Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih
belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah
maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini
diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk
dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga
bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba
termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan.
Hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap
permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia;
kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa
kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah
salah satu bentuk penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan
kepada saudaranya yang membutuhkan. Alasan lain pelarangan riba antara lain: pertama,
riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba
dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga,
perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat,
perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari
modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba
dinyatakan oleh nas Al-Qur‟an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan
kejujuran dan keadilan 3 .Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal
berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang
dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang
dimodalinya.Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari syirkah?
2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4. Apa saja macam-macam dari syirkah?
5. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?

1
6. Bagaimana pengertian mudharabah?
7. Apa Saja Jenis Mudharabah?
8. Jelaskan Dasar Syariah Mudharabah?
9. Apa Itu Prinsip Pembagian Hasil Usaha?
10. Jelaskan Perlakuan Akuntansi
11. Bagaimana pengertian Murabahah?
12. Apa saja rukun dan syarat Murabahah?
13. Apa saja jenis-jenis Murabahah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari syirkah.
2. Untuk mengetahui landasan hukum tentang adanya syirkah.
3. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat dari syirkah.
4. Untuk mengetahui apa saja macam-macam dari syirkah.
5. Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.
6. Untuk mengetahui pengertian mudharabah.
7. Untuk mengetahui apa Saja Jenis Mudharabah.
8. Untuk mengetahui Dasar Syariah Mudharabah.
9. Untuk mengetahui Prinsip Pembagian Hasil Usaha.
10. Untuk mengetahui Perlakuan Akuntansi.
11. Untuk mengetahui pengertian Murabahah.
12. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat Murabahah.
13. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis Murabahah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syirkah
1. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:

‫اإلختالط أى خلط أحد المالين باآلخر بحيث اليمتزان عن بعضهما‬


Percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa
dapat dibedakan antara keduanya.
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise)
dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung Bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama:
a. Menurut Hanafiah
‫الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح‬
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang
berserikat didalam modal dan keuntungan.
b. Menurut Malikiyah
‫ي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى‬
‫مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما‬
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua
orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan
kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-
masing memiliki hak untuk bertasharruf.
c. Menurut Syafi’iyah
‫ عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع‬:‫وفي الشرع‬
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu
barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.
d. Menurut Hanabilah
‫الشركة هي اإلجتماع في استحقاق أو تصرف‬
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau
tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai
pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama

3
antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari
harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai
kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk
dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak
atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber
daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan
nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah
mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja,
secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi
dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat
berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.
2. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an,
Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-
dalilnya, di antaranya:
a. Al-Qur’an
﴾٢٤﴿ .‫ت َوقَ ِلي ٌل َّما هُ ْم‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ض إِ َّال الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬ َ َ‫َوإِ َّن َكثِيرا ً ِم ْن ا ْل ُخل‬
ُ ‫طاء لَيَ ْبغِي بَ ْع‬
َ ‫ض ُه ْم‬
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
Dan firman-Nya pula:
ِ ُ‫فَإِن كَانُ َواْ أ َ ْكث َ َر مِ ن ذَلِكَ فَ ُه ْم شُ َركَاء فِي الثُّل‬
﴾١٢﴿ ‫ث‬
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12).
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
b. Hadist
‫ أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما‬:‫ ان هللا عزوجل يقول‬:‫قال‬. ‫م‬.‫عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص‬
‫صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما‬
4
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla
berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya
tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
c. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi
syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari
padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha
diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
3. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada
perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah
hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul
(ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah
terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti
adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan
termasuk rukun tetapi termasuk syarat.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi
empat bagian, sebagai berikut.
a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan
dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
b. Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b)
benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal
(harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah,
5
dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan
akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa
syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya
batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah
akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau
syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.
4. Macam-Macam Syirkah
a. Syirkah Amlak (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah
pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh
menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang
tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau Jabari.
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:
1) Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan
suatu benda secara paksa
2) Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan
cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh
seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya,
atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam
kepemilikan mobil tersebut.

