Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AKUNTANSI SYARIAH

“KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN, MEMPEROLEH DAN


MENGGUNAKAN HARTA DALAM SYARIAH, AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI,
TRANSAKSI YANG DILARANG, RIBA DAN JENIS RIBA, PRINSIP SISTEM
KEUANGAN SYARIAH, JENIS INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH”

DOSEN PENGAMPU :

Dr. WIRMIE EKA PUTRA, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS.

DI SUSUN OLEH :

FATMAWATI

C1C020088

R-010 AKUNTANSI

PRODI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JAMBI

2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “KONSEP
MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN, MEMPEROLEH DAN MENGGUNAKAN
HARTA DALAM SYARIAH, AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI, TRANSAKSI YANG
DILARANG, RIBA DAN JENIS RIBA, PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH,
JENIS INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH”. Penulis telah berusaha semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin dan sebenar benarnya.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan baik materi pembahasan maupun
penganalisaan . Semua hal ini di karenakan keterbatasan pengalaman dan juga kemampuan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya penulis sebagai mahasiswa. Dan penulis
juga mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak terutama yang bersifat membangun
guna terciptanya kesempurnaan dari makalah ini . Dan bila di dalamnya ada kesalahan dan
kekurangan mohon di maklumi dan dimaafkan. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Jambi, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2

1.3 Tujuan Masalah.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1 Konsep Memelihara Harta Kekayaan.............................................................3

2.2 Perolehan Dan Menggunakan Harta Dalam Syariah.....................................3

2.2.1 Perolehan Harta Dalam Syariah..........................................................3

2.2.2 Penggunaan Harta Dalam Syariah......................................................5

2.3 Akad/ Kontrak/ Transaksi................................................................................7

2.4 Riba dan Jenis Riba...........................................................................................8

2.4.1 Riba.........................................................................................................8

2.4.2 Jenis Riba...............................................................................................10

2.5 Prinsip Sistem Keuangan Syariah....................................................................10

2.6 Instrumen Keuangan Syariah...........................................................................11

BAB III PENUTUP...........................................................................................................15

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ajaran Islam tentang perekonomian, akan senantiasa menarik untuk dibahas.


Dalam kehidupan sehari-hari, ekonomi merupakan roda kehidupan sebagai wadah
untuk memenuhi kebutuhan materiil manusia, baik dalam kehidupan individu,
maupun sosial. Islam menuntun umatnya untuk menganut dan mengamalkan
ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh/komprehensif) dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebagai seorang muslim yang taat beribadah, tentulah berbagai kegiatan bisnis atau
usahanya dilandasi oleh transaksi keuangan Islami.

Pada umumnya perkembangan teori keuangan banyak didasarkan pada pengamatan


terhadap fenomena yang dihadapi oleh pasar keuangan dan perusahan. Hal ini
tidak berarti bahwa konsep dan teori keuangan tersebut tidak dapat diterapkan pada
lembaga individu maupun pemerintah. Penerapan teori keuangan dalam lingkup
perusahaan sering diset dengan keuangan perusahaan atau juga dikenal dengan
manajemen keuangan. Dengan demikian jika perusahaan tersebut beroperasi dengan
prinsip-prinsip syariah, maka akan muncul konsep keuangan syariah. Keuangan
perusahaan syariah atau menajemen keuangan syariah dilakukan untuk
mewujudkan atau memilih keputusan keuangan yang tepat bagi individu maupun
perusahaan.

Aktivitas suatu perusahaan sangat ditunjang oleh modal atau dana yang dimiliki
oleh para pendirinya. Dana tersebut digunakan untuk membelanjai aktivitas-
aktivitasnya. Dalam hubungan ini, maka perusahaan akan menghadapi penentuan
metode yang tepat untuk menggunakan dana secara optimal. Dana perusahaan
dapat diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya dari pendiri, pasar uang, maupun
pasar modal. Dalam kaitannya dengan manajemen keuangan, teori umumnya
selalu berbicara mengenai, cara perusahaan mendapatkan dana dari pasar modal.

