MAKALAH
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan............................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Mudharabah............................................................................4
B. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh .................................................................4
C. Landasan Syariah Al-Mudharabah.................................................................5
D. Rukun dan Persyaratan Mudharabah .............................................................5
E. Keunggulan System Mudharabah ..................................................................8
F. Perbedaan System Mudharabah .....................................................................9
G. Ketentuan Bagi Hasil Dalam Mudharabah.....................................................10
H. Implementasi Mudharabah Pada Asuransi Syariah........................................13
I. Akad-Akad Tijarah Dalam Praktik Asuransi Syariah......................................18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................24
B. Saran...............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan
jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi tetapi
tujuan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam
adalah agama komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang
mengatur segala tingkah laku manusia, bahkan tidak ada satu sietem
kemasyarakatan, baik modern atau lama, yang menetapkan etika untuk manusia
dan megatur segala aspek kehidupan manusia sampai pada persoalan yang detail
selain Islam, termasuk dalam hal ini konsumsi.
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan
dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan
dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui
suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak
menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang
tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.
Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme
pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek
samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak
yang menguntungkan maupun yang merugikan. Dalam literatur asing, efek
samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities,
neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Mishan, 1990). Efek
samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external
effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external
diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif
bisa terjadi secara bersamaan dan simultan.
2
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari al-mudharabah?
2. Apa yang dimaksud dengan mudharabah dalam wacana fiqih?
3. Apa saja landasan syar’i al-mudharabah?
4. Apa saja rukun dan persyaratan mudharabah?
5. Apa saja keunggulan system mudharabah?
6. Apa saja perbedaan system mudharabah dengan riba?
7. Bagaimana ketentuan bagi hasil dalam mudharabah?
8. Bagaimana implementasi mudharabah pada asuransi syariah?
9. Apa saja akad-akad tijarah dalam praktik asuransi syariah?
3. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dari al-mudharabah
2. Menjelaskan yang dimaksud dengan mudharabah dalam wacana fiqih
3. Menjelaskan landasan syar’i al-mudharabah
4. Menjelaskan rukun dan persyaratan mudharabah
5. Menjelaskan keunggulan system mudharabah
6. Menjelaskan perbedaan system mudharabah dengan riba
7. Menjelaskan ketentuan bagi hasil dalam mudharabah
8. Menjelaskan implementasi mudharabah pada asuransi syariah
9. Menjelaskan akad-akad tijarah dalam praktik asuransi syariah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Mudharabah
Kata mudharabah diambil dari perkataan 'darb' usaha' di atas bumi. dikatakan
demikian karena ‘mudharib’ pengelola berhak untuk berbagi hasil atas tenaga dan
usahanya. Selain berhak atas keuntungan, dia juga berhak untuk menggunakan modal
dan berusaha menjalankannya dengan arah dan tujuan yang dikehendaki. Karena itu
mudharabah merupakan sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana
satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau Rabb al-mal), mempercayakan
sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu
aktivitas atau usaha.1 Dalam mudharabah pemilik modal tidak diberi peran dalam
manajemen perusahaan. Konsekuensinya mudharabah merupakan perjanjian PLS
(profit and loss sharing), di mana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu
bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.
1
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life And General): Konsep dan Sistem Operasional,
(Jakarta: GEMA INSANI Press, 2004), hlm. 329
2
Ibid., hlm.330
4
Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli
dalam ruang lingkup yang luas (perdagangan antar daerah) maupun antar pedagang
didaerah tersebut. Pengikut mazhab Hanafi memandang mudharabah sebagai suatu
bentuk koordinasi perdagangan. Mereka membolehkan untuk mencampur modal
investasi, berdasarkan ini para investor dapat mempercayakan sejumlah uangnya
kepada agen untuk dikelola dalam investasi mudharabah dengan melalui
penghitungan dalam bentuk pinjaman (loan), simpanan (deposit), dan Ibda'. Tujuan
dari koordinasi demikian dimungkinkan untuk memperluas variasi dalam menentukan
keuntungan dan resiko kerugian.
