Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat
dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan
produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga
memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga
lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh
nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu
dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.  Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah
banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak
membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian istishna’
2.      Apa saja dasar hukum istisna
3.      Hak dan kewajiban para pihak istishna’
4.      Ilustrasi dialog
5.      Isi kontrak istishna’

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian istishna’
2.      Mengetahui dasar hukum istishna’
3.      Mengetahui hak dan kewajiban para pihak istishna’
4.      Mengerti bagaimana dialog beristishna’
5.      Mengetahui isi kontrak istishna’
KATA PENGANTAR
                                                                                         

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin... puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yamg telah
membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita yang terang
benderang. Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk buat
kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula, ucapan keselamatan atas keluarga,
sahabat dan pengikut beliau sampai hari kiamat.

Alhamdulillah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan , saya menyadari bahwa makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karna itu saya sangat berterima kasih apabila ada
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (‫ )استصناع‬adalah bentuk ism mashdar dari kata dasaristashna'a-yastashni'u (‫اتصنع‬
‫نع‬99999‫ يستص‬-). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya.
Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (‫عقد‬
‫)على مبيع في الذمة شرط فيه العمل‬. Artinya,sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu
menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2][2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (‫بيع سلعة‬
‫لم‬99‫ير الس‬99‫ه غ‬9‫)ليست عنده على وج‬. Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya
yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli
dengan pembuatan (‫)بيع بالصنعة‬.[3][3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan
akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (‫ناعات‬99‫)الشيء المسلم للغير من الص‬, yaitu suatu
barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4][4]
Jadi secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan
sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar
pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang
disepakati antara keduanya.

B. PERBEDAAN PENDAPAT TERHADAP ISTISHNA'


Ulama' fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam
beberapa pendapat:

Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam.
Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab
Hanafi. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh
Ibnul Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185). Ulama' mazhab Hambali
melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:
َ‫س ِع ْندَك‬
َ ‫الَ تَبِ ْع َما لَ ْي‬
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519
dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki
kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini
tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur
Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia
mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam
7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh
dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi
persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam
mazhab Maliki & Syafi'i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al
Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut  Thalibin oleh An
Nawawi 4/26.) Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil
yang berkaitan dengan akad salam.

Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila
pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus
dipenuhi.

Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah
jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi,
diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.

Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan
ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al
Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadiroleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur
Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah
wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448)

C. RUKUN DAN SYARAT AKAD ISTISHNA’

Skema Akad
Dalam pembiayaan istishna, bnak bertindak sebagai penerima pesanan, juga sebagai pemesan
barang yang di inginkan oleh nasabah.
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :

Keterangan :
1.    Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam pemesanan barang telah di
jelaskan spesifikasinya, sehingga bank akan menyediakan barang sesuai dengan pesanan
nasabah.
2.    Setelah menerima pesanan nasabah, maka pihak bank akan segera memesan barang kepada
pembuat / produsen. Produsen  akan membuat barang sesuai pesanan bank.
3.    Bank menjual barang kepada pembeli / pemesan dengan harga sesuai dengan kesepakatan.
4.    Setelah barang selesai di buat, maka akan di serahkan oleh produsen kepada nasabah atas
perintah pihak bank.
B.    Skema istishna bila produsen di pilih nasabah

 
Keterangan :
1.    Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank mewakilkan nasabah untuk
memesan kepada produsen.
2.    Bank  menjual kepada pembeli/ nasabah
3.    Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan yang telah di perjanjikan
antara pihak bank dan pembeli  atau nasabah.

Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna’ :


1.      Transaktor
Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan denganmustashni' (‫ )المستصنع‬sebagai
pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau
pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (‫)الصانع‬.
Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan memiliki
kemampuan untuk memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain
yang sejenis. Adapun dengan transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan
pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut
tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli
untuk menerima barang istishna’ dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan
istishna’. Akan tetapi, sekiranya ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai
dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
2.      Objek Istishna’
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (‫ )المحل‬adalah rukun yang kedua
dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau
barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab
Al-Hanafi.[5][10]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang,
namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai
pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[6][11]
                        Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a.       Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
c.       Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
d.      Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e.       Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f.       Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
g.      Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang missal.
3.      Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan
qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban
dan haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara),
tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan
keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang
istishna’. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi[7][12] :
a.       Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
b.      Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.
  Berakhirnya akad istishna
Kontrak istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1.      Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah piahk,
2.      Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
3.      Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah
dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut
pembatalannya.

