Kirani Adelya Puspitasari (3020210155)1 Evi Diana Sukirnawati (3020210156)2 Sylmia Putri
Nugrahaeni (3020210258)3 Danty Helmalia Putri (3020210282)4 Universitas Pancasila,
Jl.Lenteng Agung Raya No.56 RT.1/RW.3 Srengseng Sawah,Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta
Selatan,Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1263
ABSTRAK
Pembiayaan atau proses peminjaman modal atau pemberian modal adalah salah satu fasilitas
perbankan syariah yang sangat membantu para nasabah. Salah satu yang menarik adalah
pembiayaan dengan skema Mudharabah. Mudharabah dapat diartikan sebagai akad kerja sama
usaha antara dua belah pihak. Kedua pihak tersebut yaitu pihak pemilik dana sebagai pihak
pertama yang menyediakan seluruh dana (100%) dan pihak pengelola dana sebagai pihak
kedua yang bertindak sebagai pengelola. Dalam Mudharabah, keuntungan usaha dibagi sesuai
kesepakatan semua pihak yang ditulis di dalam kontrak perjanjian. Lalu, jika mengalami
kerugian finansial maka pihak pertama akan menanggungnya, tetapi jika karena kelalaian
pengelola maka akan ditanggung oleh pengelola dana. Nilai keadilan dalam akad Mudharabah
terletak pada keuntungan dan pembagian resiko dari masing-masing pihak yang sedang
melakukan kerjasama sesuai dengan porsi keterlibatannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaplikasian pembiayaan mudharabah, prinsip pembagian hasil usaha serta
penerapan keadilan dalam pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah. Mudharabah
biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pembagian hasil usaha
mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan penghasilan usaha mudharabah.1
1
www.ejournal.annadwahkualatungkal.ac.id
PENDAHULUAN
Bank syariah atau bank Islam dalam bukunya Edy Wibowo adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank ini tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur‟an dan hadits Menurut undang-undang
No. 21 tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam maksudnya adalah
bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara
bermuamalat itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur
riba, untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan atau praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman
Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak dilarang
oleh beliau.Dalam operasional bank Syariah, mudharabah merupakan salah satu bentuk
akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem dari mudharabah
ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.Keuntungan
usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam penentuan
kontraknya, harus dilakukan diawal ketika akan memulai akad mudharabah
tersebut.Konsep mudharabah ini terdapat unsur keadilan, di mana tidak ada suatu pihak
yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara pemilik dana dan
pengelola dana. Distribusi pembagian hasil usaha hanya didasarkan pada akad
mudharabah, di mana pembagian hasil usaha didasarkan pada nisbah yang telah
disepakati di awal akad. Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan
konsekuensi bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari kesepakatan) maka pihak
penyedia dana akan menanggung kerugian manakala mudharib akan menanggung
kerugian managerial skill dan waktu serta nisbah keuntungan bagi hasil yang akan
diperolehnya.Oleh karena itu, mudharib sebagai pihak yang diberi amanah dan
dipercaya untuk mengelola usaha hendaknya dapat meneladani sifat Rasulullah SAW
yaitu siddiq, tabligh, amanah dan fathonah. Tanpa dilandasi hal tersebut, tidak ada
keadilan antara pemilik dana dan pengelola dana. Kejujuran, keterbukaan, amanah
sangat diperlukan oleh para pengelola bank syari‟ah (termasuk BMT), terutama yang
berkaitan dengan pembagian hasil usaha yang
merupakan karakteristik utama akteristik utama lembaga keuangan syariah.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis akhirnya memberikan rumusan masalah
yaitu:
TUJUAN PENELITIAN
Dalam penelitian tugas ini,tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah :
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah
pengetahuan bagi pembaca khususnya mengenai pengaplikasian pembiayaan akad
mudharabah,prinsip pembagian hasil usaha,penerapan prinsip keadilan pada pembiayaan
mudhrabah,serta manfaat dan resiko akad mudharabah di dalam perbankan syariah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi pustaka. Studi pustaka adalah teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku, literatur-
LANDASAN TEORI
Akad bank syariah yang utama dan paling disepakati oleh para ulama adalah akad
dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah dan musyarakah.Mudharabah
dapat diartikan sebagai akad kerja sama usaha antara dua belah pihak. Kedua pihak
tersebut yaitu pihak pemilik dana sebagai pihak pertama yang menyediakan seluruh
dana (100%) dan pihak pengelola dana sebagai pihak kedua yang bertindak sebagai
pengelola. Dalam Mudharabah, keuntungan usaha dibagisesuai kesepakatan semua
pihak yang ditulis di dalam kontrak perjanjian. Lalu, jika mengalami kerugian
finansial maka pihak pertama akan menanggungnya, tetapi jika karena kelalaian
pengelola maka akan ditanggung oleh pengelola dana.Akad mudharabah merupakan
suatu transaksi investasi berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur
terpenting dalam akad mudharabah,yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada
pengelola dana. Kepercayaan ini penting dalam akad mudharabah karena pemilik
dana tidak boleh ikut campur di dalam manajemen perusahaan atau proyek yang
dibiayai dengan dana dari pemilik dana tersebut, kecuali sebatas memberikan saran-
saran dan melakukan pengawasan pada pengelola dana.
C. Landasan Syariah
Secara umum, landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini terdapat dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini :
1. Al-Qur’an
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzammil: 20 adalah
adanya kata “yadhribun” yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarati
melakukan suatu perjalanan usaha.
2. Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthal jika
memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah maka mensyaratkan agar
dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau
membeli temak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung
jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun
membolehkannya.” (HR. Thabrani).
3. Ijma’
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap
legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini
sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.4
3
Nazir,Moh.Metode Penelitian (Bogor : Ghalia Indonesia,2013),hlm.93
4 Ascarya.Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta : PT.Raja Grafindo,HL.102)
5 Dwi Suwiknyo.Pengantar Akuntansi Syariah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010),hlm.
4 Sri Nurhayati,Wasilah.Akuntansi Syariah di Indonesia (Jakarta : Salemba Empat,2015),hlm,130-131
5 Al-Qur’anul Karim dan terjemahannya,Tafsir.
D. Rukun Akad Mudharabah
Secara umum, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun mudharabah terdiri atas :
1. Ijab dan qabul
Ijab dan Qabul yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari
prinsip sama-sama rela. Disini kedua belah pihak secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana, sementara pelaksana usaha setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan kerja.
2. Dua orang yang melakukan kerjasama (al-‟Aqidain) dalam akad mudharabah harus ada
mininmal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (Shahib al-mal),
sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (Mudharib atau „Amil).
Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.
3. Adanya modal, adapun dalam modal di syaratkan.
4. Adanya pekerjaan atau usaha (Al-‟aml).
5. Nisbah keuntungan.
Lamanya kerja sama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapisemua
pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerja sama dengan
memberitahukan pihak lainnya. Namun, akad mudharabah dapat berakhir karena
hal-hal sebagai berikut.
5
Ibid. hlm. 132.
6Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: The InternationalInstitut Of Islamic Thought, 2003),
hlm. 182
PEMBAHASAN
6
https://kumparan.com/adiahning/aplikasi-mudharabah-dalam-perbankan-syariah-1vxWeNhbUHI/full
melakukan akan musyawarah internal guna menetapkan ditolak atau disetujuinya
permohonan yang diajukan oleh pihak nasabah. apabila taraf laba yg diharapakan relatif
menjanjikan & taraf pengembalian untuk modal sangat tinggi. Tentunya pihak bank
akan menyetujui melakukan pembiayaan bisnis tadi. Tetapi Melihat dalam praktek
perbankan syariah saat ini, praktek pembiayaan mudharabah berjalan sinkron
menggunakan definisi & teori yang ada , masih ada beberapa permasalahan yang terjadi
pada praktek mudharabah yang berkaitan dengan penggunaan profit and Loss Sharing
(PLS) antara lain;
a. Standar moral
b. Ketidakefektifan model pembiayaan profit and Loss Sharing (PLS)
c. Berkaitan dengan para pengusaha
d. Dari segi pembiayaan
e. Dari Segi teknis
f. Kurang menariknya system profit and Loss Sharing (PLS) pada kegiatan usaha
g. Permasalahan efisiensi (Saeed, 2008),
1. Modal
Tujuan akad mudharabah yaitu adanya ketersedian modal untuk pelaku bisnis
dalam menjalankan aktivitas usahanya. Sinergi antara pemilik modal & skill
pelaku bisnis akan membuat keuntungan (profit) yang akan dibagi sesuai
dengan kesepekatan nisbah pada awal akad. Kritik Saeed terhadap praktek
akad mudharabah pada bank-bank syariah yaitu tidak adanya kebebasan
pelaku bisnis untuk menjalakan usahanya. Pelaku bisnis hanya dituntut
menjalankan usahanya sesuai pada isi perjanjian akad mudharabah antara
pelaku bisnis dengan pihak bank syariah. Bank syariah juga melakukan
supervisi & kontrol terhadap pelaksanaan bisnis yang didanai, salah satu
bentuknya yaitu tidak menaruh dana mudharabah secara pribadi pada pelaku
bisnis guna memastikan tidak terdapat penyelewengan dana mudharabah.
Praktek akad mudharabah tersebut sangat berbeda dengan akad mudharabah
yang berkembang pada ilmu fiqh, yaitu akad yang menaruh kebebasan pada
pelaku bisnis pada menjalankan usahanya (Saeed, 2008). Pengawasan &
kontrol merupakan bentuk prinsip kehati-hatian dari pihak bank syariah guna
menjaga amanah (posisi mudharib) dari pihak nasabah (shohibul maal).
Artinya kesiapan pihak bank syariah dalam melaksanakan prinsip bukan
hanya bagi hasil keuntungan namun juga bagi rugi sesuai teori dasar akad
mudharabah perlu disangsikan, dikarenakan pihak bank juga dituntut untuk
menaruh bagi hasil pada nasabah menjadi shohibul maal. Bisa jadi pihak bank
syariah nir siap menanggung kerugian yg dilakukan pelaku bisnis, maka pihak
bank syariah berusaha menciptakan alasan bahwa bisnis tadi rugi lantaran
kesalahan pelaku bisnis, sebagai akibatnya pelaku bisnis wajib ikut
menanggung kerugian akan modal mudharabah. Hal ini adalah kelemahan
akad mudharabah dipraktekkan dalam institusi bank yang berperan ganda
(mudharib & shohibul maal).
2. Manajemen
Menurut fatwa DSN No.07/ DSN-MUI/IV/200 mengenai akad mudharabah
disebutkan bahwa mudharib boleh melakukan aneka macam macam bisnis
yang sudah disepakati bersama sesuai dengan syariah, & lembaga keuangan
syariah tidak ikut dalam manajemen perusahaan atau proyek namun memiliki
hak untuk melakukan pelatihan & supervisi. Konsekuensi lain menurut fatwa
DSN tadi yaitu pelaku bisnis bertanggung jawab buat menanggung segala
kerugian yang ditimbulkan olej kesalahannya sendiri yang telah melanggar
ketentuan dari perjanjian akad mudharabah yang telah disepakti sebelumnya.
Dalam hal pelatihan & supervisi yang dilakukan oleh pihak bank syariah,
pelaku bisnis tak jarang merasa keberatan & kesulitan dalam memenuhinya,
misalnya pelaporan keuangan bisnis tiap bulannya. Kesalahannya sendiri yg
melanggar ketentuan dari perjanjian akad mudharabah. Saeed menyebutkan
manajemen praktek akad mudharabah yang telah berkembang pada ilmu fiqih,
pihak mudharib diberikan wewenang yang luas terhadap modal, misalnya
diperbolehkan membelanjakan modal tadi setiap waktu & setiap saat (Saeed,
2008). Kesimpulan praktek mudharabah pada perbankan syariah yaitu pelaku
bisnis wajib patuh terhadap kondisi & ketentuan yang telah tercantum dalam
kesepakatan akad mudharabah.
4. Jaminan
Jaminan dalam akad mudharabah adalah seuatu hal pembeda antara konsep
mudharabah yang dibahas pada buku fiqh klasik & praktek akad mudharabah
pada bank syariah. Konsep mudharabah yang berkembang pada ilmu fiqh
bahwa mudharib tidak diperkenankan untuk diwajibkan memberikan agunan
(collateral) pada shohibul maal. Hal ini permanen dilakukan sang pihak bank
syariah bertujuan supaya mudharib secara konsisten melaksanakan isi
perjanjian akad mudharabah yang sudah ditandatangani. Jaminan tadi tidak
dimaksudkan buat memastikan kembalinya modal dana yang sudah diberikan
pada mudharib. Akan tetapi Saeed dalam melakukan penelitianny
menemukan bahwa salah satu isi perjanjian pada faisal Islamic bank of mesir
(FIBE) mengungkapkan bahwa "apabila terbukti mudharib tidak
memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana
mestinya menurut ketentuan persyaratan dari investor, dimana mana
mudharib mengalami kerugian, maka agunan yg diberikan dijadikan sebagai
ganti atas kerugian yang telah dialaminya. Mudharib diwajibkan untuk
membuat laporan perkembangan tiap jangka saat tertentu sesuai dari
permintaan pihak bank syariah. Selain itu pihak bank syariah menuntut
laporan keuangan & laporan keuntungan rugi buat mengetahui perkembangan
bisnis secara financial. Lebih lanjut Saeed menyebutkan beban mudharib saat
mengalami kegagalan dalam mencapai sasaran yang telah di tentukan oleh
pihak bank syariah, maka pihak bank diperbolehkan mengambil alih
manajemen usahanya tersebut (Saeed, 2008).
