Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan
jiwa, mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah
kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti kita ketahui, dalam
penanganan trauma di kenal primary survey yang cepat dilanjutkan
resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary
survey dikenal sisitem ABCDE(Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure/ Enviromental control) yang disusun
berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama
penanganan adalah keadaan menjamin jalan nafas terjaga adekuat.
Oleh karena itu, trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan
yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang tidak
diinginkan.

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan


kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007). Diperkirakan
100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000
mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah
sakit, dua pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah semua
pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian
tubuh lainya (Smeltzer and Bare, 2002 ).
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera
kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan
keperawatan cedera kepala atau askep cidera kepala baik cedera kepala
ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat harus ditangani
secara serius. Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada

1
sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran.
Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya
trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera kepala.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di
ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik
umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan
yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi
unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera
ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit (Sjahrir, 2004).

A.

2
BAB 2
PENANGANAN PASIEN KONDISI KRITIS DENGAN
POST OPERASI TREPANASI
CIDERA KEPALA

I. Konsep Trepanasi
A. Definisi Trepanasi
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang
terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat
pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea.
Kraniotomi adalah suatu tindakan pembedahan tulang kepala untuk
mendapatkan jalan masuk ke bagian intracranial guna:
1. Mengangkat tumor
2. Menghilangkan/mengurangi peningkatan tik
3. Mengevaluasi bekuan darah
4. Menghentikan pendarahan

B. Ruang lingkup
Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal atau temporo -
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal
dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat
perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora
posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi
(0,5% dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita
yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena

3
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat.
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan
gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama. Pada
pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis
merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.

C. Indikasi Operasi
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi,
dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

D. Teknik Operasi
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator.
Head up kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal
bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan
maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon:
desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga
pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan
doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi
kontak dengan meja operasi
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya
sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan:
garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari

4
perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas
basis crani, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus
sampai dengan canthus lateralis orbita).
4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan
Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup
lapangan operasi dengan doek steril.
5. Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari
ujung. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar
60 derajat. Buka flap secara tajam pada loose connective tissue.
Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril
supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit
kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek. Buka
pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji
kemudian dan rawat perdarahan. Penentuan lokasi burrhole idealnya
pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan. Lakukan burrhole
pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan
mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak
dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada
saat mematahkan tulang.

5
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang
dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari
tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich)
dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma
dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura,
perdarahan dari dura dihentikan degan diatermi. Bila ada perdarahan
dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stich pada
daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang.
Bila perdarahab profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang
boleh diknabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai
berasal dari sinus. Bila ada dura yang robekjahit dura denga silk 3.0
atau vicryl 3.0 secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan
sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi
langkah salanjutnya adalah membuka duramater. Sayatan
pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan
pengait dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau
sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar
cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas
berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang
subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung ter-
hadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip
khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah
dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan. Reseksi
jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena. Semua
pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di
ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi. Perlengketan jaringan otak dilepaskan
dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi

6
untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk
membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar.
Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/
tidaknya tulang dengan evaluasi klinsi pre operasi dan ketegangan
dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis
demi lapis dengan cara sebagai berikut. Teugel dura di tengah
lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit. Periost dan
fascia ototo dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit
galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain
dengan vaum drain (Redon drain). Operasi selesai. Bila tulang
dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang
yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan
dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di
fiksasi (3-4 buah ditepi dan2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel
dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya
tutup lapis demi lapis seperti diatas.

E. Komplikasi operasi
1. Pendarahan intrakranial/hematom.
2. Edema serebral.
3. Infeksi (post operasi meningitis, luka, paru).
4. Kejang
5. Kerusakan syaraf kranial.

F. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.

