Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK

AKUNTANSI SYARIAH

Sistem Keuangan Syariah


(Konsep Harta dalam Islam)

Disusun Oleh:

KELOMPOK IV

Nyoman Adhi Suryadnyata (0017.04.30.2020)

Emmy Dahlan (0014.04.30.2020)

Fina Ruzika Zaimar (0010.04.30.2020)

Muh. Alqizaz Faizal (0005.04.30.2020)

PROGRAM MAGISTER ILMU AKUNTANSI


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya penyusunan makalah Akuntansi Syariah yang berfokus pada Sistem
Keuangan Syariah . Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Akuntansi
Syariah yang membahas mengenai Konsep Harta dalam Islam yang diperoleh
dari berbagai literatur.

Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi
Syariah. Semoga dengan penyusunan makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman diri penyusun tentang mata kuliah ini. Demi kesempurnaannya,
penyusun selalu mengharapkan adanya saran dan masukan dari berbagai pihak

Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Akuntansi Syariah, Dr. Tenriwaru, SE., MSi., Ak., CA. dan kepada semua pihak
yang telah mendukung hingga terselesaikannya makalah ini.

Harapan penyusun semoga dengan membaca makalah ini dapat memberi


manfaat bagi kita semua serta menambah wawasan kita mengenai Akuntansi
Syariah dalam topik Konsep Harta dalam Islam. Saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini, kami terima dengan tangan terbuka
karena kami merasa bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.

Makassar, 07 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................... 4

A. Sistem Keuangan Syariah dan Prinsip-prinsipnya................... 4

B. Definisi Harta dalam Islam....................................................... 6

C. Konsep Kepemilikan dalam Islam........................................... 11

D. Konsep Memperoleh Harta dalam Islam.................................. 13

E. Kedudukan dan Fungsi Harta ................................................... 17

BAB III PENUTUP ............................................................................ 21

A. Kesimpulan............................................................................... 21

B. Saran......................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 22


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dalam


mengarungi kehidupannya di dunia ini, oleh karena itu harta sering disebut dengan
wasilah al-hayat (sarana kehidupan manusia). Oleh karena itu, upaya serius dan
kompetitif manusia untuk meraihnya merupakan suatu kewajaran. Akan tetapi,
seringkali upaya mencari harta ini terlepas dari norma-norma kehidupan sehingga
tidak jarang kemudian terjadi perselisihan antara manusia. Di samping itu, dalam
menggunakan harta pun seringkali manusia melanggar ketentuan-ketentuan
hukum agama yang telah memberikan rambu-rambu dalam penggunaan harta,
akibatnya harta yang seharusnya berfungsi sebagai sarana kehidupan untuk
semakin mendekatkan diri kepada Allah justru semakin menjauhkan dirinya dari
yang Maha kuasa tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsep harta
dalam Islam sangat penting bagi setiap manusia yang beragama guna
membimbingnya ke jalan yang benar dalam memperoleh dan menggunakan harta.
Dalam menjalankan aktivitas bisnis, tentunya di lakukan untuk mendapat
keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam.
Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi
(qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan
dirasakan, memang berupa harta. Dewasa ini, dalam realitas masyarakat di sekitar
kita kepemilikan atas harta merupakan standarisasi dalam menentukan
kebahagiaan hidup seseorang, harta yang melimpah menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang berbahagia.
Sehingga dengan asumsi tersebut, menurut hemat penulis, cukuplah
menjadi sebuah alasan mengapa manusia cendrung berlomba-lomba untuk
memperbanyak harta kekayaan yang dimiliki, karena kebutuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama posisinya dengan kebutuhan hidup
manusia terhadap anak dan atau keturunan. Sehingga dengan demikian kebutuhan
manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar. Dalam hal ini,
penulis membahas mengenai konsep harta dalam tataran defenisi, fungsi, jenis-
jenis, unsur harta dan urgensinya dalam Islam, serta analisis yang penulis lakukan
terkait peran harta dalam aktivitas bisnis Islam, sebagai “alat” guna membangun
kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan ulasan tersebut maka, ada beberapa pokok rumusan


masalah yang berkaitan dengan Konsep Harta dalam Islam, yaitu:

1. Bagaimana prinsip-prinsip sistem keuangan syariah?


2. Apa definisi harta dalam Islam ?
3. Bagaimana konsep kepemilikan harta dalam Islam?

4. Bagaimana konsep memperoleh dan memanfatkan harta dalam Islam?

5. Bagaimana kedudukan dan fungsi harta dalam Islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Keuangan Syariah dan Prinsip-prinsipnya

Sistem keuangan syariah merupakan bagian dari upaya memelihara harta


agar harta yang dimiliki seseorang diperoleh dan digunakan sesuai dengan
ketentuan syariah.

Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29, Allah SWT berfirman yang artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu dan janganlah membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Harta yang dimiliki oleh setiap orang merupakan titipan dari Allah SWT

yang akan dimintai setiap pertanggungjawabannya. Adanya aturan ketentuan

syariah bertujuan agar tercapai kemaslahatan bagi setiap orang. Akan tetapi. Allah

SWT memberikan kebebasan kepada setiap hamba-Nya untuk menentukan

pilihannya dan harus menerima konsekuensi dari setiap pilihannya tersebut.

Praktik sistem keuangan syariah telah dilakukan sejak kejayaan Islam.

Akan tetapi, dikarenakan semakin melemahnya sistem kekhalifahan maka praktik

sistem keuangan syariah tersebut digantikan oleh sistem perbankan barat. Sistem

tersebut mendapat kritikan dari para ahli fiqh bahwa sistem tersebut menyalahi

aturan syariah mengenai riba dan berujung pada keruntuhan kekhalifan Islam.

Pada tahun 1970-an, konsep sistem keuangan syariah dimulai dengan

pengembangan konsep ekonomi Islam. Berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah,

prinsip sistem keuangan Islam adalah sebagai berikut:


1) Larangan Riba

Riba didefinisikan sebagai “kelebihan” atas sesuatu akibat penjualan atau


pinjaman. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan,
dan hak atas barang. Sistem riba hanya menguntungkan para pemberi pinjaman
dengan membebani penetapan keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman di
awal perjanjian. Padahal “untung” dapat diketahui setelah berlalunya waktu bukan
hasil penetapan di muka.

2) Pembagian Risiko

Risiko merupakan konsekuensi dari adanya larangan riba dalam suatu


sistem kerja sama antara pihak yang terlibat. Risiko yang timbul dari aktivitas
keuangan tidak hanya ditanggung oleh penerima modal tetapi juga pemberi
modal. Pihak yang terlibat tersebut harus saling berbagi risiko sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati.

3) Uang sebagai Modal Potensial

Dalam Islam, uang tidak diperbolehkan apabila dianggap sebagai


komoditas yaitu uang dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan barang
yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk memperoleh keuntungan. Sistem
keuangan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal yaitu uang
bersifat produktif, dapat menghasilkan barang atau jasa bersamaan dengan sumber
daya yang lain untuk memperoleh keuntungan.

4) Larangan Spekulatif

Hal ini selaras dengan larangan transaksi yang memiliki tingkat


ketidakpastian yang sangat tinggi, misalnya seperti judi.

5) Kontrak/Perjanjian

Dengan adanya perjanjian yang disepakati di awal oleh pihka-pihak yang


terlibat dapat mengurangi risiko atas informasi yang asimetri atau
timbulnya moral hazard.
6) Aktivitas Usaha harus Sesuai Syariah

Usaha yang dilakukan merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut


syariah, seperti tidak melakukan jual-beli minuman keras atau mendirikan usaha
peternakan babi. Oleh karena itu, prinsip sistem keuangan syariah berdasarkan
prinsip sebagai berikut :

a) Rela sama rela (antaraddim minkum).

b) Tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la


tuzhlamun).

c) Hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al dhaman).

d) Untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi).