Kegiatan dalam manajemen keuangan mencakup kegiatan perencanaan


keuangan, analisis keuanga dan pengendalian keuangan. Orang melaksanakan kegiatan
manajemen keuangan disebut sebagai manajer keuangan. Seorang manajer keuangan

1
dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai securitiesand
invesment analysis(analisis bisnis, investasi dan surat-surat berharga).

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep memelihara harta kekayaan?


2. Bagaimana memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah?
3. Apa yang dimaksud dengan akad/kontrak/transaksi?
4. Apa yang dimaksud dengan riba dan jenis riba?
5. Bagaimana prinsip sistem keuangan syariah?
6. Apa saja jenis instrumen keuangan syariah?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep memelihara harta kekayaan


2. Untuk mengetahui bagaimana memperoleh dan menggunakan harta dalam syariah
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akad/kontrak/transaksi
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan riba dan jenis riba
5. Untuk mengetahui bagaimana prinsip sistem keuangan syariah
6. Untuk mengetahui apa saja jenis instrumen keuangan syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Memelihara Harta Kekayaan

Sistem keuangan syariah terkait erat dengan harta kekayaan, akad transaksi serta
transaksi diperbolehkan dan dilarang syariah. Menjaga harta, bertujuan agar harta yang
dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang
dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik dari harta kekayaan tersebut, yaitu
Allah Swt.

Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria yaitu, diperoleh dengan cara yang sah
dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik di
jalan Allah SWT. Allah adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini (QS.
Al-Hadid: 2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah) Allah Swt di muka bumi ini
yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.

Sudah seharusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta
titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan dari pemilik mutlak atas harta kekayaan
yaitu, Allah Swt Untuk itu, Allah telah menetapkan ketentuan syariah sebagai pedoman
bagi manusia dalam memperoleh dan membelanjakan/menggunakan harta kekayaan
tersebut, dan di hari akhir nanti mahusia akan diminta pertanggungjawabannya.

Jadi, menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada
kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, bukan kepemilikan secara
mutlak. Saat ia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada
ahli warisnya sesuai ketentuan syariah.

2.2 Perolehan Dan Menggunakan Harta Dalam Syariah

2.2.1 Perolehan Harta Dalam Syariah

Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah
muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fikih dari muamalah
adalah, semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang diharamkan/dilarang dalam Alquran
dan sunah. Kaidah fikih ini berlandaskan pada firman Allah dan hadis berikut ini.

3
"Dialah (Allah) yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu "(QS. Al-
Baqarah:29)

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya Sungguh, dalam hal yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berfikir” (QS. Al-Jasiyah: 13)

“yang halal ialah apa yang dihalalkan Allah di dalam kitabNya, dan yang haram
ialah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya; sedang apa yang didiamkan oleh
Nya berarti dimaafkan (diperkenankan) untukmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah)

Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dasar muamalah
adalah boleh, karena tidak mungkin Allah menciptakan segala sesuatu dan
menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu diharamkan atau dilarang. Oleh
karena itu, ruang lingkup (bidang) yang dihalalkan jauh lebih luas dari yang dilarang.
Secara pasti, hal yang dilarang pada hakikatnya adalah untuk kebaikan umat manusia itu
sendiri.

Harta dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara atau
sarana untuk memperolehnya juga benar sesuai dengan rambu-rambu yang telah
ditetapkan dalam Alquran dan sunah. Misalnya, uang untuk mendirikan rumah yatim piatu
yang diperoleh dari mencuri adalah harta haram. Walaupun tujuannya benar, yaitu untuk
membantu yatim piatu, namun cara memperolehnya salah (haram), sehingga tidak
diperbolehkan oleh syariah. Contoh lain adalah membeli (menadah) barang curian.
Transaksi jual beli yang dilakukan adalah halal. Namun, karena objeknya tidak halal maka
transaksi ini pun tidak dibolehkan oleh syariah. Jadi walaupun harta digunakan untuk
kebaikan, namun diperoleh dengan cara yang tidak baik maka, tetap tidak bernilai di sisi
Allah.