6
b. Syirkah Uqud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman
modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli
atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan
kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak
menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini,
seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya.
Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
5. Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah
a. Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum:
1) Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad
syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan
untuk di-fasakh.
2) Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
3) Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul
harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
4) Gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil
dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
b. Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
1) Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
2) Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad
akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada
permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.

B. Mudharabah
1. Pengetian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adhdharaby fil ardhi yaitu berpergian untuk
urusandagang. Disebut juga qirad hyang berasal dari kata alqarrdhu yang berarti
potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungan.
Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antar pemilik dana dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi
7
hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan
ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence atau
violation oleh pengelola dana.
Mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi yang
berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam mudarabah
yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana. Oleh karena kepercayaan
merupakan unsur terpenting, maka mudharabah dalam istilah bahasa Inggris disebut
trust financing.
Kepercayaan ini penting dalam mudharabah karena pemilik dana tidak boleh
ikut campur di dalam manajemen perusahaan atau proyek yang dibiayai dengan dana
pemilik dana tersebut, kecuali sebatas memberikan saran-saran dan melakukan
pengawasan pada pengelola dana. Apabila usaha tersebut mengalami kegagalan dan
terjadi kerugian yang mengakibatkan sebagian atau bahkan seluruh modal yang
ditanamkan oleh pemilik dana habis, maka yang menanggung kerugian keuangan
hanya pemilik dana. Sedangkan pengelola dana sama sekali tidak menanggung atau
tidak harus mengganti kerugian atas modal yang hilang, kecuali kerugian tersebut
terjadi sebagai akibat kesengajaan,kelalaian atau pelanggaran akad yang dilakukan
oleh pengelola dana. Pengeloladana hanya menanggung kehilangan atau resiko berupa
waktu, pikiran, dan jerih payah yang telah dicurahkannya selama mengelola proyek
atau usaha tersebut, serta kehilangan kesempatan untuk memperoleh sebagian dari
pembagian keuntungan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perjanjian
mudharabah. Hal tesebut sesuai dengan prinsip sistem keuangan syariah yaitu bahwa
pihak-pihak yang telibat dalam suatu transaksi harus bersama-sama menanggung
resiko (berbagi resiko), dalam hal transaksi mudharabah, pemilik dana akan
menanggung resiko finansial sedangkan pengelola dana akan memiliki resiko
nonfinansial.
2. Jenis Mudharabah
Dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu mudharabah
muthalaqah, mudharabah muqayyadah, dan mudharabah musytarakah. Berikut adalah
pengertian masing-masing jenis mudharabah.
a. Mudharabah Muthalaqah
Mudharabah Muthalaqah adalah Mudharabah di mana pemilik dananya
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat. Jenis mudharabah ini tidak
8
ditentukan masa berlakunya, di daerah mana usaha tersebut akan dilakukan, tidak
ditentukan line of trade, line ofindustry, atau line of service yang akan dikerjakan.
Namun kebebasan ini bukan kebebasan yang tak terbatas sama sekali. Modal yang
ditanamkan tetap tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek atau investasi
yang dilarang oleh Islam seperti untuk keperluan spekulasi, perdagangan minuman
keras (sekalipun memperoleh izin dari pemerintah), perternakan babi, ataupun
berkaitan dengan riba dan lain sebagainya. Dalam mudharabah muthalaqah,
pengelola dana memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja dalam
pelaksanaan bisnis bagi keberhasilan tujuan mudharabah itu.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana lokasi, cara, dan
atau objek investasi atau sektor usaha. Misalnya, tidak mencampurkan dana yang
dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya
pada transaksi penjualan cicilan tanpa penjamin atau mengharuskan pengelola dana
untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. Mudhrabah jenis ini
disebut juga investasi terikat. Apabila pengelola dana bertindak bertentangan
dengan syarat-syarat yang diberikan oleh pemilik dana, maka pemilik dana harus
bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, termasuk
konsekuensi keuangan.
c. Mudarabah Musytarakah
Mudarabah Musytarakah adalah mudhrabah di mana pegelola dana
menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Diawal kerja sama,
akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik
dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan
kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola dana ikut menanamkan modalnya
dalam usaha tersebut jenis mudharabah seperti ini disebut mudhrabah musytarakah
merupakan perpaduan antara akad mudrabah dan akad musyawarah.
3. Dasar Syariah
Sumber hukum mudharabah
a. Al-Qur’an
“apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
b. As-sunah
9
Dari Shalih bin Suaib R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda : “tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah, dan mencampuradukkan dengan tepung untuk keperluan rumah
bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
4. Prinsip Pembagian Hasil Usaha
Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan
penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan
bagi hasil atas realisasi penghasilan hasil usaha dari pengelola dana. Tidak
diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha.
Untuk menghindari perselisihan dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh
pengelola dana, dalam akad harus disepakati biaya-biaya apa saja yang dapat di
kurangkan dari pendapatan.
5. Perlakuan akuntansi
Akuntansi untuk pemilik dana :
a. Dana mudharabah yang disalurkan oleh pemilik dana di akui sebagai investasi
mudharabah pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset nonkas kepada
pengelola dana.
b. Pengukuran investasi mudharabah
c. Penurunan nilai jika investasi mudhrabah dalam bentuk aset nonkas
d. Kerugian
e. Hasil usaha
f. Akad mudharabah berakhir
g. Penyajian
h. Pengungkapan
Akuntansi untuk pengelola dana :
a. Dana yang diterima dari pemilik dana dalam mudharabah diakui sebagai dana
syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset nonkas yang diterima.
b. Pengukuran dana syirkah temporer
c. Penyaluran kembali dana syirkah temporer
d. Kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola dan di akui
sebagai beban pengelola dana.
e. Di akhir akad
f. Penyajian

10
C. Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Murabahah merupakan salah satu konsep Islam dalam melakukan perjanjian
jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga
keuangan islam untuk membiayai modal kerja, dan pembiayaan perdagangan para
nasabahnya. Murabahah adalah istilah dalam fikih Islam yang berarti suatu bentuk jual
beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang
dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat
keuntungan (margin) yang diinginkan. Menurut dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
(Fatwa, 2006) yang dimaksud dengan Murabahah adalah menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga
yang lebih sebagai laba.
Murabahah sesuai jenisnya dapat dikategorikan dalam :
a. Murabahah tanpa pesanan artinya ada yang beli atau tidak, bank syariah
menyediakan barang.
b. Murabahah berdasarkan pesanan artinya bank syariah baru akan melakukan
transaksi jual beli apabila ada yang pesan.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat dikategorikan dalam:
1) Sifatnya mengikat artinya murabahah berdasarkan pesanan tersebut mengikat
untuk dibeli oleh nasabah sebagai pemesan.
2) Sifatnya tidak mengikat artinya walaupun nasabah telah melakukan pemesanan
barang, namun nasabah tidak terikat untuk membeli barang tersebut.
Dari cara pembayaran murabahah dapat dikategorikan menjadi pembayaran
tunai dan pembayaran tangguh. Dalam praktek yang dilakukan oleh bank syariah saat
ini adalah Murabahah berdasarkan pesanan, sifatnya mengikat dengan cara
pembayaran tangguh.
Yang menjadi dasar hukum dari murabahah yaitu dalam Al-qur’an surat Al-
Baqarah ayat 276 yang artinya: “…Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba…” Dan dalam hadits dari HR Ibnu Majah menyatakan bahwa:
‘Dari Suhaib ar-Rumi R.A. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, nuqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual .”
(HR Ibnu Majah).

11
2. Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli,
maka jual beli tidak akan ada. Para ekonom-ekonom Islam dan ahli-ahli Fiqh,
menganggap Murabahah sebagai bagian dalam jual beli. Maka, secara umum kaidah
yang digunakan adalah jual beli. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul),
orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih (obyek akad).
a. Rukun Jual Beli Murabahah
Dalam jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Orang yang berakad.
2) Penjual
3) Pembeli
4) Ma’kud alaih (obyek akad).
5) Barang yang diperjual belikan.
6) Harga.
7) Akad/ Shighot:
8) Serah (Ijab)
9) Terima (Qabul)
b. Syarat Jual Beli
Selain karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah atau lengkap adalah
adanya syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun
(sufficient condition). Contohnya: adalah pelaku transaksi haruslah orang yang
cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi
syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi
tersebut menjadi fasid (rusak).
Adapun syarat jual beli antara lain sebagai berikut:
1) Penjual dan Pembeli
2) Berakal.
3) Dengan kehendak sendiri
4) Keadaan tidak Mubadzir (pemboros).
5) BaliqBaliq
6) Uang dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjual belikan).
7) Suci.
8) Ada manfaat.
12
9) Keadaan barang tersebut dapat di serahkan.
10) Keadaan barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
11) Barang tersebut diketahui antarasi penjual dan pembeli dengan terang dzat,
bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan yang
mengecewakan.
12) Ijab Qabul
13) Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual
menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya.
14) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijabdan qabul.
15) Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam
kepada pembeli yang beragama tidak Islam, sebab besar kemungkinan pembeli
tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah
melarang orang mu’min.
3. Jenis-Jenis Murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat
dan berlaku umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli
murabahah. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin
Syariah terbagi kepada 3 jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
a. Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian barang-
barang yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis
pembiayaan yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari.
b. Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau panjang
yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk rehabilitasi,
perluasan, atau pembuatan proyek baru.
c. Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan
nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan konsumsi
biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang konsumsi dan barang
tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan biasanya berujud obyek yang
dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.
d. Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Muajjal, bayar cicilan. Dalam praktek yang
dilakukan oleh bank syariah saat ini adalah murabahahn berdasarkan pesanan,
sifatnya mengikat dengan pembayaran tangguh. Dalam perbankan, murabahah
lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bitsaman ajil). Dalam
13
transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Syirkah
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau
modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur
menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan (ijab
dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu,
pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah
‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang
secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.
2. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal),
pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan
shigat (akad).
Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan
keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh)
juga tergantung kepada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan mengelola
modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari pemilik
barang tersebut dalam pengelolaannya. Jika pemilik modal meninggal dunia, maka
mudharabah menjadi fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola
modal tidak berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak
menggunakan modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah
meninggal dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai
ghasab.
3. Murabahah
Murabahah adalah suatu bentuk jual-beli dimana penjual memberi tahu keadaan
pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan

15
harga pokok tersebut kemudian memberikan margin keuntungan kepada penjual sesuai
dengan kesepakatan.
Jenis-jenis akad murabahah ada 2 yaitu, murabahah dengan pesanan dan
murabahah tanpa pesanan. Murabahah dengan pesanan adalah penjual tidak
melakukan pembelian barang sebelum adanya akan murabahah. Sementara murabahah
tanpa pesaan, adalah penjual memiliki persediaan barang dagangan/murabahah.
Dasar hukum akad murabahah tentunya terdiri dari Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’, Kaidah syariah dan Fatwa DSN-MUI.
B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa
sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati, Sri dan Wasilah. Akuntansi Syariah Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema
Insani, 2001.

Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1. Yogyakarta:


Bpfe-Yogyakarta, 2005

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.

Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia,
2012.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.

Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

http://pasca.unisba.ac.id/akad-murabahah-dan-implementasinya-padasyariah-dihubungkan-
dengan-kebolehan-praktek-murabahah-menurut-para-ulama/

17

Anda mungkin juga menyukai