Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MUDHARABAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN BANK SYARI’AH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalat

Dosen pengampu; Bapak, Hilman Taqiyudin, S.Ag., M.H.I

Disusun oleh kelompok 06:

1. Muhammad Ainul Yaqin 201110014


2. Almaidatussalwa 201110020
3. Resa Silvia Febriyanti 201110008

HKI A/3

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat beserta
salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta
kepada para keluarganya, sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman nanti.

Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada bapak
Hilman Taqiyudin, S.Ag., M.H.I. selaku dosen pengampu mata kuliah fikih muamalat
yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Dan juga terima kasih
kepada teman-teman yang telah mendukung kami dalam penyusunan makalah ini, yang
berjudul Mudharabah dan Hubungannya dengan Bank Syari’ah.
Terakhir kami selaku penyusun menyadari banyak kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat memohon kepada para
pembaca saran dan kritiknya yang dapat membangun potensi kami sehingga
kedepannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi. Dan semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khusunya sebagai penyusun dari malakah
ini Amin ya robbal ‘Alamin.

Serang, 16 Oktober, 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar belakang .............................................................................................. 1


B. Rumusan masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan masalah ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2

A. Pengertian Mudharabah ............................................................................... 2


B. Landasan Hukum Mudharabah .................................................................... 3
C. Rukun dan Syarat Mudharabah .................................................................... 4
D. Jenis-jenis Mudharabah ............................................................................... 8
E. Hubungannya Mudharabah dengan Bank Syari’ah ..................................... 9

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................ 12
B. Saran .......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Seiring dengan perkembangan waktu praktik muamalat semakin banyak
dikembangkan pada lembaga keuangan syari’ah termasuk negara Indonesia.
Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia begitu cepat dan pesat, namun di sisi
lain masih ada sebagian masyarakat masih memiliki asumsi bahwa bank Syariah hanya
sebuah label untuk menarik simpati masyarakat muslim di bidang perbankan. Sebagian
masyarakat menganggap tidak ada perbedaan antara perbankan syari’ah dan perbankan
pada umumnya yang membedakan hanya istilah-istilah Bahasa arab yang digunakan
dalam perbankan syari’ah.
Asumsi tersebut berkembang salah satu sebabnya adalah belum maksimalnya
pemahaman maysarakat muslim Indonesia terhadap makna akad yang digunakan pada
perbankan Syariah, salah satu akad dalam fiqh muamalat yang digunakan dalam
perbankan syari’ah di Indonesia adalah akad Mudharabah.1

B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian Mudharabah?
2. Apa landasan hukum Mudharabah?
3. Apa saja rukun dan syarat mudharabah?
4. Ada berapa jenis mudharabah?
5. Dan apa hubungannya mudharabah dengan bank Syariah?

C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah dalam makalah ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam
tentang salah satu akad dalam fiqh muamalat yaitu akad Mudharabah, meliputi
pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, jenis-jenis, dan hubungannya dengan bank
Syariah.

1
Dikutip dari journal Sri Abidah Suryaningsih, Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syari’ah di
Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya, Vol.4, No.1 2013, hlm.14-15

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah
Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal dan
seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong. Sebab ada orang
yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam menjalankan roda
perusahaan. Ada juga orang yang mempunyai modal dan keahlian, tetapi tidak
mempunyai waktu. Sebaliknya ada orang yang mempunyai keahlian dan waktu, tetapi
tidak mempunyai modal. Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam
menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan
keuntungan modal dan skill (keahlian) dipadukan menjadi satu.2
Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,
sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau
qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga
mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari kata ad-
dharb (‫ )الضرب‬derivasi dari wazan fi’il ‫ ضرب – یضرب ضربا‬berarti memukul dan berjalan.3
Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke
Praktek, menuliskan bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang
dalam menjalankan usaha. Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara lughowi
adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usahanya dengan
berdagang untuk memperoleh laba.
Secara istilahi mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang
berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan. Definisi mudharabah
menurut Sayyid Sabiq adalah “Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak
mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan.
Laba dibagi sesuai dengan kesepakatan”.4

2
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 169.
3
Adib Bisri dan Munawwir, Al-Bisri Kamus Arab – Indonesia Indonesia –Arab, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999, hlm. 432.
4
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4, Jakarta: Darul Fath, 2004, hlm. 217.

2
Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 adalah: Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS
sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.5
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah
yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib untuk usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.
Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah.
Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh
shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika
kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.

B. Landasan Hukum Mudharabah


Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh,
walaupun di dalam Al-Qur’an tidak secara khusus menyebutkan tentang mudharabah
dan lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat
dan hadits sebagai berikut:
1. Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Muzammil ayat 20 yang artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah” (QS. Al-Muzammil: 20).

Dalam ayat di atas terdapat acuan dasar dilakukannya akad mudharabah adalah
kata “yadhribun” (‫ )یضربون‬yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki
makna melakukan suatu perjalanan usaha.6

Dan di dalam surat Al-Baqarah ayat 198 yang artinya:

5
Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 225

3
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu (QS. Al-Baqarah: 198).

Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudarabah,


yang menjelaskan bahwa mudharib (pengelola) adalah orang berpergian di bumi untuk
mencari karunia Allah.7

2. Al-Hadist.
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah adalah jual beli yang
ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan
mencampurkan gandum kualitas baik dengan gandum kualitas rendah untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR Ibnu Majah).
Dan pada hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Darulquthni:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas
itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”. (HR. Ad-Darulquthni).
Pada hadits pertama mengandung tentang kebolehan mudharabah, seperti yang
sudah di sabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal kepada orang lain termasuk
salah satu perbuatan yang berkah, dan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-
Darulquthni menjelaskan bahwa seorang shahibul mal boleh memberikan syarat-syarat
tertentu yang harus dipatuhi oleh mudharib.

3. Ijma’ dan Qiyas.


Adapun ijma’ dalam mudharabah, adanya hadist riwayat yang menyatakan
bahwa golongan dari para sahabat menggunakan harta anak yatim yaitu mudharabah,
dan perbuatan tersebut tidak dilarang oleh sahabat lainnya.
Sedangkan Mudharabah diqiyaskan dengan al-musaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun), selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang
kaya. sedangkan, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi

7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh…, hlm. 477.

4
lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal, dengan
demikian, adanya mudharabah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia agar
mereka saling bermanfaat.8
Kaidah fiqh:
Al-ashlu fil Muamalati Al-Ibahatu illa anyyadulla Ad-Dalilu ‘ala tahrimiha.
Artinya: Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya

Berdasarkan landasan hukum diatas dapat dipahami bahwa mudharabah


disyariatkan oleh firman Allah, hadist, ijma’ dan qiyas dan diberlakukan pada masa
Rasulullah saw dan beliau tidak melarangnya, karena manusia dapat saling bermanfaat
untuk orang lain.

C. Rukun dan Syarat Mudharabah


1. Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh
ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda pendapat
tentang rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang menunjukkan
ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau
kata-kata searti dengannya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut ulama


Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari: Ra’sul mal (modal), al‘amal
(bentuk usaha), keuntungan, ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun menurut ulama
Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang
menunjukkan makna ijab dan qabul itu.

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun mudharabah ada enam yaitu:

a. Pemilik dana (shahibul mal)


b. Pengelola (mudharib)
c. Ijab qabul (sighat)
d. Modal (ra’sul mal)

8
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, hlm. 224-226.

5
e. Pekerjaan (amal)
f. Keuntungan atau nisbah9

Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu:

a. Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)


b. Modal (ma’qud alaih)
c. Shighat (ijab dan qabul)10

Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad
mudharabah pada dasarnya adalah:

a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)

Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang
bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan yang lainnya menjadi
pelaksana usaha (mudharib).

b. Obyek mudharabah (modal dan kerja)

Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang


dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya sebagai
obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai
obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk uang atau barang yang
dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk
keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.

Para fuqaha sebenarnya tidak memperbolehkan modal mudharabah


berbentuk barang. Modal harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan
taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal
mudharabah.11 Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai

9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm. 139.
10
Rachmat Syafei, Fiqh …, hlm. 226.
11
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafino Persada,
2014), hlm. 205.

6
barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh
mudharib dan shahibul mal.

Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang,


tanpa adanya setoran modal berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi
apa pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki
melarang itu karena merusak sahnya akad.

c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul)

Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-


taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela
bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana
setuju dengan perannya untuk

mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan


perannnya untuk mengkontribusikan kerja.

d. Nisbah keuntungan
Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah.
Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul mal ataupun
mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan modalnya,
sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.12

2. Syarat Mudharabah

Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun


mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi adalah
sebagai berikut :

a. Shahibul mal dan mudharib.

Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai


majikan dan wakil.13 Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari

12
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafino Persada,
2014), hlm. 205.
13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar…, hlm. 228.

7
pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang mengandung arti
mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu
kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga tidak
mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu akad
mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-muslim.

b. Sighat ijab dan qabul

Sighat harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan


mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah
kontrak.14 Lafadz-lafadz ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata dan
derivasi mudharabah, muqaradhah dan muamalah serta lafadz-lafadz yang
menunjukkan makna-makna lafadz tersebut. Sedangkan lafadz-lafadz qabul
adalah dengan perkataan ‘amil (pengelola), “saya setuju,” atau, “saya terima,”
dan sebagainya. Apabila telah terpenuhi ijab dan qabul, maka akad
mudharabah-nya telah sah.

c. Modal

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul mal kepada
mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Syarat yang
berkaitan dengan modal, yaitu:

1) Modal harus berupa uang


2) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
3) Modal harus tunai bukan utang
4) Modal harus diserahkan kepada mitra kerja15

Sebagaimana dikutip dari M. Ali Hasan bahwa menurut Mazhab


Hanafi, Maliki dan Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh
pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad itu tidak dibenarkan.
Namun, menurut Mazhab Hanbali, boleh saja sebagian modal itu berada

14
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan
sosial), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm 143.
15
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2014, hlm. 62.

8
ditangan pemilik modal, asal saja tidak menganggu kelancaran jalan
perusahaan tersebut.

d. Nisbah keuntungan

Keuntungan atau nisbah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan


dari modal. Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua belah
pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu melakukan
kontrak. Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan dalam bentuk
prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1 menurut kesepakatan
bersama.16 Biasanya, dicantumkan dalam surat perjanjian yang dibuat
dihadapan notaris. Dengan demikian, apabila terjadi persengketaan, maka
penyelesaiannya tidak begitu rumit.

Karakteristik dari akad mudharabah adalah pembagian untung dan


bagi rugi atau profit and loss sharring (PLS), dalam akad ini return dan timing
cash flow tergantung kepada kinerja riilnya. Apabila laba dari usahanya besar
maka kedua belah pihak akan mendapatkan bagian yang besar pula. Tapi
apabila labanya kecil maka keduanya akan mendapatkan bagian yang kecil
pula. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing
pihak yang melakukan kontrak, jadi angka besaran nisbah ini muncul dari hasil
tawar menawar antara shahibul mal dengan mudharib, dengan demikian angka
nisbah ini bervariasi seperti yang sudah disebutkan diatas, namun para fuqaha
sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.17
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama
mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik
modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama, maka akad
itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap ditanggung sendiri oleh
pemilik modal, oleh sebab itu mazhab Hanafi menyatakan bahwa mudharabah
itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah dan mudharabah faasidah.
Jika mudharabah itu fasid, maka para pekerja (pelaksana) hanya menerima
upah kerja saja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang

16
Adiwarman A. Karim, Bank…, hlm. 206.
17
Adiwarman A. Karim, Bank…, hlm. 209.

9
didaerah tersebut. Sedangkan keuntungan menjadi milik pemilik modal
(mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali).
Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam
mudharabah faasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah
shahihah yaitu tetap mendapat bagian keuntungan yang telah disepakati
bersama.

e. Pekerjaan atau usaha

Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola


(mudharib) dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik modal.
Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan manajemen kontrak
mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah
pihak dalam transaksi.18

D. Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum, berdasarkan kewenangan yang diberikan pada mudharib, akad


mudharabah yang dilakukan oleh pemilik modal (shahibul mal) dengan pekerja
(mudharib), mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah muthlaqah yaitu mudharabah tanpa syarat, pekerja bebas


mengolah modal itu dengan usaha apa saja yang menurut perhitungannya akan
mendatangkan keuntungan dari arah mana saja yang diinginkan. Misalnya jenis
barang apa saja, didaerah mana saja, dengan siapa saja, asal saja apa yang dilakukan
itu diperkirakan akan mendapatkan keuntungan. Mudharib diberikan otoritas oleh
shahibul mal untuk menginvestasikan modal ke dalam usaha yang dirasa cocok dan
tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu.

2. Mudharabah Muqayyadah

18
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan
sosial), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 143.

10
Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat
tertentu, pekerja mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian yang
dikemukanan oleh pemilik modal. Misalnya harus memperdagangkan barang-
barang tertentu, di daerah tertentu, dan membeli barang pada toko (pabrik) tertentu.
19
Shahibul mal boleh melakukan hal ini guna menyelamatkan modalnya dari resiko
kerugian. Apabila mudharib melanggar syarat-syarat dan batasan maka mudharib
harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.

Jumhur ulama’ menetapkan bahwa pengelola usaha tidak boleh melakukan


akad mudharabah lagi dengan orang lain dengan uang tersebut, karena modal
(uang) yang diberikan kepadanya merupakan amanah. Sementara penyerahan
modal oleh pengelola kepada pihak (orang) lain merupakan bentuk pengkhianatan
yang nantinya akan merugikan pemberi modal yang sebenarnya, karena apabila
akad mudharabah telah terjadi dan pekerja telah menerima modalnya, maka usaha
yang dilakukan adalah amanat yang harus dijaga sebaik-baiknya. Apabila dia tidak
mengusahakan dengan baik, maka dia harus menanggung resiko yang ada, termasuk
mengganti modal tersebut jika mengalami kerugian.20

Hikmah disyariatkannya mudharabah adalah untuk memberikan


kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan hartanya dan sikap tolong
menolong di antara mereka, selain itu, guna menggabungkan pengalaman dan
kepandaian dengan modal untuk memperoleh hasil yang terbaik.

E. Hubungannya Mudharabah dengan Bank Syariah

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

19
M. Ali Hasan, Berbagai …hlm. 172.
20
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 116-117.

11
Kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan syari’ah untuk tujuan dagang
jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak tersebut seperti jual beli barang
yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini. Mudharib, setelah menerima
dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang
yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan
suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank
segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat
dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank,
mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut
harga jual yang diharapkan, arus kas, batas laba, yang akan dikaji oleh bank sebelum
diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberikan dana
yang diperlukan jika telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana
yang diberikan.

Kontrak mudharabah bank syari’ah menentukan jumlah modal yang digunakan


dalam kongsi. Tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal
diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan
pengelolaan mudharabah. Mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu,
maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual.

Pembahasan mengenai mudharabah sebagaimana yang dipraktikkan dalam


bank syari’ah menunjukkan bahwa kebanyakan mudharabah digunakan untuk tujuan
jangka pendek dan hasilnya hampir pasti dapat ditentukan. Tidak ada transfer modal
yang nyata kepada mudharib untuk dipakai berdagang secara bebas. Bank secara
mendetail menetapkan bagaimana ia harus menjual barang. Segala bentuk pelanggaran
terhadap kontrak bisa menjadikan mudharib bertanggungjawab terhadap semua resiko.
Bank juga menentukan jangka waktu kontrak. Dalam pembagian laba rugi, secara teori
bank menanggung semua resiko, akan tetapi dalam praktiknya dikarenakan sifat
kontrak mudharabah bank syari’ah dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian
akan jarang terjadi.

Adanya kewajiban mudharib untuk memberikan jaminan kepada shahib al-mal


dalam perjanjian mudharabah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang boleh atau
tidaknya atau sah atau tidaknya perjanjian mudharabah dalam dunia perbankan syariah.
Dalam kerjasama mudharabah telah terkandung adanya prinsip kepercayaan dan

12
kejujuran bagi kedua pihak yang mengadakan perjanjian. Mudharabah dalam perjanjian
pembiayaan pada perbankan syariah, Burhanudin Harahap telah memberikan suatu
simpulan dari hasil penelitian tersebut, yakni:

