Anda di halaman 1dari 9

BAGI HASIL: Mudharabah, Musyarokah, Muzaraah, Musaqah

Oleh: Sri Sulastri (111-11-012); Nur Aslihudin (111-11-152); Siti Asiyah


(111-11-014)
A. Mudharabah
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata

yangg

artinya



yakni melakukan perjalanan untuk berdagang. Dalam alQuran surat al-Muzammil:20 disebutkan:


...












...

Artinya:
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah swt.
Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau
lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak
lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa
keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang
mereka tetapkan bersama.
Dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja
bukan kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga,
melainkan antara harta dengan tenaga. Disamping itu, juga terdapat unsur
syirkah (kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun, apabila terjadi
kerugian maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal,
sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian karena ia telah rugi tenaga
tanpa keuntungan.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya
dibolehkan berdasarkan al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Adapun dalil
dari al-Quran surat al-Muzammil:20 yang berbunyi:


...












...

Artinya:
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah swt.
Sedangkan dari sunnah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:

Artinya:
Dari Ala bin Adurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin
Affan memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya dengan
ketentuan keuntungan dibagi diantara mereka berdua. (HR. Imam Malik)

a.

1.
2.
3.
4.
5.
b.

1.
2.
3.
4.

Dari ayat al-Quran dan hadis tersebut jelaslah bahwa mudharabah


(qiradh) merupakan akad yang dibolehkan. Hadis diatas dijelaskan tentang
praktik mudharabah oleh Utsam sebagai pemilik modal dengan pihak lain
sebagai pengelola.
Adapun dalil dari ijma, pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat
yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak
yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah
bin Masud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan
tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma.
Sedangkan dalil dari qiyas adalah bahwa mudharabah di-qiyas-kan
kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal
tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada yang kaya
dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki harta,
tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak lain
ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta
(modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut,
maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan
keuntungan.
Hukum mudharabah ada 2, yaitu:
Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah
maka menurut Hanafiah, Syafiiyah, Hanabilah mudharib tidah berhak
memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu melainkan ia
hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik
kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharib dalam semua hukum
mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan dalam
keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung dan ia
berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah yang
fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang sepadan), yaitu:
Qiradh dengan modal barang bukan uang.
Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti 1 tahun.
Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang.
Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak
tanpa sengaja.
Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad mudharabah yang rukun
dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih
ini meliputi beberapa hal, yaitu:
Kekuasaan mudharib.
Pekerjaan dan kegiatan mudharib.
Hak mudharib.
Hak pemilik modal.

3. Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul,
dengan menggunakan lafal yang menunjukan kepada arti mudharabah.
Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah dan
muamalah atau lafal-lafal lainyang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut.
Pemilik modal mengatakan: Ambilah modal ini dengan mudharabah,
dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi diantara kita berdua
dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga.
Adapun lafal qabul yang digunakan oleh amil mudharib (pengelola)
) dan semacamnya.
adalah lafal: saya ambil (
) , atau saya terima (


Apabila ijab dan qabul terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.
Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada 3 yaitu:
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola.
b. Maqud alaih, yaitu modal tenaga (pekerja) dan keuntungan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan Syafiiyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada 5 yaitu:
a. Modal.
b. Tenaga (pekerjaan).
c. Keuntungan.
d. Shighat.
e. Aqidain.
4. Syarat dan Macam Mudharabah
a. Syarat-syarat mudharabah
Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar mudharabah sah yang
berkaitan dengan aqid, modal dan keuntungan.
1) Syarat yang berkaitan dengan aqid
Adalah bahwa aqid, baik pemilik modal maupun pengelola harus orang
yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan melaksanakan
wakalah.
2) Syarat yang berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:
Modal harus berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, dolar dan lain
sebagainya,
Modal harus jelas dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka
mudharabah tidak sah.
Modal harus ada dan tidak boleh berupa hutang, tetapi tidak berarti harus
ada di majlis akad.
Modal harus diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk
kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan modal tersebut merupakan amanah
yang berada ditangan pengelola. Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama.
3) Syarat yang berkaitan tentang keuntungan
Antara lain sebagai berikut:
Keuntungan harus diketahui kadarnya.

Keuuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan


pembagian secara nisbah.
a.
Macam-macam mudharabah
Mudharabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Mudharabah mutlaq, yaitu akad mudharabah dimana pemilik modal
memberikan modal kepada amil tanpa disertai dengan pembatasan.
Mudharabah muqayyad, yaitu suatu akad mudharabah dimana pemilik
modal memberikan ketentuan atau batasan yang berkaitan dengan tempat
kegiatan usaha, jenis usaha,
barang yang menjadi objek usaha, waktu dan dari siapa barangg itu dibeli.
b. Hal-hal yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, yaitu:
Pembatalan, larangan tasarruf dan pemecatan.
Meninggalnya salah satu pihak.
Salah satu pihak terserang penyakit gila.
Pemilik modal murtad.
Harta mudharabah rusak ditangan mudhorib.
B. MUSYAROKAH
1.

Pengertian
Musyarokah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur
atau
percampuran.
Percampuran
disini
adalah
seseorang
yang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain, sehingga sulit untuk
membedakannya.
Sedangkan menurut istilah adalah kerja sama antara dua orang atau
lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama.

2. Dasar Hukum Al Musyarakah





maka mereka berserikat pada sepertiga . (An-Nisaa : 12)

Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu


sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (Shaad : 24)
Kedua ayat tersebut diatas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah
SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Al-Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama

salah satunya tidak menghianati yang lainnya. (HR Abu Dawud no 2936,
dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)
Ijma:
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun
terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.
3. Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun Musyarokah antara lain :
a. Ijab-kabul (sighah) adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
yang bertransakasi.
b. Dua pihak yang berakad (aqidani) dan memiliki kecakapan melakukan
pengelolaan harta
c. Objek aqad (mahal) yang disebut juga maqud alaihi, yang mencakup modal
atau pekerjaan
d. Nisbah bagi hasil
Syarat Musyarokah menurut Hanafiah :
a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan.
Yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan yang jelas
dan diketahui orang pihak-pihak yang bersyirkah.
b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:
Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat
pembayaran (nuqud).
Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan.
Syarat Musyarokah menurut Malikiyah :
a. Merdeka
b. Baligh
c. Pintar
4. Macam-macam Musyarokah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu:
a.
musyarakah pemilikan (Syirkah al-milk atau syirkah amlak) adalah
kepemilikan bersama kedua pihak atau lebih dari sebuah properti. Misalnya
karena wasiat, hibah, warisan dan lainnya; dan
b.
musyarakah akad (syirkah al-aqd atau syirkah ukud) adalah kemitraan
yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial
bersama. Musyarakah akad ini terbagi lagi menjadi :
1) Syirkah al-inan
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan sama-sama
memberikan andil dalam modal dan kerja namun tidak harus sama porsinya.

Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang


telah ditentukan.
2) Syirkah mufawadhah
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan kesamaan dalam
penyertaan modal, pengelolaan, kerja, dan pembagian keuntungan.
3) Syirkah al-amaal
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan sama-sama ambil
bagian dalam melayani atau memberikan jasa pada pelanggan.
4) Syirkah al-wujuh
Kontrak kerja sama antara du pihak atau lebih yang memiliki reputasi dan
prestise baik serta ahli dalam bisnis dimana masing-masing pihak tidak
memiliki investasi sama sekali. Kemuadian mereka membeli komoditas
secara tangguh dan menjualnya dengan tunai.
C. MUZARAAH
1. Definisi dan Dasar Hukum Muzaraah
a) Definisi Muzaraah
Fiil madhi muzaraah adalah zaraa yang artinya mengadakankerja
sama. Sedangkan menurut istilah muzaraah adalah suatu akad kerja sama
antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah
pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka. Dalam muzaraah ini
Syafiiyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik
tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan
muzaraah melainkan mukhabaroh.
b) Dasar Hukum Muzaraah
Muazarah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu
Hanifah dan Zufar, serta Imam As-Syafii tidak membolehkannya. Akan
tetapi sebagian Syafiiyah membolehkannya dengan alasan kebutuhan.
Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw:

Artinya:
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw
melarang untuk melakukan muzaraah, dan memerintahkan untuk
melakukan muajarah (sewa menyewa).
Menurut jumhur ulama, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin
Malik, Ahmad dan Dawud Azh-Zhahiri, muszaraah itu hukumnya boleh.
Disamping itu muzaraah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu
kerja sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut
dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang

menganggur bisa bermanfaat,


memperoleh pekerjaan.

dan

orang

yang

menganggur

bisa

2. Rukun dan Syarat-syatar Muzaraah


a) Rukun Muzaraah
Menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yaitu berupa pernyataan pemilik tanah. Sedangkan
menurut jumhur ulama sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun muzaraah ada 3 yaitu:
1) Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2) Maqud alaih (objek akad), yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3) Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzaraah tidak diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan
cukup dengan penggarapan tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan
perbuatan (bil fili).
b) Syarat-syarat Muzaraah
1) Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzaraah ini meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (Aqid),
tanaman, hasil tanaman, tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa
muzaraah.
2) Menurut Malikiyah
Syarat muzaraah ada 3, yaitu:
Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu
dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
Kedua belah pihak yang berserikat.
Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3) Menurut Syafiiyah
Ulama Syafiiyah tidak mensyaratkan dalam muzaraah persamaan hasil yang diperoleh
antara pemilik tanah dengan pengelola (penggarap). Menurut mereka muzaraah adalah
penggarapan tanah dengan imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik
tanah.
4) Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafiiyah, yaitu sebagai berikut:
Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
Bagian masing-masing pihak harus jelas.
Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.
3. Berakhirnya Akad Muzaraah
Muzaraah terkadang berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya
tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzaraah berakhir sebelum
terwujudnya tujuan muzaraah, karena sebab-sebab berikut:
a) Masa perjanjian muzaraah telah berakhir.
b) Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan
maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
c) Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.
D. MUSAQAH
1. Definisi dan Dasar Hukum Musaqah
a) Definisi Musaqah

Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufaalah dari kata assaqyu yang sinonimnya asy-syurbu yang berarti memberi minum. Penduduk
Madinah menamai musaqah sama dengan muamalah yang merupakan
wazn mufaalah dari kata amila yang artinya bekerja (bekerja sama).
Sedangkan menurut istilah adalahsuatu akad antara dua orang
dimana pihak pertama memberikan pepohonan dalam sebidang tanah
perkebunan untuk diurus, disirami dan dirawat sehingga pohon tersebut
menghasilkan buah-buahan, dan hasil tersebut dibagi diantara mereka
berdua. Namun, Syafiiyah membatasi perjanjian musaqah ini hanya dengan
pohon kurma atau anggur saja, tidak diperluas kepada semua pepohonan.
b) Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut Hanafiah sama dengan muzaraah, baik hukum
maupun syarat-syaratnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah
dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya,
hukumnya batal, karena hal itu termasuk akad sewa menyewa yang
sewanya dibayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh syara,
sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw dari Rafi bin Khadij bahwa
Nabi saw bersabda:

2.

1)
2)
3)
3.
a)

Artinya:
Brang siapa yang memiliki sebidang tanah,maka hendahlah ia
menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga dan
tidak pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang
disebutkan (tertentu).
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama,
musaqah diperbolehkan.
Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah, rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab
dinyatakan oleh pemilik pepohonan sedangkan qabul diucapkan oleh
penggarap. Menurut Malikiyah, akad musaqah mengikat lazim dengan
diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut
Hanabilah, musaqah sama dengan muzaraah tidak perlu qabul dengan
lafal, melainkan cukup memulai dengan penggarapan secara langsung.
Syafiiyah justru mensyaratkan adanya qabul dengan lafal.
Menurut jumhurulama, rukun musaqah ada 3, yaitu:
Aqidain, yaitu pemilik kebun dengan penggarap.
Objek akad, yaitu pekerjaan dam buah.
Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Berakhirnya Akad Musaqah
Seperti halnya akad muzaraah, akad musaqah berakhir karena
beberapa hal yaitu:
Telahselesainya maa yang disepakati oleh kedua belahpihak. Dalam
hubungan ini, Syafiiyah berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya
masa musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambilnya karena

b)

c)

4.
a)
b)

c)

d)

masa penggarapan sudah habis. Akan tetapi menurut Hanafiah, apabila


sampai dengan masa habisnya musaqah, buah belum keluar atau belum
masak maka berdasarkan istihsan, musaqah masih tetap berlaku sampai
buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau berhenti
atau terus bekerja tanpa diberi upah.
Meninggalnya salah satu pihak. Hanabilah berpendapat bahwa musaqah
tidak batal karena meninggalnya penggarap. Apabila penggarap meninggal
maka ahli warisnya menggantikan tempat penggarap dalam bekerja.
Apabila mereka menolak maka mereka tidak boleh dipaksa untuk bekerja.
Dalam hal ini, atas dasar putusan hakim, ahli waris pemilik boleh menyewa
orang untuk bekerja dengan imbalan yang diambil dari harta warisnya.
Akadnya batal disebabkan iqalah (pernyataan batal)secara jelas atau
secara uzur. Menurut Syafiiyah, musaqah tidak batal karena adanya uzur.
Apabila penggarap berkhianat misalnya, maka ditunjuklah seorang
pengawas yang mengawasi pekerjaanya sampai selesai. Sedangkan
Hanabilah, sama pendapatnya dengan Syafiiyah, yaitu musaqah tidak batal
karena adanya uzur. Apabila penggarap sakit misalnya, dan ia tidak mampu
bekerja maka ditunjuk orang lain yang menggantikannya untuk sementara,
tanpa mencabut kewenangan penggarap.
Perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah
Menurut Hanafiah, musaqah sama dengan muzaraah kecuali dalam 4
hal yaitu:
Dalam musaqah, apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan akad
maka ia bisa dipaksa, sedangkan dalam muzaraah hal tersebut tidak bisa
dilakukan.
Apabila masa perjanjian musaqah sudah habis maka akad diteruskan tanpa
upah sampai pohon berbuah. Sedangkan dalam muzaraah, apabila masa
sudah habis dan hasilnya belum keluar maka penggarap terus bekerja
dengan mendapat upah yang sepadan dengan bagian dari hasil garapannya.
Dalam musaqah, apabila pohon kurma yang berbuah diminta oleh selain
pemilik tanah maka penggarap harus diberi upah yang sepadan. Sedangkan
dalam muzaraah, jika pohon diminta sesudah ditanami maka penggarap
berhak atas nilai bagiannya dari tanaman yang tumbuh. Akan tetapi, apabila
tanah diminta setelah dimulai pekerjaan dan sebelum ditanami maka
penggarap tidak memperoleh apa-apa.
Penjelasan tentang masa dalam musaqah bukan merupakan syarat
berdasarkan istihsan, melainkan cukup dengan mengetahui waktunya
berdasarkan adat kebiasaan. Sedangkan dalam muzaraah, menurut usul
madzhab Hanafi waktu harus ditentukan meskipun dalam fatwanya waktu
musaqah tidak perlu dinyatakan dengan tegas.

Anda mungkin juga menyukai