Anda di halaman 1dari 15

KERJASAMA/SYIRKAH DALAM BISNIS ISLAM

Eva Yunijar Harahap (0204212101)1, Riska Nurajijah Pane (0204212111)2,

Dr. Fatimah Zahara, MA3

HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

1evaaharahap08@gmail.com, 2riskanurajijahpane@gmail.com

___________________________________________________________________________

Abstrak

Pembahasan tentang hukum syirkah (kerja sama/kemitraan) dalam bisnis dan berbagai
macamnya merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap pengusaha muslim. Hal ini
untuk menjadi bahan kajian dan memahami kode etik fikih serta pedoman praktisnya,
sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan kerjasama dalam bisnis di zaman
sekarang ini.

Kata kunci: Syirkah, Bisnis Islam


A. Pendahuluan

Syirkah atau sering disebut dengan Syarika adalah salah satu bentuk bisnis dalam
Islam yang model operasionalnya terkait dengan prinsip kemitraan bisnis dan bagi
hasil. Pada dasarnya Syirkah berbeda dengan model bisnis sistem ekonomi kapitalis.
Perbedaannya tidak hanya karena kurangnya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga
perbedaan dalam formasi transaksi, operasi, dan laba rugi.

Di tengah keterbatasan modal pengusaha, Islam menawarkan alternatif kemitraan


berupa pembiayaan bebas riba. Pembiayaan nonriba yang dimaksud adalah qard al-
hasan dan syirkah. Didanai tanpa kompensasi oleh Qard al-Hasan. Bentuk pembiayaan
ini hanya bersifat membantu dan saling memuaskan antar pelaku ekonomi. Biasanya
pola Qard al-Hasan ini dibuat dalam waktu singkat. Karena sifatnya, syirkah menjadi
pilihan lain dalam bisnis bagi umat Islam yang mengharapkan imbalan dari bisnis yang
dilakukan.

Namun, tidak banyak bacaan, kajian atau bahkan masyarakat muslim yang masih
belum mengetahui dan memahami Syirkah Islami yang terdapat dalam Al-Quran,
hadits, pendapat para imam mazhab dan pendapat para ahli hukum Islam tentang
Syirkah itu sendiri. Hal ini tentu sangat beresiko mengingat perkembangan ekonomi,
baik secara operasi maupun transaksi, terjadi setiap detik dalam kehidupan masyarakat
muslim.

Berdasarkan dari latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang ingin
dikemukakan dalam kajian ini adalah untuk mengetahui secara umum tentang syirkah
dalam pemahaman Islam baik dari segi definisi, sumber hukum, rukun dan syarat,
hadits mengenai syirkah, macam-macam syirkah serta berakhirnya suatu syirkah.

Sebagaimana perumusan masalah yang telah dikemukakan. kajian ini mampu untuk
dapat menjelaskan secara umum tentang syirkah dalam pemahaman Islam, sedangkan
manfaat dari kajian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
dibidang keislaman khususnya dibidang ekonomi Islam
B. Pembahasan

1. Pengertian Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika-yasyraku-


syarikan/syrikatan/syarikatan yang berarti sekutu atau serikat.1 Kata dasarnya bisa dibaca
syirkah, bisa juga dibaca syarikah. Namun menurut Al-Jaziri, lebih fasih membaca syirkah.
Syirkah juga berarti mencampurkan dua (atau lebih) bagian sedemikian rupa sehingga satu
bagian tidak dapat dipisahkan dari bagian lainnya.2

Menurut terminologi ulama fikih, syirkah adalah suatu perjanjian kerja sama antara dua
orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal) berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan
dibayar secara bersama-sama sesuai kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi
II/253).

