Anda di halaman 1dari 23

AKAD MUDARABAH :

TRANSFORMASI DARI AKAD FIQH KE PRODUK BANK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Fiqh Iqtishadi

Pengampu :

Dr. H. Jamal Abdul Aziz, M.Ag.

Oleh :

Nur Anisa Setyaningrum


214120100013

Magister Ekonomi Syariah Pascasarjana

Universitas Islam Negri Prof. Kiai Haji Saifudin

Zuhri Purwokerto

2022
A. Pendahuluan
Bisnis syariah di Indonesia mengalami perkembangan yang semakin pesat,
tentunya pelaku usaha bisnis syariah dihadapkan pada masalah mengembangkan
sumber daya masyarakat yakni mengenai sosialisasi mekanisme, transaksi dan
kegiatan operasional pada bisnis tersebut dengan tujuan agar bisnis syariah yang telah
ada dapat berkembang dengan signifikan dan maksimal. Tentu saja ini menjadi salah
satu tantangan pada bisnis syariah di Indonesia pada khususnya, yang mayoritas
masyarakat nya adalah Muslim, oleh sebab itu dukungan masyarakat sangat
diperlukan. Konsep umum dapat dikatakan bahwasannya syariah senantiasa bertujuan
pada kegiatan ekonomi yang halal, baik dari sisi produk yang menjadi objek,
bagaimana cara perolehannya dan cara penggunaannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan dan saling
ketergantungan. Berbagai jenis dan tipe manusia lengkap dengan segala kekurangan
dan kelebihannya. Dapat kita asumsikan, manusia yang berlebih akan harta tetapi di
sisi lain kekurangan skill, begitupun sebaliknya ada manusia yang memiliki skill
berlebih dan ketrampilan yang mumpuni dalam bidang tertentu akan tetapi memiliki
keterbatasan harta. Dari sinilah dibutuhkan kolaborasi seimbang antara manusia yang
berlebih akan harta dengan pemilik skill sehingga dapat menciptakan suatu kerjasama
yang saling menguntungkan satu sama lain. Maka dari itu Islam sangat menganjurkan
syarikat dalam usaha, diantaranya adalah mudharabah (Yulianto & Solikhah, 2016).
Mudharabah merupakan akad/perjanjian kerjasama usaha antara kedua pihak,
dimana pada sisi pihak pertama menjadi pemilik dana (Shohibul mal) yang telah
menyediakan 100% hartanya untuk modal, sedangkan pada pihak lainnya berlaku
sebagai pengelola usaha atau mudharib. Mudharabah secara teknisnya merupakan
bentuk kemitraan laba,dimana pada satu sisi ada pihak penyedia jasa dan satu sisi
yang menyediakan tenaga kerja. Ahli Fiqih menyampaikan Hanafi dan Hanbali
menggunakan istilah ini dengan Mudharabah dan ulama Syafi’i dan Maliki
menggunakan istilah Qiradh.(Ayu et al., 2022)
Produk perbankan syariah yang memiliki bagian unik adalah prinsip dari
mudharabah. Letak keunikan ada pada perbedaan filosofis yakni antara sistem

1
perbankan konvensional dan perbankan syariah yang menganut prinsip membagi
keuntungan dan membagi kerugian. Bagi hasil sendiri dikenal sebagai profit and loss
sharing, yang dimana ketika mudharib mengalami keuntungan yang didapatkan dari
pengembangan modal usaha shohibul mal maka keuntungan tersebut dibagi sesuai
dengan akad/perjanjian sebelumnya. Begitupun sebaliknya dengan kerugian, antara
mudharabid dan shohibul mal harus sama-sama menanggung. Konsep inilah yang
dijunjung oleh syariah bahwasannya skim mudharabah menerapkan sistem
kerjasama yang berbasis keadilan (Arianti, 2018).
Pada tugas penulisan makalah ini, penulis akan mencoba melakukan kajian
pustaka dari berbagai literasi dan pendekatan studi kasus yang penulis dapatkan
terkait dengan pengertian, dasar hukum dan konsep mudharabah dalam Fikih yang
kemudian di implementasikan pada produk-produk perbankan syariah. Penulis
melakukan analisis terkait dengan transformasi akad mudharabah dari fikih pada
produk bank dengan melakukan studi kasus pada salah satu BPRS di wilayah kota
Purwokerto.
B. Konsep Mudarabah dalam Fikih
1. Pengertian
Syirkah atau Musyarakah berasal dari bahasa arab, syirkatan
(mashdar/kata dasar) dan syarika (fi’il madhi/kata kerja) yang berarti
mitra/sekutu/kongsi/serikat. Berdasarkan definisi-definisi beberapa ulama,
seperti para ulama Syafi’i dan Hanbali, untuk mengindikasikan makna
luasnya, yang mencangkup syarikah al-milk (kemitraan kepemilikan) dan
syarikah al-aqd (kemitraan kontraktual). Syarikah al-aqd adalah perjanjian di
antara dua orang atau lebih untuk mengombinasikan aset, tenaga kerja , atau
liabilitas mereka demi alasan menghasilkan laba. Kemitraan ini dibagi
menjadi empat tipe, a) syarikah al-amwal (kemitraan modal), b) syarikah al-
‘amal (kemitraan jasa/tenaga), c) syarikah al-wujuh (kemitraan reputasi), d)
syarikah al-mudharabah, secara teknis mudharabah adalah kemitraan laba,
yang melaluinya satu pihak (rabbul mal) menyediakan modal dan pihak yang
lain (mudharib) yang menyediakan tenaga kerja (Ardiansyah, 2013).
Secara kata bahasa, Mudharabah diambil dari kalimat dharaba fil
ardh, artinya melakukan perjalanan dalam rangka berdagang. Dalam Fatwa
2
Dewan Syari’ah Nasional NO:07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh) menyatakan bahwa Mudharabah yaitu akad kerjasama
suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertamma (shaibul mal, LKS)
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (mudharib, nasabah)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak(Andiyansari, 2020).

2. Dasar Hukum
Dasar hukum dari mudharabah yaitu: Al-Qur’an, sunnah, Ijma’ dan
Qiyas (Al-Zuhayli, 2018), didalam Al-Qur’an sebetulnya tidak disebutkan
dengan jelas tentang mudharabah, walau demikian beberapa ulama di
kalangan kaum muslimin telah bersepakat tentang bolehnya melakukan
kerjasama semacam perniagaan. Dasar hukum mudharabah secara umum
lebih tercermin pada anjuran untuk melakukan suatu usaha. Hal ini tercantum
pada dasar hukum mudharabah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an

“...dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah”


(Al-Quran, Al Muzamil :20)

“...Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di


bumi; carilah karunia Allah” (Al-Qur’an, 62:10).

”...Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu...”


(Al-Qur’an, 2:198).
Meskipun tidak secara konkret menjelaskan adanya keabsahan dari
mudharabah, namun arti dari ayat-ayat Al-Qur’an telah diintrepretasikan
mencangkup orang-orang yang bepergian karena alasan berdagang dan
3
mencari pemasukan yang diperbolehkan.
2. Al-Hadits
Diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Nabi Saw. Bersabda,
“Terdapat berkat pada tiga transaksi: penjualan kredit, mudharabah dan
pencampuran gandum dengan jelai untuk konsumsi rumah tangga, bukan
untuk perdagangan”. Dari Sunnah, bukti yang jelas mengenai keabsahan
mudharabah adalah perbuatan Nabi Saw sendiri yang tadinya bekerja
sebagai mudharib bagi Khatijah. Bukti implisist Nabi terdapat pada kasus
berikut:
Ibn ‘Abbas meriwayatkan bahwa kapan pun ayahnya, Al ‘Abbas
bin ‘Abdal-Mutallib, memberikan uang untuk melangsungkan
mudharabh, ia menentukan beberapa syarat agar mudharib tidak
membawa uangnya melintasi laut, menuju desa manapun, atau memberi
hewan apa pun yang berkeadaan lemah. Jika mudharib melakukan salah
satu dari hal-hal ini, maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban. Nabi
Saw mendengar tentang praktik ini dan mengizinkannya (Al-Bayhqi, Al-
Sunan, Al-Kubra, 6/184 (No.11611))
3. Ijma’
Keabsahan mudharabah dapat dilihat pada bukti lain yakni adanya
praktek yang dilakukan oleh sahabat, yang merupakan ijma’ (konsensus
Opini) diantara mereka. Dikisahkan oleh Zayd bin Aslam dari ayahnya
bahwa:
Abdullah dan ‘Ubaydullah, dua putra ‘Umar, ketika berpergian
bersama tentara Irak, mengunjungi Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur di
Basrah. Ia menyambut mereka dan menawarkan bantuan kepada mereka.
Tawarannya adalah memeberikan kepada mereka sejumlah uang negara
agar diserahkan ke bayt al-mal (perbendaharaan), mereka dapat
berdagang dengan uang tersebut. Mereka dapat menyimpan labanya dan
menyerahkan modalnya (jumlah uang orisinal) kepada Khalifah. Mereka
kemudian melakukan seperti yang ia sarankan. Ketika mereka sampai di
Madinah dan menginformasikannya kepada Khalifah, ia kecewa. Ia
bertanya kepada mereka apakah Abu Musa telah memberikan modal
4
serupa kepada semua tentara yang lain. Karena jawaban mereka adalah
tidak, ‘Umar menjadi marah dan berpendapat bahwa Abu Musa
memberikan uang kepada mereka hanya karena mereka adalah para putra
Khalifah. ‘Ubaydullah berpendapat bahwa perjanjiannya adalah, jika
uang tersebut binasa, maka mereka harus menanggunggnya. Namun,
‘Umar bersikeras agar uang tersebut (laba) harus diserahkan ke bayt al-
mal, dan mereka tidak diperbolehkan untuk menyimpannya. Ketika
‘Ubaydullah mengulangi argumennya, salah saru sahabat berkata :”Wahai
Khalifah, mungkin kamu dapat menjadikan sebagai qiradh”. Lalu ‘Umar
menyetujui pengaturan tersebut. ‘Umar kemudian mengambil uang pokok
tersebut dan separuh labanya (untuk bayt al-mal), lalu separu laba yang
lain dibagikan di antara ‘Abdullah dan ‘Ubaydullah. (Al-Bayhaqi, Al-
Sunnah, Al-Kubra, 6/183)

4. Qiyas
Beberapa ulama membuat analogi atas kesahihan Al-Musaqah
(kemitraan petani), dimana pemilik kebun buah-buahan mengalihkan
pohon-pohon buah dalam jumlah tertentu kepada pemilik lain yang akan
merawatnya di dalam pertukaran, untuk mendapatkan suatu porsi tertentu
dari total panenan pohon-pohon tersebut bukan panenan pohon- pohon
tertentu
5. Akad mudharabah telah dijelaskan pula pada fatwa DSN-MUI Nomor
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah (qiradh)
(Dsnmui.or.id, 2022)

3. Konsep mudharabah dalam kitab Fiqh


a) Definisi Mudharabah
Asal kata mudharabah menurut Nahwu Bashrah berasal dari kata
dharab (mashdarnya), dikarenakan lafadz-lafadz mutashorif tersebut menurut
Ulama Nahwu Bashrah berasal dari mashdar. Akan tetapi menurut Ulama
Nahwu Kuffah berpendapat bahwa asal kata mudharabah yaitu dharab yang
berasal dari lafadz-lafadz yang mutasharif dari fi’il mahdi. Maka dari proses
5
pembentukan asal kata mudharabah menurut ilmu sharaf yaitu kata
mudharabah sebagai masdar dari lafadz dhaaraba- yudhaaribu-
mudharabatan yang artinya memukul atau berjalan. Kata ini yang sesuai
dengan kaidah tata bahasa Arab yang lafadz fi‘il madhi-nya berwazan faa‘ala
maka masdarnya fiaa‘lan dan mufaa‘alan. Kata mudharabah mempunyai
beberapa persamaan kata yaitu muqaradhah, qiradh atau muamalah (Al-
Zuhayli, 2018).
Dalam kitab fikih 4 madzhab istilah mudharabah (Al-Juzairi, 2001)
mempunyai redaksi yang berbeda-beda, dapat dijelaskan oleh masing-masing
madzhab sebagai berikut:
a) Ulama Hanafiyah : mudharabah adalah sebuah alat akad perkongsian
dalam keuangan, satu sisi menjadi pemilik harta dan satu sisi menjadi
pelaku usaha/pemilik jasa.
b) Ulama Malikiyah : mudharabah merupakan sebuah akad perwakilan ,
dimana adanya pihak sebagai pemilik modal yang mengeluarkan
hartanya untuk orang lain dan untuk diperdagangkan dengan
pembayaran yang telah ditentukan
c) Ulama Syafi’iyah : mudharabah adalah akad yang menentukan
seseorang untuk memberikan hartanya (pemodal) untuk
diperdagangkan dan untuk keuntungannya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama.
d) Ulama Hanabilah : pemilik harta (pemilik modal) menyerahkan
modalnya dengan jumlah tertentu kepada seorang pedagang dan untuk
pembagian keuntungannya telah diketahui bersama-sama.
Mudharabah juga merupakan sebuah barang tertentu yang diserahkan
dengan jumlah yang jelas dan untuk dimanfaatkan atau dikembangkan
untuk mendapatkan keuntungan.
Dari beberapa penjelasan para fuqaha diatas, mudharabah adalah akad
yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan saling menanggung baimitu dari
sisi keuntungan atau kerugian. Dalam kitab Fath Al-Qarib dijelaskan bahwa
mudharabah atau qiradh adalah pemodal (investor) menyerahkan modalnya
kepada penyedia tenaga ahli kerja (amil) untuk diniagakan dengan sistem bagi
6
hasil (Faisal Amin and Dkk., 2014)
b) Rukun dan Syarat Mudharabah
Ada beberapa perbedaan persepsi dari para ulama terkait dengan rukun
dan syarat Mudharabah, adapun beberapa persepsi dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Menurut Jumhur Ulama rukun mudharabah yaitu : a) Shahib al-
mal dan Mudharib (pelaku akad); b) Ma’qud (Modal); c) Shighat
(Ijab Qabul)
2) Abu Zaid menyampaikan bahwa rukun mudharabah yaitu : a) Dua
pihak yang berakad; b) Shighat Aqad (Ijab Qabul); c) Al-mal; d)