Dari prinsip sistem keuangan tersebut, maka muncul dan berkembang instrumen-
instrumen keuangan syariah terkait dengan kegiatan investasi maupun jual-beli sesuai
dengan ketentuan syariah. Hal ini membantu pelaku ekonomi dalam memahami berbagai
produk keuangan syariah dan ketentuan-ketentuan syariah dari setiap produk keuangan
tersebut

B. Definisi Harta dalam Islam

Harta dalam bahasa arab disebut al-mal, yang merupakan akar kata dari
lafadz ‫ل – ميال‬KK‫ مال – يمي‬yang berarti condong, cenderung, dan miring. Dalam al-
Muhith 1) dan Lisan Arab 2), menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu
yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan
demikian unta, sapi, kambing, tanah, emas, perak dan segala sesuatu yang disukai
oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan. -Ibnu Asyr-
mengatakan bahwa ; “kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi
kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan
dimiliki.
Sedangkan harta (al-mal), menurut Hanafiyah ialah

‫اإلنس نا ويمكن إدخا هر إلى وقت لحااجة‬


ِ ‫مايميل إليه طبع‬

Maksud pendapat di atas defenisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang
bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan,
tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam
katagori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya
tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi
dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari, Begitu juga
tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat
diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongkrit dimiliki, seperti
segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut -Imam Hanafi- yaitu segala sesuatu
yang memenuhi dua keriteria:
1. Sesuatu yang dipunyai dan bisa di ambil manfaatnya menurut ghalib.
2. Sesuatu yang dipunyai dan dan bisa diambil manfaatnya secara kongkrit
(a’yan), seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang.

Menurut Jumhur Ulama’ fiqh selain Hanafiyyah, mendefenisikan konsep


harta sebagai berikut:

‫كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه‬.

‫كل يذ قيمة مالية‬

Dari pengertian di atas, Jumhur Ulama’ memberikan pandangan bahwa


manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan
dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda
tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena
seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain
mempergunakan mobil itu tanpa izinnya. Maksud manfaat menurut jumhur
Ulama’ dalam pembahasan ini adalah faeadah atau kegunaan yang dihasilkan
dari benda yang tampat, seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan.
Adapun Hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari
penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak
minum, dan lain-lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti
hak mengasuh dan lain-lain.

Menurut -Imam as-Suyuthi- harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki
dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah
meninggalkannya. Kalau baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang
itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi
mereka.

Menurut -ahli hukum positif- dengan berpegang pada konsep harta yang
disampaikan Jumhur ulama’ selain Hanafiyyah. Mereka mendefenisikan bahwa
benda dan manfaat-manfaat itu adalah merupakan bisa dicampuri oleh orang lain.
kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak
mengarang, hak paten, hak cipta dan sejenisnya. Oleh karena itu kekayaan
menurut mereka lebih luas dari pada konsep harta kekayaan menurut ahli-ahli
fiqh.

Sementara Konsep harta menurut -Hasby Ash-Shiddiqy- ialah segala


sesuatu yang memiliki katagori sebagai berikut :

1. Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dapat dikelola (tasarruf)
dengan jalan ikhtiar.

2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia,baik oleh seluruh manusia
maupun sebagian manusia.

3. Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan.

4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga), dapat diambil
manfaatnya dan dapat disimpan.

5. Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta. Semisal manfaat, karena manfaat tidak
berwujud,maka tidak termasuk harta.

6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat
diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang
ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki
dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang
kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-mata
atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta
dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaimana dalam al-Kasyf al-Kabir
disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terrealisasi dengan
menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak
berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.

Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan, dalam memahami konsep harta
disini, penulis akan mendialektikakan konsep harta dengan nash-nash berkenaan
dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, menurut hemat penulis bahwa pada dasarnya
harta (al-Mal) merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai-nilai legal dan
kongkrit (a’yan) wujudnya, disukai oleh tabiat manusia secara umum, bisa
dimiliki, dapat disimpan serta dapat dimanfaatkan dalam perkara yang legal
menurut syara’, seperti sebagai modal bisnis, pinjaman, konsumsi, hibah dan
sebagainya.

“Sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk


disimpan hingga dibutuhkan”.

Menurut Hanafiyah dalam pendefenisian harta yaitu sesuatu yang dapat


disimpan sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak termasuk harta.
Menurut Hanafiyah, manfaat bukanlah harta akan tetapi manfaat termasuk milik,
Hanafiyah mengungkapkan beberapa perbedaan harta dengan milik, yaitu:qMilik
adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri
penggunaannya oleh orang lain.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika
dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi
menurut Hanafiyah yang dimaksud harta adalah sesuatu yang berwujud (a’yan) .
Secara terminologi sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Fairuz Abadi dalam
karyanya al-Mukhith, harta disebut al-mal atau jamaknya al-amwal, harta (al-mal)
adalah malaktahu min kulli syar’i (harta adalah segala sesuatu yang engkau
punyai).