2. Dasar Hukum Syirkah

Pada dasarnya, hukum syirkah adalah mubah atau boleh. Hal ini dinyatakan atas dasar
Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma (konsensus) umat Islam.

a. Al-Quran

1) Firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang
orang yg beriman dan mengerjakan amal yang sholeh, dan amat sedikitlah mereka ini.”
(QS. Shaad: 24)

2) Dan firman-Nya: "Maka meeka bersekutu dalam yang sepertiga itu." (QS. An-Nisa':
12)

Kedua ayat di atas menunjukkan keridhaan Allah akan adanya perserikatan dan
kepemilikan harta. Hanya saja dalam (QS. Shaad: 24) Pembagiannya otomatis karena
waris, sedangkan (QS. An-Nisa': 12) terjadi atas dasar akad (transaksi)

1
Kamus Al-Munawwir,hlm 765
2
Al-Jarizi, Al-Fiqh’ala al-Madzahib al-Arba’ah, 3/60. Maktabah Syamilah.
b. Hadits

1) Dari Abu Huraira Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla


berfirman. "Saya adalah orang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari
mereka tidak mengkhianati yang lain. Jika salah satu dari mereka berkhianat, saya akan
meninggalkan mereka berdua." (HR. Abu Daud no.3383 dan Al-Hakim no.2322).

2) Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Manhal pernah berkata: "Syirkah dan
aku membeli sesuatu dengan tunai dan kredit. Lalu Barra bin Aib mengunjungi kami. Lalu
kami bertanya padanya. Dia menjawab. "Aku dan Zaid bin Arqam juga mengamalkan hal
seperti itu. Kemudian kami bertanya kepada Nabi SAW tentang kegiatan kami tersebut.
Beliau menjawab. "Barang yang diperoleh secara tunai, silahkan kalian ambil sedankan
yang diperoleh secara hutang silahkan kalian kembalikan." (HR al-Bukhari)

3) Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hurairah dari Nabi SAW
yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman. “Aku adalah orang ketiga di
antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak mengkhianati yang lain. jika yang
satu mengkhianati yang lain, maka keluarlah aku darinya.” (HR Abu Dawud)

4) Mu'amalah dengan cara syirkah dapat dilakukan antara Muslim atau antara Muslim
dan non-Muslim. Dengan kata lain, seorang Muslim dapat memiliki syirkah dengan orang
Nasrani, Yahudi atau non-Muslim lainnya. Imam Muslim pernah meriwayatkan hadis
Abdullah bin Umar sebagai berikut: Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW bahwa
Rasulullah SAW telah memberikan kebun kurma kepada orang-orang Yahudi Khaibar
untuk digarap modal harta mereka. Dan beliau menerima setengah dari hasil panen (HR.
Muslim)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan syirkah boleh dengan orang
Nasrani, Yahudi atau non muslim lainnya. Hanya saja, umat Islam tidak boleh melakukan
syirkah dengan non-Muslim untuk menjual barang haram seperti miras, daging babi, dan
barang haram lainnya. Karena Islam tidak memperbolehkan jual beli barang yang haram
dalam hal apapun, baik secara sendiri-sendiri maupun dengan cara menghindar.

c. Ijma’

Ibnu Qudamah berkata: "Kaum muslimin telah berkosensus terhadap legitimasi syirkah
secara global walapun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-
Mughni V/109).
3. Rukun dan Syarat-Syarat Syirkah

Menurut mayoritas ulama fikih, ada tiga (tiga) rukun Syirkah yaitu: (1) Akad (ijab-
kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berkontrak (al-aqidain); syaratnya
harus memiliki kemampuan fasharruf (pengelolaan harta); (3) subjek akad, disebut juga
al-ma'qud'alaih, yang meliputi kerja (al-amal) dan/atau modal (al-mal). (Al-Fiqhu 'Alal
Madzahibi al-Arba'ah, Abdurrahman al-Jaziri).

Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan qabul atau
dalam bahasa lain akad. Akad yang menentukan adanya syirkah. Syarat-syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah:

a) Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan
yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu; a) yang berkenaan dengan benda
yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan
dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan diketahui dua pihak,
misalnya setengah, sepertiga dan lainnya.
b) Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi; a) bahwa modal yang dijadikan modal objek akad syirkah adalah
alat pembayaran (nuqud) seperti riyal, rupiah. b) yang dijadikan (harta pokok) ada
ketika akad syirkah dilakukan baik jumlah sama maupun berbeda.
c) Sesuatu yang bertalian dengan harta syirkah mufawadhah. Bahwa dalam hal ini harus
dipenuhi dua hal: a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b)
bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad diperlukan
syirkah umum, yaitu untuk semua jual beli untuk perdagangan.
d) Adapun syarat yang bertalian syirkah inan sama dengan mufawadhah untuk syirkah.
Menurut para ulama mazhab Malikiyah syarat-syarat pemberi akad adalah
kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan. Syafi'iyah mengatakan bahwa syirkah yang
sah hanya syirkah inan sedangkan syirkah yang lain tidak sah dijelaskan oleh Abd al-
Itahman al-Jaziri juga menyatakan bahwa rukun syirkah adalah dua orang yang
berserikat, subjek dan objek akad syirkah, baikpun harta maupun kerja. Syarat syirkah
dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini: a) Kata-kata yang menunjukkan izin dari
setiap anggota serikat kepada pihak yang menguasai akan harta itu, b) anggota serikat
saling percaya karena masing-masing mewakili yang lain, c) mencampurkan harta
sehingga tidak dapat dibedakan hak masing masing baik dalam bentuk mata uang
maupun lainnya.

4. Hadits Ahkam Tentang Kerjasama Bisnis

Hadits Ahkam mengenai kerjasama bisnis meliputi hadits-hadits yang ber- kaitan
dengan mudharabah dan musyarakah adalah sebagai berikut.

"Dari Ibnu Abbas, bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta
sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi
lautan, dan menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya."3

Hadits di atas merupakan As-Sunnah al-taqririyah atau persetujuan Rasulullah


terhadap perilaku atau tindakan sahabat yang mempraktikkan mudharabah. Praktik
mudharabah dalam hadits ini menjelaskan mengenai praktik mudharabah
muqayyadah.4

3
HR. Imam Al-Baihaqi.
4
Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah yang pemilik modal menentukan persyaratan kepada pengelola
usaha seperti menentukan jenis usaha, lokasi, jangka waktu, dan tujuan usaha harus sesuai dengan kesepakatan
dan apa yang telah ditentukan oleh pemilik modal.
Rasulullah terhadap perilaku atau tindakan sahabat yang mempraktikkan
mudharabah. Praktik mudharabah dalam hadits ini menjelaskan mengenai praktik
mudharabah muqayyadah,"Dari Abdirrahman bin Dawud dari Sholih bin Shuhaib dari
ayahnya berkata: "Bahwasanya Rasulullah bersabda: "Ada tiga hal yang di dalamnya
berisi berkah, yaitu: "jual beli tidak secara tunai, menyerahkan permodalan dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.5

Kalimat "keberkahan" dalam hadits di atas mengindikasikan diper-


bolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini, makausaha yang
dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga
dengan pihak bank, modalnya akan ber- tambah karena akan mendapat financial
return.6

Dalam hadits tersebut istilah muqaradhah adalah istilah yang digunakan oleh
masyarakat Hijaz untuk menyebut mudharabah (yang digunakan penduduk Irak).
Istilah muqaradhah berasal dari kata qardh yang artinya "memotong". Dalam hal ini,
pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal,
dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. Ada juga yang berpendapat berasal
dari muqaradhah yang artinya "persamaan atau penyeimbangan". Dalam hal ini kedua
belah pihak sama-sama berhak atas keuntungan, atau adanya keseimbangan antara
modal dari pemilik modal dan usaha dari pengelola modal.7

Dalam hadits ahkam musyarakah, sabda Nabi dalam sebuah hadits qudsi:

"Dari Abu Hayyan Al-Taimi dari ayahnya dari Abu Hurairah (marfu Rasulullah
bersabda: sesungguhnya Allah berfirman 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersekutu, selama salah satu di antara mereka tidak mengkhianati lainnya, apabila salah

5
HR. Ibnu Majah No.2289.
6
Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 188-189
7
Wahab al-Zuhaily, op. cit., hlm. 3923
seorang di antara mereka mengkhianati lainnya, maka Aku keluar dari persekutuan
mereka."8

Rasulullah bersabda:

“Pertolongan Allah akan selalu menyertai dua pihak yang berkongsi atau
bekerjasama atau bersekutu (dalam bisnis), selama mereka tidak saling mengkhianati.”9

Hadits tersebut menjelaskan bahwa jika dua orang bekerjasama dalam satu
bisnis, maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada
teman yang mengkhianatinya. Namun jika ada salah satu pihak yang berkhianat, maka
Allah keluar (tidak memberkahi) terhadap mereka.

Selanjutnya hadits riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang


mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram."

Hadits di atas menjelaskan bahwa seluruh macam perdamaian antara kaum muslim
itu boleh dilakukan selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam suatu
yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah

5. Macam-macam Syirkah
a. Syirkah Amlak (Hak Milik)

Ini adalah kepemilikan bersama atas tanah, bangunan, barang bergerak atau aset.
Yakni, persekutuan dua orang atau lebih yang diperoleh dengan jual beli, hibah, warisan
atau lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini, kedua belah pihak tidak berhak:

8
HR. Abu Daud yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah.
9
HR. Al-Bukhari.
mengganggu bagian rekan mitranya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa persetujuan
rekannya. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).

Sebagai contoh; Orang A dan Orang B menerima warisan atau hadiah berupa mobil
dan keduanya menerima atau membelinya dengan uang mereka sendiri. atau
menerimanya dari warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilian mobil
tersebut.

b. Syirkah Uquud (Transaksi/Akad)

Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang menjadi mitra modal dan keuntungan,
seperti dalam transaksi jual beli atau lainnya. Dalam syirkah tersebut, para mitra dalam
persekutuan berhak menggunakan barang syirkah dengan izinnya sendiri. Dalam hal
ini, orang tersebut bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah
miliknya. Dan sebagai wakil, jika objek yang digunakan adalah milik rekannya.

Berdasarkan kajian dalil-dalil syar'i oleh para ulama fiqh sebelumnya, terdapat lima
macam syirkah dalam Islam: (1) syirkah al-inan (2) syirkah al-abdan (3) Syirik al-
Mudharabah (4) syirkah al-wujuh dan (5) syirkah al-mufawadhah. Menurut ulama
Hanabilah, yang sahih hanya empat macam, yaitu: syirkah inan, abdan, mudharabah
dan wa juh. Menurut ulama Malikiyah, yang sahih hanya tiga macam, yaitu: Syirkah
Inan, Abdan dan Mudharabah. Menurut ulama Syafi'iyah dan Zhahiriyah, hanya
Syirkah Inan dan Mudharabah yang sah, sedangkan menurut Hanafiyah, segala bentuk
Syirkah diperbolehkan/sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. (Al-
Fiqh al-Islanti wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).

c. Syirkah al-Inan

Adalah kemitraan antara dua orang atau lebih dengan harta masing masing dikelola
oleh mereka sendiri, dan keuntungannya dibagi di antara mereka, atau salah satu dari
mereka sebagai pengelola mendapat bagian keuntungan yang lebih tinggi daripada
mitranya.

Jenis syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak
disyaratkan adanya kesamaan modal, tenaga dan tanggung jawab. Dan hukum Syirkah
ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu al-Mundzir. (41-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaily
IV/796).
Contoh syirkah Al-Inan:

A dan B adalah pengrajin atau tukang kayu. A dan B setuju untuk menjalankan
usaha pembuatan, jual beli mebel. Masing-masing menyumbangkan modal 50 juta dan
keduanya bekerja di Syirka tersebut.

