Anda di halaman 1dari 19

APLIKASI AKAD MUDHARABAH DALAM PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Luthfiyah Trini Hastuti, S.H, M.H
Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam (C)

Disusun Oleh :

1. Dewi Sulistyowati E0016121


2. Dinda Raras P E0016131
3. Nunung Dian W E0016317
4. Rina Puji Lestari E0016

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
DAFTAR ISI

Halaman Cover............................................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................................ii

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................2

Bab 2 Pembahasan

A. Konsep Akad Mudharabah.................................................................................................3


B. Aplikasi Akad Mudharabah Dalam Operasional Perbankan Syariah Di Indonesia...........9
.................................................................................................................................................

Bab 3 Penutup

A. Keimpulan..........................................................................................................................14
B. Saran...................................................................................................................................14
Daftar Pustaka..............................................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang secara konkrit mengatur urusan dunia dan juga mengatur
urusan akhirat. Manusia secara lahiriyah disibukkan dengan urusan duniawi dan secara
batiniyah di sibukkan dengan urusan akhirat. Dunia dan akhirat adalah dua hal yang tidak
bisa terpisahkan dalam hidup artinya segala aktivitas manusia harus berparadigma dunia dan
akhirat. Islam sendiri juga mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan mausia dengan Allah (Sri Abidah 2013:14).

Interaksi sesama manusia dengan diniatkan beribadah kepada Allah tercermin dalam
bidang muamalah. Seiring dengan perkembangan waktu, praktik muamalah semakin banyak
dikembangkan pada lembaga keuangan syariah termasuk negara Indonesia. Beberapa
prinsip-prinsip syariah yang mendasari kegiatan perekonomian berbasis Islam antara lain
Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Kafalah, Wakalah, Wadi’ah, Ijarah, dll. Seperti pada
perbankan syariah, secara operasional perbankan syariah sering menggunakan mudharabah
baik dalam rangka menghimpun dana dari kalangan masyarakat dan juga digunakan untuk
menyalurkan dana kepada masyarakat. Pemahaman teori fiqh muamalah di kalangan
masyarakat umum masih memerlukan sosialisasi lebih optimal, misalnya pemahaman
tentang teori mudharabah jika diterapkan dalam perbankan. Minimnya pemahaman
masyarakat muslim terhadap istilah fiqh pada perbankan syariah (Sri Abidah 2013:14).

Sistem ekonomi syari'ah saat ini sudah menjadi populer di kalangan masyarakat
Indonesia karena sudah menjadi hal yang biasa.. Selain itu juga karena sistem ini berkaitan
dengan keyakinan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini. Dan mereka
secara berkelanjutan dan teratur melaksanakan atas keyakinannya itu. Namun demikian,
kepopuleran ekonomi syari'ah tidak otomatis disertai dengan pengetahuan yang memadai
tentang apa sistem ekonomi berbasis syari'ah ini, terutama dalam hal Aplikasi di lembaga
keuangan.

1
2

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia begitu cepat dan pesat, namun di sisi
lain masih ada sebagian masyarakat masih memiliki asumsi bahwa bank syariah hanya
sebuah label untuk menarik simpati masyarakat muslim di bidang perbankan, sebagian
masyarakat menganggap tidak ada perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan
konvensional, yang membedakan hanya istilah-istilah dalam bahasa arab yang digunakan
pada perbankan syariah. (Sri Abidah 2013:14)

Asumsi tersebut berkembang salah satu sebabnya adalah belum maksimalnya


pemahaman masyarakat muslim Indonesia terhadap makna akad yang digunakan pada
perbankan syariah. Salah satu akad dalam fiqh muamalah yang digunakan dalam perbankan
syari’ah di Indonesia adalah akad mudharabah. Oleh karena itu tulisan ini dibuat untuk
memberikan penjelasan mengenai konsep akad mudharabah dan aplikasi akad mudharabah
dalam operasional perbankan syariah sebagai lembaga keuangan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep akad mudharabah?

2. Bagaimana aplikasi akad mudharabah dalam operasional Perbankan syariah di


Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Akad Mudharabah


1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata ‫ ضضضرب‬yang berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah disebut juga “qiradh”
atau “muqaradah” karena mudharabah adalah pemberian modal niaga dari ṣaḥibul
maal kepada mudharib, maka para ulama menyamakan mudharabah dengan qiradh.
Dalam Fiqh al- Sunnah juga disebutkan bahwa mudharabah bisa dinamakan dengan
qiradh yang artinya memotong, karena pemilik modal memotong sebagian hartanya
agar diperdagangkan dengan memperoleh sebagian keuntungan (Muhammad Syafi’i
Antonio, 2001:95).
Menurut Mahzhab Hanafi memberikan definisi bahwa mudharabah merupakan
akad perjanjian untuk bersama-sama dalam membagi keuntungan dengan lantaran
modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain. (Muhammad Syafi’i Antonio,
2001:40). Menurut Mazhab Maliki menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh
menurut syara‟ ialah akad perjanjian mewakilkan dari pihak pemilik modal kepada
lainnya untuk meniagakannya secara khusus pada emas dan perak yang telah dicetak
dengan cetakan yang sah untuk tukar menukar kebutuhan hidup. Pemilik modal
secara segera memberikan kepada pihak penerima sejumlah modal yang ia kehendaki
untuk diniagakan. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:41).
Menurut Mazhab Hambali menjelaskan bahwa mudharabah atau kerjasama
perniagaan adalah suatu pernyataan tentang pemilik modal menyerahkan sejumlah
modal tertentu dari hartanya kepada orang yang meniagakannya dengan imbalan
bagian tertentu dari keuntungannya.Menurut Mazhab Syafi‟i menerangkan bahwa
mudharabah atau qiradh ialah suatu perjanjian kerjasama yang menghendaki agar

3
seseorang menyerahkan modal kepada orang lain agar ia melakukan niaga dengannya
dan masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan dengan beberapa persyaratan
yang ditentukan. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:42). Menurut Sayyid Sabiq
mudharabah adalah akad oleh kedua belah pihak untuk salah satu pihak
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan
keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan. (Sayyid Sabiq, 2009 :297)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan sebagai
pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola oleh pihak
kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha (Popon
Srisusilawati, 2017:13).

1. Dasar Hukum Mudharabah


a. Al-Quran
“… dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia
Allah SWT…………” (Q.S. Al-Muzzammil Ayat 20).
“Apabila telah ditunaikan sholat maka bertebarlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah SWT……….”(Q.S. Al-Jumu’ah Ayat 10).
b. Al-Hadits
“Diceritakan kepada kami Hasan bin Ali al-Khallal, diceritakan kepada kami
Bisri bin Tsabit al-Bazzar, diceritakan kepada kami Nashr bin al Qasim dari
Abdurrahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-
Tijarah)
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah,ia
mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
5

menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar,ia (pengelola dana) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan
itu ditetapkan Abbas didengar Rasulullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR.
Thabrani dari Ibnu Abbas)
c. Ijma’
Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak seorangpun mengingkari
mereka. Karenannya, hal itu dipandang sebagai ijma.
d. Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah
untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena
sebagian orang ada yang kayadan ada yang miskin, terkadang sebagian orang
memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga
orang yang tidak mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan
memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya
kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya (Sayyid Sabiq, 2009 :297).
2. Rukun Dan Syarat Mudharabah
a. Pelaku (Pemilik Modal dan Pelaksana Usaha);
Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama
bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua
bertindak sebagai pelaksana usaha atau mudharib atau ‘amil. Pelaku dalam akad
mudharabah harus cakap hokum (A. Karim Adiwarman, 2006 :205).
b. Objek Mudharabah (Modal Dan Kerja);
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang
diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling
skill, management skill, dan lain-lain (A. Karim Adiwarman, 2006 :206). Para
fuqaha telah sepakat bahwa tidak boleh mudharabah dengan hutang. Tanpa
6

adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun.
Ulama‟ Syafi‟i dan Maliki melarang hal itu, karena merusak akad. Para fuqaha
juga tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Modal harus
berbentuk uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan
mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun,
para ulama‟ mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan
setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul
maal(A. Karim Adiwarman, 2006 :206).
c. Persetujuan Kedua Belah Pihak (Ijab Qabul);
Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar
memiliki akibat hukum, yaitu:
1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
2) Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul;
3) Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa (Gemala Dewi, 2006:48)
Persetujuan kedua belah merupakan konsekuensi dari prinsip an-taradhin
minkum (sama-sama rela). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana. Sedangkan pelaksana usaha setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan kerja.
d. Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah. Nisbah
ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber-
mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul
maal berhak mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua
belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Salah satu segi penting dalam
mudharabah adalah pembagian keuntungan diantara dua pihak harus secara

proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti
kepada pemilik modal (shahibul maal).
3. Jenis-Jenis Akad Mudarabah
a. Mudharabah Muthlaqah
6

Mudharabah mutlaqah merupakan bentuk kerjasama yang dibangun antara


pemilik dana dan pengelola dana tanpa adanya pembatasan oleh pemilik dana
dalam hal tempat ataupun investasi objeknya. Dalam hal ini, pemilik dana
memang memberikan kewenangan penuh atas hartanya untuk dikelola oleh
pengelola dana. Kontrak mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah biasa
digunakan untuk tabungan ataupun pembiayaan lain-lain. Sifat mudharabah ini
tidak terikat. Rukun transaksi mudharabah diantaranya dua pihak transaktor atau
pemilik modal dan pengelola, objek akad mudharabah atau modal dan usaha dan
juga ijab dan kabul atau biasa disebut persetujuan perjanjian.
b. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah musytarakah merupakan jenis akad yang waktu awal kerjasama,
akad yang disepakati yakni akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik
dana, namun ketika berjalannya usaha dan pengelola dana tertarik menanam
modal pada usaha tersebut, maka pengelola dana diperbolehkan untuk ikut dan
menyumbang modal untuk bisa mengembangkan usaha tersebut. Cukup banyak
yang melakukan akad mudharabah musytarakah, karena pada akhirnya banyak
pengelola dana yang tergiur untuk bergabung dan menerima keuntungan.
c. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah merupakan jenis akad dengan bentuk kerjasama antara
pemilik dana serta pengelola dana, dengan kondisi pemilik dana membatasi
pengelola dana untuk memilih tempat maupun transaksi dan juga objek
investasinya.Dalam transaksi mudharabah muqayyadah jika diibaratkan sebagai
bank syariah, maka bersifat agen yang menghubungkan antara shahibul maal
serta mudharib.
8

4. Skema Akad Mudarabah

PEMILIK AKAD PENGELOLA


MODAL MUDHARABAH MODAL

LABA DAN PROYEK USAHA


LABA
RUGI

HASIL
KEUNTUNGAN

Penjelasan Skema Akad Mudharabah

Dalam akad mudharabah melibatkan antara dua pihak yaitu pemilik modal dan pelaku
usaha. Dimana pemilik modal tersebut memberikan modalnya untuk suatu usaha yang
dijalankan oleh pelaku usaha. Keuntungan yang diperoleh atas usaha tersebut dibagi
berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila terjadi kerugian yang tidak disebabkan
oleh pihak pelaku usaha maka pihak pemilik modalah yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas kerugian yang diderita.

5. Berakhirnya Akad Mudharabah


a. masing-masing pihak menyatakan akad batal, pekerja dilarang untuk bertindak
hukum terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya,
b. salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika pemilik modal yang wafat,
menurut ulama, akad tersebut batal, karena akad mudharabah sama dengan akad
wakalah (perwakilan yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan.
9

Disamping itu, jumhur ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa
diwariskan. Akan tetapi ulam madzhab maliki berpendapat bahwa jika salah
seorang yang berakad itu meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetapi tidak
dilanjutkan oleh ahli warisnya karena, menurut mereka akad mudharabah bisa
diwariskan,
c. salah seorang yang berakad gila, karena orang yang gila tidak cakap lagi
bertindak hukum,
d. pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut Imam Abu Hanifah,
akad mudharabah batal,
e. modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh pekerja. Demikian
juga halnya, mudharabah batal apabila modal tersebut dibelanjakan oleh pemilik
modal sehingga tidak ada lagi yang bisa dikelola oleh pekerja (Ridwan, 2004:
99).

B. Aplikasi Akad Mudharabah dalam Operasional Perbankan di Indonesia

Dalam pelaksanaan perekonomian Islam, dikenal dengan istilah akad mudharabah,


akad mudharabah sendiri merupakan tonggak perekonomian dengan menerapkan prinsip bagi
hasil. Dimana pemberi dana (sahib al-mal) memberikan sebagian dananya untuk dikelola
oleh pelaksana perekonomian (mudharib), artinya ialah dana yang digunakan 100% dari
shahib al-mal, sedangkan mudharib ialah pelaksana atau pengelola dari dana tersebut dan
tidak mengeluarkan dana sama sekali, sedangkan hasil dari kegiatan usaha oleh kedua belah
pihak dibagi berdasarkan perjanjian yang telah disepakati antara mudharib dan sahib al mal.

Dengan demikian, jika usaha mengalami resiko maka dalam konsep bagi hasil kedua
belah pihak akan bersama-sama menanggung resiko. Disatu pihak pemilik modal
menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana proyek akan mengalami kerugian
tenaga yang telah dikeluarkan. Jika bank melakukan mudharabah kedua (two-tier-
mudharabah), maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi terhadap dana
tersebut. Dengan kewenangan yang diberikan oleh penyimpan dana, bank dapat menerapkan
prinsip mudharabah tersebut dalam bentuk mudharabah mutlaqah ataupun mudharabah
10

muqayyadah (Azka, 150-151). Dengan kata lain, masing-masing pihak yang melakukan
kerjasama dalam sistem bagi hasil berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Hal
demikian menunjukkan keadilan dalam distribusi pendapatan.

Aplikasi akad mudharabah dalam Lembaga Keuangan Syariah salah satunya ialah
Perbankan Syariah, yang mana di Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: tujuan
transaksi untuk pembiayaan atau penyediaan fasilitas, pengelola usaha adalah nasabah atau
mudharib, pembagian hasil mengacu pada konsep revenue sharing, dan penentuan nisbah
bagi hasil dapat berubah selama periode perjanjian dan ditetapkan pada akad di awal periode
kontrak (Sri Abidah, 4,1, Jurnal Ekonomika Bisnis, Januari 2013 : 23).

Bank syariah memberikan pembiayaan dengan prinsip mudharabah dan musyarakah,


bertransaksi jual beli dengan prinsip murabahah, salam, dan istisna’, serta menyewakan
aktivas dengan prinsip ijarah di samping produk lainnya, seperti rahn dan qardhul-hasan
(Friyanto, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 15, 2, September 2013 : 1). Sebelum
disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang
terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait
dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-
pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas
(cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil
keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan
jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan(sofhian,
Jurnal Al-Adl, 9, 2, juli 2016 :9).

Kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan syari’ah untuk tujuan dagang


jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak tersebut seperti jual beli barang yang
menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini. Mudharib, setelah menerima dukungan
pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik
dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba (Sa’adiyah dan
Arifin, Jurnal Equlibrium, 1, 2, Desember 2013 : 307). Jadi dana yang diberikan bank kepada
mudharib sama sebagaimana pada prinsip jual beli, pinjam meminjam, dan pembiayaan.
11

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pendanaan dan pembiayaan.


Pada sisi pendanaan, mudharabah diterapkan pada produk tabungan dan deposito. Dalam
produk simpanan tersebut, penyimpan dana atau deposan bertindak sebagai shahibul maal
dan bank syari’ah sebagai mudharib(azka, 8). Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah
diterapkan pada (Putri, Jurnal Syari’ah, V, 1, April 2016 : 78) :

a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,


seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya.

b. Deposito special (special investmen), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja.

Pada dasarnya sesuai prinsip mudharabah, maka dalam pembiayaan oleh Bank
Syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lainnya, maka Bank Syariah atau LKS akan
berperan sebagai shahib al mal dan nasabah sebagai mudharib (Ibrahim, 2014, II, 4, Jurnal
IUS : 51). Hal tersebut akibat yuridisnya ialah dengan mengacu atau menganut pada
konstitusi dan juga menganut pada DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/04/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah atau qiradh.

Menurut Shofian dalam Jurnal Al-‘Adl, disebutkan bahwa dalam pelaksanaan akad
mudharabah antara lain meliputi modal, manajemen, jangka waktu, jaminan, juga sharing
laba dan rugi. Jaminan yang dimaksud adalah untuk memastikan bahwa modal yang
disalurkan dan keuntungan yang didaharapkan dari modal tersebut diberikan kepada bank
sebagaimana yang berada dalam perjanjian. Sedangkan menurut Sri dalam Jurnal Ekonomi
dan Bisnis mengatakan bahwa produk mudharabah dalam aplikasinya mengalami beberapa
kendala, antara lain : 1. Kesulitan menarik dana apabila mudharib wanprestasi, 2. Kesulitan
menghitung keuntungan karena cicilan pengembalian dana, dan 3. Tidak boleh ada jaminan.
Dapat diketahui bahwa dengan tidak adanya jaminan maka menghambat penerapan
mudharabah dalam perbankan di Indonesia. Apakah dengan adanya jaminan semuanya lancar
tidak ada hambatan seperti yang tertulis diatas. Sedangka dalam fiqih tidak diperbolehkan
investor dalam hal ini bank syariah untuk menuntut jaminan pada mudharib.
12

Jaminan dalam pembiayaan menurut Burhanudin Harahap menyimpulkan dalam


penelitiannya sebagai berikut :

1. Persoalan yang melatarbelakangi bank Syariah selalu mensyaratkan adanya jaminan


adalah menyangkut persoalan realitas hubungan antara bank dengan nasabah. Masyarakat
yang kompleks dan sedemikian terbuka menjadikan bank sebagai penyedia pembiayaan
hanya mampu mengetahui keadaan calon nasabah yang akan dibiayai dengan
mudharabah sangat terbatas. Hal ini menjadikan hubungan yang ada dan tercipta tidak
sampai pada tingkat personal, tetapi lebih bersifat formal. Oleh karena itu diperlukan
jaminan agar pembiayaan mudharabah yang diberikan dapat efektif dan efisien.

2. Kedudukan jaminan dalam mudharabah adalah berbeda dengan jaminan di dalam hutang
piutang sebagaimana yang ada pada perbankan konvensional. Yaitu bukan sebagai
penjamin atas utang piutang tetapi berkedudukan sebagai penjamin agar pelaku usaha
tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati.

3. Jaminan di dalam mudharabah berfungsi sebagai penjamin tidak adanya pelanggaran oleh
pelaku usaha. Jika pelaku usaha menderita kerugian yang disebabkan adanya pelanggaran
perjanjian mudharabah, maka jaminan dapat disita untuk membayar pembiayaan
mudharabah yang telah dikeluarkan oleh perbankan Syariah beserta bagian keuntungan
yang menjadi hak bank. Karena kerugian yang dideritanya berdasarkan kesalahan pelaku
usaha.