D.     DASAR HUKUM ISTISHNA’


Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
 Al-Quran
‫ َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّبا‬      
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
 As-Sunnah
ْ َ‫ ف‬.‫ب إِلَى ْال َع َج ِم فَقِي َل لَهُ إِ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَلُونَ إِالَّ ِكتَابًا َعلَ ْي ِه خَاتِ ٌم‬
َ 9‫اص‬
‫ا‬99‫طنَ َع خَاتَ ًم‬ َ ُ‫ى هَّللا ِ ص َكانَأ َ َرا َد أَ ْن يَ ْكت‬
َّ ِ‫س رضي هللا عنه أَ َّن نَب‬ ٍ َ‫ َع ْنأَن‬      
‫ رواه مسلم‬.‫ض ِه فِى يَ ِد ِه‬ ِ ‫ َكأَنِّى أَ ْنظُ ُر إِلَى بَيَا‬:‫قَا َل‬.‫ض ٍة‬
َّ ِ‫ِم ْنف‬
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu
dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas
menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau."
(HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan. [8][5]
 Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah
bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan
telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang
mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [9][6]

 Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam
telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬      
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.
 Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia
inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia
merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai
banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan
dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[10][7]

 E. HAKEKAT AKAD ISTISHNA’


Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian
menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang
yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah).[11][8] Sebagian lainnya
menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna',
akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan
memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.[12][9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1
yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu,
pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan
syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
F.    HAK dan KEWAJIBAN PIHAK ISTISHNA’
1.      Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL wajib dan dengan ini menyetujui untuk memberikan
ganti rugi kepada pihak kedua dalam hal ini PEMBELI atas segala kerugian apabila terdapat
cacat pada barang pesanan sebagai kelalaian pihak pertama.
2.      Pihak kedua dalam hal ini PEMBELI wajib dan menyetujui untuk melakukan pembayaran
cicilan kepada pihak pertama dalam hal ini PENJUAL untuk membayar cicilan tepat waktu dan
besaran cicilan, misalnya sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua bulan.
3.      Pihak Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:
1.    Jumlah yang telah di bayarkan dan
2.   Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepatwaktu.

G.    DIALOG BERISTISHNA’
Dialog beristishna’ sama halnya seperti akad istishna’, akad istishna adalah akad jual beli
dimana seorang pembeli memesan suatu barang kepada prosuden yang juga bertindak sebagai
penjual, dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati, dan harga barang tidak dapat
berubah selama jangka waktu akad dengan cara pembayarannya dapet berupa pembayaran
dimuka, cicilan, atau dapat ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
Begitu akad disepakati, maka akan mengikat para pihak yang bersepakat dan pada dasarnya tidak
dapat dibatalkan, kecualimemenuhi kondisi:
1.      Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, atau
2.      Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.
H.  ISI KONTRAK ISTISHNA’
CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA – MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO)
Yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Nama : Muhammad Idris


Umur : 23 th
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Ahmad Yani Barat
Nomer KTP / SIM : 3504016207930009
Telepon : 082 345 678 001
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA

2. Nama : Nur Aini


Umur : 21 th
Pekerjaan : Penyanyi
Alamat : Jalan Panglima Sudirman
Nomer KTP / SIM : 3754016207930049
 Telepon : 087 745 678 021

Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut +
PIHAK PERTAMA telah setuju untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA tanah berikut
bangunan berupa rumah toko (ruko) berlantai [( 2 ) ( dua )] yang berdiri di atasnya yang terletak
di ( Jalan Kh.Wakhid Hasyim ) dengan luas tanah [( 600 ) ( enam ratus)] meter persegi dengan
sertifikat hak milik Nomer ( 2.341.678.0045 ), gambar situasi Nomer ( 456.987 ) tanggal ( 22
oktober 2013 ).
Selanjutnya kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis
dalam 15 (lima belas) pasal, sebagai berikut:

Pasal Pertama
Perjanjian antar kedua belah pihak ini berlaku sah untuk jangka waktu [( ------ ) ( ---jumlah
dalam huruf --- )] tahun, terhitung sejak tanggal ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) sampai
dengan ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) dimana PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA sepakat untuk menentukan harga kontrak atas ruko berikut tanah pekarangannya
tersebut di atas dengan nilai harga [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf  ------ )]
untuk jangka waktu [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] tahun.