Dalam syirkah ini, modal harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang (urudh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah kecuali jika nbarang
itu ibelum diperhitungkan nilainya pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh


masing-masing mitra usaha (Syarik) berdasarkan bagi hasil. Misalnya, jika masing-
masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%
menurut kaidah fikih yaitu (Ar-Ribhu Ala ma Conditionha Wal Wadhii atau Ala Qadril
Malain).

Abdur Razaq meriwayatkan dalam kitab Al-Jami, bahwa Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu pernah berkata: “Kerugian itu berdasarkan atas besarnya modal
sedangkan keuntungan itu berdasarkan atas kesepakatan mereka (para pihak yang
syirkah).”

d. Syirkah Al-Abdan (Syirkah Usaha)

Yaitu kerjasama dua orang atau lebih dalam suatu bisnis yang dikelola oleh mereka,
dimana setiap orang hanya berpartisipasi dalam pekerjaan (amal) tanpa ada konstribusi
modal (mal), seperti bekerja dengan dokter di sebuah klinik atau arsitek untuk
mengerjakan sebuah proyek, atau kolaborasi dua penjahit untuk menerima pesanan
pembuatan seragam sekolah. Kerjasama ini diperbolehkan menurut golongan
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah tetapi Imam Syafi'i melarangnya. Syirkah ini juga
terkadang disebut Syirkah al-A'maal dan ash-Shanaa-i. Profesi atau keahlian yang sama
tidak diperlukan dalam syirkah ini, tetapi boleh berbeda profesi. Oleh karena itu,
kemungkinan Syirkah 'abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan pandai besi.
(Sunnah Fiqh, Sayyid Sabiq III/260). Namun, pekerjaan yang dilakukan harus legal,
keuntungan dibagi menurut kesepakatan; hubungan antar mitra usaha (syarik) bisa
sama bisa juga tidak.
Contoh syirkah Al-Abdan:

A dan B. sama-sama nelayan dan sepakat untuk melaut bersama mencari ikan.
Mereka juga sepakat bahwa jika mereka menangkap dan menjual ikan, maka hasilnya
akan dibagi menurut ketentuan sebagai berikut: A mendapatkan 50% B memiliki 40%.

Syirkah Al-Abdan hukumnya dapat didasarkan pada dalil as-Sunnah. Dari Abdullah
bin Mas'ud radhiiyallahu anhu, katanya. "Saya pernah berserikat dengan Ammar bin
Yasir dan Sa'ad bin Abi Waqash tentang harta rampasan perang radar, Sa'ad membawa
dua tawanan sedangkan Ammar dan saya tidak membawa apa-apa. Hal ini diketahui
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau membenarkannya dengan Taqrir."
(HR. Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

e) Syirkah Al-Mudharabah

Dengan kata lain, seseorang sebagai penanam modal (investor) memberikan


sejumlah modal kepada pihak (mudharib) yang mengadakan usaha dengannya dan
berhak atas persentase keuntungan tertentu. (Dikutip dari Majalah Muslim
Entrepreneur, Edisi 3, Volume 1, 15 Maret 2010, berjudul Fiqh Muamalah).

f. Syirkah Al-Wujuh

Ini adalah kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama
baik, serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang dari perusahaan secara kredit
(hutang) dan menjual barang tersebut secara tunai, setelah itu keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan di antara mereka. (Bada-i'u ash-Shana-i" oleh al-Kazaani
VI/77)

Syirkah seperti itu juga diperbolehkan di bawah Hanafiyah dan Hanbaliyah, tetapi
tidak berlaku di bawah Malikiyah, Syafi'iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa
Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaily IV/801)

Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, status atau keahlian
seseorang dalam masyarakat. Tidak ada yang punya modal, tetapi mereka memiliki
reputasi yang baik sampai mereka membeli barang hutang dengan jaminan reputasi.

Contoh Syirkah Al-Wujuh:

A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Kemudian A dan B melakukan


syirkah wujuh dengan cara membeli barang dari pedagang (misal C) secara kredit. A
dan B setuju, masing-masing memiliki 50% dari produk yang dibeli. Kemudian mereka
berdua menjual barangnya dan keuntungannya dibagi dua, sehingga harga pokoknya
dikembalikan ke C (pedagang).

Dalam Syirkah Wujuh ini, keuntungan dibagi berdasarkan akad, bukan persentase
barang yang dimilik, sedangkan setiap mitra bisnis menanggung kerugian karena
berdasarkan persentase barang dagangannya, bukan berdasarkan kesepakatan.

g. Syirkah Al-Mufawadah

Adalah kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak menyumbangkan
sebagian dari total dana dan berpartisipasi dalam pekerjaan. Kedua belah pihak berbagi
keuntungan dan kerugian sama.

Syirkah Mufawadhah juga merupakan Syirkah yang menyeluruh dimana semua


anggota bersepakat untuk beraliansi dalam segala bentuk kerjasama seperti 'inan, abdan
dan wujuh. Apabila masing-masing pihak menyerahkan kepada pihak lainnya hak
untuk melakukan segala kegiatan dalam ikatan kerjasama, seperti jual beli, penjaminan,
penggadaian, persewaan, penerimaan pekerjaan dan sejenisnya. Atau Syirkah ini juga
bisa diartikan kerjasama dalam segala hal.

Namun Syirkah ini tidak termasuk berbagai hasil sampingan yang diperoleh, seperti
barang temuan, warisan dan sejenisnya.

Dan mereka juga tidak dikenakan berbagai denda, seperti ganti rugi barang curian,
sntunan syirkah, Penggantian Barang Rusak dan sejenisnya. Oleh karena itu, syarat
utama syirkah ini adalah kesamaan dalam aspek-aspek berikut: dana (modal) yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, beban hutang dibagi masing masing pihak dan agama.
(Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily IV/798 dan F qhus Sunnah,
Sayyid Sabiq III/259-260).

Hukum syirkah dalam pengertian di atas diperbolehkan menurut sebagian besar


ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Karena semua jenis syirkah berlaku
sendiri-sendiri, syirkah juga berlaku dalam kombinasi dengan syirkah lainnya. Namun,
Imam al-Syafi'i membantahnya.

Keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi menurut kesepakatan,


sedangkan kerugian ditanggung menurut jenis syirkah; yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal (jika dalam bentuk syirkah inan), atau pemodal sendiri
(jika dalam bentuk syirkah mudharabah), atau ditanggung mitra mitra usaha menurut
persentase barang yang dimiliki (jika dalam bentuk bentuk syirkah wujuh).

Contoh Syirkah Mufawadha:

A adalah investor yang menginvestasikan modal di B dan C, dua insinyur yang


sebelumnya setuju bahwa keduanya akan berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut.
Kemudian B dan C pun sepakat untuk menanamkan modal untuk membeli barang
secara kredit berdasarkan kepercayaan si pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, awalnya yang ada adalah Syirkah 'abdan, yaitu ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing akan melakukan Syirkah hanya dengan ikut bekerja.
Kemudian jika A memberikan modal kepada B dan C, berarti akan terwujud Syirkah
Mudharabah diantara ketiganya. Di sini A adalah investor sedangkan B dan C adalah
pengelola. Jika B dan C sepakat bahwa masing-masing akan memberikan kontribusi
modal disampingkan kontribusi kerja berarti terwujud syirkah inan diantara B dan C.
Jika B dan C membeli barang secara kredit dari pedagang untuk keduanya, berarti
terjadi Syirkah Wujuh antara B dan C. Dengan demikian bentuk Syirkah ini
menggabungkan semua jenis Syirkah yang ada, yang disebut Syirkah Mufawadha.