“Barang siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia menyedekahkannya,
maka dia tidak mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan dosa.” (HR. Tluzaimah
dan Ibnu Hiban disahkan oleh Imam Hakim)

Islam tidak memisahkan ekonomi dengan agama, sehingga manusia tetap harus
merujuk kepada ketentuan syariah dalam beraktivitas ekonomi, termasuk dalam

4
memperoleh harta kekayaan. Konsekuensinya, manusia dalam bekerja, berbisnis, ataupun
berinvestasi dalam rangka mencari rezeki (harta) harus memilih bidang yang halal
walaupun dari sudut pandang (ukuran) keduniaan memberikan keuntungan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan bidang yang haram.

“Katakanlah (Muhammad), “Tidak sama yang buruk dan yang baik meskipun
banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai
orang-orang yang mernpunyai akal sehat, agar kamu beruntung.” (QS. AI-Maidah:
100).

Perhitungan untung atau rugi harus berorientasi jangka panjang, yaitu


mempertimbangkan perhitungan untuk kepentingan akhirat karena, kehidupan di dunia
hanya sementara dan kehidupan yang kekal adalah kehidupan akhirat. Kita akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua yang telah dilakukan pada hari di mana tidak seorang pun
atau apa pun juga dapat menolong kita.

“Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah, lalu diberitakan-Nya kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua amal
perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu. ” (QS, AI-Mujadilah: 6).

2.2.2 Penggunaan Harta Dalam Syariah

Islam mengatur setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral,
sebagaimana firman Allah berikut ini.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77)

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam penggunaan harta, manusia
tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain juga harus cerdas
dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.

Ketentuan syariah yang berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain:

1 Tidak boros dan tidak kikir (dalam batas kewajaran).

5
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A'raf: 31).
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula)
engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Isra': 29).
Di sini kita dapat melihat bahwa Allah Swt. sebagai Sang Pencipta mengajarkan kepada
kita suatu konsep hidup “pertengahan” yang luar biasa. Dengan kata lain untuk hidup
dalam batas-batas kewajaran (tidak boros/berlebih-lebihan dan tidak kikir).
2 Memberi infak dan sedekah.
Membelanjakan harta dengan tujuan untuk mencari rida Allah dengan berbuat
kebajikan. Misalnya, untuk mendirikan tempat peribadatan, rumah yatim piatu,
menolong kaum kerabat, memberi pinjaman tanpa imbalan, atau memberikan bantuan
dalam bentuk apa pun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.
“Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menginfakkan (hartamu) di
jalan Allah. Lalu di antara kamu ada orang yang kikir, dan barang siapa yang kikir
maka sesungguhnya dia kikir kepada dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya,
dan kamulah yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling (dari jalan
yang benar), Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak
akan (durhaka) seperti kamu.” (QS. Muhammad: 38).
“Perumpamaan orang yang menginfak hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat
gandakan bagi siapa yang dia kehendaki, Dan Allah berjanji barang siapa melakukan
kebajikan akan dilipat gandakan pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”
(QS, Al-Baqarah: 261 ).
Allah Swt. mendorong manusia agar peduli kepada orang lain yang lebih membutuhkan
sehingga akan tercipta saling tolong-menolong antar sesama. Sesungguhnya, uang yang
diinfakkan adalah rezeki yang nyata bagi manusia karena terdapat imbalan yang dilipat
gandakan Allah (di dunia dan di akhirat). Harta yang diinfakkan juga akan menjadi
penolong di hari akhir nanti pada saat tidak ada sesuatu pun yang dapat menolong kita,
sebagaimana bunyi hadis berikut.
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
perkara: sedekah jariyah (infak dan sedekah), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh
yang mendoakan.” (HR. Muslim ).

6
3 Membayar zakat sesuai ketentuan.
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman
jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “(QS. At-Taubah:
103).
Setiap manusia beriman yang memiliki harta melampaui ukuran tertentu, diwajibkan
untuk mengeluarkan sebagian hartanya (zakat) untuk orang yang tidak mampu,
sehingga dapat tercipta keadilan sosial, rasa kasih sayang, dan rasa tolong-menolong.
4 Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan).
Memberikan pinjaman kepada sesama muslim yang membutuhkan, dengan tidak
menambah jumlah yang harus dikembalikan (bunga/riba). Bentuk pinjaman seperti ini,
bertujuan untuk mempermudah pihak yang menerima pinjaman, tidak memberatkan
sehingga dapat menggunakan modal pinjaman tersebut untuk hal-hal yang produktifdan
halal.
5 Meringankan kesulitan orang yang berutang.
"Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai
dia memperoleh kelapangan. Danjika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui. " (QS. Al-Baqarah: 280).