3
Ibid., hlm. 332
5
(1) Ada mudharib, (2)Pemilik dana, (3)Usaha yang akan dibagi hasilkan, (4)Nisbah,
(5)Ijab Kabul. Sementara itu Syafii Antonio mengatakan bahwa rukun mudharabah
adalah (1)Shohibul maal atau pemodal, (2Ppengelola atau mudharib, (3)Modal atau
maal, (4)Nisbah keuntungan, (5)Sighat (aqd).4
4
Ibid., hlm. 333
6
3. Modal (maal). Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana
kepada pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas
mudharabah. Untuk itu modal harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang)
b. Modal harus tunai. Namun beberapa ulama membolehkan modal mudharabah
berbentuk aset perdagangan. Misalnya inventory. Pada waktu akad, nilai aset
tersebut serta biaya yang telah terkandung di dalamnya (historical cost) harus
dianggap sebagai modal mudharabah.
4. Nisbah (keuntungan). Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan
dari modal. Keuntungan adalah tujuan akhir mudharabah. Namun keuntungan itu
terikat oleh syarat berikut:
a. Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak
diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak
yang lain
b. Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu
berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya, 60% dari
keuntungan untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola
c. Kalau jangka waktu akad mudharabah relatif lama, 3 tahun keatas, maka
nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu
d. kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang
ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola.
Kesepakatan ini penting karena biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.
Hal lain yang diatur dalam konsep mudharabah adalah pembagian keuntungan
dan pertanggungjawaban kerugian.
1. Kerugian merupakan bagian modal yang hilang, karena kerugian akan dibagi ke
dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan di tanggung oleh para
pemilik modal tersebut. hal ini menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari
penyedia modal yang dapat menghindar dari tanggung jawabnya terhadap
kerugian pada seluruh bagian modelnya. Dan bagi pihak yang tidak
7
menanamkan modalnya tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian apa
pun.
2. Keuntungan akan dibagi di antara para mitra usaha dengan bagian yang telah
ditentukan oleh mereka. pembagian keuntungan tersebut bagi setiap mitra usaha
harus ditentukan sesuai bagian tertentu atau prosentase. Tidak ada jumlah pasti
yang dapat ditentukan bagi pihak manapun
3. Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung terus, akan menjadi baik melalui
keuntungan sampai usaha tersebut menjadi seimbang dan akhirnya jumlah
nilainya dapat ditentukan. Pada saat penentuan nilai tersebut, modal awal
disisihkan terlebih dahulu. Setelah itu jumlah yang tersisa akan dianggap
keuntungan atau kerugian
4. Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta
bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali
investasi mereka. Juga apabila sebagai pemilik modal yang sebenarnya atau
suatu transfer yang sah sebagai hadiah mereka.
5
Ibid., hlm. 337
8
2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara
tetap. Tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha Bank, sehingga bank
tidak akan pernah mengalami negative sprea.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank maupun asuransi akan lebih selektif dan prudent ' hati-hati' mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang
konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di
mana bang akan menagih penerima pembiayaan atau nasabah 1 jumlah bunga
tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi
krisis ekonomi.
6
Ibid., hlm. 338
9
A.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad A.Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi
dengan asumsi harus selalu untung hasil dibuat pada waktu akad dengan
B.Besarnya persentase berdasarkan pada berpedoman pada kemungkinan untung
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan rugi
C.Pembayaran bunga tetap seperti yang B.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
dijanjikan tanpa pertimbangan pkah proyek pada jumlah keuntungan yang diperoleh
yang dijalankan oleh nasabah untung atau C.Bagi hasil tegantung pada keuntungan
rugi proyek yang dijalankan. Bila usaha
D.Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat merugi, kerugian akan ditanggung
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau bersama oleh kedua pihak
keadaan ekonomi sedang booming D.Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
E. Eksistensi bunga diragukan(kalau tidak dengan peningkatan jumlah pendapatan
dikecam) oleh semua agama termasuk E. Tidak ada yang meragukan ke absahan
Islam. hasil
Berapa perbedaan lainnya antara mudharabah atau bagi hasil dengan bank
konvensional dapat dilihat sebagai berikut:
1. Prinsip bermitra atau bagi hasil tidak ada di bank konvensional
2. Bank konvensional menyalurkan berbagai kredit yang seluruhnya berbasis bunga
3. Bank konvensional menetapkan return tetap, misalnya 18% per tahun dari plafon
kredit sedangkan return nasabah bisa di atas atau di bawah 18%.
10
model tersebut sesuai dengan bentuk bisnis yang dijalankan, masa usahanya dan
tempat mudarat menjalankan aktivitas bisnisnya.
2. Manajemen, Mudharib mulai mengelola kontrak mudharabah sejak menerima
modal untuk aktivitas usahanya. Mudharib memiliki kebebasan dalam mengelola
usahanya dan semua keputusan yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Kontrak
mudharabah yang tidak terlarang adalah kontrak di mana pihak mudharib diberi
kebebasan yang luas dalam mengelola usahanya serta menentukan keputusan
yang menurutnya dianggap paling tepat. Mudharib juga di bolehkan mencampur
model kontrak mudharabah dengan barang miliknya sendiri. Dia diperbolehkan
membelanjakan model tersebut ke dalam kepentingan lapangan usaha yang
dianggapnya tepat. Adapun mengenai kontrak mudharabah yang terlarang adalah
bahwa mudharib bebas menjalankan usahanya sebatas sesuai dengan praktek
yang umumnya berlaku dalam perdagangan. campur tangan investor dalam
mengelola kontrak mudharabah akan menghalangi efektivitas kerja dan hal
tersebut harus dihindari.
3. Masa berlakunya kontrak, Kontrak mudharabah dapat diakhiri oleh salah satu
pihak dengan jalan memberi tahu pihak lain atas keputusan tersebut. Hal ini
mungkin terjadi karena mayoritas Ulama menyatakan bahwa mudharabah
bukanlah bentuk kontrak yang mengikat. Imam Syafi'i dan Abu Hanifah
berpendapat bahwa kontrak mudharabah dapat diakhiri kapan saja sekalipun
mudharib sudah mulai menjalankan usahanya. Meskipun demikian, Ulama lain
seperti Imam Malik, tidak memperkenankan mengakhiri kontrak sebagaimana
kasus di atas. Menurutnya, kalau itu dilakukan maka akan mendapatkan
keuntungan dari hasil kerjanya sendiri, tidak dari yang lain. Jika demikian, maka
namanya bukan kontrak mudharabah tetapi kontrak kerja atau ijarah. apabila
berdasarkan kontrak kerja maka semua keuntungan yang diperoleh akan menjadi
miliknya sebagai kompensasi hasil dari pekerjaannya.
4. Jaminan (Quarantee), Investor tidak dapat menjamin dari pihak mudharib untuk
memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta keuntungan
(profit). Karena dalam kontrak mudharabah, hubungan antara investor dan
11
mudharib terikat dalam satu gadaian yang saling mempercayakan. Pihak investor
melalui modalnya dan pihak mudharib melalui mengelola usahanya. Sehingga
ada jaminan (garansi) akan menjadikan kontrak tidak sah.