7
G. Pengkajian Post Kraniotomi
1. Primery survey (ABCDE) meliputi :
a. Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau
kesadarannya menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia,
dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia.
Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-
kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan
otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti
tambahan adanya gangguan airway. Airway (jalan napas) yaitu
membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal,
pasang servikal kollar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti
tidak ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala
sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang
patah dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea,
GCS (Glasgow Coma Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9
dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%.
Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan
yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang
tersumbat.
b. Breathing
Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuatLook (lihat)
naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada
yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau
flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah
(labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di evaluasi.
Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan
dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin

8
mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah
atau udara ke dalam paru.
Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi
dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita,
tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
1) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk
mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum
menurun
2) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan
sistolik-tekanan diastolik)
3) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi,
maka timbullah hipotensi
4) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan
dengan balut tekan pada daerah tersebut
5) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan
sumpal MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau
kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir keluar, karena hal
ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra
Kranial)
6) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk
menghindari terjadinya koagulopati dan gangguan irama
jantung.
d. Disability.
1) GCS setelah resusitasi
2) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
3) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak

9
e. Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang
menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera
terlewatkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung
harus dilakukan secara log-rolling dengan harus menghindari
terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
2. Secondary survey
a. Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna
dan distribusi rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut,
tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri tekan,
fontanela (pada bayi)
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan,
jaringan parut, massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar
tiroid, trakea), mobilitas leher.
b. Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk
dan kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada
dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan pernapasan.
Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan
kulit pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan,
kesimetrisan ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat
teraba yang dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama
seseorang berbicara)
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang
menunjukkan udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang
terdapatb pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui
batang trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan

10
aliran udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-
paru dan rongga pleura.
c. Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi
secara stimultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan
denyutan atau dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara
sistematis mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta,
area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area epigastrik .
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk
jantung. Akan tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi
pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung dapat
dilihat pada hasil foto torak anteroposterior. (Priharjo, 1996)
d. Ekstermitas
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera
kepala sedapat mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi
yang tertunda dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult
Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini
pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera kepala dapat
menurunkan insidensi ARDS.

II. Konsep Cidera Kepala


A. Definisi Cidera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
B. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian,
jatuh, cedera olah raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering
disebabkan oleh pisau atau peluru (Corwin, 2000).

11
C. Klasifikasi
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1.    Berdasarkan Mekanisme
a.  Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b.  Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan
maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
2.    Berdasarkan Beratnya Cidera
The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan berdasarkan
Glasgow Coma Scale ( Mansjoer, dkk, 2000) :
a.  Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu,
GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau
amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria
cedera sedang sampai berat.
b.  Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13
(konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan, mengantuk,
namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang kesadaran
atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi, amnesia paska
trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
c.  Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan
kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.

III. Penanganan Kondisi Kritis Post Operasi Trepanasi


A. Penatalaksanaan yang Pokok
1. Perbaiki dan jaga jalan nafas.

12
2. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adequat (normal atau
tidak normal kadar PCO2)
3. Lakukan pembedahan segera jika terdapat tanda-tanda penting
dari hematoma (< 4 jam) manitol.
4. Pertahankan normovolemik dan normotensi untuk
mempertahankan aliran darah ke serebral.
5. Terapi dengan cepat jika terjadi peningkatan TIK dan ulangi CT
scan jika terjadi kemunduran secara klinis.
6. Terapi cedera-cedera lainnya dengan tepat.
7. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.
1) Pendarahan sistem pecernaan (stress ulser)
2) Edema paru neurogenik
3) Abnormalitas hormon Endokrin
a) Diabetes insipidus (meningkatnya natrium).
b) Sindroma inapropriate antidiuretik hormon (SIADH)
(menurunnya kadar natrium).
c) Kejang

B. Perawatan Secara Umum


1. Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 150 – 300 dan
ganti posisi pasien secara teratur.
2. Observasi GCS/respon pupil tiap jam.
3. Lakukan perawatan mata dan daerah yang tertekan.
4. Lakukan suction minimal  1x tiap shift dan sesuai kebutuhan.
5. Rawat tali endotracheal pada posisi yang tinggi (diatas telinga).
6. Gerakan tangan-tangan/betis untuk menekan risiko terjadinya
trombus pada vena dalam.
7. Beri sedative (Diazepan atau medazolan, Barbiturat jika tekanan
intrakranial meninggi atau tampak adanya tanda-tanda memburuk,
awasi terjadinya penurunan tekanan darah)
8. Beri analgesik sesuai kebutuhan
9. Beri nutrisi sejak dini – khususnya enteral.
10. Terapi hipertermi dengan agresif

13
11. Hilangkan infeksi.
12. Lakukan pendinginan secara aktif.
13. Profilaksis untuk kejang.

