Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER DI INDONESIA ”


“Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiskal dan Moneterdalam
Islam dan Dipresentasikan di kelas PS–6G”

DOSEN PEMBIMBING :
IVO SABRINA, SE.i,M.E.Sy

Oleh :

ANISA IRVON : 3319269


RIVA ARMELA : 3319280
HAFIDZ CHAN : 3319260

JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) BUKITTINGGI
TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat, taufik,
hidayah dan inayah-Nya, makalah ini sapat terselasaikan. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh orang
yang senantiasa mengikuti sunnah beliau.
Makalah ini dibuat berdasarkan kepada panduan dan Garis-garis Besar Program
Pengajaran yang diberikan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Juga
kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu didalam penyusunan
materi kuliah ini kami ucapkan terimakasih, karena tanpa rahan, bimbingan dan motivasi
yang diberikan, tentunya belum bisa tersaji kepada para pembaca, walaupun tidak bisa
kami sebutkan namanya satu persatu.
Akhir kata, sebagai karya yang baik tentunya memerlukan sebuah celah untuk
menyempurnakan materi kedepan, untuk itu kami dengan segala kerendahan hati
menerima masukan demi maksud diatas demi peningkatan dan penyempurnaan dalam
makalah dan pembelajaran ini.

Bukittinggi, Juni 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 1950 - 2000 ....................................... 2
B. Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 2001 - 2008 ....................................... 8
C. Kebijakan Fiskal dan Moneter Tahun 2009-2018 ........................................ 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................. 20
B. Saran ..................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah demi menjaga
pemasukan dan pengeluaran negara tetap stabil sehingga perekonomian negara bisa
bertumbuh baik. Sedangkan kebijakan moneter adalah keputusan yang diambil oleh
pemerintah dalam rangka menunjang aktivitas ekonomi melalui berbagai hal yang
berkaitan dengan penetapan jumlah peredaran uang di masyarakat.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan ( berupa
pajak ) pemerintah. Kebijakanfiskal berbeda dengan kebijakan moneter yang bertujuan
menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang
yang beredar di masyarakat. Dengan demikian pemakalah akan membahas tentang
teori kebijakan fiskal dan moneter tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 1950 - 2000 ?
2. Bagaimana Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 2001 – 2008 ?
3. Bagaimana Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 2009 - 2018 ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 1950 - 2000
2. Untuk mengetahui Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 2001 - 2008
3. Untuk mengetahui Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 2009 - 2018

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Fiskal dan Moneter tahun 1950 – 2000


Penentuan sistem dan keberhasilan kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh
pengalaman dan sejarah penerapannya dalam pengelolaan suatu negara. Dalam
kenyataannya, sejarah fiskal dibentuk karena adanya situasi atau kondisi sumber
pendapatan pemerintah dari suatu periode tertentu ke periode berikutnya, baik karena
pengaruh luar negeri maupun karena pengaruh dalam negeri. Untuk sumber pendapatan
pemerintah Indonesia dalam tahun 1951- 1958 sebagian tersebar bergantung dari
pendapatan perdagangan luar negeri. Setelah kurun waktu ini terutama dalam tahun 1958
– 1968 pendapatan pemerintah dari perdagangan luar negeri mulai merosot di balik
pendapatan lainnya belum dapat mengimbanginya sehingga pemerintah kesulitan dalam
mendapatkan dana pembangunan, kemudian pemerintah menetapkan anggaran defisit.
Untuk menutup kedefisitan anggaran, pemerintah mencaru bantuan luar negeri dan
meminjam dana di luar negeri, yang akhirnya dengan dana luar negeri berdampak pada
kenaikan harga di dalam negeri atau terjadi inflasi, yang kemudian merupakan babak
awal keruntuhan ekonomi Indonesia. Dengan kondisi ini, mulai tahun 1969- 1997 yang
disebut era Orde Baru, pemerintah Indonesia melaksanakan beberapa kebijakan :
1. