Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut pandangan umum manusia disebut sebagai makhluk sosial yang
mana berarti bahwa setiap manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa
bantuan dari orang lain sehingga dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan
manusia yang lain dalam bentuk hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk
kehidupan akan berjalan dengan baik.

Sedangkan menurut pandangan Islam, hubungan antar sesama makhluk


disebut hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain maka
dibutuhkan suatu tindakan yang disebut muamalah. Di dalam muamalah salah
satunya mengatur tentang syirkah yaitu kerjasama, syirkah terbagi menjadi
berbagai macam dimana terkait dengan jenis syirkah tersebut, terdapat khilafiyah
antara para ulama fikih. Dengan demikian makalah ini dibuat untuk mengetahui
bagaimana pandangan para ulama terkait dengan syirkah tersebut, yang diketahui
dengan melakukan penelitian pada kitab Kifayatul Akhyar karya Imam Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini dan kitab Bidayatul-Mujtahid karya Ibnu
Rusd Al-Qurtubi.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :

1) Bagaimana pengertian syirkah menurut para ulama?


2) Bagaimana rukun dan syarat syirkah menurut para ulama ?
3) Apa saja macam-macam syirkah yang diuraikan dalam kitab Kifayatul
Akhyar ?
4) Apa saja macam-macam syirkah yang diuraikan dalam kitab Bidayatul-
Mujtahid?
5) Bagaimana ketentuan macam-macam syirkah menurut para ulama ?

1
1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui pengertian syirkah menurut para ulama.


2) Untuk mengetahui rukun dan syarat syirkah menurut para ulama.
3) Untuk memahami macam-macam syirkah yang diuraikan dalam kitab
Kifayatul Akhyar.
4) Untuk memahami macam-macam syirkah yang diuraikan dalam kitab
Bidayatu l-Mujtahid.
5) Untuk memahami ketentuan macam-macam syirkah menurut para ulama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau


percampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud percampuran di sini
ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak
mungkin untuk dibedakan.1

Yang menjadi dalil berlakunya syarikat adalah sabda Rasulullah saw. yang
artinya Allah yang maha Agung berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang yang berkongsi selama satunya tidak menghianati yang lainnya. Apabila
salah satunya menghianati yang lainnya, Aku keluar dari dua orang itu.

Makna hadits ini adalah bahwa Allah menghilangkan berkah dari harta
mereka. Hadits tersebut diriwayatkan oleh abu daud dan hakim. Alhakim
mengatakan hadits ini shahih isnadnya.2

Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda


pendapat sebagai berikut:

a. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah:


Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan
keuntungan.
b. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib yang dimaksud dengan
syirkah ialah:3
Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara
yang masyhur (diketahui).4

1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 125
2
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, terj. Syarifuddin dan
Mishbah Musthafa, (CV. Bina Iman: Surabaya, 2007), Cet. 7, hlm. 629-630
3
Hendi Suhendi, Op. cit., hlm. 125
4
Loc. Cit.,

3
c. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, yang
dimaksud dengan syirkah ialah:
ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau
lebih dengan cara yang telah diketahui.5

2.2. Rukun dan Syarat Syirkah

Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah


bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan Kabul sebab ijab Kabul (akad) yang
menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang
berakad dan harta berada di luar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad
jual beli.6

Berkata Syaikh Abu Syujak syarikat atau perkongsian adalah itu dibolehkan
dengan lima syarat, yaitu:

1. Harus mengenai mata uang, yaitu dirham dan dinar (atau mata uang
yang lain)
2. Hendaknya tunggal jenis dan macamnya
3. Kedua harta haruslah dicampur
4. Masing-masing salah satu dari keduanya harus memberi izin yang
lainnya dalam memperniagakan harta perkongsian itu, dan
5. Untung dan rugi berdasarkan harta yang dikongsikan.7

Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi


menjadi empat bagian berikut ini:

a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik denga harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima

5
Hendi Suhendi, Op. cit., hlm. 126
6
Ibid., hlm. 127
7
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Op. cit., hlm. 629

4
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu, a) bahwa modal yang dijadikan
objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Junaih,
Riyal, dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad
syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
c. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam
mufadhah disyaratkan, a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah
harus sama, b) bagi yang bersyikah ahli untuk kafalah, c) bagi yang
dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam
jual beli atau perdangan.
d. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkah mufawadhah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).
Syafiiyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah
syirkah inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah
dua orang (pihak) yang berserikat, sighat dan objek akad syirkah baik harta maupun
kerja. Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini:
a. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing
anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
b. Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka
adalah wakil yang lainnya.8
c. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-msing
baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.9

8
Ibid., hlm. 128
9
Hendi Suhendi, Op. cit., hlm. 129

5
2.3. Macam-macam Syirkah

a. Dalam Kitab Kifayatul Akhyar

Syirkah itu bermacam-macam dan di dalam kitab Kifayatul Akhyar ada


disebutkan dua macam yang pertama syarikat abdan dan syarikat anan.

1) Syarikat abdan

Syarikat abdan ini hukumnya batal dan tidak sah, seperti syarikat
atau perkongsian para pekerja kasar dan semua orang yang berusaha dengan
tenaganya, supaya hasil usahanya itu dibagi antara dua orang, baik secara
sama rata maupun secara berlebih kurang, baik sama dalam pekerjaannya
seperti sama-sama tukang menawarkan barang dan sama-sama mencari
kayu atau berbeda pekerjaannya seperti tukang jahit dan tukang potong kain.

Syarikat abdan itu batal sebab masing-masing berbeda-beda tenaga


dan manfaatnya. Karena itu harus khusus untuk memperoleh faedahnya,
seperti pjika dua orang berkongsi pada binatang ternak yang binatang ternak
itu berbeda-beda agar susu dan anaknya dibagi dua.

Imam malik memperbolehkan syarikat abdan jika pekerjaannya itu


menjadi satu. Imam abu hanifah membolehkan syarikat abdan secara
mutlak. Dalil kita ulama syafiiyah adalah apa yang telah dilarang oleh imam
malik dan imam abu hanifah dalam bersyarikat mengenai pekerjaan
berburu dan mencari kayu.10

2) Syarikat Anan
Syarikat anan adalah sah berdasarkan hadits diatas, ijma ulama
telah sepakat mengenai syarikat anan ini.
Kata Anan diambil dari berkata ;anaanud-daabbah. Syarikat ini
dinamakan syarikat anan karena kedua orang yang berkongsi itu

10
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Op. cit., hlm. 630

6
mempunyai kekuasaan menjalankan harta dan membubarkan akadnya dan
mereka berdua berhak mendapatkan keuntungan menurut kadar hartanya.11
Apabila akad syarikat itu rusak maka masing-masing dapat menarik
ongkos kerja terhadap yang lainnya, sebagaimana akad qiradh ketika rusak,
orang yang memperdagangkan barang dapat menarik ongkos kerjanya.
Adapun perdagangannya dapat berjalan atau dapat sah, karena adanya
izin.12
Berkata Syaikh Abu syujak masing-masing kongsi dapat
membubarkan syarikatnya sewaktu-waktu sukanya. Dan apabila mana
salah seorang dari keduanya meninggl dunia, batallah syarikatnya.
Seandainya salah seorang yang berakad meninggal dunia maka
batallah akad syarikatnya sebagaimana wakalah, apabila seseorang itu gila
maka sama hukumnya dengan meninggal dunia.13 Jika salah seorang yang
berkongsi itu mendakwa rusak atau rugi, juga dapat dibenarkan. Jika orang
yang mendakwa menyandarkan kerusakan barang itu dengan sebab yang
jelas, ia dituntut mendatangkan bayyinah. Jika kongsi yang mendakwanya
dapat mendatangkan bayyinah mengenai sebab kerusakannya itu maka iya
dapat dibenarkan dalam rusaknya barang dengan sebab tersebut.
Seandainya salah seorang kongsi mendakwa khianat pada yang
lainnya, dakwaannya itu tidak dapat diterima sehingga ia menjelaskan
banyaknya uang atau barang yang dikhianatkan itu. Ucapan yang
dibenarkan adalah ucapan kongsi yang mengingkari dengan bersumpah.14
b. Dalam kitab Bidayatu l-Mujtahid

Secara garis besar berdasarkan yang dikutip pada kitab Bidayatu l-


Mujtahid, serikat dibagi menjadi empat macam: serikat inan, serikat abdan, serikat
mufawadhah, dan seriakt wujud,

1) Serikat Inan

11
Ibid., hlm. 630
12
Ibid., hlm. 632
13
Ibid., hlm. 633
14
Ibid., hlm. 634

7
Rukun serikat ini ada tiga. Pertama: macam harta modal. Kedua:
kadar keuntungan dari kadar harta yang diberikan. Ketiga: kadar pekerjaan
dari kedua peserikat berdasarkan kadar besarnya harta modal.

a) Harta modal
Mengenai macam harta modal, diantaranya ada yang di sepakati
oleh para fuqaha dan ada pula yang diperselisihkan. Kaum muslim telah
sependapat bahwa serikat dagang itu dibolehkan pada satu macam barang,
yakni dinar dan dirham, meski dasarnya serikat inan itu bukan merupakan
jual beli yang terjadi secara tunai. Dan disepakati oleh para fuqaha yang
mempersyaratkan tunai pada jual beli dengan emas dan dirham. Tetapi ijma
(kesepakatan para ulama) telah mengecualikan hal ini dalam serikat.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang serikat dengan dua
macam barang yang berbeda dan dengan mata uang yang berbeda pula.
Seperti serikat dinar-dinar denga satu pihak, dan dengan dirham-dirham dro
pihak yang lain. Juga dengan makanan ribawi, jika terdiri dari satu macam.
Dan disini ada tiga masalah.
(1) Berserikat dengan dua macam modal yang berbeda
Jika kedua belah pihak berserikat dagang dengan bermodalkan dua
macam barang, atau dengan barang dan uang dinar atau dirham, maka cara
seperti ini dibolehkan oleh ibnu I-Qasim. Imam Malik jua berpendapat
demikian. Tetapi diriwayatkan dari padanya bahwa ia memakruhakan
demikian.
Alasan dimakruhkannya hal itu adalah, bahwa pada cara tersebut
terhimpun unsur serikat dan jual beli, yakni manakala kedua barang
(modalnya) itu berbeda. Hingga seolah masing-masing pihak menjual
sebagian daro barangnya dengan sebagian dari barang yang lain.
Imam Malik berependapat, bahwa apabila terjadi serikat dagang
pada barang, maka yang dihitung adalah nilainya.
Dalam pada itu, imam Syafii berpendapat bahwa serikat dagang
tidak sah kecuali berdasarkan harga barang.

8
Abu Hamid (al-Gazali) mengisahkan bahwa madzhab Syafii
ditinjau dari segi lahirnya menunujukan bahwa serikat dagang adalah seperti
qiradh, yakni tidak boleh terjadi kecuali dengan dirham dan dinar. Ia
mengatakan, bahwa berdasarkan qiyas, pemilikan bersama pada serikat
dagang itu sama artinya dengan percampuran.
(2) Modal yang tidak boleh mengalami tenggang waktu
Jika kedua macam barang dari kedua perserikat termasuk barang
yang tidak boleh mengalami tenggang waktu, seperti serikat dengan dinar
dari salah satu pihak dan dirham dari pihak yang lain, atau dengan dua
macam makanan yang berbeda, maka apendapat Imam Malik dalam
masalah ini tidak jelas. Kadang ia membolehkannya, dan kadang
melarangnya. Karena pada serikat dagang dengan dinar dari salah satu pihak
dan dirham dari pihak yang lain itu bisa kemasukan serikat dagang dan
pertukaran mata uang secara bersama dan tidak secara tunai. Sedang untuk
kedua macam makan yang berbeda, akan kemasukan unsur serikad dagang
dan tidak tunai.
Larangan tersebut dikemukakan oleh Ibnu I-Qasim. Dan bagi
fuqaha yang mempertimbangkan alasan-alasan tersebut, maka mereka akan
memperbolehkannya.
(3) Modal satu macam berupa makanan
Ibnu I-Qasim membolehkan serikat dagang dengan makanan yang
terdiri dari satu macam. Ia menyamakannya denga ijma ulama atas
kebolehan serikat dagang pada satu macam barang yang berupa emas perak.
Tapi, pada salah satu pendampatnya yang terkenal. Alasannya
adalah karena didalam serikat tersebut terkandung pembayaran tunai.
Selanjutnya ia berpendapat, bahwa perkara rukhshah (kemurahan) itu pada
dasarnya tidak bisa dijadikn tempat pengqiyasan dengan ijma fuqaha.
Dikatakan pula, bahwa dimkruhkannya cara tersebut oleh Imam
Malik adalah, karena serikat dagang itu membutuhkan persamaan nilai,
sedang jual beli membutuhkan persamaan takaran. Dengan adanya dua
makanan dari satu macam, maka serikat dagang membutuhkan persamaan