6. Berakhirnya Syirkah

Menurut Ahmad Azhar Basyir, ada enam alasan utama penghentian syirkah oleh
pihak-pihak yang memberlakukan syirkah, yaitu:

a. Sebuah syirkah berakhir ketika terjadi sesuatu ketika salah satu pihak membatalkannya
meski tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini karena syirkah merupakan akad yang
ditandatangani secara sukarela oleh kedua belah pihak dan tidak dipaksakan untuk
dilaksanakan ketika pihak lain tidak lagi menginginkannya.
b. Salah satu pihak lain kehilangan kemampuan untuk melakukan tasharruf (keahlian
pengelolaan harta), baik karena kegilaan atau alasan lainnya.
c. Salah satu dari mereka yang terlibat meninggal. Namun, jika anggota syirkah lebih dari
dua orang, hanya yang meninggal yang dibatalkan. Syirkah berlanjut untuk anggota
yang masih hidup. Jika ahli waris dari anggota yang meninggal ingin berpartisipasi
dalam syirkah tersebut, maka perjanjian baru akan dibuat untuk ahli waris yang
bersangkutan.
d. Salah satu pihak ditempatkan di bawah pengampuan. Pengampunan yang dimaksud di
sini adalah karena pemborosan yang terjadi selama pembuatan Perjanjian Syirkah, atau
karena alasan lain.
e. Salah satu pihak bangkrut sehingga kehilangan kendali atas aset yang menjadi saham
Syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali. Hanafi
berpendapat, bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan akad yang dibuat oleh
orang yang bersangkutan.

f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila
modal tersebut lenyap sebelum terjadi pemcampuran harta hingga tidak dapat dipisah
pisahkan lagi yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta
lenyap setelah terjadi pencampuran yang tidak bisa dipisah pisahkan lagi menjadi resiko
bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan menjadi resiko bersama. Apabila
masih ada sisa harta masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.

C. PENUTUP

Kesimpulan

Konsep kerja sama yang diajarkan dalam ekonomi syariah berbeda dengan sistem
bunga. Terdapat beberapa titik perbedaan, ialah;

1. Konsep kerjasama bersifat bagi hasil serta bagi rugi,sistem bunga tidak mau tahu rugi.
2. Keuntungan dalam konsep kerjasama tergantung dengan hasil usaha,keuntungan sistem
bunga sudah dipastikan dari awal akad.
3. Keuntungan maupun kerugian konsep kerjasama berdasarkan untung dan ruginya
proses usaha dengan perhitungan prosentasi masing-masing modal atau kesepakatan
sedangkan keuntungan sistem bunga sudah ditentukan sejak awal dengan prosentasi
dari nominal uang yang dipinjamkan.
4. Konsep kerjasama dilaksanakan dalam bentuk pembiayaan mudharabah dan
musyarakah,sedangkan sistem bunga dalam bentuk utang piutang.
5. Pembiayaan mudharabah dan musyakarah itu basiknya adalah kesepakatan dan
kepercayaan (yad amanah),berbeda dengan utang piutang yang basiknya adalah
kesepakatan dan tanggung jawab
Dari sekian perbebedaan tersebut tampak jelas karakter konsep ekonomi yang
terkandung dalam hadist “Al-khaaraj bi al dohoman,hak mendapatkan keuntungan
disebabkan oleh adanya tanggungjawab dan kerugian ‘’, sebuah konsep ekonomi yang
bijaksan. Menanamkan kepedulian,tidak mementingkan diri sendiri. Menguji kejujuran
dn rasa tanggungjawab. Membantu sesama dengan tetap mendapatkan keuntungan dan
terhindar dari haramnya ribah yang bisa menjerat orang lain.

Daftar Pustaka

An-Nabahan, Faruq. 2011. Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem

Ismail Yusanto, M dan Arif Yunus, M. 2010. Pengantar Ekonomi Islam. Al-Azhar Press,
Bogor.

Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Rajawali Press, Jakarta. Cetakan Ketujuh.

Permana, Iwan. 2020. Hadits Ahkam Ekonomi. Amzah, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai