SYARIAH DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Luthfiyah Trini Hastuti, S.H, M.H
Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam (C)
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
DAFTAR ISI
Halaman Cover............................................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................................ii
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................2
Bab 2 Pembahasan
Bab 3 Penutup
A. Keimpulan..........................................................................................................................14
B. Saran...................................................................................................................................14
Daftar Pustaka..............................................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang secara konkrit mengatur urusan dunia dan juga mengatur
urusan akhirat. Manusia secara lahiriyah disibukkan dengan urusan duniawi dan secara
batiniyah di sibukkan dengan urusan akhirat. Dunia dan akhirat adalah dua hal yang tidak
bisa terpisahkan dalam hidup artinya segala aktivitas manusia harus berparadigma dunia dan
akhirat. Islam sendiri juga mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan mausia dengan Allah (Sri Abidah 2013:14).
Interaksi sesama manusia dengan diniatkan beribadah kepada Allah tercermin dalam
bidang muamalah. Seiring dengan perkembangan waktu, praktik muamalah semakin banyak
dikembangkan pada lembaga keuangan syariah termasuk negara Indonesia. Beberapa
prinsip-prinsip syariah yang mendasari kegiatan perekonomian berbasis Islam antara lain
Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Kafalah, Wakalah, Wadi’ah, Ijarah, dll. Seperti pada
perbankan syariah, secara operasional perbankan syariah sering menggunakan mudharabah
baik dalam rangka menghimpun dana dari kalangan masyarakat dan juga digunakan untuk
menyalurkan dana kepada masyarakat. Pemahaman teori fiqh muamalah di kalangan
masyarakat umum masih memerlukan sosialisasi lebih optimal, misalnya pemahaman
tentang teori mudharabah jika diterapkan dalam perbankan. Minimnya pemahaman
masyarakat muslim terhadap istilah fiqh pada perbankan syariah (Sri Abidah 2013:14).
Sistem ekonomi syari'ah saat ini sudah menjadi populer di kalangan masyarakat
Indonesia karena sudah menjadi hal yang biasa.. Selain itu juga karena sistem ini berkaitan
dengan keyakinan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Dan mereka
secara berkelanjutan dan teratur melaksanakan atas keyakinannya itu. Namun demikian,
kepopuleran ekonomi syari'ah tidak otomatis disertai dengan pengetahuan yang memadai
tentang apa sistem ekonomi berbasis syari'ah ini, terutama dalam hal Aplikasi di lembaga
keuangan.
1
2
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia begitu cepat dan pesat, namun di sisi
lain masih ada sebagian masyarakat masih memiliki asumsi bahwa bank syariah hanya
sebuah label untuk menarik simpati masyarakat muslim di bidang perbankan, sebagian
masyarakat menganggap tidak ada perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan
konvensional, yang membedakan hanya istilah-istilah dalam bahasa arab yang digunakan
pada perbankan syariah. (Sri Abidah 2013:14)
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
3
seseorang menyerahkan modal kepada orang lain agar ia melakukan niaga dengannya
dan masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan dengan beberapa persyaratan
yang ditentukan. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:42). Menurut Sayyid Sabiq
mudharabah adalah akad oleh kedua belah pihak untuk salah satu pihak
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan
keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan. (Sayyid Sabiq, 2009 :297)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan sebagai
pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola oleh pihak
kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha (Popon
Srisusilawati, 2017:13).
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar,ia (pengelola dana) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan
itu ditetapkan Abbas didengar Rasulullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR.
Thabrani dari Ibnu Abbas)
c. Ijma’
Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak seorangpun mengingkari
mereka. Karenannya, hal itu dipandang sebagai ijma.
d. Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah
untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena
sebagian orang ada yang kayadan ada yang miskin, terkadang sebagian orang
memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga
orang yang tidak mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan
memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya
kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya (Sayyid Sabiq, 2009 :297).