9
nilai dan takaran. Dan ini hampir-hampir tidak terwujud, hingga karenanya
Imam Malik memkaruhkannya.
Demikianlah perselisihan para fuqaha tentang macamnya tempat
modal usaha serikat dagang. Fuqaha jua berselisih pendapat tentang, apakah
harta modal serikat dagang itu harus bercampur , baik secara konkret
maupun secara hukum, seperti berbeda dalam satu peti, dimana kedua belah
pihak bisa bebas membukanya.
Imam SyafiI berpendapat bahwa sahnya serikat dagang itu sesudah kedua
belah pihak mencampur harta keduanya sedemikian rupa, sehingga harta
salah satu pihak tidak dapat dipisahkan dari harta pihak yang lain.
Tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa serikat dagang itu
bias sah sekalipun harta kedua belah pihak berada ditangan masing-masing.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Imam Abu Hanifah mencukupkan
terjadinya serikat dagang itu dengan kata-kata. Sementara Imam Malik
disamping itu juga mensyaratkan adanya tindakan tertentu terhadap harta.
Akan halnya Imam SyafiI, maka disamping hal itu ia juga mensyaratkan
adanya percampuran harta. Dan menurut akal pikiran, dengan adanya
percampuran harta tersebut, maka pekerjaan kedua peserikat menjadi lebih
utama dan sempurna. Karena masing-masing pihak dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada pihak lainnya, seperti halnya kepada
diri sendiri.15
b) Pembagian Keuntungan

Fuqaha telah sepakat bahwa apabila keuntungan mengikut kepada


modal yakni apabila modal serikat itu kedunya membagi keuntungan
separuh-separuh. Kemudian mereka berselisih pendapat: apakah modal
keduanya boleh berbeda, sementara keuntungannya dibagi sama?

Imam Malik dan SyafiI berpendapat bahwa cara seperti itu tidak
boleh. Tetapi fuqaha yang melarangnya berpegangan bahwa keuntungan

15
Ibnu Rusyd, Bidayatu l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Asy-Syifa:
Semarang, 1990), hlm. 267

10
dan kerugian itu dipersamakan. Jika salah satu pihak tidak boleh
mensyaratkan sebagian dari kerugian, mak demikian pula ia tidak boleh
mensyaratkan sebagian dari keuntungan di luar harta modalnya.

Boleh jadi, mereka menyamakan keuntungan dengan manfaat


barang yang tidak bergerak antara kedua belah pihak. Yakni bahwa manfaat
antara keduanya adalah berdasarkan perbandingan harta modal serikat
dagang.