5. Ketentuan Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing), Pihak investor menanggung
risiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib
menanggung risiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil pekerjaan dan
usaha yang dijalankan. Dengan catatan, apabila kerja sama tersebut tidak
menghasilkan keuntungan. Kontrak mudharabah menetapkan tingkat keuntungan
(profit) bagi tiap-tiap pihak. Pembagian keuntungan dilakukan melalui tingkat
perbandingan rasio, bukan ditetapkan dalam jumlah yang pasti. Menentukan
jumlah keuntungan secara pasti kepada pihak yang terlibat dalam kontrak akan
menjadikan kontrak tersebut tidak berlaku.7
7
Ibid., hlm. 341
12
H. Implementasi Mudharabah pada Asuransi Syariah
1. Implementasi al-Mudharabah pada Asuransi Jiwa (Life Insurance)
8
Ibid., hlm. 345
13
Ada 10 peserta Hasil investigasi setara dengan
Premi per peserta 1 jt 10%
Jumlah premi = 10 jt Biaya reas=1,5 jt
Loading/biaya= 30% Biaya klaim==2 jt
Bagi hasil 40% (peserta): 60%
(perusahaan)
14
Ada 1000 peserta Tabarru’ = 5%
Premi per peserta 1 jt Hasil investasi setara = 10%
Biaya = 35% Bagi hasil 40% (perusahaan):
60%(peserta)
15
Dengan akad mudharabah berarti surplus underwriting dari hasil operasi
perusahaan dibagi di antara operator dengan peserta atau partisipan
Dasar perhitungan mudharabah dihitung dengan menggunakan rata-rata
tertimbang surplus underwriting yang diperoleh
b. Ketentuan Mudharabah
Perhitungan mudharabah harus didasarkan kepada kinerja yang sebenarnya
dari Takaful fund (perusahaan asuransi tersebut)
Pembayaran mudharabah tidak di-offset langsung dengan premi renewel
kecuali atas permintaan peserta
Mudharabah tidak dapat dibayarkan di muka
c. Persyaratan Pembayaran Mudharabah
Polis telah jatuh tempo
Premi (takaful kontribusi) telah dibayar penuh
Tidak ada pembayaran klaim selama periode covered
d. Formula Perhitungan Mudharabah
Periode takaful
Takaful kontribusi
Tanggal pembayaran
Rate mudharabah
e. Tata Cara Perhitungan Mudharabah
Besarnya mudharabah yang dihitung diperoleh dengan cara rata-rata
tertimbang dari surplus underwriting.
Rasio mudharabah diperoleh dengan membagi rata-rata tertimbang
mudharabah yang akan dibagikan dengan premi bruto rata-rata dan
dibulatkan ke atas
f. Tata Cara Pembayaran Mudharabah
Cadangan mudharabah dibagikan kepada peserta yang selesai
pertanggungannya dengan menggunakan rate atas premi yang disetor
peserta.
16
Peserta yang menerima mudharabah adalah peserta yang tidak
mendapatkan manfaat klaim.
Peserta yang melakukan keterlambatan pelunasan diberikan mudharabah
secara proporsional.
Peserta yang telah jatuh tempo polisnya dikirimi surat konfirmasi untuk
menentukan pembayaran mudharabahnya.
Pengiriman surat konfirmasi mudharabah bersamaan dengan pengiriman
surat konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer care.
Konfirmasi mudharabah dari nasabah segera diserahkan ke divisi keuangan
untuk segera dibayarkan
g. Sistem Pembayaran Mudharabah
Transfer melalui bank.
Cek atas nama tertanggung.
Cash (tunai).
Transfer ke rekening koperasi peserta.
Disumbangkan ke lembaga zakat.
17
Rate mudharabah 10%
Mudharabah:
10% x 335/365 x Rp 3.000.000 = Rp 275.000
1. Pengertian al-Wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-
tafwidh. Contoh kalimat "aku serahkan urusanku kepada Allah" mewakili
pengertian istilah tersebut. Pengertian yang sama dengan menggunakan kata
al-hifzhu, disebut dalam firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 173,
“Hasbunallah wani’ mal wakil (cukuplah Allah sebagai penolong kami dan
Dia sebaik-baik pemelihara).”
9
Ibid., hlm. 350
18
Jadi, wakalah merupakan pelimpahan, pendelegasian wewenang atau
kuasa dari pihak pertama kepada pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu
atas nama pihak pertama dan untuk kepentingan dan tanggung jawab
sepenuhnya oleh pihak pertama. Dalam hal ini, pihak kedua hanya
melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh
pihak pertama. Namun, apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan
yang disyaratkan, maka semua risiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakannya perintah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak
pertama atau pemberi kuasa.
a. Landasan Syariah
a) Al-Qur'an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman
Allah berkenaan dengan kisah Ashabul Kahfi.
