Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“KONSEP DAN IMPLMENTASI AL- MUDHARABAH DAN AKAD TIJARAH


LAINNYA PADA ASURANSI SYARIAH’’

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Studi Kelayakan Bisnis dan
dipresentasikan di kelas Ps 6G

DOSEN PEMBIMBING:

KHAIRIL AZMI, SE.MM

Disusun Oleh Kelompok 8:

Rika Elfianti 3319268

Dinda Rahma Yuli 3319278

Endra Saputra 3319281

JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

TA.2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, taufik
dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Asuransi Syariah dengan
judul “Konsep dan Implementasi Al- Mudharabah dan Akad Tijarah Lainnya Pada
Asuransi Syariah”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, Sahabat dan seluruh orang yang senantiasa
mengukuti Sunah Beliau. Makalah ini berdasarkan garis-garis besar program pengajaran
yang diberikan oleh Institut Agama Islam Negri (IAIN) Bukittinggi.

Juga kami ucapkan kepada pihak yang banyak membantu dalam penyusunan
Materi kuliah ini kami ucapkan terimakasih, karena tanpa arahan, bimbingan dan
motivasi yang diberikan. Akhir kata karya ilmu tauhid yang baik tentunya memerlukan
sebuah celah untuk menyempurnakan materi kedepannya, untuk itu kami dengan segala
kerendahan hati menerima masukan demi maksud agar peningkatan dan penyempurnaan
dalam makalah dan pembelajaran ini.

Bukittinggi, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah ....................................................................................................... 3
B. Mudharabah Dalam Wacana Fiqih ...................................................................................... 4
C. Landasan Syar‟i Mudharabah .............................................................................................. 6
D. Rukun Dan Persyaratan Mudharabah .................................................................................. 8
E. Keunggulan Sistem Mudharabah ....................................................................................... 12
F. Perbedaan Riba Dan Mudharabah ..................................................................................... 13
G. Ketentuan Bagi Hasil Dalam Mudharabah ........................................................................ 14
H. Implementasi Mudharabah Dalam Asuransi Syariah ........................................................ 16
I. Akad- akad Tijarah lainnya Dalam Praktek asuransi Syariah ........................................... 18
J. Profil dan Etika Marketer Lembaga Keuangan Syariah .................................................... 21
K. Sistem Penjualan Pada Asuransi Syariah .......................................................................... 23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 24
B. SARAN .............................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, dengan lahirnya bank yang beroperasi pada prinsip syari‟ah seperti
dalam bentuk bank muamalat Indonesia dan bank perkereditan rakyat islam, pengetahuan
tentang bank islam ini sangat dibutuhkan baik bagipara ilmuwan maupun masyarakat
luas. Lebih-lebih masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim sehingga
minat terhadap lembagakeuangan syari‟ah (asuransi syari‟ah) sangat diminati. Tetapi
meskipun lembaga-lembaga keuangan syari‟ah mulai menyebar diberbagai pelosoktanah
air banyak masyarakat yang belum mengenal produk-produk asuransi syari‟ah.
Kajian tentang asuransi sangat menarik sekali diantara prinsipekonomi syariah
lainya. Kajian mengenai asuransi syari‟ah terlahir satu paketdengan kajian perbankan
syari‟ah, yaitu sama-sama muncul kepermukaantatkala dunia islam tertarik untuk
mengkaji secara mendalam apa danbagaimana cara mengaktualisasikan konsep ekonomi
syari‟ah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Mudharabah?


2. Bagaimana Mudharabah dalam wacana fiqih?
3. Bagaimana landasan syar‟i Mudharabah?
4. Bagaimana rukun dan persyaratan Mudharabah?
5. Bagaimana keunggulan sistem Mudharabah?
6. Bagaimana perbedaan riba dan Mudharabah?
7. Bagaimana ketentuan bagihasil dalam Mudharabah?
8. Bagaimana implementasi Mudharabah dalam asuransi syariah?
9. Bagaimana akad- akad tijarah lainnya dalam praktek asuransi syariah?
10. Bagaimana profil dan etika marketer lembaga keuangan syariah?
11. Bagaimana sistem penjualan pada asuransi?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa maksud dari mudharabah


2. Untuk mengetahui bagaimana Mudharabah dalam wacana fiqih
3. Untuk mengetahui bagaimana landasan syar‟i Mudharabah
4. Untuk mengetahui bagaimana rukun dan persyaratan Mudharabah
5. Untuk mengetahui bagaimana keunggulan sistem Mudharabah
6. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan riba dan Mudharabah
7. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan bagihasil dalam Mudharabah
8. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Mudharabah dalam asuransi syariah
9. Untuk mengetahui bagaimana akad- akad tijarah lainnya dalam praktek asuransi
syariah
10. Untuk mengetahui bagaimana profil dan etika marketer lembaga keuangan syariah
11. Untuk mengetahui bagaimana sistem penjualan pada asuransi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah

Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal dan
seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong. Sebab ada orang
yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam menjalankan roda
perusahaan. Ada juga orang yang mempunyai modal dan keahlian, tetapi tidak
mempunyai waktu. Sebaliknya ada orang yang mempunyai keahlian dan waktu, tetapi
tidak mempunyai modal. Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam
menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan
keuntungan modal dan skill (keahlian) dipadukan menjadi satu.1
Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,
sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau
qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga
mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari kata ad-
dharb (‫ )اﻟﻀﺮب‬derivasi dari wazan fi‟il ‫ ﺿﺮﺑﺎ‬- ‫ ﺿﺮب – ﯾﻀﺮب‬berarti memukul dan berjalan.
Selain ad-dharb ada juga qiradh (‫ )اﻟﻘﺮاض‬dari kata (‫ )اﻟﻘﺮض‬yang berarti pinjaman atau
pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh laba.
Muhammad Syafi‟I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke
Praktek, menuliskan bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang
dalam menjalankan usaha. Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara lughowi
adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usahanya dengan
berdagang untuk memperoleh laba. Secara istilahi mudharabah adalah menyerahkan
modal kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.
Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 adalah : “Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS
sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha),

1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
169.

3
sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha”.
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah
yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib untuk usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang dituangkan dalam
kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang dijalankan mengalami
kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan
akibat kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian
mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

B. Mudharabah Dalam Wacana Fiqih

Mudharabah dalam fiqh adalah seseorang menyerahkan modal kepada


pengusaha/pekerja untuk di usahakan dengan syarat keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan dalam kontrak. Adapun kerugian sepenuhnya
ditanggung pemilik pemodal. Mudharib (pengusaha) dalam hal ini akan memberikan
kontribusi pekerjaan, waktu, fikiran dan tenaga dalam mengelola usaha sesuai ketentuan
yang dicapai dalam kontrak, yaitu untuk mendapatkan keuntungan usaha yang akan
dibagi berdasarkan kesepakatan. Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dalam fiqh berkaitan dengan sistem mudharabah, diantara-nya adalah sebagai berikut:
1. Modal
Modal dalam wacana fiqh diistilahkan dengan “ra‟sul maal”. Para ulama men-
syaratkan bahwa modal itu harus memenuhi pen-syaratan: (1) Terdiri dari mata uang
yang beredar atau berlaku. Pensyaratan ini diajukan untuk menghindari perselisihan
dikemudian hari. Oleh karenanya tidak sah memudharabah-kan harta dalam bentuk
piutang, karena sulit untuk mengukur keuntungan darinya, dan dapat menimbulkan per-
selisihan dalam pembagian ke-untungan. (2) Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada
pengusaha. Modal tersebut harus diserah-kan seluruhnya pada saat ikatan kontrak. (3).
Modal harus jelas jumlah dan jenisnya.
2. Manajemen
Kontrak mudharabah dalam fiqh dibagi dalam dua kategori, yaitu:

4
a. Mudharabah Mutlaqah, yaitu Pemilik dana (shahibul maal) memberikan
keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) dalam menentukan jenis usaha
maupun pola pengelolaan yang dianggapnya baik dan menguntungkan,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.
b. Mudharabah Muqayyadah, yaitu Pemilik dana memberikan batasan-batasan
tertentu kepada pengelola usaha dengan menetapkan jenis usaha yang harus
dikelola, jangka waktu pengelolaan, lokasi usaha dsb.

Dalam kontrak mudharabah, pihak pemodal atau investor tidak diperkenankan


untuk ikut campur dalam mengelola manajemen usaha, ketika akad mudharabah
telah diberlakukan, maka pihak mudharib (pengusaha) memiliki kewenangan penuh
dalam mengelola usaha, terlepas apakah bentuk mudharabah yang dijalankan
mutlaqah atau muqayaddah. Para fuqaha sepakat bahwa apabila pemodal ikut campur
dalam manajemen usaha, maka secara otomatis kontrak mudha-rabah menjadi batal.

3. Jaminan
Esensi kontrak mudharabah adalah terjadinya kerjasama dan saling tolong
menolong antara pemilik modal atau orang yang surplus modal dengan orang yang
hanya memiliki keahlian dan ketrampilan, sehingga jurang pemisah antara kaya dan
miskin dapat dikikis. Harta dalam presfektif Islam hanyalah merupakan titipan Tuhan
yang seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama dan untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Islam menganjurkan harta itu tidak hanya
berputar pada kelompok tertentu, tetapi harus dikembangkan dan diusahakan pada
kegiatan-kegiatan ekonomi riil. Atas dasar itu, kontrak mudharabah tidak
mensyaratkan adanya jaminan atas sejumlah modal yang diberikan kepada
pengusaha (mudharib). Tolak ukur atas terjaminnya modal hanyalah kejujuran,
sehingga kegiatan mudharabah harus diiringi dengan tingkat kejujuran yang tinggi
dari mudharib.
4. Jangka waktu
Mengenai pembatasan jangka waktu mudharabah diperdebatkan oleh para ahli
fiqh. Sebagian ulama berpendapat bahwa dengan adanya batasan waktu berlakunya
kontrak akan menjadikan kontrak itu batal, sebab hal tersebut dapat menghilangkan

5
kesempatan pengusaha untuk mengembangkan usahanya, sehingga keuntungan
maksimal dari kegiatan itu sulit untuk tercapai. Sedangkan sebagian yang lain
beranggapan bahwa boleh saja terjadi kesepakatan antara pemodal dan pengusaha
mengenai jangka waktu mudharabah, dengan catatan apabilah salah satu pihak ingin
mengundurkan diri dari ikatan kontrak harus terlebih dahulu memberitahu yang
lainnya.
5. Nisbah keuntungan
Nisbah keuntungan merupakan rukun khas yang ada pada akad mudharabah, hal
inilah yang mem- bedakannya dengan akad-akad yang lain. Nisbah ini merupakan
bagian yang akan diperoleh oleh masing-masing pihak yang berkontrak. Penetapan
nisbah dilakukan diawal dan dicantunkan dalam akad. Dalam proses tersebut, boleh
jadi terjadi tawar menawar dan negosiasi pembagian nisbah. Negosiasi dilakukan
dengan prinsip musyawarah dan antaradin minkum (saling ridha).
6. Bentuk Mudharabah
Dalam kajian fiqh klasik, bentuk mudharabah yang dijalankan dalam akad
dilakukan dengan modus pembiayaan/ investasi langsung (direct financing), dimana
shahibul maal bertindak sebagai surplus unit melakukan investasi langsung kepada
mudharib yang bertindak sebagai deficit unit. Ciri dari model mudha-rabah ini
adalah, biasanya hubungan antara shahibul maal dengan mudharib merupakan
hubungan personal dan langsung serta transaksi dilandasi saling kepercayaan
(amanah).

C. Landasan Syar’i Mudharabah

Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh, walaupun di
dalam Al-Qur‟an tidak secara khusus menyebutkan tentang mudharabah dan lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits
sebagai berikut :
a. Al-Qur‟an
Surat Al-Muzzammil ayat 20, yaitu:

6
Artinya: "Dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT".(Q.S Al-Muzzammil : 20)

b. Hadits
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib.
Artinya : Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah adalah jual beli
yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan
mencampurkan gandum kualitas baik dengan gandum kualitas rendah untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah).
Hadis yang kedua :
Artinya : Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan
dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan
itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya (HR.
Ad-Darulquthni).
Pada hadits pertama mengandung tentang kebolehan mudharabah,
seperti yang sudah di sabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal kepada
orang lain termasuk salah satu perbuatan yang berkah, dan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Ad-Darulquthni menjelaskan bahwa seorang shahibul mal
boleh memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi.
Adapun ijma‟ dalam mudharabah, adanya hadist riwayat yang
menyatakan bahwa golongan dari para sahabat menggunakan harta anak yatim
yaitu mudharabah, dan perbuatan tersebut tidak dilarang oleh sahabat lainnya.
Sedangkan Mudharabah diqiyaskan dengan al-musaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun), selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula
yang kaya. sedangkan, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan

7
hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak
memiliki modal, dengan demikian, adanya mudharabah diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan manusia agar mereka saling bermanfaat.2

D. Rukun Dan Persyaratan Mudharabah

1. Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh
ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda
pendapat tentang rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang
menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah,
muamalah, atau kata-kata searti dengannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut
ulama Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari : Ra‟sul mal (modal),
al-„amal (bentuk usaha), keuntungan, „aqidain (pihak yang berakad). Adapun
menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan
lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama
Syafi‟iyah rukun mudharabah ada enam yaitu :
a. Pemilik dana (shahibul mal)
b. Pengelola (mudharib)
c. Ijab qabul (sighat)
d. Modal (ra‟sul mal)
e. Pekeraan (amal)
f. Keuntungan atau nisbah3
Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga,
yaitu :
a. Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
b. Modal (ma‟qud alaih)
c. Shighat (ijab dan qabul )
Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad
2
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 224-226.
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) hlm. 139

8
mudharabah pada dasarnya adalah :

a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)


Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang
bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan yang lainnya menjadi
pelaksana usaha (mudharib).
b. Obyek mudharabah ( modal dan kerja)
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan
yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya
sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan
kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk
uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang
diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management
skill, dan lain-lain.
Para fuqaha sebenarnya tidak memperbolehkan modal mudharabah
berbentuk barang. Modal harus uang tunai karena barang tidak dapat
dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar)
besarnya modal mudharabah4. Namun para ulama mazhab Hanafi
membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan
hutang, tanpa adanya setoran modal berarti shahibul mal tidak memberikan
kontribusi apa pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi‟i dan
Maliki melarang itu karena merusak sahnya akad.
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul)
Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari
prinsip an-taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus
secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana,

4
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT RajaGrafino
Persada, 2014, hlm. 205.

9
sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk
mengkontribusikan kerja.
d. Nisbah keuntungan
Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad
mudharabah. Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh
shahibul mal ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari
penyertaan modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari
kerjanya.

2. Syarat Mudharabah
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun
mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut :
a. Shahibul mal dan mudharib
Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai
majikan dan wakil. Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari
pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang mengandung arti
mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap
untukmelakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu
kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga
tidak mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu
akad mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-
muslim.
b. Sighat ijab dan qabul
Sighat harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan
kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan
sebuah kontrak. Lafadz-lafadz ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata
dan derivasi mudharabah, muqaradhah dan muamalah serta lafadz-lafadz
yang menunjukkan makna-makna lafadz tersebut. Sedangkan lafadz-
lafadz qabul adalah dengan perkataan „amil (pengelola), “saya setuju,”
atau, “saya terima,” dan sebagainya. Apabila telah terpenuhi ijab dan

10
qabul, maka akad mudharabah-nya telag sah.
c. Modal
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul mal
kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Syarat
yang berkaitan dengan modal, yaitu :
• Modal harus berupa uang
• Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
• Modal harus tunai bukan utang
• Modal harus diserahkan kepada mitra kerja5
Sebagaimana dikutip dari M. Ali Hasan bahwa menurut Mazhab
Hanafi, Maliki dan Syafi‟i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh
pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad itu tidak
dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali, boleh saja sebagian modal
itu berada ditangan pemilik modal, asal saja tidak menganggu kelancaran
jalan perusahaan tersebut.
d. Nisbah keuntungan
Keuntungan atau nisbah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Keuntungan harus dibagi secara proporsional
kepada kedua belah pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus
dijelaskan pada waktu melakukan kontrak. Pembagian keuntungan harus
jelas dan dinyatakan dalam bentuk prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30,
atau bahkan 99:1 menurut kesepakatan bersama. Biasanya, dicantumkan
dalam surat perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian,
apabila terjadi persengketaan, maka penyelesaiannya tidak begitu rumit.
Karakteristik dari akad mudharabah adalah pembagian untung dan
bagi rugi atau profit and loss sharring (PLS), dalam akad ini return dan
timing cash flow tergantung kepada kinerja riilnya. Apabila laba dari
usahanya besar maka kedua belah pihak akan mendapatkan bagian yang
besar pula. Tapi apabila labanya kecil maka keduanya akan mendapatkan

5
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan sosial),
(Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), hlm 143

11
bagian yang kecil pula. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan
kesepakatan masing-masing pihak yang melakukan kontrak, jadi angka
besaran nisbah ini muncul dari hasil tawar menawar antara shahibul mal
dengan mudharib, dengan demikian angka nisbah ini bervariasi seperti
yang sudah disebutkan diatas, namun para fuqaha sepakat bahwa nisbah
100:0 tidak diperbolehkan.
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama
mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila
pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama,
maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap
ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu mazhab Hanafi
menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah
shahihah dan mudharabah faasidah. Jika mudharabah itu fasid, maka para
pekerja (pelaksana) hanya menerima upah kerja saja sesuai dengan upah
yang berlaku dikalangan pedagang didaerah tersebut. Sedangkan
keuntungan menjadi milik pemilik modal (mazhab Hanafi, Syafi‟i dan
Hambali). Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam
mudharabah faasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah
shahihah yaitu tetap mendapat bagian keuntungan yang telah disepakati
bersama.
e. Pekerjaan atau usaha
Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi
pengelola (mudharib) dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh
pemilik modal. Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan
manajemen kontrak mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam transaksi.

E. Keunggulan Sistem Mudharabah

Setiap pembiayaan dalam prinsip syariah dapat diambil manfaat bagi bank dan
asurani maupun nasabah (Antonio, 2003:97) adalah:

12
1. Bank maupun asuransi akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat,
2. Bank maupun asuransi tidak berkewajiban bagi hasil kepada nasabah pendanaan
secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga
bank tidak akan pernah mengalami negative spread
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan chash flow/arus kas usaha
nasabah sehingga tidak membebatkan nasabah
4. Bank maupun Asuransi akan lebih efektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang
konkret dan benar-benar terjadi itulah yang dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap
dimana bank akan menagih penerimaan pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga
tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan
terjadi krisis ekonomi.

F. Perbedaan Riba Dan Mudharabah

Menurut Muhammad Syafi‟I Antonio, Islam mendorong praktik bagi hasil serta
mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana,
namun keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan
dalam tabel berikut
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
(Menurut Muhammad Syafi‟I Antonio)
BUNGA BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil
dengan asumsi harus selalu untung dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung
rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang Bagi hasil bergantung pada keuntungan

13
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah kerugian akan ditanggung bersama oleh
untung atau rugi kedua belah pihak
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau dengan peningkatan jumlah pendapatan
keadaan ekonomi sedang “booming”
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
dikecam) oleh semua agama, termasuk hasil.
Islam.

G. Ketentuan Bagi Hasil Dalam Mudharabah

Pembayaran mudharabah tidak di-offset langsung dengan premi renewel kecuali


atas permintaan peserta. Apabila pada akhir periode polis terdapat surplus33 underwriting
dana tabarru‟ yang dihitung berdasarkan kekayaan /aktiva dalam bentuk kas (cash basis),
maka cadangan dana tabarru‟ peserta dan atau pengelola dengan proporsi. Rasio
mudharabah diperoleh dengan membagi rata-rata tertimbang mudharabah yang akan
dibagikan dengan premi bruto rata-rata dan dibulatkan ke atas. sebagai berikut:
a. Alokasi Cadangan Dana Tabarru‟ sebesar 2,50% (dua koma lima persen)
b. Alokasi Kepada Peserta sebesar 30% (tiga puluh persen)
c. Alokasi Kepada Pengelola sebesar 67,5% (enampuluh tujuh koma lima persen)
Contoh simulasi perhitungan Mudharabah:
Mudharabah = dana investasi x asumsi haasil investasi
= 4.699.200x12% = 563.904/th
Nasabah = 70% x 563.904
= 394.733
Perusahaan = 30% x 563.904
= 169.171

14
Prinsip-prinsip yang diterapkan;

Prinsip tauhid (unity) adalah dasar utama dari setiap bangunan yang ada
dalam syariah Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus
didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah
serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.

Tauhid sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Manusia dengan atribut yang melekat pada dirinya adalah fenomena
sendiri yang realitanya tidak dapat dipisahkan dari penciptanya (sang Khaliq).
Sehingga tingkatan tertentu dapat dipahami bahwa semua gerak yang ada di alam
semesta merupakan gerak dari Allah SWT.Dalam berasuransi yang harus
diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi
bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan.

Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilainilai keadila


(justice) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam
hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
nasabah dan perusahaan asuransi. Pertama, nasabah asuransi harus memposisikan
pada kondisi yang mewajibkannya untuk selalu membayar iuran uang santunan
(premi) dalam jumlah tertentu pada perusahaan asuransi dan mempunyai hak
untuk mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian.
Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dan
mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah.

Disisi lain keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi


dan hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yan disepakati
sejak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka
realitanya pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus


didasari dengan semangat tolong menolong (ta‟awun) antara anggota. Seseorang
yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk
membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika

15
mendapatkan musibah atau kerugian. Praktik tolong menolong dalam asuransi
adalah unsur utama pembentuk bisnis asuransi. Tanpa adanya unsur ini atau hanya
sematamata untuk mengejar keuntungan bisnis (profit oriented) berarti perusahaan
asuransi itu sudah kehilangan karakter utamanya, dan seharusnya sudah wajib
terkena pinalti untuk dibekukan operasionalnya.

H. Implementasi Mudharabah Dalam Asuransi Syariah

Mudharabah adalah pemilik harta memberikan kepada mudharib orangyang


bekerja atau pengusaha suatu harta supaya dia mengelola dalam bisnisdan keuntungan
dibagi diantara mereka berdua mengikuti syarat yang merekasepakati.
Dalam rangka untuk menghindari praktik riba, maka implementasimudharabah
pada takaful keluarga (asuransi jiwa) dapat diihat misalnya pada perhitungan rate premi.
Cara perhitungan dengan asumsi bunga tetap digantidengan skim mudharabah (bagi
hasil), demikian juga dalam skim-skiminvestasi dan perhitungan surplus underwriting.
Penentuan hak atas dana hasilinvestasi produk saving dan hak atas dana dari produk non
saving semuanyabebas dari bunga dan sebagai gantinya digunakan instrumen
mudharabah.Dengan demikian, takaful keluarga dalam sistem dan operasionalnya
bersihdari praktek riba.
Keistimewaan system mudharabah adalah karena adanya peran ganda mudharib,
yaitu sebagai wakil sekaligus sebagai mitra. Mudharib adalahwakil pemilik dana dari
setiap transaksi yang ia lakukan dan ia juga menjadimitra pemilik dana ketika ada
keutungan.
Nisbah Mudharabah dalam asuransi syariah merupakan jumlah yang didapat
sebagai kelebihan modal, syarat-syarat nisbah adalah:
a. Keuntungan harus dibagi kedua belah pihak
b. Proporsi keuntungan harus diketahui kedua belah pihak pada
waktumengadakan akad, misalnya 70:30 atau 60:40.
c. Nisbah dapat ditinjau dari waktu ke waktu.
d. Kedua belah pihak harus menyepakati biaya-biaya yang ditanggung
keduabelah pihak.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan mudharib dan shahibul mal

16
a. Nisbah diberikan secara proporsional dan tidak dapat diberikan sekaligusatau
dengan jumlah yang pasti kepada pemilik modal.
b. Shahibul mal tidak bertanggung jawab bila terjadi kerugian di luar modalyang
telah diberikan.
c. Mudharib tidak turut menanggung kerugian, kecuali kerugian waktu dan
tenaga.

Mekanisme akad mudharabah bermula dari seorang participant(peserta)


memberikan kontribusinya berupa premi kepada perusahaan asuransidan dimasukkan ke
dalam rekening khusus yaitu takfaul account untuk kemudian dana tersebut
diinvestasikan melalui lembaga investasi syariah,hasil investasi ini akan dimasukkan ke
dalam takaful account yang digunakandan apabila terdapat surplus setelah dikurangi
dengan reasuransi, pembayaranklaim, dan operational maka surplus tersebut akan
dibagikan kepada pesertadan perushaan dengan menggunakan nisbah bagi hasil yang
telah ditentukandan apabila takaful account mengalami deficit maka akan dilakukan
qardhasan oleh perusahaan dengan mengambil dana cadangan dari rekeningperusahaan,
sedangkan pembayaran kalim seorang participant diambilkan dari takaful account.

Modal yang dimasksud dalam asuransi syariah adalah premi daripeserta yang
dibayarkan kepada perusahaan dimana perusahaan, sebagaipemegang amanah terhadap
modal yang diterimanya dari shahibul mal, akan mengelola atau menginvestasikan sesuai
dengan ketentuan syariah sebagaimana telah ditentukan dalam Kep. DJLK No. Kep.
4499/LK/2000 tentangJenis, Penilaian, dan pembatasan Investasi Perusahaan dan
PerusahaanReasuransi dengan Prinsip Syariah, terhadap hasil investasi ini
apabilamengalami keuntungan akan dibagikan kepada peserta dan perusahaan
sesuaidengan nisbah yang telah disepkati di awal.

Contoh nisbah bagi hasil yang berlaku pada PT. Takaful Indonesia adalah:

a. Produk untuk program pendidikan sebesar 70 : 30 yaitu 70% untuk pesertadan


30% untuk perusahaa
b. Produk untuk program investasi sebesar 40 : 60 yaitu 40% untuk pesertadan
60 % untuk perusahaan.

17
c. Produk untuk program kesehatan sebesar 60 : 40 yaitu 60% untuk pesertadan
40 % untuk perusahaan.
d. Produk untuk program unit link (takafuling alia) tidak ada nisbah bagihasil,
karena seluruh keuntungan maupun kerugian sebesar 100% untukpeserta, dan
tidak ada bagi hasil investasi karena dalam pengelolaandananya menggunakan
akad wakalah bil ujrah

I. Akad- akad Tijarah lainnya Dalam Praktek asuransi Syariah

1. Akad Wakalah bil Ujrah


Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa
kepada Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk mengelola Dana Tabarru' dan/
atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan dengan
imbalan berupa ujrah (fee). (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha
Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah). Akad Wakalah bil
Ujrah diperbolehkan dalam praktek asuransi syariah yang dilakukan antara
perusahaan asuransi syariah dan peserta dimana posisi perusahaan asuransi
syariah sebagai pengelola dan mendapatkan fee karena telah mendapatkan kuasa
dari peserta.
Menurut fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 52/DSNMUI/III/2006
Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syari‟ah Dan Reasuransi
Syari‟ah, objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. Investasi
Akad Wakalah bil Ujrah wajib memuat sekurang-kurangnya :

18
a. Objek yang dikuasakan pengelolaannya
b. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu
sebagai mutoakkil (pemberi kuasa)
c. Hak dan kewajiban perusahaan sebagai toakil (penerima kuasa) termasuk
kewajiban perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi
dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan nvestasi
yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau
wanprestasi yang dilakukan perusahaan
d. Batasan kuasa atau wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
e. Besaran, cam, dan waktu pemotongan ujrah (fee)
f. Ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan
Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).

Kedudukan dan ketentuan para pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah:

a. Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang


mendapat kuasa) untuk mengelola dana
b. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving
dan tabarru‟, bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk
mengelola dana
c. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru‟
bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola
dana
d. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemberi kuasa)
e. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan
tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko
terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah
diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
f. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh
bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah

19
akad Wakalah (Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No:
52/DSNMUI/III/2006Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada
Asuransi Syari‟ah Dan Reasuransi Syari‟ah). Pengelolaan investasi
dana Tabarru' atau dana Investasi peserta dengan Akad Wakalah
bil Ujrah, perusahaan sebagai pengelola tidak berhak mendapatkan
bagian dari hasil investasi tetapi hanya mendapatkan fee.
2. Akad Mudharabah
Akad Mudharabah adalah Akad tijarah yang memberikan kuasa kepada
perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi dana tobarru' clan/atau
dana investasi peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan
imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati sebelumnya.
Akad Mudharabah wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu
sebagai shnhibul mal (pemilik dana)
b. hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudharib (pengelola
dana)termasuk kewajiban perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian
yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan
perusahaan
c. batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
d. bagi hasil (nisbnh), cara, dan waktu pembagian hasil investasi
e. ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan
Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).

3. Akad Mudharabah Musytarakah


Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana
Tabarru' dan/ atau dana Investasi peserta, yang digabungkan dengan kekayaan
perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa
bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berclasarkan komposisi kekayaan

20
yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan
Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).
Di dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSNMUI/III/2006
Tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah menyebutkan
bahwa akad ini bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah karena
merupakan bagian dari mudharabah dan merupakan gabungan dari akad
Mudharabah dan Musytarakah. Akad Mudharabah Musytarakah merupakan akad
dimana modal perusahaan asuransi syariah dan nasabah digabungkan untuk
diinvestasikan dan posisi perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola.
Akad Mudharabah Musytarakah wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu
sebagai shahibul mal (pemilik dana)
b. hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana)termasuk
kewajiban perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam
kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang
disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan
c. batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan peserta dan kekayaan perusahaan
e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi
f. ketentuan lain yang disepakati ((Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha
Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).

J. Profil dan Etika Marketer Lembaga Keuangan Syariah

Etika atau ethics berasal dari bahasa Inggris yang mengandung banyak
pengertian. Dari segi etimologi, istilah etika berasal dari bahasa latin ethius (dalam
bahasa Yunani adalah ethicos) yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter.6
Pemasaran secara etimologi adalah proses, cara, perbuatan memasarkan suatu
barang dagangannya. Sedangkan menurut terminology pemasaran adalah kebutuhan,

6
Faisal Badroen dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta;Kencana.2007) hal 4

21
keinginan dan permintaan (need, wants and demans), produk, nilai, kepuasan dan mutu
(product, value, satisfaction andquality), pertukaran, transaksi dan hubungan (exchange,
transaction and realationship) dan pasar (market). Pemasaran merupakan salah satu dari
kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pedagang dalam usahanya mempertahankan
kelangsungan hidup usahanya. Berhasil tidaknya pemasaran dalam mencapai tujuan
bisnis tergantung pada keahlian mereka dibidang pemasaran, produksi, keuangan,
maupun bidang lainnya. Seperti yang dirumuskan para ahli pemasaran sebagai berikut,
pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan
untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang
dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik pembeli yang ada maupun pembeli potensial.
Dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam
Alquran adalah Khuluq. Al-Quran juga menggunakan sejumlah istilah lain untuk
menggambarkan konsep tentang kebaikan : Khair (kebaikan), birr (kebenaran), qist
(persamaan), „adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan), ma‟ruf
(mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan). Tindakan terpuji disebut dengan
salihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyiat. Dalam khazanah pemikiran
islam, etika dipahami sebagai akhlak atau adab yang bertujuan untuk mendidik moralitas
manusia.
Etika terdapat dalam materi-materi kandungan ayat-ayat Al-Quran yang sangat
luas, dan dikembangkan dalam pengaruh filsafat yunani hingga sufi. Ahmad Amin
memberi batasan, bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan makna baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia kepada orang lain,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Etika merupakan jiwa
ekonomi islam yang membangkitkan kehidupan dalam setiap peraturan dan syariat. Oleh
sebab itu, etika atau akhlak adalah hakikat-hakikat yang menempati ruang luas dan
mendalam pada akal, hati nurani, dan perasaan seorang muslim.

22
K. Sistem Penjualan Pada Asuransi Syariah

Perusahaan Asuransi Syariah seringkali bertindak sebagai agen atau perantara


dari pemilik perusahaan dari pada memiliki secara langsung saham perusahaan. Secara
teoritis para agen memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melakukan kebijakan
perusahaan yang dimilikinya melalui pendekatan atau kunjungan terhadap nasabah dan
memberikan servis supaya nasabah merasa puas dan merasa aman dengan pelayanan
yang ramah tersebut. Menjadi kepercayaan umum bahwa peran agen harus memiliki
kemampuan untuk secara aktif memantau kinerja perusahaan yang dimiliki oleh
nasabahnya.
Sebagai seorang agen juga harus menguasai pasar dan produk yang dimiliki oleh
perusahaan, langkah yang harus dipersiapkan oleh agen antara lain:
1. Melakukan survey ke masyarakat kira-kira asuransi apa yang dibutuhkan saat
ini dan melakukan sosialisasi pentingnya asuransi bagi masyarakat.
2. Melakukan perluasan pasar dengan melihat segmentasi pasar.
3. Agen harus mempunyai planning setiap harinya dan tempat yang akan
dikunjungi.
4. Agen harus mempunyai data lengkap dan valid tentang nasabah.
5. Mendalami produk lebih baik lagi dan menguasai cara-cara prospekting yang
baik sampai terjadinya closing.
6. Harus mempunyai tujuan agen datang bukan hanya ingin menawarkan produk
asuransi tetapi tujuan yang paling utama adalah cuma sekedar silaturrahmi
dengan berbicara yang baik dan ramah, tidak ada unsur memaksa dalam
memasarkan produk asuransi tersebut.
7. Bagi agen leader, lebih membina agen dibawahnya dan membekali
pengetahuan yang cukup dalam hal selling skil. Dengan cara diatas apabila
agen melakukannya dengan baik maka tidak mungkin tidak ada yang
berasuransi, misalnya dari 100 rumah yang didatangi akan ada yang
berasuransi meskipun cuma 20 nasabah atau lebih, Semua tergantung dari
usaha agen yang menjalankannya.

23
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam konsep ekonomi islam konsep mudharabah (bagi hasil) merupakan salah
satu unsur utama yang menjadi landasan atau rujukan dalam ekonomi berprinsip syariah
islam. Mudharabah (bagi hasil) adalah yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal
dengan mudharib untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai
kesepakatan. Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk
nisbah. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung
oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika
kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
Pelaksanaan teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana
dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha laba dibagi atas atas dasar nisbah
bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian
ditanggung oleh pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct (pimpinan buruk),
negligence (kelalaian) atau violation(pelanggaran) oleh pengelola dana
Mudharabah dalam fiqh adalah seseorang menyerahkan modal kepada
pengusaha/pekerja untuk di usahakan dengan syarat keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan dalam kontrak. Adapun kerugian sepenuhnya
ditanggung pemilik pemodal. Mudharib (pengusaha) dalam hal ini akan memberikan
kontribusi pekerjaan, waktu, fikiran dan tenaga dalam mengelola usaha sesuai ketentuan
yang dicapai dalam kontrak, yaitu untuk mendapatkan keuntungan usaha yang akan
dibagi berdasarkan kesepakatan.
Mudharabah adalah pemilik harta memberikan kepada mudharib orangyang
bekerja atau pengusaha suatu harta supaya dia mengelola dalam bisnisdan keuntungan
dibagi diantara mereka berdua mengikuti syarat yang merekasepakati.
Dalam rangka untuk menghindari praktik riba, maka implementasi mudharabah
pada takaful keluarga (asuransi jiwa) dapat diihat misalnya pada perhitungan rate premi.
Cara perhitungan dengan asumsi bunga tetap diganti dengan skim mudharabah (bagi

24
hasil), demikian juga dalam skim-skiminvestasi dan perhitungan surplus underwriting.
Penentuan hak atas dana hasilinvestasi produk saving dan hak atas dana dari produk non
saving semuanyabebas dari bunga dan sebagai gantinya digunakan instrumen
mudharabah.Dengan demikian, takaful keluarga dalam sistem dan operasionalnya
bersihdari praktek riba. Selanjutnya etika dalam marketer, etika terdapat dalam materi-
materi kandungan ayat-ayat Al-Quran yang sangat luas, dan dikembangkan dalam
pengaruh filsafat yunani hingga sufi. Ahmad Amin memberi batasan, bahwa etika atau
akhlak adalah ilmu yang menjelaskan makna baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan manusia kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
harus diperbuat. Etika merupakan jiwa ekonomi islam yang membangkitkan kehidupan
dalam setiap peraturan dan syariat. Oleh sebab itu, etika atau akhlak adalah hakikat-
hakikat yang menempati ruang luas dan mendalam pada akal, hati nurani, dan perasaan
seorang muslim.
Perusahaan Asuransi Syariah seringkali bertindak sebagai agen atau perantara dari
pemilik perusahaan dari pada memiliki secara langsung saham perusahaan. Secara teoritis
para agen memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melakukan kebijakan
perusahaan yang dimilikinya melalui pendekatan atau kunjungan terhadap nasabah dan
memberikan servis supaya nasabah merasa puas dan merasa aman dengan pelayanan
yang ramah tersebut. Menjadi kepercayaan umum bahwa peran agen harus memiliki
kemampuan untuk secara aktif memantau kinerja perusahaan yang dimiliki oleh
nasabahnya.

B. SARAN

Demikianlah makalah ini kami buat semoga menambah wawasan kita semua baik
bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca dari pemapran materi yang telah disampaikan
penulis diatas, hendaklah menjadi pembeljaran bagi kita semua. Demikianlah makalah
yang kami sampaikan masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah
oleh karena itu kritik dan saran yang kami harapkan demikian kesempurnaan makalah
selanjutnya lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

25
DAFTAR PUSTAKA

Badroen, Faisal dkk.2007, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta;Kencana.)


Hasan,M. Ali. 2003, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,( Jakarta : PT Raja
GrafindoPersada)
Karim, Adiwarman A.2014, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT
RajaGrafino Persada)

Nawawi, Ismali. 2012, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian,
Ekonomi,Bisnis dan sosial), (Bogor : Ghalia Indonesia)

Syafei, Rachmat.2001, Fiqh Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia)


Suhendi, Hendi. 2010, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers)

Anda mungkin juga menyukai