Fuqaha Irak berpegangan bahwa serikat dagang itu sama dengan


qiradh. jika dalam qiradh pihak yang bekerja dapat memperoleh bagian
keuntungan berdasarkan cara yang ditetapkan oleh kedua belah pihak, dan
sebagai imbangannya pihak yang bekerja hanya memberikan kerja (usaha),
maka dalam serikat dagangn hal itu tentu lebih dibolehkan lagi yakni
menjadikan usaha mempunyai imbangan sebagian dari harta jika serikat
dagang itu berupa harta dan usaha dari salah satu pihak. Jadi sebagian dari
keuntungan tersebut merupakan imbangan atas kelebihan usahanya
terhadap usaha pihak yang lain. Karena seseorang dengan lainnya itu
berbeda-beda kemampuan usahanya, sebagaimana berbeda-beda pula
dalam segi-seginya.

c) Usaha

Imam Malik berpendapat sebagaimana telah kami katakana bahwa


sesuatu usaha itu mengikut kepada harta dan tidak dianggap berdiri sendiri.
Tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa usaha itu bersama-sama
dengan harta.16

Ibnu I-Mundzir mengatakan bahwa para ulama telah berpendapat


terhadap kebolehan serikat dagang, dimana masing-masing dari kedua
peserikat mengeluarkan harta yang sama seperti harta yang dikeluarkan oleh
pihak yang lain, yakni dirham dan dinar. Kemudian kedua belah pihak

16
Ibid., hlm 264-268

11
mencampurkan kedua macam harta itu menjadi satu kesatuan harta yang
tidak mungkin dibeda-bedakan, dengan syarat bahwa kedua belah pihak
menjual dan membeli jenis barang dagangan yang dipandang perlu oleh
keduanya, dan bahwa kelebihan (keuntungannya). Yang diperoleh akan
dibagi separuh-separuh diantara keduanya. Begitu pula jika terjadi kerugian,
maka masing- masing menanggung separuhnya. Yakni apabila salah satu
pihak menjual dengan dihadiri oleh pihak yang lain.

Pensyaratan yang diberikan oleh Ibnu I-Mundzir seperti itu


menunjukkan bahwa dalam masalah syarat terdapat perselisihan pendapat,
pendapat yang terkenal dikalangan jumhur fuqaha adalah bahwa penjualan
oleh salah satu pihak dengan dihadiri oleh pihak lainnya bukan merupakan
syarat bagi serikat dagang.17

2) Serikat Mufawadhah
Fuqaha berselisih pendapat tentang serikat mufawadhah, Imam
Malik dan Abu Hanifah secara garis besar sependapat atas kebolehannya,
meski keduanya masih berselisih pendapat tentang beberapa syaratnya.
Sedang Imam SyafiI berpendapat bahwa serikat mufawadhah itu tidak
boleh.
Makna serikat mufawadhah ialah jika salah seorang dari dua
peserikat menyerahkan kepada pihak lain untuk membelanjakan hartnya,
baik dengan kehadirannya atau ketidakhadirannya dan ini berkenaan dengan
semua macam hak milik.
Imam SyafiI mengemukakan alasan bahwa sebutan serikat itu
hanya berlaku pada percampuran harta, karena keuntngan itu bercabang-
cabang, sedang cabang-cabang ini tidak boleh bersama-sama kecuali denga
bersama (bercampur)nya modal. Jika masing-masing pihak mensyaratkan
keuntungan bagi pihak yang lain pada milik dirinya, maka hal ini termasuk
kesamaran yang tidak dibolehkan. Inilah sifat serikat mufawadhah.

17
Loc. Cit.,

12
Imam Malik berpendapat bahwa masing-masing pihak telah menjual
sebagian dari hartanya dengan sebagian harta dari pihak lain. Kemudian
masing-masing sari keduanya menguasakan kepada pihak lainnya untuk
memikirkan bagian yang masih tersisa di tangannya.18
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syarat serikat mufawadhah
adalah adanya kesamaan modal (antara kedua peserikat). Sedang Imam
Malik berpendapat bahwa kesamaan modal tersebut tidak menjadi syarat,
karena disamakan dengan serikat inan.19
Imam Abu Hanifah mengatakan, bahwa salah satu pihak tidak
mempunyai bagian apapun kecuali jika ia masuk dalam serikat dagang
tersebut. Ia mengemukakan alasan, bahwa sebutan mufawadhah itu
menghendaki adanya kedua perkara ini.20 Yakni kesamaan macam kedua
harta dan penyeluruhan hak milik kedua belah pihak.
3) Serikat Abdan
Secara garis besar, Imam Abu Hanifah dan fuqaha Malikiyah
berpendapat bahwa serikat abdan itu dibolehkan, tetapi Imam SyafiI
melarangnya.
Para ulama Syafiiyah berpegangan bahwa serikat dagang itu hanya
berkaitan dengan harta, bukan dengan pekerjaan. Karena pekerjaan itu tidak
bias ditentukan batas-batasnya. Oleh karenanya, merka berpendapat bahwa
serikat abdan itu merupakan suatu kesamatan, karena kapasitas kerja salah
satu pihak tidak bias diketahui secara pasti oleh pihak yang lain.
Ulama Malikiyah berpegangan pada kesamaan orang-orang yang
berpegang dalam penerimaan ghanimah (harta rampasan perang), dan
mereka berhak memperoleh demikian itu hanya karena kerja. Juga apa yang
diriwayatkan bahwa Ibnu Masud bersekutu (bekerja sama) dengan Saad
dalam perang Badar. Kemudian Saad memperoleh bagian dua ekor kuda,
sementara Ibnu Masud tidak memperoleh apapun. Lalu Nabi saw. tidak

18
Ibid., hlm. 269
19
Loc. Cit.,
20
Loc. Cit.,

13
mengingkarinya. Lagi pula, mudharabah (berniaga dengan harta orang lain)
itu terjadi atas usaha (kerja). Maka usaha itu pun dapat dijadikan dasar bagi
terjadinya serikat dagang. 21
Imam SyafiI berpendapat bahwa mudharabah itu sudah keluar dari
aturan-aturan pokok, hingga karenanya tidak bias dijadikan tempat
pengqiyasan. Begitu pula hukum ghanimah lebih tepat untuk tidak termasuk
dalam serikat.
Imam Malik berpendapat bahwa syarat bagi serikat abdan adalah
kesamaan macam pekerjaan dan tempat.
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa serikat abdan itu
dibolehkan, sekalipun jenis pekerjaannya berbeda.22
4) Serikat Wujuh
Imam Malik dan SyafiI berpendapat bahwa serikat wujuh itu tidak
sah. Tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat boleh. Serikat wujuh adalah
serikat tanpa pekerjaan dan tidak pula harta.
Imam Malik dan SyafiI berpegangan bahwa serikat itu hanya
berhubungan dengan urusan harta dan kerja, sementara kedua perkara ini
tidak terdapat pada serikat wujuh. Disamping itu, di dalamnya terkandung
kesamaran, karena masing-masing dari kedua belah pihak menggantikan
kawannya dengan suatu pendapatan yang tidak ditentukan oleh pekerjaan
dan tidak pula usaha yang khusus.
Sebaliknya Imam Abu Hanifah berpegangan bahwa serikat wujuh
itu merupakan salah satu bentuk usaha, hingga karenanya dapat menjadi
dasar serikat.

21
Ibid., hlm. 270
22
Loc. Cit.,

14
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau


percampuran. Dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan dua macam syirkah yaitu
syarikat abdan dan syarikat anan, sedangkan dalam kitab Bidayatu l-Mujtahid,
serikat dibagi menjadi empat macam yaitu serikat inan, serikat abdan, serikat
mufawadhah, dan seriakt wujud.

Dalam kitab Bidayatu l-Mujtahid disebutkan bahwa yang telah disepakati


para fuqaha dalam kebolehannya adalah serikat inan, meski sebagian fuqaha tidak
mengenal kata-kata tersebut dan memperselisihkan beberapa syaratnya. Sedangkan
dalam kitab Kifayatul Akhyar diantara dua macam syirkah yang disebutkan,
Syarikat abdan disebutkan hukumnya batal dan tidak sah dan Syarikat anan adalah
sah berdasarkan hadits dan ijma ulama telah sepakat mengenai syarikat anan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2007. Kifayatul Akhyar,
terj. Syarifuddin dan Mishbah Musthafa. CV. Bina Iman: Surabaya.
Al-Qurtubi, Ibnu Rusd. 2007. Bidayat al-mujtahid wanihayat al-muqtasid. Dar Al-
Kotob Al-ilmiyah.

Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatu l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris


Abdullah. Asy-Syifa: Semarang.

Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

16

Anda mungkin juga menyukai