“Demikian Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka, Sudah berapa
lamakah kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita sudah berada
(disini Satu atau Setengah hari. Berkata (yang lain lagi), Tuhan kamu
lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka, suruhlah
salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,
dan hendakah ia membawa makanan itu untukmu. Hendaklah ia berkata
lemah lembut, dan janganlah Sekali-kali menceritakan halmu kepada
seseorang pun.” (al-Kahfi: 10)
b) Al Hadits
Beberapa hadits berikut yang dapat dijadikan landasan tentang
keabsahan dari wakalah, “Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi dan
seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan)
Maimunah.” (HR Malik dalam al-Muwaththa)
c) Ijma
19
Para ulama bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan
alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta'awun atau tolong-menolong
atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-
Qur'an dan disunnahkan oleh Rasulullah.
Allah berfirman, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakani
kebajikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam
(mengerjakan) dosa dan per musuhan.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah bersabda, “Allah menolong hamba selama hamba itu
menolong saudaranya.” (HRMuslim)
2. Pengertian al-Wadi'ah
Al-wadiah dapat diartikan dengan meninggalkan atau meletakkan,
yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Sedangkan menurut istilah, al-wad’ah adalah memberikan kemasaan kepada
orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara tering-terangan
atau isyarat yang semakna dengan itu.
20
Nasrun Haroen mengatakan bahwa secara etimologi, kata al-wadi'ah
berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk
dipelihara. Secara terminologi, ada dua definisi al-wadi'ah yang dikemukakan
pakar fiqih. Pertama; definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah.
Menurut mereka, al-wadi'ah adalah, “Mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat.”
b) Al-Hadits
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan jangnalah
kamu mengkhianati terhadap orang yang telah mengkhianatimu.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Hakim). Berdasarkan hadits
iniulama fiqih sepakat mengatakan bahwa akad wadiah ‘titipan’
hukumnya boleh dan disunnahkan, dalam rangka saling menolong
antara sesama manusia.
21
merupakan akad yang tepat baik bagi sisi nasabah (sholibul maal) maupun
perusahaan asuransi (pengelola).
3. Pengertian Musyarakah
Musyarakah ialah perjanjian (akad) antara dua pihak atau lebih dalam
suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak akan memberikan kontribusi
dengan kesepakatan kalau terdapat keuntungan atau kerugian masing-masing
pihak mendapat margin dan menanggung risiko.
Filosofi transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak
yang ingin bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki
secara bersama-sama Yakni, semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak
atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh sumber
daya baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
a. Landasan syariah
a) Al-Quran
Allah berfirman, “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
bersyarikat itu sebagian mereka ber uat zalim kepada sebagian lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh.”(Shaad: 24)
b) Al-Hadits
“Allah akan ikut membantu doa untuk orang berserikat, Selma diantara
mereka tidak saling mengkhianati.” (HR. Bukhari)
22
dibutuhkan tidak hanya dari satu pihak tetapi kedua pihak, sehingga
pengelola juga sama terikat dengan perjanjian tadi dan dalam ganti-rugi
dan keuntungan.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mudharabah merupakan sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak
dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau Rabb al-mal),
mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk
menjalankan suatu aktivitas atau usaha.
Dalam mudharabah pemilik modal tidak diberi peran dalam manajemen
perusahaan. Konsekuensinya mudharabah merupakan perjanjian PLS (profit and
loss sharing), di mana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian
tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.
Mudharabah tidak merujuk langsung kepada al-quran dan Sunnah. Tetapi
berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang dipraktikkan oleh kaum muslimin, dan
bentuk kerjasama perdagangan model ini tampak berlangsung terus di sepanjang
masa.
B. Saran
Dalam penulisan ini tentunya masih banyak sekali kekurangan dan
kelemahan, dikarenakan dengan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
dikesempatan-kesempatan berikut semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khusunya juga para pembaca.
24
DAFTAR PUSTAKA
Sula, Muhammad Syakir 2004. Asuransi Syariah (Life And General): Konsep dan
Sistem Operasional. Jakarta: GEMA INSANI Press
25