2. Rukun Dan Syarat Mudharabah
a. Pelaku (Pemilik Modal dan Pelaksana Usaha);
Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama
bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua
bertindak sebagai pelaksana usaha atau mudharib atau ‘amil. Pelaku dalam akad
mudharabah harus cakap hokum (A. Karim Adiwarman, 2006 :205).
b. Objek Mudharabah (Modal Dan Kerja);
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang
diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling
skill, management skill, dan lain-lain (A. Karim Adiwarman, 2006 :206). Para
fuqaha telah sepakat bahwa tidak boleh mudharabah dengan hutang. Tanpa
6
adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun.
Ulama‟ Syafi‟i dan Maliki melarang hal itu, karena merusak akad. Para fuqaha
juga tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Modal harus
berbentuk uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan
mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun,
para ulama‟ mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan
setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul
maal(A. Karim Adiwarman, 2006 :206).
c. Persetujuan Kedua Belah Pihak (Ijab Qabul);
Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar
memiliki akibat hukum, yaitu:
1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
2) Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul;
3) Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa (Gemala Dewi, 2006:48)
Persetujuan kedua belah merupakan konsekuensi dari prinsip an-taradhin
minkum (sama-sama rela). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana. Sedangkan pelaksana usaha setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan kerja.
d. Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah. Nisbah
ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber-
mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul
maal berhak mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua
belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Salah satu segi penting dalam
mudharabah adalah pembagian keuntungan diantara dua pihak harus secara
proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti
kepada pemilik modal (shahibul maal).
3. Jenis-Jenis Akad Mudarabah
a. Mudharabah Muthlaqah
6
HASIL
KEUNTUNGAN
Dalam akad mudharabah melibatkan antara dua pihak yaitu pemilik modal dan pelaku
usaha. Dimana pemilik modal tersebut memberikan modalnya untuk suatu usaha yang
dijalankan oleh pelaku usaha. Keuntungan yang diperoleh atas usaha tersebut dibagi
berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila terjadi kerugian yang tidak disebabkan
oleh pihak pelaku usaha maka pihak pemilik modalah yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas kerugian yang diderita.
Disamping itu, jumhur ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa
diwariskan. Akan tetapi ulam madzhab maliki berpendapat bahwa jika salah
seorang yang berakad itu meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetapi tidak
dilanjutkan oleh ahli warisnya karena, menurut mereka akad mudharabah bisa
diwariskan,
c. salah seorang yang berakad gila, karena orang yang gila tidak cakap lagi
bertindak hukum,
d. pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut Imam Abu Hanifah,
akad mudharabah batal,
e. modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pekerja. Demikian
juga halnya, mudharabah batal apabila modal tersebut dibelanjakan oleh pemilik
modal sehingga tidak ada lagi yang bisa dikelola oleh pekerja (Ridwan, 2004:
99).
Dengan demikian, jika usaha mengalami resiko maka dalam konsep bagi hasil kedua
belah pihak akan bersama-sama menanggung resiko. Disatu pihak pemilik modal
menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana proyek akan mengalami kerugian
tenaga yang telah dikeluarkan. Jika bank melakukan mudharabah kedua (two-tier-
mudharabah), maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi terhadap dana
tersebut. Dengan kewenangan yang diberikan oleh penyimpan dana, bank dapat menerapkan
prinsip mudharabah tersebut dalam bentuk mudharabah mutlaqah ataupun mudharabah
10
muqayyadah (Azka, 150-151). Dengan kata lain, masing-masing pihak yang melakukan
kerjasama dalam sistem bagi hasil berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Hal
demikian menunjukkan keadilan dalam distribusi pendapatan.
Aplikasi akad mudharabah dalam Lembaga Keuangan Syariah salah satunya ialah
Perbankan Syariah, yang mana di Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: tujuan
transaksi untuk pembiayaan atau penyediaan fasilitas, pengelola usaha adalah nasabah atau
mudharib, pembagian hasil mengacu pada konsep revenue sharing, dan penentuan nisbah
bagi hasil dapat berubah selama periode perjanjian dan ditetapkan pada akad di awal periode
kontrak (Sri Abidah, 4,1, Jurnal Ekonomika Bisnis, Januari 2013 : 23).
b. Deposito special (special investmen), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja.
