membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun
dapat difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau
beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh
keuntungan bersama.
Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang
artinya: Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada yang
sepertiga itu,.dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : Saya yang ketiga dari dua
orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah
satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari keduanya. HR. Abu Daud dan dishahihkan
oleh Al-Hakim.
2. Landasan Syariah
Akad syirkah ini mendapatkan landasan syariahnya dari al-Quran, hadis dan ijma.
1) Dari al-Quran
Maka mereka berserikat dalam sepertiga Q.S. An-Nisa : 12. Ayat ini sebenarnya
tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan
kepada syirkah jabariyyah ( yaitu perkongsian beberapa orang yang terjadi di luar kehendak
mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka).
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar
berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
sholeh. Q.S. Shod: 24. Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat
dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Kedua ayat al-Quran ini jelas
menunjukkan bahwa syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu
dan telah dipraktekkan.
2) Dari Sunnah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya
Allah SWT telah berfirman : Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah
satu dari kedunya tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah
mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu. H. R. Abu Dawud dan al-Hakim. Arti
hadis ini adalah bahwa Allah SWT akan selalu bersama kedua orang yang berkongsi dalam
kepengawasanNya, penjagaanNya dan bantuanNya. Allah akan memberikan bantuan dalam
kemitraan ini dan menurunkan berkah dalam perniagaan mereka. Jika keduanya atau salah satu
dari keduanya telah berkhianat, maka Allah meninggalkan mereka dengan tidak memberikan
berkah dan pertolongan sehingga perniagaan itu merugi. Di samping itu masih banyak hadis
yang lain yang menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktekkan syirkah ini sementara
Rasulullah SAW tidak pernah melarang mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Rasulullah
telah memebrikan ketetapan kepada mereka.
3) Ijma
Kaum Muslimin telah sepakat dari dulu bahwa syirkah diperbolehkan, hanya saja
mereka berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis syirkah yang banyak variasinya itu.
3. Macam-macam musyarakah
Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang
kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara kedua pihak. Ini
ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan
ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menerima hibah atau
menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi
ahli waris.
Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihakpihak (syirkah al-uqud). Ini ada beberapa macam:
a. Syirkah Inan
Syirkah Inan adalah Kerjasama antara 2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan
modal dan menjalankan usaha atau bisnis.
Contoh bagi syirkah inan: Ibrahim dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan
burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini
diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma sahabat. Disyaratkan bahwa modal yang
dikongsi adalah berupa uang. Modal dalam bentuk harta benda separti kereta/gerobak harus
diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah)
dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak memberi/berkongsi modal kepada rekan
kerjanya berarti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk
dikelola.
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bekerjasama, manakala
kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami
meriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan: Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan
keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati
b. Syirkah Abdan
Syirkah Abdan adalah kerjasama 2 orang atau lebih yang hanya melibatkan
tenaga(badan) mereka tanpa kerjasama modal.
Sebagai contoh: Jalal adalah Ahli bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang
berkerjasama menyiapkan projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus
mengeluarkan uang atau biaya. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu masud pernah
berkata Aku berkerjasama dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta
rampasan perang badar. Saad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak
membawa apa pun (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw dan
membenarkannya.
c. Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan. satu pihak
menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990:
152).
Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal
memberikan modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola
modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah.
pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud
dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka
memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh
seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan keuangan
(tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
e. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, abdan, mudharabah dan wujuh).
Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab,
setiap jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai
dengan nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal saja (jika berupa
syirkah mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang dagangan
yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam
yang sebelumnya sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah abdan yaitu B
dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga
wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal di samping
melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti terwujud syirkah
wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.
4. Rukun dan Syarat Syarikat Al-Uqud
Menurut Hanafiyah untuk terjadinya syarikah al-uqud, maka harus ada ijab dan qabul.
Sedangkan menurut Jumhur, rukunnya ada tiga, yaitu: a. Dua orang yang berakal sehat, b. Objek
yang diperjanjikan dan c. Lafaz akad yang sesuai dengan isi. Lebih lanjut Jumhur ulama
berpendapat bahwa rukun akad pada umumnya adalah al-aqidaini, mahallu al-aqd dan sighat
al-aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa Az-Zarqa menambah satu lagi, yakni maudhu
al-uqd (tujuan akad).
Sedangkan syarat syarikat al-uqud pada umumnya adalah:
a. Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b. Pembagian keuntungan yang jelas
c. Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau
kewajiban.
B. Mudharabah
1) Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir,
berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.
Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang
membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para
ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, suatu perjanjian untuk berkongsi
didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal
dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang
itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
modal/mudharib)
memberikan
hartanya
kepada
pihak
lain
(pihak
3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya
(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk Khaibar, dengan
mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari
kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang,
bukan prosentase, karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak
membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usaha apa dan dimana,
kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan
mudharabah baik dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau
bebas.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku.
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha
menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang
atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk
keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Bentuk-bentuk musyarakah dan mudharabah ini tidak sama pada setiap bank syariah,
sebagai contoh, menurut Azwar, pada BNI Syariah Cabang Medan, usaha-usaha mudharabah
ada yang dalam bentuk penghimpunan dana, yaitu Tabungan Syariahplus, Deposito Mudharabah
dan THI (Tabungan Haji Indonesia) mudharabah dan dalam bentuk penyaluran dana berupa
pembiayaan usaha (seperti proyek agribisnis dan jasa), pembiayaan transaksional dan trnsaksi
eksport; sedangkan musyarakah adalah dalam bentuk kemitraan pembiayaan proyek, joint
ventura, ekspor/impor, modal kerja dan investasi.
Sedangkan pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Paduarta Insani Medan,
dalam bentuk mudharabah antara lain Tabungan Mudharabah Insani dan Deposito Mudharbah
Insani;sedangkan musyarakah antara lain dalam bentuk Pembiayaan Syariah Insani.
Pembiayaan ini dengan menggunakan lembaga jaminan, seperti gadai, fiducia dan kuasa jual.
II. Upaya Perbankan Syariah Memelihara Prinsip-prinsip Syariah
Meskipun suatu lembaga telah menyandang nama syariah, namun tidak tertutup
kemungkinan dalam menjalankan usahanya menyimpang dari nama yang disandang tersebut.
Dalam menjalankan usahanya Bank Berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah berupaya menjaga dan
memelihara agar prinsip-prinsip syariah tersebut tetap terpelihara dalam operasionalnya. Upayaupaya yang dilakukan tersebut dapat dikemukakan antara lain :
A. Melalui struktur organisasi
Dalam struktur organisasi bank syariah, ada lembaga yang bertugas dan
bertanggungjawab memberikan pengawasan terhadap operasional bank syariah, yakni Dewan
Pengawas Syariah. Lembaga ini biasanya ditempatkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris
pada setiap bank. Anggota Dewan Pengawas Syariah ditetapkan oleh Rapat Pemegang Saham
dari calon yang telah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Dewan Pengawas Syariah bertugas meneliti produk-produk baru bank syariah dan
memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat pernyataan
bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.
Selain Dewan Pengawas Syariah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syariah
Nasional (DSN).Lembaga ini didirikan pada tahun 1997, merupakan lembaga otonom di bawah
Majelis Ulama Indonesia yang ketua dan sekretaris umumnya secara ex oficio dijabat oleh Ketua
dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia. Tugas lembaga ini antara lain adalah :
1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, asuransi syariah,
reksadana syariah, modal ventura dan lain-lain.
2. Meneliti dan memberi fatwa terhadap produk-produk yang akan dikembangkan pada bank-bank
syariah yang diajukan oleh manajemen bank yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi
dari Dewan Pengawas Syariah.
3. Mengeluarkan pedoman yang akan digunakan oleh Dewan Pengawas Syari ah dalam mengawasi
bank-bank syariah.
4. Merekomendir para ulama yang akan ditugaskan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah.
Dalam melaksanakan fungsinya DSN dapat memberikan teguran kepada lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan apabila lembaga tersebut menyimpang dari garis panduan
yang ditetapkan. Hal ini terjadi antara lain apabila Dewan Syari ah Nasional menerima laporan
dari Dewan Pengawas Syariah tentang penyimpangn tersebut.
B. Melalui Bisnis Usaha Yang Dibiayai
Upaya lainnya dari bank syariah untuk menjaga agar usaha yang dijalankan tetap
sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah adalah melalui bisnis usaha yang dibiayai. Sebelum
menyetujui usul pembiayaan oleh bank syariah, lebih dahulu diseleksi hal-hal yang
berhubungan dengan usaha pembiayaan tersebut. Ini dilakukan agar jangan sampai usaha yang
dibiayai bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Hal-hal yang diperhatikan sebelum menyetujui usul pembiayaan tersebut antara lain
adalah :
1. Apakah obyek pembiayaan halal atau haram.
2. Apakah obyek pembiayaan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
3. Apakah berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila.
4. Apakah obyek berkaitan dengan perjudian.
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau berorientasi pada pembangunan
senjata pemusnah massal.
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
C. Lingkungan Kerja dan Corporate culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan
syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan,
sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu karyawan bank
syariah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara teamwork, di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam
hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
III. Sengketa Bank Syariah
Menurut Sitimegadianty Adam dan Takdir Rahmadi sebagimana dikutip Rachmadi
Usman, dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni conflict dan dispute yang
kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan di antara kedua pihak atau
lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap kedalam bahasa
Indonesia menjadi konflik, sedangkan kosa kata dispute dapat diterjemahkan dengan kosa kata
sengketa. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan
pada pebedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa
dirugikan hanya memendam perasan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah
atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilaman pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
Sengketa perbankan syariah di sini maksudnya adalah perbedaan kepentingan di
antara dua pihak atau lebih dalam perbankan syariah yang mengakibatkan tejadinya kerugian
bagi pihak atau pihak-pihak tertentu, dan perbedaan kepentingan atau kerugian tersebut
dinyatakan kepada pihak yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak lain, dan
pihak lain tersebut memberikan pendapat yang berbeda.
Dihubungkan dengan produk-produk musyarakah dan mudharabah pada perbankan
syariah, maka sengketa mungkin saja terjadi dalam lingkup produk pengumpulan dana, seperti
tentang jumlah atau angka-angka tabungan/deposito, atau bila nasabah merasa bahwa
keuntungan yang diterimanya tidak wajar atau menyalahi kesepakatan; juga dimungkinkan
apabila nasabah tidak dapat menarik dananya pada waktu yang ditentukan dan sebagainya, juga
apabila nasabah merasa bahwa dananya telah digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang
tidak berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sengketa mungkin juga terjadi pada produk-produk pembiayaan syariah, seperti
dalam hal terjadi kerugian dalam produk pembiayaan berbentuk mudharabah, lalu bank sebagai
shahibul maal membebankan kerugian tersebut kepada pengusaha/dharib, sedangkan pengusaha
merasa bahwa dirinya tidak bersalah. Juga mungkin apabila pengusaha tidak menjalankan
usahanya dengan sungguh-sungguh atau tidak jujur sehingga timbul kerugian, atau apabila
kejujuran dharib tidak diakui oleh bank dan sebagainya.
Pada produk musyarakah sengketa mungkin terjadi karena masing-masing pihak
merasa mitranya tidak jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak efisien atau tidak maksimal
menjalankan usaha bersama sehingga terjadi kerugian.
Apabila terjadi sengketa syariah, maka berdasarkan penjelasan Pasal 49 Undangundang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
lembaga yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Agama. Meskipun demikian, ada
kemungkinan sengketa perbankan syariah tidak diajukan ke Pengadilan Agama. Ini terjadi
apabila dalam perjanjian atau akad produk telah ditentukan lembaga-lembaga lain atau cara lain
yang akan menyelesaikan sengketa. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
tentang kebebasan berkontrak.
Menurut Suyud Margono, sebagaimana dikemukakan John Marlon M. dalam
masyarakat terdapat berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal yang
dapat dijadikan acuan dalam menjawab sengketa yang mungkin timbul, yakni :
1. Proses konsensus (consensus processes), yakni ombudsman, pencari fakta secara netral (neutral
fact finding), negosiasi (negotiation), mediasi (mediation) dan konsiliasi (consiliation).
2. Proses ajudikasi semu (quasi adjudicatory processes), yakni mediasi arbitrase (med-arb),
persidangan mini (mini trial), pemeriksaan juri secara sumir (summary jury trial) dan evaluasi
netral secara dini (early neutral evaluation).
3. Proses ajudikasi (adjudicative processes), yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase (arbitration).