C. Ventilasi
1. Mode Control atau SIM V dengan RR yang dibutuhkan untuk
memberi dukungan secara penuh.
Tujuan      : PO2 > 80 mmHg (lebih baik lagi >1 00)
       PCO2 < 35 mmHg
2. Hiperventilasi (PCO2 < 35)
- Akute       : menurunnya aliran darah serebral
                     menurunnya tekanan darah intrakranial
- 4 – 8 jam  : ditoleransi
- > 8 jam  : “berulang” meningkatnya tekanan intrakranial jika
PCO2 meningkat.
- Kronik  : Akibatnya sangat buruk karena hal tersebut
mengakibatkan menurunnya aliran darah serebral.
3. PEEP      :  Kadar rendah, tidak disukai karena dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Gunakan  0 cm H2O jika     - paru-paru kolaps
                                  - FIO2  50%
Hindari penggunaan PEEP > 0 cm H2O tanpa dilakukan
monitoring tekanan intrakranial.
4. Dapat menaikkan pemberian sedatif atau lognocain sebelum
suction dilakukan.

D. Sirkulasi/Tekanan Darah
1. Permulaan resulilasi secara agresif cedera lainnya           
naikkan/pertahankan tekanan darah dalam batas normal.
2. Pertahankan normovolemik = jangan batasi cairan kecuali terjadi
SIADH.
3. Hindari pemberian dextrose pada terapi cairan. Sangat penting
untuk mengontrol tekanan darah

14
4. Tekanan Perfusi Serebral (CPP) = CPP = MAP – ICP
Hasil yang diharapkan CPP > 60
Lebih baik lagi jika CPP > 70
Jika tekanan intrakranial pasien tidak diketahui pertahankan MAP
90 mmHg.
E. Rencana Keperawatan Postoperatif
1. Pertahankan Potensi Jalan Nafas
2. Tinggikan posisi kepala 150 – 300.
3. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adequat
4. Berikan terapi
a. Manitol meningkatkan serum osmolalitas dan
mengeluarkan/menarik cairan yang bebas dari area otak.
b.  Steroid untuk mengurangi edema otak, membatasi tumor otak
diberikan secara kontinyu selama 72 jam untuk mengurangi
pembengkakan otak, kemudian dosis diturunkan secara tak
pering.
c.  Beri analgesik sedatif sesuai kebutuhan.
d.  Anti Convilsant  yang diberikan pada pasien yang mengalami
pembedahan supratentorial craniotomy untuk mengurangi
serangan kejang-kejang.
5. Kaji dan catat vital sign, status neurologis, dan CCP tiap jam.
6. Cek/periksa laboratium darah : AGD, GDR, Elektrolit, uricem,
creatimin dan darah rutin, dan lain-lain sesuai pesanan.
7. Monitor secara ketat tempat-tempat pemasangan CVP, arteri line,
drain, dressing luka operasi.
8. Lakukan perawatan mata/daerah yang tertekan.
9. Lakukan suction sesuai kebutuhan.
10. Rawat tali endotrakeal pada posisi yang tinggi (diatas telinga).
11. Berikan nutrisi sejak dini – khususnya enteral.
12. Pertahankan normovolemik dan normotensi.
13. Monitor ketat intake dan output
14. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito L.J., 1998, Nursing Diagnosis Aplication to Clinical Practice, J.B.


Lippincott Company, Phildelphia.

Doris Smith Suddarth RN., 1991, The Lippincott Manual of Nursing Practice, 5th
Edition, JB. Lippincott Company, Philadelphia.

Hudak dan Gallo, 1996, Perawatan Kritis, Edisi VI, Volume II, Penerbit buku
kedokteran, EGC, Jakarta.

TEOH, 1990, Intensive Care Manual, Third Edition, by Globe Press, Australia.

https://bedahumum.wordpress.com/2009/01/04/trepanasi-kraniotomi-pada-
epidural-hematoma-dan-subdural-hematoma/TREPANASI/

17

Anda mungkin juga menyukai