Secara terminologis, harta diartikan sebagai sesuatu yang dimanfaatkan


dalam perkara yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam), seperti bisnis,
pinjaman, konsumsi, dan hibah (pemberian). Berdasarkan hal ini, dapat dipahami
bahwa segala sesuatu baik barang atau jasa, yang digunakan oleh manusia dalam
kehidupan dunia merupakan harta. contohnya uang, tanah, kendaraan, rumah,
perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil kelautan, dan pakaian
termasuk dalam kategori al-amwal (harta kekayaan).

Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia


termasuk salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa
harta atau secara khusus adalah makanan, manusia tidak akan dapat bertahan
hidup. Oleh karena itu Allah swt menyuruh manusia untuk berusaha dalam
memperolehnya, memilikinya dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan
Allah SWT melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta
itu. Ia dapat berwujud bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud
materi. Yang berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak
bergerak.
C. Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

1. Definisi Kepemilikan

Secara etimologis, milik berasal dari kata bahasa Arab al-milk yang

berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga memiliki arti sesuatu yang

dimiliki (harta). Milik juga berarti hubungan seseorang dengan sesuatu harta

benda yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan

khusus terhadap harta itu, sehingga dia berhak atas perlakukan tindakan hukum

terhadap harta itu, kecuali adanya halangan dalam syara’.

Secara terminologis, al-milk memiliki arti pengkhususan seseorang

terhadap suatu benda yang kemungkinan bertindak hukum terhadap benda itu

(sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan dalam syara.

2. Sebab-sebab Kepemilikan

Harta berdasarkan sifatnya bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia,

sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Adapun sebab-sebab kepemilikan

harta antara lain:

1) Ikraj al-mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang)

atau : “Harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang

sah) dan tidak ada penghalang syara’ untuk yang dimiliki. Untuk memiliki

benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama; Benda

mubahat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seseorang mengumpulkan air

dalam satu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak

berhak mengambil air tersebut, sebab telah diikhrazkan oleh orang lain.
2) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta

mubahat tanpa ada niat, tidak termasuk ikhraz, umpamanya seorang

pemburuh meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah burung-

burung, bila pemburu tersebut sekedar meletakkan jaring tersebut dan

mengeringkannya, maka ia tidak berhak memiliki burung tersebut.

3) Khalafiyah, yang dimaksud dengan khalafiyah ialah :

“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang


lama, yag telah hilang berbagai macam haknya”.
Khalafiyah ada dua macam, yaitu pertama; khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy,
yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwariz disebut tirkah.
Dan kedua; khalafiyah syai’an syai’in, yaitu seseorang merugikan milik orang
lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di tangannya atau
hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik
harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini disebut juga tadlmin atau ta’widl
(menjamin kerugian.
4) Tawallud min mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah
dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut, misalnya bulu
domba menjadi milik pemilik domba. Sebab pemilikan tawallud min mamluk
dibagi kepada dua pandangan (I’tibar), yang pertama; mengingat adanya
ikhtiar terhadap hasil-hasil yang dimiliki (I’tibar wujud al ikhtiyar wa
‘adamihi fiha) dan kedua; pandangan terhadap berkasnya (I’tibar atsariha).

a. Harta untuk menyambung hidup

b. Harta pemberian negara (I’tha’u ad-daulah)

c. Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan
upaya apapun.
Prof. Dr. Veithzal Rival et al., menerangkan bahwa kepemilikan individu
diperoleh dari bekerja, warisan, hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang temuan, dan
jual beli. Islam melarang memperoleh harta melalui cara yang tidak diridhai Allah
swt dan merugikan pihak lain, seperti riba, menipu, jasa pelacuran, perdagangan
gelap, produksi/penjualan alkohol/miras, narkoba, judi, spekulasi valuta asing,
spekulasi pasar modal, money game, korupsi, curang dalam takaran dan
timbangan, ihktikar dan sebagainya.

Prof. Fathurrahman Djamil, menyebutkan beberapa faktor kepemilikan


harta sebagai berikut:

1) Bekerja (amal/kasab)

Yang termasuk bekerja misalnya; menghidupkan tanah mati, menggali


kandungan bumi, berburu, makelar (samsarah).
2) Transaksi (akad), baik transaksi pertukaran (mu’awadhah) maupun transaksi
yang berbentuk pencampuran (mukhtalith)

3) Warisan

4) Nasionalisasi aset-aset

5) Pemberian negara/pemberian sukarela34

e) Konsep Memperoleh Harta

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia


Allah untuk dimiliki manusia dalam menunjang kehidupannya secara garis besar
ada dua bentuk:

Pertama; Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki


oleh orang lain. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi
milik orang lain adalah dengan menghidupkan tanah mati (menggarap) tanah mati
yang belum dimiliki atau yang disebut ihya al-mawat (‫)الموات احياء‬.
Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya adalah membuka tanah yang belum
menjadi milik siapapun, atau telah pernah dimiliki namun telah ditinggalkan
sampai terlantar dan tak terurus. Siapa yang memperoleh tanah dalam bentuk
demikian dia berhak memilikinya.35 Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw yang
berasal dari Said bin Zuber menurut tiga perawi hadis yang mengatakan:

‫من أحيا أرض ميتة فهي له‬


Artinya:

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memilikinya.

Bila dihubungkan kepada kepemilikan mutlak harta oleh Allah, maka ini
berarti Allah telah memberi kesempatan kepada orang yang menghidupkan tanah
mati itu untuk memilikinya; sedangkan harta yang telah dimiliki kemudian
ditinggalkan ia kembali kepada kepemilikan Allah yang kemudian diserahkan
kepada penggarap yang datang di kemudian.

Menghidupkan tanah mati sebagaimana disebutkan di atas termasuk usaha


memperoleh harta dengan tangan dan tenaga sendiri. Usaha ini termasuk usaha
yang paling baik. Hal ini dinyatakan Nabi saw dalam sebuah riwayat dari Rufa’ah
bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:

‫أن النبى صلى هلال عليه و سلم سئل أي الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده و كل‬
‫بيع مبرور‬

Artinya:

Bahwa Nabi saw telah pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik
Nabi menjawab: ”Setiap usaha seseorang dengan tangan (tenaga)nya dan
setiap jual beli yang baik”.36
Kedua; Memperoleh harta yang telah dimiliki orang lain melalui suatu
transaksi. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta
berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat
merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta
berlangsung dengan sendirinya, dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri
yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau
pemberian; maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara duaatau
beberapa pihak, seperti jual beli. Kedua cara tersebut dalam memperoleh harta
harus dilakukan dengan prinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan tersebut
diridhai oleh Allah SWT.

a. Kepemilikan individu adalah izin dari syar’i (Allah swt) yang memungkinkan
siapa saja untuk memanfatkan zat maupun kegunaan (unity) suatu barang serta
memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya
seperti dibeli dari barang tersebut.

b. Kepemilikan umum (collective property/milkiyah ‘ammah)


Kepemilikan umum ialah izin syari’at kepada masyaakat secara bersama-
sama memanfaatkan sumber daya alam. Ini berupa barang-barang yang mutlak
diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api (bahan bakar,
listrik, gas), padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dan
sebagainya; serta barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak,
seperti emas, perak, minyak, dan sebagainya. Syariat melarang sumber daya
seperti ini dikuasai oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.
c. Kepemilikan negara (state property/milkiyah daulah)

Disebut sebagai milik negara adalah harta yang merupakan hak diseluruh

kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah. Pengelolaan

oleh khalifah disebabkan adanya kewenangan yang dimiliki khalifah untuk

mengelolah harta milik seperti itu. Yang termasuk milik negara seperti: harta

ghanimah (hatta rampasan perang), fa’i (harta kaum muslimin yang berasal dari

kaum kafir yang disebabkan oleh kepanikan dan ketakutan tanpa mengerahkan

pasukan), khumus (zakar 1/5 bagian yang dikeluarkan dari harta temuan/barang

galian) harta yang tidak memiliki ahli waris, dan hak milik dari negara.

1) Kepemilikan mutlak

Kepemilikan hakiki atas semua kekayaan yang ada di alam semesta ini
ialah Allah swt.

2) Kepemilikan relatif

Walaupun harta itu milik Allah swt akan tetapi kepemilikan manusia diakui
secara de jure karena Allah sendiri yang mengaruniakannya kepada manusia atas
kekayaan itu dan mengakui kepemilikan tersebut.
f) Kedudukan dan Fungsi Harta

Diungkapkan dalam al-Qur’an bahwa harta sebagai fitnah. Sebagaimana


dalam QS At-Taghabun/64:15;

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),


dan di sisi Allahlah pahala yang besar.”

Juga dikatakan bahwa harta sebagai perhiasan hidup. Sebagaimana dalam


QS Al-Kahfi/18:46;

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-


amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Di ayat yang lain dikatakan bahwa harta untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai kesenangan sebagaimana dalam QS Ali Imran/3:14:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa


yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat
kembali yang baik (surga).”
Konsekuensi logis atas ayat-ayat tersebut sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh hendi suhendi ialah:

6. Manusia bukan pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah


sehingga wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya
untuk berzakat dan ibadah lainnya.

7. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran


bersama, pelaksanaannya dapat dilakukan oleh masyarakat melalui
wakil- wakilnya.

8. Harta perorangan dapat digunakan untuk umum, dengan syarat


pemiliknya memperoleh imbalan yang wajar.

Ada beberapa dalil, baik al-Qur’an maupun hadis yang dapat dikategorikan
sebagai isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan dan bersemangat dalam
berusaha agar mendapatkan kehidupan yang baik dan juga mampu melaksanakan
rukun Islam yang diwajibkan bagi umat Islam terlebih khusus bagi yang
mempunyai harta atau kemampuan dari segi ekonomi. Sementara itu, harta
kekayaan tidak mungkin datang sendiri, akan tetapi harus dicapai melalui usaha.45

Adapun fungsi harta secara syari’at yaitu:

• Kesempatan ibadah mahdhah, seperti shalat membutuhkan kain dalam


menutup aurat.

• Memelihara dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Allah swt


karena kemiskinan mendekatkan diri kepada kekufuran.
• Meneruskan kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi yang lemah.
Sebagaimana firman Allah swt dalam QS An-Nisa/4:9;

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”

• Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah saw bersabda:

“Tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada
makanan yang dihasilkandari keringatnya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah,
daud, telah makan dari hasil keringatnya sendiri (HR. Bukhari).”

Dalam hadis lain dinyatakan: “Bukanlah orang yang baik bagi mereka
yang meningglkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan
masalah akhirat untk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya,
karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada akhirat” (HR.
Bukhari).

• Bekal mencari dan mengembangkan ilmu

• Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang


memberi pekerjaan kepada orang miskin

• Untuk memutarkan (men-tasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya


pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan
sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkucupan.
• Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan,

misalnya Ciamis merupakan daerah penghasil galendo, Bandung merupakan

daerah penghasil kain, maka orang bandung yang membutuhkan galendo akan

membeli produk orang Ciamis tersebut, dan orang Ciamis yang membutuhkan

kain akan membeli produk orang Bandung. Dengan begitu terjadilah interksi dan

komunikasi silaturahmi dalam rangka saling mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu,

perputaran harta diajurkan. Allah berfirman dalam QS Al-Hasyr/59:7 :

“ Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada rasulnya (dari

harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,

untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-

orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-

orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan rasul kepadamu, maka

terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan

bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan kepemilikan harta ialah kekuasaan atas benda dan


manfaatnya secara utuh. Di dalam Islam umat muslim senantiasa dianjurkan untuk
mencari rezki yang baik, halal sangat dilarang untuk meyembah kekayaan
sebagaimana hadis rasulullah yang artinya “Terkutuk bagi mereka yang menjadi
penyembah dinar dan terkutuk pula bagi mereka yang menjadi penyembah
dirham”.

B. Saran

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan


karena minimnya referensi yang kami dapatkan. Oleh karena itu kami masih
mengharapkan kritik dan saran oleh pembaca demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University


Press, 2013.

Kementerian Agama Republik Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:


Sinergi Pustaka, 2012.
Mardani. Hukum Bisnis Syari’ah. Cet. I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta :


Salemba Empat.2015.

Misbahuddin. E‐Commerce dan Hukum Islam. Cet. I; Makassar: Alauddin


University Press, 2012.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqhi. Cet. I; Jakarta: Prenada Media,


2003.

Anda mungkin juga menyukai