DISUSUN OLEH :
Nadya Rosa Damayanti (20170610307)
Nara Gabhira Yogadharana (20170610308)
Adhitya Cahya A.P. (20170610309)
Selain ulama’ empat madzab diatas terdapat juga perbedaan pendapat tentang definisi
mudharabah. Pendapat tersebut antara lain: Sayyid Sabiq mendefinisikan mudharabah adalah akad
antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang
kepada pihak lain untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sebagaimana kesepakatan.
Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi
kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif, dan
keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu sesuai
dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama (Sabiq, tt.: 212).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud mudharabah adalah akad antara dua pihak,
pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak yang lain sebagai pelaksana modal atau seseorang
yang ahli dalam berdagang untuk mengoperasionalkan modal tersebut dalam usaha-usaha produktif
dan keuntungan dari usaha tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Dan jika terjadi kerugian,
maka kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sedangkan bagi pihak pelaksana modal kerugiannya
adalah kehilangan waktu, pikiran dan jerih payah yang telah dicurahkan serta manejerial.
Secara fiqih, dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani menulis
sebagai berikut, “(Syirkah syar‟iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua
orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu.
Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing
di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada
syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara
mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian
mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal seperti ini
tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan
lapang dada.
Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara para pemilik modal (mitra
musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
2.2. Landasan Hukum dari akad bagi hasil Mudharabah dan Musyarakah
2.2.1 Landasan Hukum Mudharabah
Dasar hukum mudharabah yaitu Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dengan jelas
tentang mudharabah, walaupun demikian ulama’ di kalangan kaum muslimin telah sepakat tentang
bolehnya melakukan kerjasama semacam perniagaan ini. Istilah mudharabah sesunggungnya muncul
pada masa Nabi Muhammad, tapi jauh sebelum Nabi Muhammad lahir pun sudah ada. Kerjasama
perniagaan ini di zaman Jahiliyah telah dikenal kemudian dilestarikan oleh Islam karena membawa
kemaslahatan (Muhammad, 2005: 144). Kerjasana antara pemilik modal dengan pihak yang bisa
menjalankan usaha produktif sudah sejak masa dahulu kala, pada zaman Jahiliyah, umpamanya, hal
ini juga telah menjadi suatu tradisi di masyarakat Arab. Nabi Muhammad sendiri sebelum menjadi
Rasul, melakukan kerjasama dengan Siti Khadijah dalam bentuk mudharabah. Khadijah memberi
modal atau barang dagangan kepadanya, juga kepada orang lain, dan Muhammad menjalankanmodal
itu dengan cara berdagang. Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut dibagi antara pelaksana
usaha dan pemilik modal yang jumlahnya sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Karena hal
ini merupakan kebiasaan yang baik, itu pun diakui dan diadopsi oleh Islam.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kaum muslimin sepakat bahwa mudharabah itu adalah salah
satu bentuk kerjasama dalam lapangan muamalah yang dibolehkan, karena membawa kemaslahatan,
dan bahkan bisa dipandang sebagai satu bentuk kerja sama yang perlu dilakukan. Pada zaman
sekarang, keperluan antara si kaya dan si miskin atau untuk menghindari kecemburuan sosial.Dimensi
Filosofis yang melandasi mudharabah adalah adanya penyatuan antara modal (capital) dan usaha
(skill dan enterprenership) yang dapat membuat pemodal (shahib al-mal) dan pengusahanya mudharib
berada dalam kemitraan usaha yang lebih fair dan terbuka serta kegiatan ekonomi ini lebih mengarah
pada aspek solidaritas modal. Karena dalam kehidupan keadaan seperti ini memang tidak bisa
terhindarkan (Karim, 1993: 13).
Dasar hukum mudharabah yang kedua adalah al-Sunnah. Selain al-Quran, hadits sebagai
salah satu sumber hukum Islam juga memberikan landasan tentang mudharabah, atau Qiradh. Adapun
hadits tentang mudharabah atau Qirdh yang artinya; “Hadits dari Hasan bin Ali al-Khallal, Hadits dari
Basyar bin Tsabit alBazar, hadits dari Natsir bin al-Qosim dari Abdurrahman (Abdurrohim) bin
Dawud dari Shalih bin Shuhaib dari Ayahnya, berkata rosulullah SAW, bersabda: Tiga hal yang
didalamnya ada berkah, jual beli yang temponya tertentu, muqaradlah (nama lain dari mudharabah)
dan mencampur antara burr dengan syair untuk rumahtangga, bukan untuk dijual.” (HR. IbnuMajah)
(al-Quznawi, 768).