5. Prinsip bagi hasil (profit and Loss Sharing) Secara teknis praktek
mudharabah dijelaskan sebagai akad kolaborasi antara 2 pihak dimmana pihak
pertama (shohubul maal) menyediakan semua modal sedangkan pihak lainnya
sebagai pengelola. Keuntungan bisnis secara mudharabah dibagi dari
kesepakatan atau perjanjian yang telah dituangkan pada kontrak, sedangkan
bila terjadi kerugian maka ditanggung sang pemilik modal selama kerugian
itu bukan dampak kelalaian si pengelola (Muhamad, 2016). Saeed menilai
praktek akad mudharabah pada bank syariah menghilangkan karakter
ketidaktentuan output bisnis dengan memakai akad ini dalam aktivitas bisnis
yang bersifat jangka pendek (short term commercial). Dengan begitu hasil
bisnis sanggup diprediksi oleh pihak bank syariah. Dengan istilah lain bank
syariah menciptakan praktek akad mudharabah sangat minim resiko atau
bebas resiko. Secara teoritis system bagi hasil, bank syariah bertanggung
jawab atas kerugian atas modal bisnis, namun tidak demikian pihak bank
syariah tidak dengan begitu saja percaya kerugian yang telah dialami sang
pelaku bisnis.
Selanjutnya Saeed menyimpulkan bahwa akad mudharabah yang
dipraktekkan oleh bank syariah secara signifikan berbeda menurut akad
mudharabah sebagaimana biasanya yang dikembangkan pada aturan islam
(Saeed, 2008).7
B. Bagaimana prinsip pembagian hasil usaha pada perbankan syariah
Pembagian hasil usaha di antara para pihak (mitra) dalam suatu bentuk usaha
kerja sama boleh didasarkan pada prinsip bagi untung (profit sharing). Yakni, bagi hasil
yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana, dan boleh pula
7
Imama, Lely Shofa. 2014. Konsep dan Implementasi Murabahah pada Produk Pembiayaan Bank Syariah, Jurnal Iqtishadia
Vol. 1, No. 2, Desember 2014, 222-247
didasarkan pada prinsip bagi hasil (revenue sharing). Yakni, bagi hasil yang dihitung
dari total pendapatan pengelolaan dana; dan masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan.
Kedua prinsip tersebut pada dasarnya dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil
usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagaimana fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI sebagai berikut.
Mengingat
Firman Allah Surat Al-Baqarah Ayat 282
“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis…”
Firman Allah Surat Al-Maidah Ayat 1
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”
Hadis Nabi
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (At-Tirmizi).
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang
lain.” (Ahmad).
Kaidah fikih
“Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
“Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah.”
Memperhatikan
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional bersama dengan Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 7 Rabiul
Awwal 1421 H/10 Juni 2000.
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Sabtu, 17 Jumadil
Akhir 1421 H/16 September 2000.
Menetapkan: FATWA TENTANG PRINSIP HASIL USAHA DALAM
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Pertama: Ketentuan Umum
Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun
bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya.
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya
digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing).
Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Kedua: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.8
8
https://suaramuslim.net/prinsip-pembagian-hasil-usaha-dalam-lembaga-keuangan-syariah/
1) Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses
ekonimi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konstitusi.
2) Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup)
setiap anggota masyarakat.
3) Melaksanakan amanah al-takaaful al-ijima’i atau social economic
security insurance dimana yang mampu menaggung dan membantu
yang tidak mampu.
Dengan cara itu standart kehidupan setiap individu akan lebih terjamin, sisi
manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan
martabat yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah dimuka
bumi. Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan
serta konsep keadilan ekonomi menghendaki setiap individu mendapatkan
imbalan sesuai dengan amal dan karyanya. Ketidaksamaan pendapatan
dimungkinkan dalam islam karena kontribusi masing-masing orang kepada
masyarakat berbeda-beda. Sedangkan keadilan menurut Aristoteles yang
dikenal dengan keadilan distributif, yaitu tensing soal pembagian barang-
barang dan kehormatan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya
dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang
mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula
dihadapan hukum9. Sedangkan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham
yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
untuk sebanyak-banyaknya orang dan tujuan dari perundang-undangan
yaitu untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu,
perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan yaitu:
untuk memberikan nafkah hidup, memberikan makanan yang melimpah,
memberikan perlindungan, dan untuk mencapai persamaan. 10Sebelumnya,
hal diatas telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, karena dalam setiap
kebijakan ekonomi Nabi mementingkan keadilan yang bukan saja berlaku
untuk kaum muslimin, tetapi berlaku juga untuk kaum lainnya sekitar
Madinah. Terbukti, ketika diminta untuk menetapkan harga itu pada
kekuatan pasar yang alami (bukan karena monopoli atau proteksi).
9
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm. 198
10
Ibid., hlm. 204.
Prinsip-prinsip keadilan merupakan salah satu bentuk tindakan yang
banyak disebutsebut dalam Al-quran, antara lain:
11
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasnya dalam Lembaga Keuangan Syariah, Logung Pustaka, Yogyakarta,
2009, hlm. 101-102.
kerja penuh, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimal.12 Dalam
upaya untuk mewujudkan perbankan syariah yang sehat yang dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat serta berkontribusi dalam mendorong
terciptanya ketahanan sistem perbankan dan pembangunan nasional,
Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah sesuai dengan fungsi
dan perannya sebagai otoritas perbankan.
12
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2005,
hlm. 16
untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya
mungkin rugi. Bahkan meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga
yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas
bertentangan dengan norma keadilan dalam Islam. Maka, untuk
menciptakan pendistribusian pendapatan secara adil, maka Perbankan
Syariah masih mengacu pada hukum perdata secara umum, terutama
mengenai perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Tujuannya untuk adanya kepastian hukum.
13
Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 1.
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum PErikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 78
15
Mariam Darus Badruzzzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 30.
nasional maupun dari sisi syariah.16 Dilihat dari kontra prestasi, maka
dengan demikian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
merupakan perjanjian pinjam meminjam (uang) yamg dilakukan antara
bank dengan nasabah. Perjanjian pinjam meminjam (uang) itu dibuat
atas dasar kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu yang
telah ditentukan akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau
tagihan tersebut kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan sebagai imbalan jasanya.17
Begitu juga, perjanjian tertulis diperlukan perbankan syariah untuk
menjamin kepastian hukum sehingga dapat menciptakan rasa keadilan
kepada para penabung dalam melakukan fungsi yang bermanfaat kepada
warga masyarakat pada umumnya dan khususnya warga masyarakat
islam yang membutuhkan dana. Membuat perjanjian secara tertulis akad
perjanjian tabungan mudharabah disebut nisbah bagi hasil pemilik dana
(shahibul mal) dan untuk pengelola dana (mudharib). Nisbah bagi hasil
berlaku sampai berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini mengikat dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan syarat-
syarat dan ketentuan umum.18
16
Hartono Mardjono, Petunjuk Praktis Menjalankan Syriat Islam Dalam Bermuamalah yang Sah Menurut Hukum Nasional,
Studia Press, Jakarta, 2000, hlm. 24.
17
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mengeola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, Balairung & Co, Yogykarta 2003,
hlm. 15
18 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 46
untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahtraan
rakyat dapat tercapai.
KESIMPULAN
Akad Mudharabah adalah perjanjian antara dua pihak pemilik modal (shahibul maal)
dan pengelola (mudharib) untuk berbisnis/berinvestasi, Akad harus disepakati di muka
sebelum kerjasama bisnis/investasi dimulai.“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina
Abbas bin AbdulMuthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara nudharabah
iamensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan
bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah SAW dan Rasulullah pun memperbolehkannya”(HR Thabrani). Mudharabah
merupakan salah satu produk pembiayaan yang ada pada bank syariah. Dalam mudharabah
bank memposisikan diri sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menginvestasikan
modalnya pada sektor produktif. Dalam halini bank bekerjasama dengan nasabah yang
bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Besarnya keuntungan yang akan diperolah bank
sebesar proporsi bagi hasil seperti yang telah disepakati dalam awal akadnya. Apabila terjadi
kerugian maka bank yang akan menanggung kerugian tersebut selama bukan karena kelalaian
pengelola. Namun jika kerugian diakibatkan oleh kelalaian atau kesengajaan dari pihak
pengelola, maka pengelola tersebut harus menanggungnya sendiri.
SARAN
Semoga dengan adanya artikel ini diharapkan akan menambah minat mahasiswa untuk
membaca, mempelajari, dan menambah rujukanatau referensi mengenai materi Akad
Mudharabah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya yang telah
membaca, dan kami selaku penyusun artikel ini.
19
Sula, Muhammad Syakir.2004. Asuransi Syariah (life and general). Jakarta: Gema Insani Press.
DAFTAR PUSTAKA