Al-Ribh (tambahan modal)dan e) al ‘amal (Usaha yang dilakukan
mudharib dalam mendapatkan keuntungan)
3) Umar Musthafa Jabar Ismail memaparkan dalam pandangan
Ulama Hanafiyah rukun mudharabah hanya ada satu yaitu shighat
(ijab qabul)
Sedangkan syarat mudharabah dalam hal ini akan dijelaskan sebagai
berikut :
1) Pihak yang melakukan akad mudharabah harus memiliki
kecakapan hukum untuk melakukan kesepakatan dan menerima
kuasa dikarenakan dalam akad mudharabah terkandung
didalamnya wakalah (kuasa), tentunya dalam hal ini pemilik harta
akan menyerahkan kuasa kepada dalam pengelolaan modalnya.
2) Modal (Ro’sul Al-mal) dalam akad mudharabah harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a) Modal harus berupa alat tukar (nuqud/uang), bukan berupa
barang selain itu
b) Modal harus diketahui dan harus terukur
c) Modal berbentuk tunai bukan piutang
d) Modal harus bisa dipindahkan serta bisa diserahkan dari
pemodal kepada pengelola modal
e) Pembagian Mudharabah
Akad mudharabah terbagi menjadi dua bagian yaitu: a) akad
7
mudharabah muthlaqah (mudharabah yang tidak terikat/bebas); b) akad
mudharabah muqayyadah (mudharabah yang terikat). Menurut Wahbah
al-Zuhayli menjelaskan keduanya Yaitu:
a) Mudharabah muthlaqah (tidak terikat) yaitu penyerahan harta/modal
dari shohibul al-mal kepada mudharib untuk melakukan usaha bisnis
tanpa ditentukan tempat, waktu, sifat usahanya dan pelaku yang
melakukan usaha.
b) Mudharabah muqayyadah (terikat) merupakan akad mudharabah
berupa penyerahan harta/modal dari shahib al-mal kepada mudharib
melakukan usaha yang telah ditentukan jenis tempat, waktu, sifat
bisnisnya dan pelaku yang melakukan usaha.
Para ulama telah menyepakati mengenai sahnya akad mudharabah
muthalaqah. Tetapi ada beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai
status hukum/keabsahan mudharabah muqayyadah. Perbedaan tersebut
sebagai berikut:
a) Ulama Madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah berpendapat mengenai hal
tersebut bahwa mudharabh muqayyadah adalah tidak sah dan
melarangnya untuk dipraktekkan.
b) Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad Ibn Hanbal membolehkan dan sah
dilakukan dengan beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi.
Adapun syarat-syarat tersebut yaitu:
1) Imam Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal membolehkan
mudharabah muqayyadah dengan syarat harus berkaitan dengan
waktu usaha, pihak yang melakukannya, dan waktu yang akan
datang.
2) Akad mudharabah muqayyadah yang berkaitan dengan ketentuan
atau syarat yang tidak jelas dan tidak pasti contohnya apabila
seseorang berkata: seandainya jika ada orang yang akan
membayar hutang kepadaku melaluimu, maka dengan
pembayaran hutang tersebut kamu jadikan modal usaha dengan
akad mudharabah.
c) Sedangkan Ulama Hanabilah dan Zaidiah itu membolehkan akad
8
mudharabah muqayyadah.
f) Berakhirnya Mudharabah
Berdasarkan sumber dari kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal
250 dan 253 disampaikan bahwa berakhirnya akaad mudharabah adalah
apabila waktu dari kerjasama yang telah disepakati di awal kontrak telah
habis maka berakhir pula akad mudharabah tersebut (250). Dan apabila
pemilik modal dan pengelola modal meninggal dunia atau tidak cakapnya
dalam perbuatan hukum (253) (Arifin, 2013).