2.3 Akad/ Kontrak/ Transaksi

Akad dalam bahasa Arab 'al-'aqd (jamaknya al-'uqud) berarti ikatan atau mengikat
(al-rabth). Menurut terminologi hukum Islam, akad adalah pertalian antara penyerahan
(ijab) dan penerimaan (qabul) Yang dibenarkan Oleh syariah, yang menimbulkan akibat
hukum terhadap objeknya (Ghufron Mas'adi, 2002). Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri
dalam Nadhariyatul 'aqdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang
menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut
(Ghufron Mas'adi, 2002). Akad Yang sudah terjadi (disepakati) harus dipenuhi dan tidak
boleh diingkari.

Wahai orang-orang beriman penuhilah janji (akad)-mu.... " (QS. Al-Ma'idah: l).

Akad berbeda dengan wa'ad (janji), dimana wa'ad adalah keinginan yang
dikemukakan Oleh seseorang untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, baik

7
perbuatan maupun ucapan dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak Iain
(Sahroni dan Hasanuddin, 2017).

Akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muzunalat membagi lagi
akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru' dan akad tijarah/mu'awadah.

1. Akad tabarru' (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan


transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba).
Tujuan dari transaksi ini adalah tolong-menolong dalam rangka berbuat
kebaikan (tabarru' berasal dari kata birr dalam bahasa Arabi yang artinya
kebaikan). Dalam akad tabarru', pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak
berhak mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak Iainnya karena ia hanya
mengharapkan imbalan dari Allah Swt., bukan dari manusia. Namun, tidak
mengapa bila pihak yang berbuat kebaikan tersebut meminta (imbalan)
sekadar menulupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan untuk dapat
melakukan akad tabarru' tersebut, sepanjang tidak mengambil laba dari akad
tabarru' tersebut.
2. Akad Tijarah (Compensational Contract) merupakan akad yang ditujukan
untuk memperoleh keuntungan.

Rukun dan syarat sahnya suatu aka dada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut.

1. Pelaku, yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli,
penyewa dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan
mudharib, mitra dengan mitra masyarakat).
2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan
dilakukannya transaksi tertentu.
3. Ijab Qabul (Serah Terima) merupakan kesepakatan dari para pelaku dan
menunjukkan mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah
satu pihak yang terpaksa melakukannya (Qs. An-Nisa: 29).

2.4 Riba Dan Jenis Riba

2.4.1 Riba

Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-
nuwuw), dan membesar (al-‘uluw). Iman Sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan

8
yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (‘iwad) yang dibenarkan
syariah atas penambahan tersebut.

Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti
('iwad) yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya penambahan
secara adil, seperti jual-beli, sewa-menyewa, atau bagi hasil proyek, di mana dalam
transaksi tersebut ada,faktor penyeimbangnya bcrupa ikhtiar/usaha, risiko, dan biaya
(Antonio,1999).

Menurut ijmak konsesus para ahli fikih tanpa kecuali bunga tergolong riba (Chapra
dalam Ascarya 2007) karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan
bunga (interest). Lebih jauh lagi, lembaga Islam internasional maupun nasional telah
memutuskan sejak tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba
dan haram sccara syariah (Ascarya, 2007). Bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah
mengeluarkan fatwa (Nomor I Tahun 2004) bahwa bunga (interest) yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh
lembaga keuangan, individu maupun lainnya, hukumnya adalah haram.

Larangan riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga
diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam (Yahudi dan Nasrani).

Larangan riba dalam Alquran dilakukan melalui 4 (empat) tahap (Qardhawi, 2000)
sebagai berikut.

