan dengan Surat Perjanjian ini. Apabila
jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan
penyelesaian yang melegakan kedua belah pihak, kedua belah pihak
bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili pada
( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ).

Pasal Empat Belas


Surat Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan dasar akal
sehat dan pikiran sehat tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari
pihak-pihak manapun.

Pasal Lima Belas


Surat Perjanjian ini ditandatangani di ( --- tempat --- ) pada hari
( --------------- ) ( ---tanggal, bulan, dan tahun ---- ) dan berlaku mulai
tanggal tersebut sampai dengan tanggal ( --- tanggal, bulan, dan tahun ----
).
( --- tempat, tanggal, bulan, dan tahun ---)
PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA
[ ------------------------- ] [ ------------------------ ]
SAKSI-SAKSI:
[ --------------------------- ] [ --------------------------- ]

I. KONSEKUENSI AKAD ISTISHNA'


Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan
akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian,
sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri
akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada
orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan
pesanannya.

Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda


pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai
salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo
penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai
dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan
diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual
hasil produksinya kepada orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm
7/116-117 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//186).
Menurut hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat,
karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila
demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat


Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih
oleh Al Albany)

J. ISTISHNA’ PARAREL
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli
mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak
istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama.
Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat
di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor
terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad
kedua di lakukan setelah akad pertama sah. Ada beberapa konsekuensi
saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai
berikut.
1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan
kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara
harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak pararel.
2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel
bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia
tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau
syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua
kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau
mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.

K. PERBEDAAN ANTARA SALAM DAN ISTISHNA’


Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam,
yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’
al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara
salam dengan istisna’, yaitu :

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad


berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat
akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,
sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia
mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat
barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli
suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam
istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban
pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad
tersebut berubah menjadi ijarah.

L. APLIKASI ISTISHNA’ DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi


dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah
satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan
pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah
konsumen konsumen.

Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang


belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli
dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual
beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.

Contoh Kasus

CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan


penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak
sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan
kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan
adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan.
Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini
Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang
Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau
keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari
hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV.
Selayang Pandang dengan harga yang lebuh murah, sehingga dapat di
jual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah pula. Katakanlah
misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang,
sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan
keseluruhan adalah:

Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697

M. TABEL PERBEDAAN ISTISHNA DENGAN SALAM


SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN &
KETERANGAN
Pokok Muslam Fiih Mashnu’ Barang Di
Kontrak Tangguhkan
Dengan
Spesifikasi
Harga Dibayar Saat Bisa Saat Cara
Kontrak Kontrak, Bias Penyelesaian
Di Angsur, Pembayaran
Bias Di Merupakan
Kemudian Hari Perbedaan
Utama Antara
Salam Dan
Istishna
Sifat Kontrak Mengikat Mengikat Salam Mengikat
Secara Asli Secara Ikutan Semua Pihak
Sejak Semula,
Sedangkan
Istishna Menjadi
Pengikat Untuk
Melindungi
Produsen
Sehingga Tidak
Ditinggalkan
Begitu Saja Oleh
Konsumen
Secara Tidak
Bertanggung
Jawab
Kontrak Salam Pararel Istishna’ Baik Salam
Pararel Pararel Pararel Maupun
Istishna Pararel
Sah Asalkan
Kedua Kontrak
Secara Hokum
Terpisah

N. JENIS-JENIS PEMBIAYAAN ISTISHNA


1) BNI iB kelayakan usaha.
2) BNI iB usaha kecil.
3) BNI iB wirausaha.
4) BNI iB griya indent.

O. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMBIAYAAN ISTISHNA


1. Maksimum Pembiayaan
Maksimum pembiayaan sebesar 80% dari harga barang dan self
fnancing disesuaikan dengan jenis pembiayaan masing-masing.
2. Jangka Waktu
1) Jangka waktu pembiayaan harus dibedakan antara jangka waktu
pada saat masa pembuatan atau pemesanan atau pembangunan dengan
jangka waktu pada saat penyerahan barangsampai dengan jangka waktu
berakhirnya akad yang disesuaikan dengan jenis pembiayaan masing-
masing.
2) Jangka waktu masa pembuatan atau pemesanan atau
pembangunan disesuaikan dengan kondisi atau jenis barang yang
dipesan yaitu maksimal 2 tahun. Namun untuk BNI griya indent maksimal
1 tahun.
3. Penetapan Angsuran
Penetapan angsuran pembiayaan istishna ditentukan oleh jangka
waktu dan margin saat pembuatan atau pemesanan atau pembangunan
serta nilai tunai dan margin saat penyerahan barang serta jangka waktu
pada saat penyerahan barang sampai dengan jangka waktu berakhirnya
akad istishna.
Contoh:
Developer membangun rumah senila Rp. 500.000.000,- sesuai
dengan pesanan dan spesifikasi teknis khusus. Nasabah tidak mempunyai
kemampuan membayar sekaligus, namun nasabah sanggup membayar
uang muka sebesar 20% dan sisanya secara angsuran sampai jangka
waktu 10 tahun depan. Dengan tarif istishna 9% flat pertahun. Untuk
membangun rumah diperlukan waktu 12 bulan. Maka:
Harga rumah Rp. 500.000.000,-
Uang muka Rp. 100.000.000,-
Pembiayaan yang diajukan Rp. 400.000.000,-
Margin selama masa pembuatan-
berdasarkan perhitungan manual anuitas Rp. 56.787.067,-
nilai tunai saat penyerahan Rp. 456.787.067,-
nilai akad 10 tahun
(9% x 10 thn x 400.000.000) Rp. 760.000.000,-
Angsuran nasabah bulan ke-1 sampai ke-12 Rp. 6.333.333,-
Angsuran nasabah bulan ke-13 samapi ke-120 Rp. 6.333.333,-
4. Margin Dan Pengakuan Pendapatan
Mengacu kepada tarif margin minimum flat yang diterbitkan KKAS
sesuai jenis pembiayaan masing-masing dan tidak dapat berubah selama
jangka waktu akad dengan metode pengakuan pendapatan berdasarkan
margin efektif anuitas.

Contoh perhitungan margin


Data
1 Pokok 400.000. Rp
000
2 Jangka 120 Bulan
waktu
3 Margin 9% Pa
flat
4 Margin 14,5079 Pa (ctm table
efektif % konversi)

5. Agunan Pembiayaan
Mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-masing
barang yang di pesan nasabah sebagai agunan pokok, namun apabila
diperlukan dengan pertimbangan resiko selama masa pembangunan, nilai
agunan harus mengcover fasilitas yang dicairkan. Dan apabila tidak
mencukupi bank bank dapat meminta tambahan agunan. Pengikatan
agunan agar berpedoman kepada buku pedoman pembiayaan kecil
syariah.
6. Asuransi
Asuransi kerugian pada pembiayaan produktif ditutup asuransi
kerugian pada perusahaan asuransi syariah yang ditunjuk dan masuk
dalam perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh DRK dengan beban
nasabah mengacu kepada ketentuan yang berlaku pada masing-masing
jenis pembiayaan.
Untuk pembiyaan konsumtif nasabah ditutup asuransi jiwa pada
perusahaan asuransi yang ditunjuk dan masuk dalam daftar perusahaan
rekanan BNI yang dikelola oleh DRK dan premi menjadi beban nasabah.
Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo (PSJT)
Apabila nasabah akan melunaskan pembiayaan sebelum jatuh
tempo maka perhitungan total kewajiban yang harus dibayar nasabah
mengacu kepada ketentuan mengenai PPTM dan tidak diperjanjikan di
dalam akad.
Lain-Lain
Kebajikan pembiayaan yang ada mengacu kepada ketentuan jenis
pembiayaan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Yaya, Rizal dan Ahim Abrurahman. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah
Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. Kampus Syariah
Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi


Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek.


Jakarta: Gema Insani

http://ramayamakmur.files.wordpress.com/2010/01/pengelolaan-modal-yg-
di-syariatkan.pdf
http://etd.eprints.ums.ac.id/954/1/I000050027.pdf
http://harisdianto.files.wordpress.com/2010/02/muamalat.doc
http://www.slideshare.net/lukmanul/salam-istishna-dan-murabahah

Anda mungkin juga menyukai