4. Problematika jaminan di dalam realitas pembiayaan mudharabah belum teridentifikasi


karena sampai penelitian ini dilakukan belum terdapat pelaku usaha yang mengalami
kesulitan pembayaran atas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan Syari‟ah yang
mengakibatkan disita dan dijualnya jaminan untuk mengembalikan pembiayaan
mudharabah.

Dalam kaidah-kaidah fikih dikenal kaidah “al-adah al-muhakamah” yaitu adat dapat
dijadikan (pertimbangan dalam penetapan) hukum, atau umumnya disebut dengan kaidah al-
urf.25 Dalam pemaknaan kaidah ini, hukum jaminan dan perikatannya yang tidak diatur
13

secara tegas oleh Islam berlaku ketentuan kaidah tersebut, dianggap sebagai bagian dari al-
adah. Selama al-adah ini tidak bertentangan dengan patokan “mengharamkan yang halal, dan
menghalalkan yang haram”, maka penerapan jaminan ini tidak dapat dibenarkan dalam
konteks hukum Islam. Padangannya dilihat jauh lebih flexible, dimana penekanan pada
pembentukan suatu hukum harus pula melihat perubahan masyarakat dalam perubahan
adat(Ifa, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 47, 1, Maret 2017 :145).

Mengenai jaminan dalam perbankan syariah telah disampaikan juga oleh Imam
Syafi’i dan malik yang mengungkapkan Apabila shahibul mal dalam kasus ini pihak
perbankan meminta jaminan kepada mudharib berarti akad tersebut bukan merupakan akad
mudharabah dan akad mudharabah akan menjadi rusak atau batal. Adanya jaminan membuat
akad mudharabah lebih terlihat seperti akad rahn (gadai), dimana barang milik seseorang
digadaikan untuk dijadikan pinjaman uang yang apabila terjadi gagal barang maka barang
gadai akan diambil oleh pihak pegadaian (www.kompasiana.com). Karena aset milik
mudharib di jaminkan ke bank syariah untuk mendapatkan modal, mudharib memiliki
ketakutan atau kekhawatiran tersendiri mengenai aset yang dijaminkan tersebut. Memang
jaminan dalam pembiayaan bank syariah dimaksudkan untuk mengurangi resiko, dan
menurut Ifa Latifa dalam jurnal Hukum dan Pembangunan dikatakan bahwa bank diharuskan
untuk meminimalisir resiko tersebut.

Dalam artikel menurut kompasiana di atas menyebutkan bahwa aset milik


mudharabah yang di jaminkan akan lebih mirip dengan gadai dan dapat merusak akad
mudharabah. Ditinjau dari keadaan di masyarakat bahwa tidak semua usaha akan mengalami
kemajuan dan keuntungan yang pesat. Apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib tersebut
merugi atau jika mudharib melakukan wanprestasi maka aset miliknya akan menjadi milik
bank syariah. Di awal telah dituliskan bahwa akad mudharabah berdasarkan atas prinsip
kemitraan dan kepercayaan. Dengan adanya jaminan aset oleh mudharib maka yang terjadi
antara mudharib dan bank syariah bukan lagi kemitran, melainkan kreditur dan debitur.
Adanya jaminan tersebut juga merupakan bagian dari ketidakpercayaan bank syariah sebagai
baitul mal kepada mudharib, apabila bank syariah percaya pada mudharib dalam mengelola
dananya maka penuntutan jaminan dari mudharib tersebut tidak lagi diperlukan.
13

Tidak ada satupun mudharib yang diberikan modal oleh bank untuk menjalankan
usaha ingin usahanya tersebut gagal dan berakhir dengan keberpindaan kepemilikan atas aset
yang dijaminkan pada bank. Oleh karenanya alangkah lebih baiknya apabila bank mengawasi
dan memberikan edukasi terhadap mudharib dalam menjalankan usahanya agar terhindar dari
kerugian dan akan mendatangkan keuntungan, maka karena itu prinsip kemitraan dan
kepercayaan akan saling terjalin dan juga akad mudharabah tidak akan ternoda oleh adanya
jaminan.
14

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan
sebagai pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola
oleh pihak kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Akad
mudharabah dalam konsep fiqih muamalah terjadi jika ada pihak pemilik
modal (shahibul mal), ada mudharib atau pengelola, ada obyek yang
dikerjakan, dan adanya kesepakatan nisbah antara pihak pemilik modal
dengan pegelola.

2. Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah di Indonesia memiliki


karakteristik sebagai berikut : tujuan transaksi untuk pembiayaan atau
penyediaan fasilitas, pengelola usaha adalah nasabah (mudharib), pembagian
hasil mengacu pada konsep revenue sharing, dan menentukan nisbah bagi
hasil dapat berubah selama periode perjanjian dan ditetapkan pada akad di
awal periode kontrak.

B. Saran

Sosialisasi kepada masyarakat tentang produk-produk Perbankan Syariah untuk


meningkatkan minat masyarakat khususnya umat muslim dalam mengembangkan
produk pembiayaan khususnya produk dengan prinsip bagi hasil, dan metode
profit/loss sharing perlu diusahakan atau diterapkan pada perhitungan bagi
hasilnya karena sistem motode ini lebih mencerminkan nilai syariah dalam
openerapan bagi hasilnya. Adapun untuk mengatasi kendala dalam metode
profit/loss sharing perlu adanya sistem yang mendukung unutk metode profit/loss
sharing.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta:Gema Insani,
Cetakan Pertama.

Gemala Dewi, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.

Karim, Adiwarman A. Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ridwan, M. 2004. Menejemen Baitul Maal wa Tanwil. Yogyakarta: VII press

Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh Sunnah 5, ter: Abdurrahim dan Marsukhin, Jakarta: Cakrawala
Publishing.
Jurnal :

Popon Srisusilawati. 2017. Penerapan Prinsip Keadilan dalam Akad Mudharabah di Lembaga
Keuangan Syariah. Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung: Jurnal Law And
Justice Vol. 2 No. 1 April 2017
Sri Abidah Suryaningsih. 2013. “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di Indonesia”.
Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol 4, No 1
Ifa Latifa Fitriani. 2017. “Jaminan dan Agungan Dalam Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit
Bank Konvensional”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol 47, No 1
Meuthiya AA dan Mahmudatus S. 2013. “Mudharabah dalam Fiqih dan Perbankan Syariah”.
Jurnal Equilibrium. Vol 1, No2
Putri Apria Ningsih. 2016. “Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syariah”. Jurnal Syari’ah.
Vol V, No 1
Shofian. 2016. “Pemahaman Fiqhi Terhadap Mudharabah (Implementasi Pembiayaan pada
Perbankan Syariah”. Jurnal Al-‘Adl. Vol 9, No 2
Friyanto. 2013. “Pembiayaan Mudharabah, Risiko, dan Penangannya (Studi Kasus pada Bank
BTN Kantor Cabang Syariah Malang”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol
15, No 2
16
Siti Hamidah dan Prayudo EY. 2016. “Akad Pembiayaan Mudharabah Menurut Pemahaman
Nasabah Baitul Maat Wat Tamwil di Tongas Probolinggo”. Jurnal Hukum dan
Syariah. Vol 7, No 2
Khudari Ibrahim. 2014. “Penerapan Prinsip Mudharabah dalam Perbankan Syariah”. Jurnal
IUS.Vol II No. 4
Sri Abidah Suryaningsih. 2013 APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA. Ekonomika-Bisnis Vol. 4 No.1

Artikel :

Arif Mubarok. 2016. “Mengkritisi Pensyaratan Jaminan Pada Akad Mudharabah”.


https://www.kompasiana.com/arifmubarok/58acfd85117b6186052beec9/mengkritisi-
pensyaratan-jaminan-pada-akad-mudharabah. (Online)

Azka Amalia Jihad. “Konsep Mudharabah dan Penerapannya pada Lembaga Keuangan Islam”

Anda mungkin juga menyukai