 Tahap 1 (Qs. Ar-Rum: 39)


 Tahap 2 (Qs. An-Nisa: 161)
 Tahap 3 (Qs. Ali’imran: 130)
 Tahap 4 (Qs. Al-Baqarah: 278-280)

Dalam ayat-ayat Alquran. riba dan sedekah dipertentangkan. Kecaman, ancaman


keras, dan pengharaman riba dipertentangkan dengan seruan sedekah sebagai tindakan
terpuji. Praktik riba yang dapat memberikan keuntungan secara berlipat ganda
dipertentangkan dengan pahala sedekah yang spektakuler. Riba, karena pinjaman kepada
manusia dipertentangkan dengan sedekah yang dinyatakan sebagai pinjaman kepada Allah
yang pasti akan diganti secara berlipat ganda.

9
Tujuan Allah dari semua itu sangat jelas, yaitu menghapus praktik tradisi jahiliyah
(meminjamkan uang dcngan harapan imbalan/riba) dan menggantinya dengan tradisi baru,
yakni tradisi sedekah (meminjamkan dengan mengharap rida Allah dan pahala akhirat).
Alquran mengecam keras dan mengharamkan tradisi riba dan mengancam keras
pelakunya.

Shadaqah (termasuk zakat) yang diserukan Alquran, merupakan Konsep ta’awun


(pertolongan) kepada pihak yang fakir miskin. Seruan ini merupakan solusi terhadap
penindasan dan ketidakadilan ekonomi riba yang diharamkan Alquran.

2.4.2 Jenis Riba

1. Riba Dayn adalah riba yang muncul karena utang-piutang, dan dapat terjadi
dalam segala jenis transaksi kredit atau utanng-piutang di satu pihak harus
membayar besar dari pokok pinjamannya. Kelebihan dari pinjamannya
dengan nama pun (bunga/lnterest/bagi hasil), dihitung dengan cara apapun
(fixed rate atau floting besar atau kecil semuanya itu tergolong riba sesuai
(QS. Al-Baqarah: 278-280).
2. Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi pertukaran atau barter.
Riba jenis ini dapat terjadi apabila terdapat kelebihan/penambahan pada
salah satu dari barang ribawi/barang sejenis yang dipertukarkan, baik
pertukaran yang dilakukan dari tangan ke tangan (tunai) maupun kredit.
Contoh menukar perhiasan perak seberat 40 gram dengan uang perak
(dirham) senilai 3 gram. Selain itu riba fadhl juga dapat terjadi akibat
pertukaran/barter barang tidak sejenis secara non tunai. Contoh, transaksi
jual beli valuta asing yang tidak dilakukan denga tunai (spot).
Jika pertukaran barang sejenis (barang ribawi) tidak dilakukan secara tunai,
maka akan muncul riba nasi’ah. Misalnya menukar 1 juta dollar deng kurs
rupiah tetapi penyerahannya baru dilakukan nanti maka, transaksi ini
dinamakan riba nasi’ah. Contoh riba nasi’ah adalah transaksi forward, yaitu
melakukan transaksi saat ini tetapi penyerahan barangnya baru dilakukan
dikemudian hari.

2.5 Prinsip Sistem Keuangan Syariah

10
Sistem keuangan syariah merupakan bagian dari upaya memelihara harta agar harta
yang dimiliki seseorang diperoleh dan digunakan sesuai dengan ketentuan syariah.
Sistem keuangan syariah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara
pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana melalui produk dan
jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah merupakan prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah. Sistem keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu
prinsip syar’i dan tabi’i.
Di antara prinsip-prinsip syar’i dalam sistem keuangan syariah yaitu :
1. Kebebasan berinteraksi, yang didasari oleh prinsip suka sama suka dan tidak
ada pihak yang terzalimi dan didasari akad yang sah. Disamping itu tidak
boleh ada transaksi produk yang diharamkan.
2. Bebas dari magrib (masyir/judi, gharar/penipuan, dan riba pengambilan
tambahan dari harga pokok secara batil).
3. Bebas dari pengendalian, rekayasa dan manipulasi harga.
4. Setiap orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, dan
akurat agar terbebas dari ketidaktahuan dalam bertransaksi.
5. Para pihak yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak
ketiga yang mungkin dapat terganggu, ssehingga pihak ketiga diberikan hak
atau pilihan.
6. Transaksi berdasarkan pada kerjasama dan soidaritas yang saling
menguntungkan.
7. Transaksi dilaksanakan demi mewujudkan kemaslahatan manusia.
8. Mengimplementasikan zakat.
Sedangkan prinsip tabi’i merupakan prinsip yang dihasilkan dari interpretasi akal
dan ilmu pengetahuan dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, dasar
dan analisi teknis, manajemen cash flow, manajemen risiko dan lainnya.
Dengan demikian, sistem keuangan syariah diformulasikan dari kombinasi antara
prinsip syar’i yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah sedangkan tabi’i hasil dari
interprestasi akal manusia dalam menghadapi berbagai masalah ekonomi. Sistem
keuangan syariah tidak sekedar memperhitungkan aspek return (keuntungan) dan risiko,
tetapi ikut mempertimbangkan nilai-nilai Islam di dalamnya.

11
Sasaran dan fungsi dari sistem keuangan syariah dan konvensional pada prinsipnya
adalah sama, yang membedakannya adalah sasaran dan fungsi sistem keuangan syariah
yang tidak dapat terpisahkan dari ideologi keislaman yang didasarkan pada ajaran Islam
yaitu Al-Quran dan Sunnah. Dalam praktiknya , sistem keuangan syariah menggunakan
instrumen yang bervariasi dalam melakukan pengendalian pencapaian sasaran keuangan,
dan instrumeninstrumen itu memiliki sebuah komitmen yang kuat kepada nilai-nilai
spiritual, keadilan sosio-ekonomi, dan solidaritas sesama manusia.
2.6 Jenis Instrumen Keuangan Syariah
1. Instrumen Keuangan Syariah Primer

Berdasarkan teori akad sebagaimana dijelaskan, dapat diformulasikan kontrak-


kontrak keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan syari’ah.

a. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan
mudharib (pengelola) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Jika
usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana,
kecuali ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana. Seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
b. Musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang
mencampurkan modalnya untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah,
mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usah
tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang baru.
c. Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual maupun pembeli. Murabahah
dapat dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa pesanan. Dalam murabahah
berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari
nasabah.
d. Salam dan Salam Paralel, Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan)
dengan penangguhan pengiriman oleh muslam alaihi (penjual) dan pelunasannya
dilakukan segera oleh pembelian sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai
dengan syarat-syarat tertentu.
Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
e. Istishna dan Istishna Paralel, Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni
(pembeli) dan as-shani(produsen yang juga bertindak sebagai penjual).

12
Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain
(subkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal
ini disebut istishna paralel.
f. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik, Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il: ajara
- ya’juru - ajran”. Ajaran semakna dengan kata al-awadh yang mempunyai arti ganti
atau upah, dan dapat juga berarti sewa. Dengan kata lain ijarah adalah akad sewa
menyewa antara pemilik ma’jur (obyek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk
mendapatkan imbalan atas obyek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas obyek sewa yang disewakannya.
Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya
dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan
akad sewa.
g. Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat
apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas
pengembalian titipan. Wadiah dibagi atas wadiah yad- mudhamanah dan wadiah
yadamanah..
h. Qardh dan Qardh Hasan Pinjaman, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
peminjam dan pihak yang meminjamkan kewajiban peminjam melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu.
Qardh hasan adalah pinjaman tanpa jaminan yang memungkinkan peminjam untuk
menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan
dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati.
i. Sharf adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa alat pembayaran (nuqud),
atau mata uang (suatu valuta dengan valuta lainnya). Transaksi valuta asing pada
Bank Syariah (di luar jual beli banknotes) hanya dapat dilakukan dengan tujuan
lindung nilai (hedging) dan dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih penjabaran
aktiva dan kewajiban valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai
pendapatan atau beban.
j. Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/ nasabah)
kepada wakil (penerima kuasa/ bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas
nama pemberi kuasa. Akad wakalah tersebut dapat digunakan antara lain dalam

