Secara bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan. Yang
dimaksud dengan pencampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Adapun menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama:
“Akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
“Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta
mereka.
“Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling tolong menolong dalam
suatu usaha dan membagi keuntungan”.
Syirkah memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam islam, sebab keberadaannya
diperkuat oleh al-Quran, hadis, dan ijma ulama. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
mengisyaratkan pentingnya syirkah di antaranya terdapat dalam al-Quran surat Saad ayat 24:
Artinya: Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang nerserikat itu sebagian mereka berbuat
zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
sholeh dan amat sedikit mereka itu.
“Aku adalah orang ketiga dari dua hamba-Ku yang bekerja sama selam keduanya tidak
berkhianat. Jika salah satunya berkhianat, maka aku akan keluar dari keduanya dan penggantinya
adalah syetan”. (HR.Abu Daud)
Berdasarkan sumber hukum di atas maka secara ijma para ulama sepakat bahwa hukum syirkah
yaitu boleh.
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada
perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun
syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan
kabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Istilah ijab dan Kabul sering disebut dengan
serah terima.
Adapun pendapat hanafiyah yang membatasi rukun syirkah pada ijab dan Kabul
saja itu masih brsifat umum karena ijab Kabul berlaku untuk semua transaksi. Adapun
syarat syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah.
Jika tidak terwujud maka transaksi syirkah batal.
1. Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta, maupun yang lainnya.
1) Mengungkapkan kata yang menunjukkan izin anggota yang berserikat kepada pihak
yang akan mengendalikan harta itu.
C. Macam-macam Syirkah
Syirkah amlak artinya bila lebih dari satu otang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik
bersifat ikhtiari atau jabari. Artinya, barang tersebut dimiliki oleh kedua orang atau lebih tanpa
didahului oleh akad. Hak kepemilikan tanpa akad itu dapat dibedakan oleh dua sebab:
a. Ikhtiari (Syirkah amlak ikhtiari) yaitu perserikat yang muncul akibat tindakan hukum
orang yang berserikat, seperti dua orang yang sepakat membeli suatu barang atau
keduanya menerima hibah, wasiat,atau waqaf dari orang lain maka harta ini menjadi
harta serikat (bersama) bagi mereka berdua.
b. Jabari (Syirkah amlak jabari) yaitu persyerikatan yang muncul secara paksa bukan
keinginan orang yang berserikat) artinya hak milik bagi mereka berdua atau lebih
tanpa dikehendaki oleh mereka.
Menurut para fuqaha, hukum kepemilikan syirkah amlak disesuaikan dengan hak
masing-masing yaitu bersifat sendiri-sendiri secara hukum. Artinya seseorang tidak
berhak untuk menggunakan atau menguasai milik mitranya tanpa izin dari yang
bersangkutan. Karena masing-masing mempunyai hak yang sama.
Syirkah uqud adalah dua orang atau lebih melakukan akad untuk bekerja sama
dalam modal dan keuntungan.
a. Syirkah Inan, yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang
tidak selalu sama jumlahnya.
c. Syirkah al-Abdan, yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi
bersama sesuai dengan kesepakatan
d. Syirkah al-Wujuh, yaitu perserikatan tanpa modal, artinya dua orang atau lebih
membeli suatu barang tanpa modal.
D. Hikmah Syirkah
Ajaran Islam, mengajarkan supaya kita menjalin kerja sama dengan siapa pun
terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip salin tolong menolong dan menguntungkan,
tidak menipu dan merugikan. Maka hikmah yang dapat kita ambil dari syirkah yaitu tolong
menolong, saling bantu membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan
saling percaya, menyadari kelemahan, dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam
usaha jika tidak berkhianat.
Secara bahasa riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan
baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar
selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu
mengambalikan uang pinjaman itu yaitu disebut dengan riba nasiah.
Riba nasiah ini pernah dipraktikkan oleh kaum Thaqif yang biasa meminjamkan uang
kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan
membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh
sahabat Nabi SAW. pernah mempraktikkannya, sehingga turun ayat yang mengharamkannya.
Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan praktik riba, karena
mereka telah menganggap jual beli sama dengan riba.
Artinya: “Orang-orang yang memakn riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS.
Al-baqarah: 275)
Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa pada riba nasiah mengandung tiga unsur yaitu:
2. Tambhan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si
peminjam.
Para fuqaha menjelaskan bahwa perbedaan antara riba dengan perbuatan terpuji ialah riba
tambahan pembayarannya disyaratkan pada waktu akad, sedangkan perbuatan terpuji itu
tambahan yang diberikan tanpa ada hal yang mengikatnya.
Jenis kedua ialah riba fadhal. Merupakan riba yang kedudukannya sebagai penunjang
diharamkannya riba nasiah. Rasulullah SAW. melarang menjual emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali dengan sama banyak yang
secara tunai. Barang siapa yang menambahn atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang
mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
Islam dengan tegas dan pasti mengharamkan riba. Hal itu untuk menjaga kemaslahatan
hidup manusia dari kerusakan moral, sosial, dan ekonominya. Yusuf Qardhawi dan para ulama
telah menyebukan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:
2. Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja sehingga
manusia melalaikan perdagangannya dan perusahaannya.
4. Biasanya orang yang memberi utang adalah orang kaya dan yang berutang ialah orang
miskin.
Dampak negatif yang diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut diatas sangat berbahaya
bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat dan berbangsa. Jika praktik riba
ini tumbuh subur dimasyarakat, maka terjadi sistem kapitalis dimana terjadi pemerasan dan3
penganiayaan terhadap kaumlemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semabkin tertindas.
MUGHAARASAH
1. Pengertian Mughaarasah
Mughaarasah menurut masyarakat syam (suriah) dinamakan munasaabah yang artinya paroan. Karena
lahan yang telah diolah menjadi milik mereka secara bersama sama dan masing masing pihak
mendapatkan bagian separo (paroan).
Mughaarasah adalah perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah garapan untuk mengolah dan
menanami lahan garapan yanbg belum ditanami (tanah kosong) dengan ketentuan mereka secara
bersama sama memiliki hasil dari tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama.[2]
Menurut jumhur Ulama (Maliki, Syafi’I, Hambali) berpendapat tidak boleh, tetapi mahzab maliki
mengatakan boleh dengan beberapa persyaratan.
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahawa pemilik tanah menyerahkan tanah garapan kepada
seseorang untuk digarap dalam masa beberapa tahu, dengan kektentuan baik tanah maupun
tanamannya mereka bagi dengan kesepakatan bersamakarena perjanjian itu tidak sah.
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani(murid Abu Hanifah) membolehkan
bentuk mughaarasah, mereka mengiasakan (menganalogikakan) dengan perjanjian yang dilakuakan
Rasulullah dengan tanah rampasan perang di Khaibar.
I. Tanaman yang akan ditanam adalah tanaman yang halal pohonnya(tanaman keras) dengan
menghasilakan buah(mamfaat) yang dipetik dan bukan tanaman palawija.
II. Tananaman yang akan ditanam tidak jauh bebeda masa antara satu junis dengan tanaman
yang lain. Apabila tanaman yang ditanam jauh masa berbuahnya berbeda dengan jenis
jenis yang lainnya, maka tidak boleh dilakukan perjanjian mughaarasah.
III. Penentuan masa mughaarasah itu jangan terlalu lama, jikia disyaratkan masa
perjanjian sampai tanaman berbuah, maka perjanjian itu tidak dapat dibenarkan.
V. Perjanjiaan mughaarasah tersebut tidak terkait dengan hal yang dipersengketakan karena
ada kemunbgkinan akan merugikan pihak penggarap. Karena ada kem ungkinan tanah itu
berpindah kepada pihak ketiga. Selanjutnya imam malik mengatakan perjanjian
mugharasah akan batal apabila. Dalam perjanjian itu dikekmukankan, bahwa salah satu
pihak tidak mendapatkan bagian atau bagiannya sedikit sekali baik untuk penggarap
maupun untuk pemilik lahan.
VI. Perjanjian itu dilakukan dengan cara tangguh (ada tenggang waktu), tidak lansung berlaku
setelah perjanjian itu dibuat.[3]
Menuruh Wahbah az-Zuhaili,penggarap tanah kosong adalah sah, bila penggarap mendapatkan
bagian tertentu dari seluruh tanah yang digarap dan hasilnya.
MUZARA’AH
A. Pengertian Muzara’ah
Dalam membahas hukum al- muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama, Imam
Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Menurut
Asy-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Muslimah dari Tsabit Ibn al-Dhahak :
Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra ;
ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻤﺰﺍﺭﻋﺔ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻣﺮ ﺍﻥ ﻳﺮﻓﻖ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ ﺑﻘﻮﻟﻪﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺍﺭﺽ ﻓﻠﻴﺰﺭﻋﻬﺎ ﺍﻭ ﻟﻴﻤﻨﺤﻬﺎ ﺍﺧﺎﻩ.ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺹ ﻡ
ﻓﺎﻥ
Hukum-hukum Muzara’ah
4. Jumhur ulama melarang penyewaan tanah dengan makanan, karena itu artinya
jual beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda dan harga berbeda yang
diharamkan agama.
5. Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah. Jika bibit tanaman dari penggarap
tanah, itu namanya mukhabarah. Tetapi ada perbedaan pendapat dalam masalah ini,
seperti perkataan Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari
pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata Imam
Bukhari rohimahulloh: Umar ra memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar
maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah
seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah
itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar
(tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
6. Menyewakan tanah dengan kontan lebih baik dari pada dengan akad muzara’ah.
ﺽ ﻓ ْﻠ ﻋ ْ ﻟ ﻳ ْﺰ ْﻭ ِﻟ َﻴ َﻬﺎَﺃ ﺧﺎ ُﻩ ُ ﻣ ْﻦ ﻛﺎ ﺖ
ﻟﻪ ﺃ
َﻴ ْﺰ َﺭ َﻬﺎ ﻥ ْﻢ َﺭ ْﻤ َﻨ ﻋَﻬﺎﺃَ َ◌ ﺤ ْﺭ ﻧ
ِﺈ
ﻓ
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh
saudaranya untuk menanaminya.”
“Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia
mengambil imbalan tertentu.”
Muzara’ah Fasid
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti
pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian
tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa
jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman
penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah
satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung
keuntungan maupun kerugian bersama-sama. Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih
bagiannya dari tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang
penggarap mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan,
kezhaliman dan ketidakjelasan.
Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut
secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil tanah dan
penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi
maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada
kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan.
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Dan tidak boleh muzaraah dengan syarat
sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap.
Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah
berapa wasak
ﻒ ﺖ ﻟ َﺮﺍ ﻓ ْﻦ ﺫَ ِﻟ ﱠﻠﻰ ﷲ ِﻪ ﻭ ﺳ ﻓ َﻨ َﻬﻰ ﺍﻟ ﱠﻨ,ﺻ ْﺭﺽ ْﻭ ﺷﻲ ٍء ﻳﺴﺘَﺜْ ِﻨWَﺑﻌﺎ ِء ﺃ
َ ِ ﺑ َﻤﺎ ﻳ ْﻨ ُﺒﺖ ﺍﻷَ ْﺭ
ﻫﻲ َﻜ ْﻴ: ِﻓ ﻋ ْﻠ.َﻚ ﱠﻠ َﻢ ﻋ َﻠ ْﻴ ﺻ َِﺒﻲ ﺐ ﺍﻷ ﺎ ْﻴ ِﻪ ﻋ َﻠﻰ
ﻓ ِﺣ
ُﻘ
.ﺱ ﺑﺎﻟ ِّﺪ ْﻳ ﻭ ﺍﻟ ِّﺪ ْﺭﻫ ِﻢ ﻟ ْﻴﺲ ﺑ َﻬﺎ:ِّﺪ ْﻳ َﻨ ِﺮ ﻭ ﺍﻟ ِّﺪ ِ َﻘ ٌﻊ
َ ﻨ ِﺮ ﺑﺄْ ﺭﺍ ِﻓ ْﺭ ِﺑﺎﻟ ﻢ؟ ﺎ
ﻫ َﻝ ﻓ
.“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku
bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi saw dengan apa yang tumbuh dari saluran-
saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallahu ’alaihi wa
sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka
Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun menyewakan
tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzaraah (menggarap tanah), karena imbalan
yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini dinamakan muzaraah. Sedangkan apabila
imbalannya berupa emas, perak, uang ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut
penyewaan tanah. Pelarangan muzaraah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena
sebenarnya muzaraah diperbolehkan sebab nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
mengamalkan muzaraah dan juga salafus shalih. Namun pelarang muzaraah pada hadits di atas
karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas.
Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzaraah harus menentukan
pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau seperempat dari
hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik tanah karena muzaraah adalah
kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja sama keuntungan dan kerugian harus
ditanggung bersama.
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
d. Ijab
e. Qabul
2. Syarat muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :
Untuk menyangkut orang yang berakad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah
baligh dan berakal.
Untuk menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah itu dan
akan menghasilkan.
Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tanah itu
adalah tanah tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka
akad al-muzara’ah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas, tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada
petani penggarap, dan apabila pemillik tanah ikut mengelola pertanian itu, maka akad muzara’ah
tidak sah.
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik
bersama orang yang berakad,tanpa bolah ada pengkhususan. Pembagian hasil panen itu
ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak
menimbulkan perselisihan dikemudian hari dan penentuaannya tidak boleh berdasarkan jumlah
tertentu secara mutlak, seperti : satu kuintal untuk pekerja atau satu karung, karena kemungkinan
seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu
Syarat untuk menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah mensyaratkan juga harus jelas,
baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah.
Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai, yaitu:
1) Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis
namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai
panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama;
2) Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah
satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau
sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal.
3) Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai
halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.
E. Zakat Muzaraah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi
pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang
bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan
sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari
upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya,
diambil dari jumlah pendapatan sebelum di bagi
F. Hikmah Muzara’ah
1. Saling tolong menolong ( ta’awun), dimana antara pemilik tanah dengan petani
penggarap saling menguntungkan
2. Tidak terjadi adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang
yang membutuhkan, begitupu pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya
tergarap.