1
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
2
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu.(Jakarta:Gema Insani,2007)
mudharabah karena telah dibahas secara lengkap oleh ulama lain khususnya imam
mazhab.3
Menurut Sayyid Sabiq,4 mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak
dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk
diperdagangkan, dan laba dibagi dua sebagaimana kesepakatan. Sedangkan
Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan mudharabah sebagai akad antara dua orang
yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal
usaha produktif, dan keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik
modal dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui
Bersama.
Hukum Mudharabah
“....dan dari orang orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia
Allah SWT...”
“...maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
tuhannya...”.
“...Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
sukarela di antaramu...”
3
Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hambali
4
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. (Jakarta: Al-I’itishom, 2008)
Sedangkan sumber landasan hukum mudharabah yang berasal dari Hadis
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yaitu antara lain:
Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang artinya:
”Nabi bersabda, ada tiga hal yang didalamnya mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, muqharadhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib).
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain” (HR.Ibnu Majah,
Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudri). Hukum mudharabah ini juga
dilandaskan pada kaidah fiqih yang berbunyi, “Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah usul fiqih ini menjelaskan bahwa hukum suatu persyaratan tergantung pada
hukum pokok perkaranya, apabila hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum
asal menetapkan syarat juga dilarang dan begitu juga sebaliknya. Dalam perkara
muamalah, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang,
maka seseorang tidak diperkenankan untuk melarang suatu persyaratan yang telah
disepakati dalam akad muamalah kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan
larangan pada persyaratan tersebut.
5
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu.(Jakarta:Gema Insani,2007), hlm.492
Sedangkan hukum qiyas pada akad mudharabah dianalogikan kepada akad
Al-Musaqat,6 dimana sebagian dari pihak memiliki modal yang cukup tetapi tidak
memiliki keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan, dan di pihak lain mempunyai
keahlian atau kompetensi yang baik tetapi tidak mempunyai modal yang memadai
untuk mengelola suatu usaha.7 Dengan demikian, melalui akad ini akan
menjembatani pihak-pihak yang memiliki modal dan keahlian untuk saling
bekerjasama sesuai kemampuan, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya sesuai
dengan nilai dan prinsip syariah yang diturunkan oleh Allah SWT.
1. Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik dana (shahibul maal) dan
pengelola modal (mudharib);
2. Modal (Ra’sul Maal) dalam akad mudharabah harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
Modal Mudharabah
Modal dalam akad mudharabah adalah berupa uang, menurut jumhur ulama
modal dalam akad mudharabah tidak boleh dalam bentuk barang, karena sifat
harganya yang mudah berubah (fluktuatif), sehingga hal ini akan mempengaruhi
hasil keuntungan yang didapat karena tidak dapat dipastikan jumlahnya (majhul),
sehingga bagi hasil yang diperoleh dari keuntungan tersebut untuk masingmasing
pihak akan menjadi tidak jelas. Namun beberapa ulama memperbolehkan modal
usaha mudharabah dapat bentuk inventori/barang, hal ini merujuk kepada pendapat
yang disampaikan oleh Imam Malik, menurutnya modal usaha mudharabah dapat
dalam bentuk barang dan tidak diharuskan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu,
barang dagangan dapat menjadi modal dalam akad mudharabah baik yang sama
jenisnya atau berbeda jenisnya.
Sedangkan Ibn Rusyd menyatakan bahwa para ahli fikih telah bersepakat
membolehkan modal mudharabah dalam bentuk alat tukar (uang) karena uang
memiliki nilai yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi. Berdasarkan hal tersebut,
Ibn Rusyd tidak memperbolehkan penggunaan alfulus (mata uang lokal) karena al-
fulus tidak memenuhi syarat sebagai alat transaksi di tingkat negara.8 Ibn Rusyd
tidak memperbolehkan penggunaan barang sebagai modal karena sifatnya yang sulit
untuk ditaksir dan terdapat ketidakpastian pada nilai barang (modal) sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan diantara kedua pihak.9
8
Fulus di zaman Ibn Rusyd adalah mata uang lokal yang hanya berlaku atau di akui terbatas dalam
segelintir/komunitas, namun tidak di akui di tingkat negara sebagai mata uang dalam melakukan transaksi.
Karena menurut Ibn Rusyd, modal (uang) yang menjadi ra’sul maal dalam akad mudharabah harus dapat di
akui dalam negara tersebut, sehingga dapat dipergunakan secara umum dan luas. Referensi,
9
Thabrani Abdul Mukti, Mudharabah Perspektif Averroes (Ibn Rusyd), (Pamekasan: Jurnal Iqtishadia Vol.1 No.1
Juni 2014), hlm 7-12