Pada dasarnya sesuai prinsip mudharabah, maka dalam pembiayaan oleh Bank
Syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lainnya, maka Bank Syariah atau LKS akan
berperan sebagai shahib al mal dan nasabah sebagai mudharib (Ibrahim, 2014, II, 4, Jurnal
IUS : 51). Hal tersebut akibat yuridisnya ialah dengan mengacu atau menganut pada
konstitusi dan juga menganut pada DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/04/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah atau qiradh.
Menurut Shofian dalam Jurnal Al-‘Adl, disebutkan bahwa dalam pelaksanaan akad
mudharabah antara lain meliputi modal, manajemen, jangka waktu, jaminan, juga sharing
laba dan rugi. Jaminan yang dimaksud adalah untuk memastikan bahwa modal yang
disalurkan dan keuntungan yang didaharapkan dari modal tersebut diberikan kepada bank
sebagaimana yang berada dalam perjanjian. Sedangkan menurut Sri dalam Jurnal Ekonomi
dan Bisnis mengatakan bahwa produk mudharabah dalam aplikasinya mengalami beberapa
kendala, antara lain : 1. Kesulitan menarik dana apabila mudharib wanprestasi, 2. Kesulitan
menghitung keuntungan karena cicilan pengembalian dana, dan 3. Tidak boleh ada jaminan.
Dapat diketahui bahwa dengan tidak adanya jaminan maka menghambat penerapan
mudharabah dalam perbankan di Indonesia. Apakah dengan adanya jaminan semuanya lancar
tidak ada hambatan seperti yang tertulis diatas. Sedangka dalam fiqih tidak diperbolehkan
investor dalam hal ini bank syariah untuk menuntut jaminan pada mudharib.
12
2. Kedudukan jaminan dalam mudharabah adalah berbeda dengan jaminan di dalam hutang
piutang sebagaimana yang ada pada perbankan konvensional. Yaitu bukan sebagai
penjamin atas utang piutang tetapi berkedudukan sebagai penjamin agar pelaku usaha
tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati.
3. Jaminan di dalam mudharabah berfungsi sebagai penjamin tidak adanya pelanggaran oleh
pelaku usaha. Jika pelaku usaha menderita kerugian yang disebabkan adanya pelanggaran
perjanjian mudharabah, maka jaminan dapat disita untuk membayar pembiayaan
mudharabah yang telah dikeluarkan oleh perbankan Syariah beserta bagian keuntungan
yang menjadi hak bank. Karena kerugian yang dideritanya berdasarkan kesalahan pelaku
usaha.
Dalam kaidah-kaidah fikih dikenal kaidah “al-adah al-muhakamah” yaitu adat dapat
dijadikan (pertimbangan dalam penetapan) hukum, atau umumnya disebut dengan kaidah al-
urf.25 Dalam pemaknaan kaidah ini, hukum jaminan dan perikatannya yang tidak diatur
13
secara tegas oleh Islam berlaku ketentuan kaidah tersebut, dianggap sebagai bagian dari al-
adah. Selama al-adah ini tidak bertentangan dengan patokan “mengharamkan yang halal, dan
menghalalkan yang haram”, maka penerapan jaminan ini tidak dapat dibenarkan dalam
konteks hukum Islam. Padangannya dilihat jauh lebih flexible, dimana penekanan pada
pembentukan suatu hukum harus pula melihat perubahan masyarakat dalam perubahan
adat(Ifa, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 47, 1, Maret 2017 :145).
Mengenai jaminan dalam perbankan syariah telah disampaikan juga oleh Imam
Syafi’i dan malik yang mengungkapkan Apabila shahibul mal dalam kasus ini pihak
perbankan meminta jaminan kepada mudharib berarti akad tersebut bukan merupakan akad
mudharabah dan akad mudharabah akan menjadi rusak atau batal. Adanya jaminan membuat
akad mudharabah lebih terlihat seperti akad rahn (gadai), dimana barang milik seseorang
digadaikan untuk dijadikan pinjaman uang yang apabila terjadi gagal barang maka barang
gadai akan diambil oleh pihak pegadaian (www.kompasiana.com). Karena aset milik
mudharib di jaminkan ke bank syariah untuk mendapatkan modal, mudharib memiliki
ketakutan atau kekhawatiran tersendiri mengenai aset yang dijaminkan tersebut. Memang
jaminan dalam pembiayaan bank syariah dimaksudkan untuk mengurangi resiko, dan
menurut Ifa Latifa dalam jurnal Hukum dan Pembangunan dikatakan bahwa bank diharuskan
untuk meminimalisir resiko tersebut.
Tidak ada satupun mudharib yang diberikan modal oleh bank untuk menjalankan
usaha ingin usahanya tersebut gagal dan berakhir dengan keberpindaan kepemilikan atas aset
yang dijaminkan pada bank. Oleh karenanya alangkah lebih baiknya apabila bank mengawasi
dan memberikan edukasi terhadap mudharib dalam menjalankan usahanya agar terhindar dari
kerugian dan akan mendatangkan keuntungan, maka karena itu prinsip kemitraan dan
kepercayaan akan saling terjalin dan juga akad mudharabah tidak akan ternoda oleh adanya
jaminan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan
sebagai pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola
oleh pihak kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Akad
mudharabah dalam konsep fiqih muamalah terjadi jika ada pihak pemilik
modal (shahibul mal), ada mudharib atau pengelola, ada obyek yang
dikerjakan, dan adanya kesepakatan nisbah antara pihak pemilik modal
dengan pegelola.
B. Saran
Buku :
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta:Gema Insani,
Cetakan Pertama.
Gemala Dewi, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Karim, Adiwarman A. Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh Sunnah 5, ter: Abdurrahim dan Marsukhin, Jakarta: Cakrawala
Publishing.
Jurnal :
Popon Srisusilawati. 2017. Penerapan Prinsip Keadilan dalam Akad Mudharabah di Lembaga
Keuangan Syariah. Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung: Jurnal Law And
Justice Vol. 2 No. 1 April 2017
Sri Abidah Suryaningsih. 2013. “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di Indonesia”.
Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol 4, No 1
Ifa Latifa Fitriani. 2017. “Jaminan dan Agungan Dalam Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit
Bank Konvensional”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol 47, No 1
Meuthiya AA dan Mahmudatus S. 2013. “Mudharabah dalam Fiqih dan Perbankan Syariah”.
Jurnal Equilibrium. Vol 1, No2
Putri Apria Ningsih. 2016. “Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syariah”. Jurnal Syari’ah.
Vol V, No 1
Shofian. 2016. “Pemahaman Fiqhi Terhadap Mudharabah (Implementasi Pembiayaan pada
Perbankan Syariah”. Jurnal Al-‘Adl. Vol 9, No 2
Friyanto. 2013. “Pembiayaan Mudharabah, Risiko, dan Penangannya (Studi Kasus pada Bank
BTN Kantor Cabang Syariah Malang”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol
15, No 2
16
Siti Hamidah dan Prayudo EY. 2016. “Akad Pembiayaan Mudharabah Menurut Pemahaman
Nasabah Baitul Maat Wat Tamwil di Tongas Probolinggo”. Jurnal Hukum dan
Syariah. Vol 7, No 2
Khudari Ibrahim. 2014. “Penerapan Prinsip Mudharabah dalam Perbankan Syariah”. Jurnal
IUS.Vol II No. 4
Sri Abidah Suryaningsih. 2013 APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA. Ekonomika-Bisnis Vol. 4 No.1
Artikel :
Azka Amalia Jihad. “Konsep Mudharabah dan Penerapannya pada Lembaga Keuangan Islam”