Dasar mudharabah yang ketiga adalah Ijma’, Berdasarkan Ijma’ golongan sahabat yang
sesungguhnya tidak menolak harta anak yatim untuk dilakukan mudharabah yang berdasarkan pada
ijtihad Umar bin Khatab.Diriwayatkan oleh Abdillah bin Zaid bin Aslam yang mengatakani bahwa
Abdullah dan Ubaidillah Purta – putra Umar bin Khatab r.a. keluar bersama pasukan Irak. Ketika
mereka kembali, mereka singgah pada bawahan Umar, yaitu Musa al-Asya’ri, Gubernur Bashrah ia
memerima mereka dengan senang hati dan berkata, sekiranya aku dapat memberikan pekerjaan
kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya kemudian ia berkata: sebetulnya bagian ini
adalah sebagian dari harta Allah yang aku ingin kirimkan kepada Amirulmu’minin.
Dasar mudharabah yang keempat adalah Qiyas. mudharabah dapat diqiyaskan sebagi bentuk
interaksi antara sesama manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan
kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan
hidup, atau keperluan-keperluan lain, tidak bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara
sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usahausaha produktif, tetapi
berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan sebagian
modalnya kepada pihak yang memerlukan. Disisi lain, tidak jarang pula ditemui orang-orang yang
memiliki keahlian dan kemampuan berusaha secara produktif, tetapi tidak memiliki atau keterangan
modal usaha. Berdasarkan kenyataan itu, sangat diperlukan adanya kerjasama pemilik modal dengan
orang-orang yang tidak mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerjasama seperti ini, pihak
miskin yang kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan para pemilik modalpun tidak pula
dirugikan karena pemindahan modalnya kepada pihak lain tersebut (Karim, 1993: 12).
Quraish Shihab menerangkan bahwa bagian waris yang diberikan kepada saudara seibu baik
laki-laki maupun perempuan yang lebih dari seorang, maka bagiannya adalah sepertiga dari harta
warisan, dan dibagi rata sesudah wasiat dari almarhum ditunaikan tanpa memberi madhorot kepada
ahli waris (Shihab, 2002: 366). Dari kedua ayat diatas menunjukan bahwa Allah SWT mengakui
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja surat Shaad ayat 24 menyebutkan
perkongsian terjadi atas dasar akad (ikhtiyari). Sedangkan surat An-Nisa menyebutkan bahwa
perkongsian terjadi secara otomatis (Jabr) karena waris (Antonio, 1999: 130).
Kedua, adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang sedang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya
(temannya). Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R
Abu Dawud), (As-Sidiqqy, 2001: 175) Hadis ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama
dalam satu usaha, maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman
yang mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi penyelewengan oleh pengurusnya.
Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang
memungkinkan untuk berkhianat terhadap sesama anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau
diangkat berkahnya oleh Allah SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali. Dengan melihat hadis
tersebut diketahui bahwa masalah serikat (koperasi) sudah dikenal sejak sebelum Islam datang, dan
dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh Islam. Dimana koperasi termasuk usaha ekonomi yang
diperbolehkan dan termasuk salah satu cabang usaha.
Ketiga, Ijma’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’i
Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, telah berkata: “Kaum muslimin telah
berkonsesus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam
beberapa elemen darinya (Antonio, 2001: 91).
2.3 Bentuk – bentuk dan macamnya akad bagi hasil Mudharabah dan Musyarakah
2.3.1 Bentuk – bentuk dan macamnya hasil Mudharabah
Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak yaitu shahibul maal tidak menetapkan restriksi atau
syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Namun, dalam praktik perbankan syariah modern, terdapat
dua kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana dalam mengaplikasikan akad mudharabah,
yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account atau URIA) dan mudharabah
muqayyadah (Restricted Investment Account atau RIA). Berikut adalah penjelasan macam – macam
mudharabah:
Dalam dua bentuk, yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud. (Alma, 2003: 251).
a. Syirkah Amlak (perserikatan dalam kepemilikan) Syirkah Amlak berarti eksistensi suatu
perkongsian tidak perlu suatu kontrak dalam membentuknya, tetapi terjadi dengan sendirinya
serta mempunyai ciri masing-masing anggota tidak mempunyai hak untuk mewakilkan dan
mewakili terhadap partnernya. Bentuk syirkah amlak ini terbagi menjadi dua yaitu Syirkah
Ikhtiari, ialah terjadinya suatu perkongsian secara otomatis tetapi bebas untuk menerima atau
menolak. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Hal ini dapat terjadi
apabila dua orang atau lebih mendapatkan hadiah atau wasiat bersama dari pihak ketiga
b. Syirkah Jabari, ialah terjadinya suatu perkongsian secara otomatis dan paksa, tidak ada alternatif
untuk menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris mewaris, manakala dua saudara atau lebih
menerima warisan dari orang tua mereka (Muhammad, 2003: 34).
c. Syirkah Uqud Syirkah Uqud yaitu sebuah perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal
usaha, modal dan keuntungan. Mengenai syirkah al-uqud ini para ulama membagi menjadi
bermacam-macam jenis, Fuqaha Hanafiyah membedakan jenis syirkah menjadi tiga macam
yaitu, syirkah al-amwal, syirkah al-a’mal, syirkah alwujuh, masing-masing bersifat syirkah al-
mufawadhah dan ‘Inan. Dan fuqaha Hanabilah membedakan menjadi lima macam syirkah yaitu
Syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah, syirkah al-abdan dan syirkah al-wujuh serta syirkah
al-mudharabah dan yang terakhir menurur fuqaha Malikiyah dan Syafi’iyah membedakanya
menjadi empat jenis syirkah yaitu syirkahal-’inan, syirkah al-mufawadhah, abdan dan wujuh.
(Al-Zuhailiy, 1989: 794).
Dari paparan para fuqaha di atas, pembagian dari jenis syirkah tersebut dapat dihimpun menjadi
dua kategori, kategori pertama merupakan kategori dari pembagian segi materi syirkah yaitu
syirkah al-amwal, a’mal, abdan dan wujuh, sedangkan kategori kedua adalah kategori dari segi
pembagian posisi dan komposisi saham. Yaitu syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah dan
syirkah al-Mudharabah.
Dari berbagai jenis syirkah di atas maka akan lebih jelas bila dijelaskan dari masing-masing
jenis syirkah tersebut:
a. Syirkah al-amwal adalah persekutuan antara dua pihak pemodal atau lebih dalam usaha
tertentu dengan mengumpulkan modal bersama dan membagi keuntungan dan resiko
kerugian berdasarkan kesepakatan (A Masadi, t.th: 194).
b. Syirkah al-a’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu misalnya kerjama dua orang
arsitek untuk mengerjakan satu proyek. Syirkah ini disebut juga Syirkah abdan atau Syirkah
sana’i (Antonio, 1999: 132).
c. Syirkah al-wujuh adalah persekutuan antara dua pihak pengusaha untuk melakukan
kerjasama dimana masing-masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal dalam bentuk
dana tetapi hanya mengandalkan wajah (wibawa dan nama baik). Mereka menjalankan
usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga keuntungan yang dihasilkan dibagi
berdasarkan kesepakatan bersama. Syirkah al-’inan adalah sebuah persekutuan dimana
posisi dan komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah belum tentu sama baik
dalam hal modal pekerjaan maupun dalam hal keuntungan dan resiko kerugian (A Masadi,
t.th: 194).
d. Syirkah al-mufawadhah adalah sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak-
pihak yang terlibat didalamya adalah sama baik dalam hal modal keuntungan dan resiko
kerugian (A Masadi, t.th: 194).
e. Syirkah al-mudharabah adalah persekutuan antara pihak pemilik modal dengan pihak yang
ahli dalam melakukan usaha, dimana pihak pemodal menyediakan seluruh modal kerja.
Dengan demikian mudharabah dapat dikatakan sebagai perserikatan antara pemodal pada
satu pihak dan pekerja pada pihak lain. Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan
sedangkan kerugian ditanggung oleh pihak shahibul mal (A Masadi, t.th: 195).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Daftar Pustaka
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16237/10783
http://eprints.walisongo.ac.id/7308/3/BAB%20II.pdf
journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/215/pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/7308/3/BAB%20II.pdf