Pasal Dua
PIHAK KEDUA telah memberikan uang muka atau DP (Down Payment) sebagai tanda jadi
sewa sebesar [(------ ) % ( --- jumlah dalam huruf ---)] persen atau sejumlah [(Rp. ------------,00)
(------ jumlah uang dalam huruf ------ )] pada hari ( ------------ ) tanggal ( --- tanggal, bulan, dan
tahun --- ) dan sisa pembayaran sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang dalam
huruf  ------ )] akan dibayarkan pada waktu penandatanganan Surat Perjanjian ini.

Pasal Tiga
1. PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah bangunan ruko berikut pekarangannya di ( --- alamat
lengkap ruko --- ) menjamin bahwa tanah dan bangunan ruko berikut semua fasilitas yang
terdapat di dalamnya adalah hak milik sahnya dan bebas dari semua tuntutan hukum dan
persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK KEDUA atas pemakaiannya dalam jangka
waktu berlakunya surat perjanjian ini.
2. Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK PERTAMA dalam memenuhi
kewajibannya tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK PERTAMA.

Pasal Empat
Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini
berakhir, PIHAK PERTAMA tidak dibenarkan meminta PIHAK KEDUA untuk mengakhiri
jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali rumah tersebut kepada PIHAK
PERTAMA kecuali telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal Lima
Selama waktu waktu berlakunya Surat Perjanjian ini, PIHAK KEDUA sama sekali tidak
dibenarkan untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan kembali kepadaPIHAK
KETIGA dengan dalih atau alasan apa pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK
PERTAMA.

Pasal Enam
1. PIHAK PERTAMA bertanggung jawab seluruhnya akibat dari kerusakan maupun kerugian
yang disebabkan oleh kesalahan struktur dari bangunan ruko tersebut.
Yang dimaksudkan dengan struktur adalah sistim konstruksi bangunan yang menunjang
berdirinya bangunan, seperti: pondasi, balok, kolom, lantai, dan dinding.
2. PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan mengubah struktur dan instalasi dari unit ruko tersebut
tanpa ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas kerusakan struktur sebagai akibat pemakaian.
4. PIHAK KEDUA tidak bertanggung jawab atau dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan
dari PIHAK PERTAMA yang terjadi akibat kerusakan pada bangunan ruko yang diakibatkan
oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah hal-hal yang disebabkan oleh faktor extern yang
tidak dapat diatasi maupun dihindari, seperti: banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin
topan, kebakaran, huru-hara, kerusuhan, pemberontakan, dan perang.

Pasal Tujuh
Dalam perjanjian sewa-menyewa ini sudah termasuk hak bagi PIHAK KEDUAuntuk
menggunakan semua fasilitas yang telah terpasang sebelumnya pada bangunan ruko yang
disewa.
Fasilitas-fasilitas tersebut adalah:
1. Listrik,
2. Saluran nomor telepon,
3. Saluran air dari PDAM.

Pasal Delapan
PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas berlakunya peraturan-peraturan Pemerintah yang
menyangkut perihal pelaksanaan perjanjian ini, misalnya: Pajak-pajak, Iuran Retribusi Daerah
(IREDA), dan lain-lainnya.

Pasal Sembilan
PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman
lingkungan.

Pasal Sepuluh
Setelah berakhir jangka waktu kontrak sesuai dengan pasal satu Surat Perjanjian ini,PIHAK
KEDUA diharuskan segera mengosongkan rumah dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK
PERTAMA serta telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal tujuh dan delapan dari
Surat Perjanjian ini.

Pasal Sebelas
Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bermaksud melanjutkan perjanjian kontrak,
maka masing-masing pihak harus memberitahukan terlebih dahulu minimal [( ------ ) ( --- jumlah
dalam huruf  --- )] bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.

Pasal Dua Belas


PIHAK KEDUA mendapat prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk memperpanjang
masa penyewaan berikutnya sebelum PIHAK PERTAMAmenawarkan kepada calon-calon
penyewa lainnya.

Pasal Tiga Belas


PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk menempuh jalan musyawarah dan
mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau perselisihan yang mungkin timbul sehubungan dengan
Surat Perjanjian ini. Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan
penyelesaian yang melegakan kedua belah pihak, kedua belah pihak bersepakat untuk menempuh
upaya hukum dengan memilih domisili pada ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan
Negeri ------ ).

Pasal Empat Belas


Surat Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan dasar akal sehat dan pikiran sehat
tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari pihak-pihak manapun.

Pasal Lima Belas


Surat Perjanjian ini ditandatangani di ( --- tempat --- ) pada hari ( --------------- ) ( ---tanggal,
bulan, dan tahun ---- ) dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal ( --- tanggal,
bulan, dan tahun ---- ).
( --- tempat, tanggal, bulan, dan tahun ---)

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA

[ ------------------------- ] [ ------------------------ ]

SAKSI-SAKSI:

[ --------------------------- ] [ --------------------------- ]
I. KONSEKUENSI AKAD ISTISHNA'
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam
jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak
untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya
kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.

Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya.
Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila
telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna
pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya.
Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain. (Fathul
Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//186).
Menurut hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak
telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk
memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim,


Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany)

J. ISTISHNA’ PARAREL
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan
subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat
kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal
sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank
dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di
lakukan setelah akad pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak
pararel. Diantaranya sebagai berikut.
1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak
untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada
kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau
pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank
Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel,
tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian
kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.

3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang
timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga
menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

K. PERBEDAAN ANTARA SALAM DAN ISTISHNA’


Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu
yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada
dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan
dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di
kemudian hari.
2. salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’
menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja
oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’


sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam
tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam
istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika
bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
L. APLIKASI ISTISHNA’ DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya


untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan
dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli
adalah konsumen konsumen.

Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan


sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di
dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan
manufaktur.

Contoh Kasus

CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu
memperoleh order untuk memebuat sepatu anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan
mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan
adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di
pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok
produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau
keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp.
85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan
harga yang lebuh murah, sehingga dapat di jual kepada masyarakat dengan harga yang lebih
murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang,
sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan adalah:

Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697


M. TABEL PERBEDAAN ISTISHNA DENGAN SALAM

SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN &


KETERANGAN
Pokok Kontrak Muslam Fiih Mashnu’ Barang Di Tangguhkan
Dengan Spesifikasi

Harga Dibayar Saat Kontrak Bisa Saat Kontrak, BiasCara Penyelesaian


Di Angsur, Bias DiPembayaran Merupakan
Kemudian Hari Perbedaan Utama Antara
Salam Dan Istishna

Sifat Kontrak Mengikat Secara Asli Mengikat Secara Ikutan Salam Mengikat Semua
Pihak Sejak Semula,
Sedangkan Istishna
Menjadi Pengikat Untuk
Melindungi Produsen
Sehingga Tidak
Ditinggalkan Begitu Saja
Oleh Konsumen Secara
Tidak Bertanggung Jawab
Kontrak Pararel Salam Pararel Istishna’ Pararel Baik Salam Pararel
Maupun Istishna Pararel
Sah Asalkan Kedua
Kontrak Secara Hokum
Terpisah

N. JENIS-JENIS PEMBIAYAAN ISTISHNA


1) BNI iB kelayakan usaha.
2) BNI iB usaha kecil.
3) BNI iB wirausaha.
4) BNI iB griya indent.

O. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMBIAYAAN ISTISHNA


1. Maksimum Pembiayaan
Maksimum pembiayaan sebesar 80% dari harga barang dan self fnancing disesuaikan
dengan jenis pembiayaan masing-masing.
2. Jangka Waktu
1) Jangka waktu pembiayaan harus dibedakan antara jangka waktu pada saat masa
pembuatan atau pemesanan atau pembangunan dengan jangka waktu pada saat penyerahan
barangsampai dengan jangka waktu berakhirnya akad yang disesuaikan dengan jenis pembiayaan
masing-masing.
2) Jangka waktu masa pembuatan atau pemesanan atau pembangunan disesuaikan dengan
kondisi atau jenis barang yang dipesan yaitu maksimal 2 tahun. Namun untuk BNI griya indent
maksimal 1 tahun.
3. Penetapan Angsuran
Penetapan angsuran pembiayaan istishna ditentukan oleh jangka waktu dan margin saat
pembuatan atau pemesanan atau pembangunan serta nilai tunai dan margin saat penyerahan
barang serta jangka waktu pada saat penyerahan barang sampai dengan jangka waktu
berakhirnya akad istishna.
Contoh:
Developer membangun rumah senila Rp. 500.000.000,- sesuai dengan pesanan dan spesifikasi
teknis khusus. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sekaligus, namun nasabah
sanggup membayar uang muka sebesar 20% dan sisanya secara angsuran sampai jangka waktu
10 tahun depan. Dengan tarif istishna 9% flat pertahun. Untuk membangun rumah diperlukan
waktu 12 bulan. Maka:
Harga rumah Rp. 500.000.000,-
Uang muka Rp. 100.000.000,-
Pembiayaan yang diajukan Rp. 400.000.000,-
Margin selama masa pembuatan-
berdasarkan perhitungan manual anuitas Rp. 56.787.067,-
nilai tunai saat penyerahan Rp. 456.787.067,-
nilai akad 10 tahun
(9% x 10 thn x 400.000.000) Rp. 760.000.000,-
Angsuran nasabah bulan ke-1 sampai ke-12 Rp. 6.333.333,-
Angsuran nasabah bulan ke-13 samapi ke-120 Rp. 6.333.333,-

4. Margin Dan Pengakuan Pendapatan


Mengacu kepada tarif margin minimum flat yang diterbitkan KKAS sesuai jenis
pembiayaan masing-masing dan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad dengan metode
pengakuan pendapatan berdasarkan margin efektif anuitas.
Contoh perhitungan margin
Data

1 Pokok 400.000.000 Rp
2 Jangka waktu 120 Bulan

3 Margin flat 9% Pa

4 Margin efektif 14,5079% Pa (ctm table konversi)

5. Agunan Pembiayaan
Mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-masing barang yang di pesan
nasabah sebagai agunan pokok, namun apabila diperlukan dengan pertimbangan resiko selama
masa pembangunan, nilai agunan harus mengcover fasilitas yang dicairkan. Dan apabila tidak
mencukupi bank bank dapat meminta tambahan agunan. Pengikatan agunan agar berpedoman
kepada buku pedoman pembiayaan kecil syariah.
6. Asuransi
Asuransi kerugian pada pembiayaan produktif ditutup asuransi kerugian pada perusahaan
asuransi syariah yang ditunjuk dan masuk dalam perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh
DRK dengan beban nasabah mengacu kepada ketentuan yang berlaku pada masing-masing jenis
pembiayaan.
Untuk pembiyaan konsumtif nasabah ditutup asuransi jiwa pada perusahaan asuransi
yang ditunjuk dan masuk dalam daftar perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh DRK dan
premi menjadi beban nasabah.
Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo (PSJT)
Apabila nasabah akan melunaskan pembiayaan sebelum jatuh tempo maka perhitungan
total kewajiban yang harus dibayar nasabah mengacu kepada ketentuan mengenai PPTM dan
tidak diperjanjikan di dalam akad.
Lain-Lain
Kebajikan pembiayaan yang ada mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-
masing.
BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Al- Istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak berdasarkan
pesanan dari pihak lain, dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasim yang telah di
sepakati  dan menjulanya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di sepakati terlebih
dahulu.
Mekanisme pembayaran  istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di lakukaan dengan
tiga cara, yaitu  :
1.    Pembayaran di muka, yaitu pembayaran  di lakukan secara keseluruhan pada saat akad
sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir ( nasabah )
2.    Pembayaran di lakukan pada saat penyerahan barang , yaitu pembayaran di lakukan pada 
saat barabg di terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di mungkunkan adanya
pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset istishna. Pembayaran di tangguhkan,
yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna di serahkan oleh bank kepada pembeli akhir.
Adapun dasar-dasar hukum dari istishna adalah :
•    Al-Qur’an
•    As-Sunnah
•    Al- Ijma’
•    Kaidah fiqiyah
•    Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
•    .Logika
Dalam istishna terdapat rukun dan syarat, yaitu :
•    Rukun al- istishna terdiri dari  :
1.    muslam atau pembeli
2.    muslam ilaih atau penjual
3.    modal atau uang
4.    muslam fiihi
5.    sighat atau ucapan
•    Syarat al-istishna’ terdiri dari :
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya
segenap syarat pada masing-masing rukun.syarat dari al- istishna yaitu modal dan barang.

a)    Modal Transaksi Bai al-istishna’


 Modal Harus di ketahui.
 Penerimaan pembayaran salam.

b)    Al-muslam fiihi (Barang)


 Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
 Harus bisa di identifikasi secara jelas
Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu
kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
 Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
 Tempat penyerahan.
 Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Yaya, Rizal dan Ahim Abrurahman. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik
Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. Kampus Syariah
Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani

http://ramayamakmur.files.wordpress.com/2010/01/pengelolaan-modal-yg-di-syariatkan.pdf
http://etd.eprints.ums.ac.id/954/1/I000050027.pdf
http://harisdianto.files.wordpress.com/2010/02/muamalat.doc
http://www.slideshare.net/lukmanul/salam-istishna-dan-murabahah

Anda mungkin juga menyukai