Anda di halaman 1dari 23

PENGAPLIKASIAN AKAD MUDHARABAH

PADA PERBANKAN SYARIAH


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Prinsip Ekonomi Islam
yang dibimbing oleh :
Bpk. Dr. Asyari Hasan, S,H.I., M.Ag

Disusun oleh :
Vinny Rahmawati (11200820000002)
Ardha Aulia (11200820000007)
Ananda Putri Yudhistira (11200820000052)
Annas Rabbani (11200820000055)
Ervita Rahmawati (11200820000061)
Aisyah Eka Savitri (11200820000110)

Akuntansi – Fakultas Ekonomi dan Bisnis


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

ABSTRAK
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mendeskripsikan makna
akad Mudharabah, makna bank syariah, dan aplikasi Mudharabah
dalam perbankan syariah di Indonesia. Makalah ini merupakan
analisis kajian teori. Dapat disimpulkan bahwa akad Mudharabah
terjadi jika ada pihak shahibul maal, ada mudharib, ada objek
yang dikerjakan, dan ada kesepakatan nisbah antara pihak pemilik
modal dengan pengelola. Perbankan syariah memiliki ciri-ciri
bebas riba, melakukan pelayanan untuk kepentingan publik dan
merealisasikan sasaran sosio-ekonomi Islam, bersifat universal,
dan menganut penerapan bagi hasil tanpa adanya unsur
pemaksaan. Sedangkan aplikasi Mudharabah dalam perbankan
syariah di Indonesia memiliki karakteristik seperti tujuan
transaksinya untuk pembiayaan, pembagian hasil mengacu pada
konsep revenue sharing, dan penentuan nisbah bagi hasil dapat
berubah selama periode perjanjian dan ditetapkan pada akad di
awal periode kontrak.
Kata Kunci : Akad, Mudharabah, Perbankan Syariah

A. PENDAHULUAN
Perbankan syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah Islam yang operasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-
Qur’an dan hadist.1 Awal berdirinya bank syariah di Indonesia diawali dengan
berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia pada 1 November 1991. Semakin tahun
perkembangan bank syariah semakin pesat, sebagian bank konvensional di
Indonesia sekarang ini juga membuka bank dengan nama yang sama tetapi
ditambahi dengan sistem syariah karena bank syariah banyak digemari oleh
masyarakat dalam bertansaksi perbankan, contohnya adalah Bank BRI Syariah,
Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Bank BCA
Syariah, Bank Panin Syariah, dsb.2

____________________________
1
Antonio, M. Syafi’i. 2006. Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka
Alfabeta.
2
Nurrahmi, Shara. 2020. Artikel. Bank Syariah di Indonesia. Dalam
https://www.finansialku.com /bank-syariah-di-indonesia/ diakses pada 26 September 2020.

2
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

Perbankan syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah lebih


unik dan lebih mempunyai ciri tersendiri, salah satunya yaitu mempunyai akad-
akad dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Nama-nama akad
tersebut diantara lain ialah : Murabahah, Salam, Isthisna, Ijaroh, Mudharabah, dan
Musyarakah.

Persaingan di dunia perbankan saat ini baik di bank-bank syariah maupun


koperasi-koperasi syariah sangat kuat dan ketat, ditandai dengan adanya lembaga-
lembaga yang mendirikan bank atau koperasi dengan sistem syariah karena sistem
syariah saat ini banyak digemari oleh nasabah.

Agar bank syariah atau koperasi syariah banyak diminati oleh nasabah,
maka mereka haruslah membuat produk yang beda dari yang lainnya,
memberikan pelayanan yang beda dari yang lainnya, memenuhi kebutuhan
nasabah agar nasabah merasa nyaman dan puas sehingga nasabah tidak berpaling
atau pindah ke bank syariah atau koperasi syariah yang lainnya.

Selain persaingan yang ketat, perkembangan perbankan syariah sangatlah


pesat, banyak nasabah yang ingin menghimpunkan dananya ke bank atau koperasi
syariah karena di rasa aman, halal tidak adanya sistem bunga, hal tersebut
tentunya dapat dimanfaatkan untuk membantu sesama yang membutuhkan,
dengan cara disalurkan oleh bank syariah atau koperasi syariah ke nasabah yang
membutuhkan dana untuk suatu usaha. Dengan adanya alasan banyak nasabah
yang ingin menggunakan jasa-jasa perbankan syariah maka lembaga-lembaga
tersebut bertahan menggunakan sistem syariah dan memperbaikinya setiap
tahunnya agar semakin berkembang.

3
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

MUDHARABAH DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN MUDHARABAH

Al-Qur’an tidak secara langsung menunjukkan istilah Mudharabah,


melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebanyak 58 kali. Dari
beberapa kata, inilah yang kemudian mengilhami konsep Mudharabah.
Mudharabah pada umumnya digunakan sebagai pendukung dalam perluasan
jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip Mudharabah, dapat
dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas.
Secara terminologi (bahasa), Mudharabah adalah masdar dari fiil madzi (

‫ )ضارب‬yang berarti berdagang, dan memperdagangkan. Mudharabah juga


berasal dari kata adh dharb fil ar’dhi atau bepergian untuk urusan dagang.
Secara terminologi (istilah), Mudharabah menurut ulama fiqih adalah sebagai
berikut :
 Madhab Hanafi : “Akad atas suatu syarikat dalam suatu keuntungan
dengan modal harta dari suatu pihak dan dengan pekerjaan (usaha) dari
pihak lain.”
Penjelasan dari pengertian ini adalah Mudharabah adalah suatu akad dan
mereka juga menjelaskan unsur-unsur pentingnya yaitu berdirinya syarikat
ini atas usaha fisik dari satu pihak dan atas modal dari pihak lain. Namun
tidak menjelaskan dalam definisi tersebut cara pembagian keuntungan
antara orang yang bersyarikat tersebut.
 Madzhab Maliki : “Suatu pemberian mandat (taukiil) untuk berdagang
dengan mata uang tunai yang diserahkan (kepada pengelola) dengan
mendapatkan sebagian dari keuntunganya.”
Dalam definisi Imam Maliki telah disebutkan berbagai persyaratan yang
harus dipenuhi dalam Mudharabah dan cara pembagian keuntungan
dengan pembagian secara jelas, sesuai kesepakatan antara yang
bersyarikat. Namun dalam definisi Imam Maliki tidak dijelaskan
menegaskan kategori Mudharabah sebagai suatu akad, melainkan beliau

4
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

menyebutkan bahwa Mudharabah adalah pembayaran (penyerahan modal)


itu sendiri.
 Madzhab Syafi’i : “Suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada
orang lain untuk mengusahakanya dan keuntunganya dibagi antara mereka
berdua.”
Meskipun belaiau (Imam Syafi’i) telah menegaskan kategori Mudharabah
sebagai suatu akad, namun ia tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi
dari persyaratan kedua pihak melakukan akad dan juga ia tidak
menjelaskan bagaimana cara pembagian keuntungan.
 Madzhab Hambali : “Penyerahan suatu modal tertentu dengan jelas
jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakanya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntunganya”.
Imam Hambali telah menyebutkan bahwa pembagian keuntungan adalah
antara dua orang yang berserikat, namun ia tidak menyebutkan lafadz akad
sebagai mana juga belum menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi
pada kedua orang yang melakukan sarikat.

5
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

B. HUKUM MUDHARABAH

Semua ulama Islam telah bersepakat membolehkan akad Mudharabah, dan


kesepakatan itu merupakan sebuah Ijma’ dari ulama. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Rusydi al-Qurthubi dalam bukunya: “Tidak ada satupun perbedaan
pendapat ulama untuk membolehkan Mudharabah, dia adalah sebuah akad yang
biasa dilakukan di zaman jahiliyah kemudian dipelihara dalam Islam.”

Adapun yang menjadi dasar hukum Mudharabah :

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”
(QS. Al-Muzammil: 20)


“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
(QS. Al-Ma’idah: 1)

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;


dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”
(QS. Al-Jumu’ah: 10)

6
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

 “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah


yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya…”
(QS. Al-Baqarah: 283)

 Sunnah Rasulullah SAW sebagaimana dikenal dalam sejarah Islam bahwa


nabi Muhammad SAW dulunya berangkat dari Makkah ke negeri Syam
(Suria) adalah sebagai pengelola (Mudharib) harta Khadijah RA.
Rasulullah bersabda diriwayatkan oleh Ibnu Majah :

“Ada tiga perkara yang diberkati; jual beli yang ditangguhkan, memberi
modal dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk
dijual.”
(HR Ibnu Majah)
 Transaksi Mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil
upah untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia,
karena sebagian orang ada yang kaya dan ada yang miskin, terkadang
sebagian orang memiliki harta tetapi tidak berkemampuan
memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak mempunyai harta
tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat
membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil
manfaatnya.

7
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

C. PEMBAGIAN MUDHARABAH

Secara umum Mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :


 Mudharabah Mutlaqoh
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh
kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam
usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan, tanpa ada syarat
tertentu mengenai jenis usaha yang akan dikelola, tempat waktu maupun
siapa yang akan bekerjasama dengan mudharib dalam pekerjaannya.
Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan
sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (‘urf).
 Mudarabah Muqayyadah
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat,
jenis usaha dan sebagainya.

8
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

D. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Setiap akad tentulah ada rukunnya, apabila rukun terpenuhi maka sahlah akad
itu namun apabila tidak sesuai atau tidak terpenuhi rukunnya maka batallah akad
tersebut dan dinyatakan tidak sah. Kemudian setiap rukun tersebut umumnya
selalu mempunyai syarat dan juga wajib untuk dipenuhi apabila syarat tidak
terpenuhi maka rukunnya juga tidak sah. Begitu juga halnya dengan Mudharabah
yang memiliki rukun dan syarat wajib untuk dipenuhi sehingga akad Mudharabah
bisa diterima oleh syariat.

Adapun rukunnya adalah sebagai berikut:

 Shighat, yaitu lafaz akad antara pemilik harta dengan pengelola;


 Dua pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik harta dan pengelola;
 Harta, yaitu modal;
 Usaha pengelolaan harta sehingga menghasilkan keuntungan;
 Keuntungan.

Menurut mazhab Hanafi yang menjadi rukun Mudharabah hanyalah ijab dan
qabul saja, sedangkan yang lainnya adalah syarat Mudharabah.
Ada juga yang menolak pekerjaan dan keuntungan dijadikan sebagai rukun,
karena ada akad Mudharabah sedangkan pekerjaannya belum ada, dan kadang
setelah melakukan Mudharabah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Akan
tetapi semua perbedaan ini hanya sekedar perbedaan penamaan saja, sedangkan
keberadaanya dalam akad Mudharabah semua sepakat mestilah ada.
Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan dengan ringkas masing-masing
rukun tersebut beserta syarat Mudharabah yang harus dipenuhi :
 Shighat
Shigat adalah ijab qabul antara pemilik harta dengan pengelola harta. Ijab
qabul ini haruslah dilakukan dengan lafaz yang menunjukkan bahwa
mereka melaksanakan akad Mudharabah tetapi tidak harus dengan zhahir

9
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

lafaz “Mudharabah”. Namun, boleh dengan lafaz lain selagi maksudnya


adalah sesuai dengan makna Mudharabah.
 Dua pihak yang melakukan akad
Mereka adalah pemilik modal dan pengelola. Pemilik modal menyerahkan
hartanya kepada pengelola untuk dikelola sehingga harta itu menjadi
bertambah. Sedangkan pengelola adalah orang yang mempunyai
kecakapan dan kesanggupan untuk mengelola harta pemilik modal agar
bisa berkembang. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-
tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua sudah baligh, berakal, normal
(rasyid), dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama
mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim.
Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba
atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal
tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang
dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap
pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba
dan haram.
 Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi :
 Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd), atau
barang yang ditetapkan nilainya ketika akad;
 Modal yang diserahkan harus jelas diketahui;
 Modal diserahkan harus tertentu;
 Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola
menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.
Penyerahan jumlah modal kepada pengelola modal harus berupa alat
tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak
diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung
berdasarkan nilai mata uang ketika akan terjadi transaksi, sehingga nilai
barang tersebut menjadi modal Mudharabah.

10
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

 Jenis Usaha
Ada beberapa syarat jenis usaha yang harus dipenuhi :
 Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan;
 Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya;
 Asal dari usaha dalam Mudharabah seperti dari bidang perniagaan
ataupun usaha yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat.
Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang
yang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya;
 Pembatasan waktu penanaman modal.
Menurut pendapat madzhab Hambali, dalam kerja sama penanaman
modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, dengan dasar
dianalogikan dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan
berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya
 Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan.
Demikian juga dengan Mudharabah. Namun dalam Mudharabah
pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan beberapa syarat :
 Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, yaitu
pemilik modal dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan
disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan
“Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3
untukku , dan 1/3 lagi untuk orang lain”, maka tidak sah, kecuali pihak
ketiga yang dimaksudkan ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiradh bersama dua orang. Seandainya dikatakan “Separuh
keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari
bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah
kepada isteri.

11
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

 Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu


pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama Mudharabah
denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang
demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah.
 Keuntungan harus diketahui secara jelas. Dalam transaksi tersebut
ditegaskan presentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan
pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah
ditentukan persentasenya, seperti: setengah, sepertiga atau seperempat.
Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja
sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta,
dan sisanya untukku”, maka akad Mudharabah demikian ini tidak sah.
Demikian juga bila tidak jelas presentasenya, seperti “Sebagian
untukmu dan sebagian lainnya untukku.”
Dalam pembagian keuntungan juga perlu melihat hal-hal berikut :
 Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun
kerugian harta hanya ditanggung pemilik modal;
 Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari
keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut,
maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh
keuntungan merupakan milik pemilik modal;
 Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum
menyerahkan kembali modal secara sempurna;
 Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali bila
kedua pihak saling ridha dan sepakat.

12
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

PENERAPAN MUDHARABAH DI PERBANKAN SYARIAH

A. PENGERTIAN BANK SYARIAH

Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah
Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Dalam UU No.21 Tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan
pengertian perbankan syariah dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah
yaitu segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah,
mencakup kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di
dalam melaksanakan kegiatan usahanya sedangkan Bank Syariah adalah bank
yang menjalankan kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prinsip syariah.
Muh. Syafe'i Antonio dan Perwataatmadja (1992) membagi pengertian terkait
perbankan syariah dalam dua pengertian :
 Bank Islam adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syari’ah Islam.
 Bank Islam adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada
ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.
Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa
pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Penentuan harga bagi bank syariah
didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai
dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar
kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan.
Berikut ini prinsip prinsip yang berlaku pada bank syariah:
 Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
 Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah);
 Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Mudharabah).
 Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (Ijarah).
 Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

13
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

B. KEUTAMAAN BANK SYARIAH

Fungsi dasar bank syariah secara umum sama dengan bank konvensional,
sehingga prinsip umum pengaturan dan pengawasan bank berlaku pula pada bank
syariah. Namun ada perbedaan yang cukup mendasar dalam operasional bank
syariah menuntut perbedaan pengaturan dan pengawasan bagi bank syariah:
 Perlunya jaminan pemenuhan ketaatan pada prinsip syariah dalam seluruh
aktivitas bank, terutama larangan praktek riba;
 Perbedaan karakteristik operasional khususnya akibat dari pelarangan
bunga yang digantikan dengan skema PLS dengan instrumen nisbah bagi
hasil.
Yang menjadi ciri khas bank syariah sehingga menyebabkan ia berbeda
dengan bank konvensional adalah:
 Beban biaya yang telah disepakati pada waktu melakukan akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya fleksibel atau
tidaklah kaku dan dapat ditawar dalam batas-batas yang masih wajar;
 Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan oleh
penyimpan dianggap sebagai titipan sedangkan bagi bank dianggap
sebagai titipan yang diamanatkan sebagai pernyataan dana pada proyek
yang dibiayai oleh bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sehingga
bagi penyimpan tidaklah dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return);
 Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran harus selalu dihindarkan karena persentase bersifat melekat
pada sisa hutang meskipun utang hingga batas waktu perjanjian telah jatuh
tempo atau berakhir;
 Di dalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan
berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed return) yang ditetapkan dimuka.
Bank syariah menerapkan sistem berdasarkan atas modal untuk jenis
kontrak al Mudharabah dan al Musyarakah dengan system bagi hasil
(profit and losery) yang tergantung pada besarnya keuntungan;

14
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

 Bank syariah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang dari
mata uang yang sama dan transaksinya itu dapat menghasilkan
keuntungan. Jadi, mata uang itu dalam memberikan pinjaman pada
umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk pembiayaan
pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut milik bank;
 Adanya dewan syariah yang bertugas mengawasi bank dari sudut syariah.
Bank syariah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab dimana
istilah tersebut tercantum dalam fiqih Islam;
 Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa suatu beban murni yang
bersifat sosial, dimana nasabah tidaklah berkewajiban untuk
mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasal);
 Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah, artinya
berkewajiban menjaga dan ikut bertanggung jawab atas keamanan dana
yang sudah dititipkan dan memiliki kesiapan sewaktu-waktu apabila dana
ditarik kembali sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut berkaitan dengan ini
dapat membaca fungsi bank syariah.

15
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

C. PENGARUH BANK SYARIAH DALAM PEREKONOMIAN


MASYARAKAT
Dalam perkembangannya kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat muslim, akan tetapi juga masyarakat non-muslim. Saat
ini bank syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan non-
muslim, baik di Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan
dunia yang telah membuka cabang berdasarkan prinsip syariah.
Bank syariah sebenarnya sangat berperan penting dalam pembangunan. Bank
syariah cukup bisa diandalkan dalam proses mencapai kesejahteraan dan keadilan
serta kemakmuran masyarakat. Hal itu dikarenakan bank syariah menerapkan
prinsip bagi hasil yang berkeadilan tanpa menerapkan bunga atas transaksi. Bank
syariah telah menunjukkan bahwa ia memegang peranan penting dalam
pembangunan, yaitu disaat negara dilanda krisis moneter pada tahun 1998. Pada
saat itu, bank syariah keadaannya tidak begitu terguncang dan dapat dikatakan
stabil.
Secara lebih terperinci, peran bank syariah dalam pembangunan yaitu
meliputi, Pertama, Ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan
sektor riil. Diharamkannya suku bunga dan spekulasi mengharuskan dana yang
dikelola oleh bank syariah disalurkan ke sektor rill dan usaha yang halal. Dengan
penyaluran tersebut, maka usaha sektor rill terbantu dan hal tersebut sudah
membantu dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Kedua, Ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam
menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-
tengah. Peluang investasi syariah di Indonesia telah menarik minat investor dari
negara-negara pengguna dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Ketiga, Gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi
yang etis di kalangan masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi
yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk
perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan
ketidakpastian.

16
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

D. PENERAPAN MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH DI


INDONESIA

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan


pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana Mudharabah diterapkan pada:
 Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya;
 Deposito special, di mana terdapat dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Apabila dilihat dari segi konsep maka bank syariah sangat bagus, terutama
dalam tekad menjahui prktek riba dalam perbankan. Namun kenyataannya masih
ditemukan beberapa kendala dan kejanggalan sehingga keinginan untuk keluar
dari riba tidak bisa terealisasi dengan sempurna. Berikut ini uraian aplikasi
Mudharabah dalam bank syariah kususnya yang berlaku di Indonesia sekaligus
tinjauan syari terhadap aplikasi tersebut:
 Akad Mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
Pertama, tabungan berjangka. Sistemnya adalah nasabah penabung
memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-
syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan
fotokopi KTP, spesimen tanda tangan, dan lain sebagainya. Lalu
menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anak.
Kemudian menyepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo
pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo
plus bagi hasil dari usaha Mudharabah. Secara kenyataan di lapangan,
pihak bank bisa langsung memberikan hasil Mudharabah secara kredit tiap
akhir bulan.
Kedua, deposito biasa. Ketentuannya sama seperti ketentuan umum yang
berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai
shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (pengelola
modal). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara
penyetoran dan penarikan agar modal dapat diputarkan. Sehingga ada

17
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Juga dibicarakan


nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh
tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan
deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap
customer service.
Ketiga, deposito khusus, yaitu dana yang dititipkan nasabah khusus untuk
bisnis tertentu. Tetapi umumnya bank syariah tidak menerapkan produk
ini. Secara hukum syari, akad yang tertuang dalam formulir yang
disediakan pihak bank cukup transparan, sesuai dengan prinsip syariah dan
berbeda dengan bank konvensional. Pada saat akad, bank syariah sangat
terikat dengan akad-akad muamalah. Pada imbalan yang diberikan pun,
bank syariah menerapkan prinsip Mudharabah, sehingga bagi hasil
tergantung pada pendapatan bank, nominal deposito nasabah, nisbah
(persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank, serta jangka waktu
deposito. Sedangkan bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost
concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di
muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar
oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional. Selanjutnya pada
sasaran pembiayaan, Bank syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal
sedangkan bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal
maupun haram.
Bentuk akad pada bank syariah tersebut dan perbedaannya dengan bank
konvensional menjadi nilai lebih untuk bank syariah, namun demikian, ada
beberapa hal yang perlu disoroti pada akad Mudharabah antara penabung dan
bank syariah, di antaranya adalah :
 Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut.
Semua bank, baik konvensional maupun syariah harus terikat dan
dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana
simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang

18
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank,


maka LPS yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah
penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No.
66 Tahun 2008).
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri
maka hakikat sesungguhnya bukanlah akad Mudharabah tetapi akad
pinjaman yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan
pinjaman apapun yang terjadi. Dalam hal ini maka akad tersebut tidak
terlepas dari riba karena pinjaman tersebut mengandung unsur bunga,
kerugian ditanggung bank, dan juga pihak bank tidak terlepas dari
asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam.
 Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana
pembiayaan ke produk Mudharabah dikarenakan risiko yang cukup
tinggi, seperti nasabah yang tidak menggunakan dana tersebut seperti
yang disebutkan dalam akad, kelalaian yang disebabkan oleh nasabah,
hingga penyembunyian keuntungan oleh nasabah yang tidak jujur.
Oleh sebab itu, bank syariah lebih banyak mengalokasikan
pembiayaan kepada produk-produk murabahah.
 Selanjutnya apabila terjadi kerugian pada usaha nasabah diluar
prediksi semua pihak, maka secara prinsip Mudharabah yang syari,
kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan
amil murni ditanggung pemodal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak
dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.
Tetapi praktik yang terjadi di dunia bank syariah tidak seperti itu.
Melainkan semua bank pada akad Mudharabah mensyaratkan semua
aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih
dahulu sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar
prediksi semua pihak. Bahkan, sebagian bank syariah langsung
melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau
menuntut pengembalian modal Mudharabah.

19
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

Tindakan tersebut menunjukkan bahwa kerugian ditanggung


sepenuhnya oleh amil. Hal ini jelas menyalahi prinsip Mudharabah
yang syari sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat
akad sesungguhnya bukan qirad (Mudharabah) tapi qard (pinjaman)
yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi. Namun
adapula sebagian bank syariah yang tidak berani melakukan penyitaan
secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad Mudharabah,
yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain
seperti kompromi dengan pihak nasabah. Misal, Meminta nasabah
menjual aset yang ada. Tetapi, kalau dicermati tetaplah intinya dalam
modal Mudharabah harus kembali dan kerugian ditanggung amil.
Pihak bank sebenarnya memiliki alasan kenapa harus melakukan
upaya-upaya di atas. Alasannya adalah, pada saat pihak bank
mengeluarkan pembiayaan untuk modal Mudharabah dengan nasabah,
pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar
kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah. bila
lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan, bila tidak lancar
maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, bahkan 15 %,
dan seterusnya. Bila sampai sembilan bulan nasabah tidak
membayarkan bagi hasil usaha, maka dana talangannya menjadi 100
%. Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua
bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa
dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.

20
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Sesuai dengan penjelasan yang penulis paparkan dalam tulisan ini maka bisa
disimpulkan sebagai berikut:
 Sistem Mudharabah merupakan sistem yang sudah dipraktekkan sejak zaman
jahiliah kemudian di kuatkan oleh Islam setelah dilakukan penyesuaan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam;
 Sistem Mudharabah adalah jalan keluar dari praktek riba yang diharamkan
dalam Islam;
 Masyarakat sangat menerima dengan adanya sistem Mudharabah yang
dipraktekkan oleh bak-bank syariah;
 Namun dalam penerapannya, sistem Mudharabah pada bank syariah di
Indonesia belum bisa 100% keluar dari praktek riba.
Melihat kondisi akad Mudharabah pada bank syariah seperti yang dipaparkan
di atas maka hal itu masih menjadi PR bagi semua praktisi ekonomi Islam
Indonesia khususnya perbankan syariah untuk mencarikan jalan keluar dari
kendala yang ada dan mengonsep dengan serius praktek muḍārabah dalam bank
syariah agar benar-benar terlepas dari riba. Wallahu ‘Alam.

21
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

DAFTAR PUSTAKA
Zainudin, Ali. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syafi’i, Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Perss.

Saeed, Abdullah. 2004. Bank Islam dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Yunus, Muhammad. 2000. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta: Victori Inti
Cipta.

Muhamad. 2004. Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank
Syari’ah. Yogyakarta: UII Press.

Wiroso. 2005. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah.
Jakarta: PT. Grasindo.

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzan


Al-Qurthubi, Ibnu Rusyidi. 2013. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Beirut: Dar Ma’rifah.

Afifuddin, Abu Abdillah Muhammad. 2007. Afifuddin, “Macam-macam Riba,”


Majalah Asy Syariah, No. 28/III1428 H.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang


setimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.
Jakarta: lnstitut Bankir Indonesia.

Yuspin, Wardah. 2016. Aspek Hukum dan Kelembagaan Perbankan Syariah.


Yogyakarta: Genta Publishing.

Ahmed, A. 2003. Contemporary Experiences of Islamic Banks. New Delhi:


Journal of Objective Studies.

Sudarsono, Heri. 2003. Bank and Description and Illustration of Islamic Finance
Institutio. Yogyakarta: Ekonista Press.

Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2003. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta:

22
Pengaplikasian Akad Mudharabah pada Perbankan Syariah

Gema Insani Press.

23

Anda mungkin juga menyukai