1. Persoalan yang melatarbelakangi bank Syariah selalu mensyaratkan adanya


jaminan adalah menyangkut persoalan realitas hubungan antara bank
dengan nasabah. Masyarakat yang kompleks dan sedemikian terbuka
menjadikan bank sebagai penyedia pembiayaan hanya mampu mengetahui
keadaan calon nasabah yang akan dibiayai dengan mudharabah sangat
terbatas. Hal ini menjadikan hubungan yang ada dan tercipta tidak sampai
pada tingkat personal, tetapi lebih bersifat formal. Oleh karena itu
diperlukan jaminan agar pembiayaan mudharabah yang diberikan dapat
efektif dan efisien.
2. Kedudukan jaminan dalam mudharabah adalah berbeda dengan jaminan di
dalam hutang piutang sebagaimana yang ada pada perbankan konvensional.
Yaitu bukan sebagai penjamin atas utang piutang tetapi berkedudukan
sebagai penjamin agar pelaku usaha tidak melanggar perjanjian yang telah
disepakati.
3. Jaminan di dalam mudharabah berfungsi sebagai penjamin tidak adanya
pelanggaran oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha menderita kerugian yang
disebabkan adanya pelanggaran perjanjian mudharabah, maka jaminan
dapat disita untuk membayar pembiayaan mudharabah yang telah
dikeluarkan oleh perbankan Syariah beserta bagian keuntungan yang
menjadi hak bank. Karena kerugian yang dideritanya berdasarkan kesalahan
pelaku usaha.
4. Problematika jaminan di dalam realitas pembiayaan mudharabah belum
teridentifikasi karena sampai penelitian ini dilakukan belum terdapat pelaku
usaha yang mengalami kesulitan pembayaran atas pembiayaan yang
diberikan oleh perbankan Syari‟ah yang mengakibatkan disita dan dijualnya
jaminan untuk mengembalikan pembiayaan mudharabah.

Pembiayaan secara mudharabah yang dilakukan oleh perbankan syariah, maka


perjanjian atau akad pembiayaan merupakan faktor penting dan menjadi dasar dari
pemberian kredit atau pembiayaan kepada debitur atau nasabah. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemberian pembiayaan secara mudharabah seperti jumlah

13
pembiayaan, syarat pencairan pembiayaan, pembagian keuntungan (nisbah) dan
sebagainya dari pembiayaan yang akan diberikan oleh bank, dapat dimasukkan dalam
perjanjian kredit atau akad. Ketelitian dan keakuratan pencantuman sesuai syarat-syarat
dan rukun-rukun dalam pembiayaan mudharabah yang tercantum dalam sebuah akad
akan berpengaruh terhadap keabsahan suatu perjanjian tersebut. Perjanjian atau akad
mudharabah yang tidak memenuhi syarat dan rukun mudharabah adalah batal, sehingga
apabila menjadi sengketa di pengadilan, maka pengadilan akan membatalkannya.21

21
Dikutip dari journal Mahmamudatus Sa’diyah dan Meuthiya Athifa Arifin, Mudharabah Dalam Fiqh
dan Perbankan Syari’ah, Volume 1, No.2, Desember 2013, hlm.316-321

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mudharabah adalah suatu kegiatan akad yang dilakukan oleh


shahibul mal (pemilik modal) dengan mudharib (pengelola modal) untuk
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.

Landasan hukum Mudharabah itu berdasarkan dengan Al-Qur’an,


As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, jadi mudharabah ini ketentuan hukumnya
sudah jelas di dalam syara’

Rukun pada akad mudharabah pada dasarnya adalah:

1. Pelaku (shahibul mal dan mudharib).

2. Obyek mudharabah (modal dan kerja).

3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul).

4. Nishbah keuntungan.

Hubungannya mudharabah dengan bank Syariah adalah


Mudharabah adalah suatu cara yang dipergunakan oleh perbankan syari’ah
sebagai upaya berbagi keuntungan antara Lemabaga bank dan Mudharib
dengan syarat-syarat yang disepakati.

B. Saran
Kami selaku penyusun makalah ini merasa masih banyak kekurangan
baik dari segi penyusunan ataupun dari segi materi yang kami paparkan,
oleh karena itu kami memohon kepada para pembaca agar memberikan
saran kepada kami yang bersifatnya membangun agar kedepannya kami
dapat Menyusun makalah dengan lebih baik lagi. Dan kami juga
menyarankan agar para pembaca untuk membaca sumber-sumber bacaan
lainnya agar mengisi kekosongan materi yang kami paparkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Journal Sri Abidah Suryaningsih, Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syari’ah di


Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya, Vol.4, No.1 2013.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003.

Adib Bisri dan Munawwir, Al-Bisri Kamus Arab – Indonesia Indonesia –Arab,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4, Jakarta: Darul Fath, 2004.

Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah


(Qiradh).

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT


RajaGrafino Persada, 2014).

Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian,


Ekonomi, Bisnis dan sosial), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012)

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2014

Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011)

Journal Mahmamudatus Sa’diyah dan Meuthiya Athifa Arifin, Mudharabah Dalam


Fiqh dan Perbankan Syari’ah, Volume 1, No.2, Desember 2013

16

Anda mungkin juga menyukai