C. Implementasi Mudarabah dalam Perbankan Syariah


1. Deskripsi Mekanisme
Mudharabah merupakan salah satu kontrak kemitraan yang
mengusung asas keadilan sesuai dengat syariat Islam. Mudharabah
merupakan kerjasama antara dua belah pihak yakni rabbul mal atau investor
dengan mudharib, di mana sang investor atau pemilik modal mempercayakan
kepada pihak kedua mudharib yang selanjutnya akan dikembangkan menjadi
sebuah usaha tertentu. Penyertaan modal disertai dengan berbagai perjanjian
tentang bagi hasil yang telah disepakati bersama dengan landasan profit and
loss sharing (Siregar & Irmayuliana, 2022).
Kontrak mudharabah dikeluarkan oleh perbankan syariah sebagai
salah satu kontrak kemitraan keuangan Islam. Akad mudharabah dapat
dijumpai pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah Pasal 19 huruf (b) dan huruf (c) bahwa akad mudharabah merupakan
akad yang dipergunakan oleh Bank Syariah maupun UUS untuk menghimpun
dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengannya. Selain sebagai penghimpun dana, akad
mudharabah juga merupakan akad untuk menyalurkan pembiayaan bagi hasil
(Ojk.go.id, 2022).
Mudharabah juga merupakan salah satu tonggak ekonomi syariah
yang telah menjadi perwakilan dalam prinsip Islam demi mewujudkan
keadilan dalam masyarakat dengan melakukan sistem bagi hasil dalam sistem
perbankan syariah(Suryanto, 2015). Prinsip yang mendasar dari ekonomi
9
Islam dalam mendukung prinsip keadilan yaitu dengan melakukan kerja sama
dengan konsep bagi hasil. Kerja sama yang dilakukan harus tetap berpedoman
pada aturan Islam di mana prinsip keadilan menjadi sebuah sarana untuk
saling percaya dan bertanggungjawab atas kerja sama yang dibuat agar keluar
terhindar dari kecurangan. Selain itu prinsip keadilan juga harus
dikembangkan oleh pihak perbankan syariah dengan cara memanajemen
pendanaan seperti mampu menarik nasabah dengan memberikan bagi hasil
minimal lebih besar sebagaimana bunga yang ada di perbankan konvensional.
Dalam menjalankan operasional pembiayaanya bank syariah memiliki
prinsip yang berbeda dengan bank konvensional, pada bank konvensional
tidak ada perbedaan antara pembiayaan yang bersifat konsumtif ataupun
produktif. Dalam menjalankan operasionalnya unsur kepercayaan juga sangat
penting terhadap bank syariah, Prinsip yang sangat penting dalam rangka
menjaga dan mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah
yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle). Prinsip ini dituangkan dalam
pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, 2008 Tentang Perbankan Syariah, hal ini perlu dalam rangka
menjamin terlaksananya pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank
syariah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dengan menerapkan antara lain
melakukan sistem pengawasan interen. Begitu juga pada pasal 8 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.46 Berkaitan
dengan pasal 35 undang-undang perbankan syariah tentang prinsip kehati-
hatian, mempertegas kewajiban bank syariah dan UUS untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank syariah(Yulianto
& Solikhah, 2016). Prinsip kehati-hatian yang dimaksud merupakan pedoman
pengelolaan bank syariah dan UUS dalam rangka mewujudkan perbankan
syariah yang sehat, kuat, dan efesien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain pasal 35 ayat (1), pasal 2 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa bank
dalam melakukan usahanya wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian berdasarkan rambu- rambu yang telah ditetapkan(Purwadi et al.,
2022).
10
Prinsip kehatian-hatian ini yang kemudian di aplikasikan bank syariah
kedalam pembiayaannya kepada nasabah dalam pembiayaan mudharabah.
Maka hal inilah yang menjadi dasar diberlakukanya jaminan atau anggunan
dalam pembiyaan mudharabah guna untuk menekan tingkat risiko yang akan
selama pembiayaan Kerjasama terjadi antara bank dan nasabah. Hal ini pun
sesuai dengan penjelasan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa
DSN No. 07/DSN- MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudârabah (Qirâdh)
adanya ketentuan bahwa:
“Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah tidak ada jaminan, namun
agar mudhârabah tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan dari mudhârib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila mudhârib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam akad.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil studi kasus di salah
satu BPRS di kota Purwokerto yaitu BPRS Bina Amanah Satria (BAS) yang
beralamat di Jalan Pramuka No.124 Purwokerto Kabupaten Banyumas Jawa
Tengah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bina Amanah Satria adalah
Perseroan Terbatas (PT), dibuat dihadapan Notaris Bambang. W. Sudrajat,
SH, dengan Akta nomor 19 Tanggal 23 Desember 2003, diubah dengan Akta
nomor 29 Tanggal 21 Pebruari 2005, kemudian diubah lagi dengan Akta
nomor 14 tanggal 14 Maret 2005.
Pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bina Amanah Satria
merupakan cerminan aspirasi dan keinginan dari para okum ional (notaris,
dokter, pengusaha, pendidik) putra daerah untuk memiliki alternative
perbankan dengan okum syariah yang diwarnai oleh prinsip-prinsip
transparansi, berkeadilan, seimbang dan beretika dalam bertransaksi, sebagai
bagian dari dakwah maaliah, untuk mengembangkan usaha ekonomi
masyarakat kecil-mikro di wilayah Kabupaten Banyumas. Menyadari
kebutuhan akan layanan transaksi perbankan secara syariah oleh masyarakat
muslim di wilayah Purwokerto semakin berkembang sementara jumlah bank
syariah yang ada pada waktu itu (tahun 2005) hanya ada 1 (satu) bank syariah
11
yaitu Bank Muamalat Indonesia Cabang Purwokerto, ditengah-tengah ramai
dan luasnya layanan transaksi perbankan konvensional, baik bank umum
konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat.
BPRS BAS memiliki berbagai macam produk dengan jenis akad
Mudharabah, Musyarakah, Murabahah dan lain sebagainya. Pengembangan
produk terus dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin
variatif. Fokus dalam penulisan makalah ini adalah lebih kepada jenis akad
mudharabah.

2. Pihak Terlibat
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah di BPRS BAS,
penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal)
dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk
melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu.
Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah
kedua. Hasil usaha ini akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang
disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharabah
kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.
Rukun mudharabah terpenuhi semua (ada mudharib-ada pemilik dana,
ada usaha yang dibagihasilkan, ada nisbah, dan ada ijab Kabul). Prinsip
mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dari deposito
berjangka. (Fisit Suharti, 2022)
3. Jenis Produk
Jenis produk di BPRS BAS yang menggunakan akad mudharabah
diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Adapun penjelasan produk sebagai berikut :
1. Produk deposito Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bina Amanah Satria
adalah Deposito iB BAS, yaitu jenis simpanan berjangka pihak ketiga
perorangan dan atau lembaga (shahibul maal) pada bank (mudharib),
yang hanya dapat ditarik kembali oleh shahibul maal setelah jangka
waktu tertentu sesuai perjanjian yang disepakati dengan Bank (mudharib),
yaitu (1,3,6,12) bulan. Akad penerimaan deposito adalah mudharabah
12
mutlaqah, dimana Bank (mudharib) menerima dana dari Nasabah
(shahibul maal) untuk diikutkan sebagai penyertaan sementara pada
usaha Bank yang aman, halal dan menghasilkan keuntungan yang
optimal. Pada deposito iB Satria antara pihak Bank (mudharib) dan
deposan (Shahibul Maal) menyepakati terlebih dahulu proporsi (nisbah)
bagi hasilnya. Dan perolehan nominal riil bagi hasilnya akan dibagikan
setiap bulan oleh bank. Deposan (shahibul maal) dapat menentukan
jangka waktu investasinya secara Automatic Role Over (ARO).

2. Tabungan Pendidikan Plus (TAPPLUS) adalah produk tabungan


berjangka untuk mempersiapkan pendidikan anak sampai dengan jenjang
perguruan tinggi. Pembukaan rekening TAPPLUS minimal Rp. 100.000;
atau kelipatannya dan merupakan setoran rutin bulanan, tri wulanan,
semesteran atau tahunan, jangka waktu tabungan ini adalah minimal 5
tahun selebihnya berdasarkan kesepakatan dengan nasabah. Tabungan
TAPPLUS tidak diperkenankan untuk diambil diluar batas atau tahapan
yang telah ditetapkan di awal akad. Penutupan tabungan Tapplus lebih
awal atau sebelum berakhirnya kesepakatan maka nasabah akan
dikenakan biaya penutupan tabungan sebesar Rp. 100.000;. Nisbah
tabungan dari produk TAPPLUS ini adalah 50% nasabah : 50% Bank.
Jika nasabah meninggal dunia maka tabungan tersebut bisa diteruskan
oleh ahli waris yang tercantum dalam form pembukaan tabungan.
Nasabah yang memiliki tabungan Tapplus ini dapat digunakan sebagai
jaminan pembiayaan jika nasabah membutuhkan bantuan dana diluar
tahapan yang telah ditentukan.

D. Analisis Transformasi Akad Mudarabah dari Fikih ke Produk Bank


Berdasarkan hasil studi kasus yang penulis lakukan dalam penulisan makalah
ini, analisis yang penulis hasilkan yaitu terdapatnya transformasi akad mudharabah
dari Fikih ke produk bank syariah. Analisis pertama yang penulis dapat sampaikan
adalah adanya skema penyaluran dana dan penghimpunan dana dari produk
mudharabah yang mengakibatkan munculnya prinsip mudharabah, yaitu mudharabah
13
muqayyadah dan mudharabah mutlaqah.
1. Mudharabah Mutlaqah
Dalam mudharabah mutlaqah, tidak ada pembatasan bagi bank dalam
menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun
kepada bank, ke bisnis apadana yang disimpannya itu hendak disalurkan, atau
menetapkan penggunaan akad-akad tertentu, ataupun mensyaratkan dananya
diperuntukkan bagi nasabah tertentu. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk
menyalurkan dana ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungnkan.
Dari penerapan mudharabah mutlaqah ini dikembangkan produk tabungan
dan deposito, sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan
mudharabah dana deposito mudharabah.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
1. Bank wajib memeberitahukan kepada pemilik mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan dan/atau pembagian keuntungan secara risiko yang
dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan,
maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
2. Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai
bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau penarikan lainnya kepada
penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau
tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
3. Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuia dengan
perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negative.
4. Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang
telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan
diperlakukan sma seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan
perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
5. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

14
Gambar 1.1

2. Mudharabah Muqayyadah
➢ Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (Restricted
Investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu
yang harus dipatuhi oleh pihak bank. Misalnya disyaratkan digunakan
untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan dengan akad tertentu,
atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
a) Pemilik dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus
diikuti oleh bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan
penyaluran dana simpanan khusus.
b) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah
dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan/atau pembagian
keuntungan secara risiko yan dapat ditimbulkan dari penyimpanan
dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus
dicantumkan dalam akad.
c) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan
khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainnya.
d) Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertitifikat atau
tanda penyimpanan (bilyet) dposito kepada deposan.
➢ Mudharabah Muqayyadah of Balance sheet
15
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah
langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai
perantara (arranger) yang mempertemukan anatara pemilik dana dengan
pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu
yang harus daipatuhi oleh bank dalam mencari bisnis (pelaksana usaha).
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
a) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan
khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
Simpanan khusus daicatat pada pos tersendiri dalam rekening
administrative.
b) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak
yang diamanatkan oleh pemilik dana.
c) Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak.
Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah
bagi hasil.
Gambar 1.2

3. Pembiayaan Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama
anatara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal kepada pengelola (mudharib)
16
dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja
sama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian
dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al-maal dalam
manajemn proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati
dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian.
Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal dia diharapkan untuk mengelola modal
dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang essensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada
besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu di anatara itu.
Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al-amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan
menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran
untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masingn-masing pihak untuk
melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan
merusak ajaran islam.
Gambar 1.3

Ketentuan umum skema pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:


Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola
modal harus diserahkan tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan
nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap harus jelas,
tahapannya dan disepakati bersama.
17
Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat
diperhitungkan dengan cara, yakni:
✓ Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
✓ Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
✓ Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap
bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan
pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan
dana.
✓ Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak
berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera
janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau
menunda pembayaran kewajiban, maka ia dapat dikenakan sanksi
administrasi.Jasa Perbankan Syariah

Analisis kedua penulis adalah dengan adanya kehadiran perbankan syariah dengan
praktek akad mudharabah telah mampu mendukung ekonomi Islam dan membantu
masyarakat dalam bertransaksi sesuai dengan prinsip yang telah disyariatkan. Ini nampak
pada praktek atau implementasi mudharabah dalam bank syariah dibedakan menjadikan dua:
1. Mudharabah hadir dan dijadikan sebagai sebuah sistem, ini tentunya menjadi
pedoman Bank dalam melakukan segala jenis transaksi produk perbankan. Dengan
adanya sistem ini tentunya bank akan membagikan keuntungan yang diperolehnya
dengan para nasabahnya dan investor yang menggunakan jasanya. Sudah pasti dalam
hal ini mudharabah hadir dan dapat menjadi pengganti dari sistem bunga.
2. Mudharabah dijadikan sebagai sebuah produk, ini tentunya disediakan oleh pihak
Bank dengan tujuan pelayanan terhadap para nasabahnya. Dalam hal ini seperti yang
telah penulis sampaikan pada pemaparan sebelumnya mudharabah dibagi menjadi
dua bagian yaitu mudharabah yang bersifat tabungan/Deposito (sebagai
penghimpunan dana) dan mudharabah yang bersifat sebagai pembiayaan.
Analisis ketiga penulis adalah terkait pembebanan jaminan dalam perbankan syariah
masih menjadi problematika yang ramai dibahas hingga saat ini, syarat adanya jaminan dalam
18
pembiayaan di bank syariah menurut peneliti menunjukan bahwa bank syariah dalam
melakukan praktik pembiayaannya sama seperti bank konvensional. Hal ini dikarenakan
belum adanya aturan yang jelas tentang jaminan pada bank syariah dalam praktik
pembiayaanya. Sehingga praktik pembebanan jaminan dalam bank syariah terkesan ambigu
dan mencampurkan prinsip dan aturan antara bank konvensional dan bank syariah.
Jaminan yang di praktikan oleh bank konvensional lahir atas dasar utang piutang
antara bank dengan nasabah atau antara kreditu deengan debitur dan dengan berlandaskan
undang-undang tentang hak tanggungan, sedangkan ulama fiqih klasik menjalskan bahwa
pembiayaan mudharabah merupakan bentuk pembiyaan Kerjasama yang saling
menguntungkan, bukan merupakan utang piutang yang menempatkan adanya perbedaan
posisi antara debitur dan kreditur. Penggunaan peraturan perundang-undangan yang sama
dalam prinsip yang berbeda akan menimbulkan tidak adanya perbedaan praktik antara bank
konvensional dan bank syariah, padahal secara prinsip dan konteks pembiayaan bank syariah
dan bank konvensional merupakan produk perbankan yang jauh berbeda.

19
E. Kesimpulan
Akad mudharabah dari persepsi sebagian besar fuqaha adalah akad yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang saling terikat dan yang saling menanggung,
salah satu menjadi pemodal dan menyerahkan hartanya untuk dikelola dikembangkan
atau diperdagangakan dengan tujuan memperoleh keuntungan dimana keuntungan
tersebut dibagi dengan perjanjian awal yang telah ditetapkan dalam akad. Dalam
perbankan pada khususnya, mudharabah merupakan salah satu ujung tombak atau
tonggal ekonomi syariah yang telah menjadi perwakilan dalam prinsip Islam untuk
mewujudkan keadilan dan saling tolong menolong dalam masyarakat dengan
mengimplementasikan sistem bagi hasil. Dalam prakteknya, mudharabah dibagi
menjadi dua bentuk, yang pertama menjadi sebuah sistem, mudharabah hadir sebagai
pengganti bunga bank dimana bank akan membagikan keuntungan dengan para
nasabah dan investor yang telah menggunakan jasanya. Yang kedua, bertujuan dalam
memaksimalkan pelayanan kepada nasabahnya, mudharabah dalam hal ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu mudharabah yang bersifat tabungan/deposito dan
mudharabah yang bersifat sebagai pembiayaan. Yang ketiga, mengenai konsep
jaminan dalam penyaluran dana/pembiayaan mudharabah . Jaminan yang di praktikan
oleh bank konvensional lahir atas dasar utang piutang antara bank dengan nasabah
atau antara kreditur deengan debitur dan dengan berlandaskan undang-undang tentang
hak tanggungan, sedangkan ulama fiqih klasik menjelaskan bahwa pembiayaan
mudharabah merupakan bentuk pembiyaan kerjasama yang saling menguntungkan,
bukan merupakan utang piutang yang menempatkan adanya perbedaan posisi antara
debitur dan kreditur. Penerapan jaminan pada pembiayaan mudharabah dilakukan atas
dasar prinsip kehati-hatian.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Juzairi, A. (2001). Jilid 4. Fikih Empat Madzhab. www.kautsar.co.id


Andiyansari, C. N. (2020). Akad Mudharabah dalam Perspektif Fikih dan Perbankan Syariah.
Śaliĥa, Vol.3(No.2), 42–54.
http://www.staitbiasjogja.ac.id/jurnal/index.php/saliha/article/view/80
Ayu, D., Witro, D., & Keuangan, J. (2022). ISSN : 2809-3658 VOLUME 6 , NOMOR 1 , JUNI
2022 Pandangan Ulama Mazhab ( Fuqaha ) terhadap Akad Mudharabah dalam Ilmu Fikih
dan Penerapannya dalam Perbankan Syariah Keywords : PENDAHULUAN Perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia sangat pesat dan dapat di. 6, 1–14.
Purwadi, W., Manado, K., Koni, A. S., Yogyakarta, U. M., Bantul, K., Djamali, R., Manado, P. N.,
& Politeknik, K. (2022). Penerapan jaminan pada bank syariah dalam pembiyaan
mudharabah. 2(1), 37–50.
Siregar, E. S., & Irmayuliana, I. (2022). The Effect of Murabahah, Mudharabah, and Musharakah
Financing on Net Profit Growth in Bank Muamalat Indonesia. Jurnal BAABU AL-ILMI:
Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 7(1), 86. https://doi.org/10.29300/ba.v7i1.6487
Suryanto, T. (2015). Implementation of fair value accounting on agency problem contract
Mudharaba in Islamic Finance. International Journal of Economic Perspectives, 9(4), 94–102.
Yulianto, A., & Solikhah, B. (2016). Investigate the influence factors of mudharaba financing to
strengthen the core bussines of islamic banking. International Journal of Applied Business
and Economic Research, 14(5), 3025–3034.

Al-Zuhayli, W. (2018). Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5. Dalam W. Al-Zuhayli, Fiqh Islam Wa
Adillatuhu Jilid 5 (hal. 477). Jakarta: Gema Insani.
Ardiansyah, D. (2013). IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN DENGAN AKAD MUDHARABAH.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 1-18. Diambil kembali dari
https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/369
Arianti, a. (2018). Mudharabah Dalam Bank Syari‘ah,. Jurnal Ilmiah Syari’ah, 1–7,.
Arifin, M. S. (2013). Mudharabah Dalam Fiqih Dan Perbankan Syari'ah. Jurnal Ekonomi Syariah,
302-23. Diambil kembali dari
21
http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/download/215/pdf
Dsnmui.or.id. (2022, September Senin 26 September). Diambil kembali dari "fatwa":
https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/?s=pembiayaan+mudharabah
Faisal Amin and Dkk. (2014). Menyingkap Sejuta Permasalahan Dalam Fath Al-Qarib. Lirboyo:
Anfa‘.
Fisit Suharti, M. (2022). Kepala Bagian Pengembangan Produk. Purwokerto. Dipetik September
25, 2022
Ojk.go.id. (2022, September Selasa 26). Diambil kembali dari Buku Standar Produk Mudharabah
Seri Standar Produk Perbankan Syariah 5: https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-
dan-kegiatan/publikasi/Pages/Buku-Standar-Produk-

22

Anda mungkin juga menyukai