13
pengiriman transfer, penagihan utang baik melalui kliring maupun inkaso, dan
realisasi L/C.
k. Kafalah adalah kemestian seseorang yang diperbolehkan mengelola hartanya sendiri
untuk menunaikan suatu hak yang diwajibkan kepada seseorang atau kemestian
menghadirkannya ke hadapan hakim (pengadilan). Pengertian kafalah al khafalah
menurut bahasa berati aldhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah
(tanggungan). Menurut Sayyit Sabiq, yang dimaksud dengan alkhafalah adalah
proses penggabungam tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntunan dengan
benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjan. Kafalah adalah
akad pemberian pinjaman yang diberikan oleh kafil (penerima jaminan) dan
pinjaman tertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi
hak penerima jaminan.
l. Hiwalah adalah pemindahan pengalihan hak dan kewajiban baik dalam bentuk
pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/ pengalihan dana dari satu
orang ke orang lain atau satu pihak ke pihak lain.
2. Instrumen Keuangan Syariah Sekunder
Instrumen keuangan syari’ah sekunder banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan
dalam bentuk pasar modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen
turunan dari instrumen keuangan primer. Ada berbagai macam instrumen pasar
modal, menurut Obaidullah instrumen penting yang dapat diperdagangkan sebagai
hasil pemikiran menurut hukum Islam, di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Dana Mudharabah (Mudharabah Fund), Dana Mudharabah merupakan instrumen
keuangan bagi investor untuk pembiayaan bersama proyek besar berdasarkan
prinsip bagi hasil. Instrumen ini diperbolehkan menurut hukum Islam.
b. Saham Biasa Perusahaan (Common Stock), Saham biasa yang diterbitkan oleh
perusahaan yang didirikan untuk kegiatan bisnis yang sesuai dengan Islam
diperbolehkan.
c. Obligasi Muqaradah (Profit Sharing Bond), Obligasi ini diterbitkan untuk
pembiayaan proyek yang menghasilkan uang atau proyek yang terpisah dari
kegiatan umum perusahaan.
d. Obligasi Bagi Hasil (Profit Sharing Bond), Obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan yang aktivitas bisnisnya sesuai dengan syariah Islam dan berdasarkan
prinsip bagi hasil jenis ini diperbolehkan.

14
e. Saham Preferen (Preferred Stock), Saham ini memiliki hak-hak istimewa seperti
deviden tetap dan prioritas dalam likuidasi. Karena ada unsur pendapatan tetap
(seperti bunga), maka dilarang menurut hukum Islam.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem keuangan syariah terkait erat dengan harta kekayaan, akad transaksi serta
transaksi diperbolehkan dan dilarang syariah. Menjaga harta, bertujuan agar harta yang
dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang
dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik dari harta kekayaan tersebut, yaitu
Allah Swt.

Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah
muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fikih dari muamalah
adalah, semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang diharamkan/dilarang dalam Alquran
dan sunah.

Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul 'aqdi, akad adalah


kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu
konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung
maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut (Ghufron Mas'adi, 2002). Akad Yang
sudah terjadi (disepakati) harus dipenuhi dan tidak boleh diingkari.

Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti
('iwad) yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya penambahan
secara adil, seperti jual-beli, sewa-menyewa, atau bagi hasil proyek, di mana dalam

15
transaksi tersebut ada,faktor penyeimbangnya bcrupa ikhtiar/usaha, risiko, dan biaya
(Antonio,1999).

Sistem keuangan syariah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara


pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana melalui produk dan
jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah merupakan prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah. Sistem keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu
prinsip syar’i dan tabi’i.

DAFTAR PUSTAKA

Sri Nurhayati, Wasilah. Edisi 5. Akuntansi Syariah. Jakarta selatan: Salemba Empat.

Rahmat ilyas. 2017. Asy-Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Perbankan Islam, 2(1), 121-
142

Agustina Salehah. Sistem Keuangan Syariah Pada Lembaga Keuangan Bank Dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB). Universitas Djuanda Bogor

Teguh Prasetyo, Yuli Agustina, Trisetia Wijijayanti. Seminar Nasional dan Call For Papers
Ekonomi Syariah. 2016. “Ekonomi Syariah dalam Pemberdayaan Sektor Riil di
Indonesia”

16

Anda mungkin juga menyukai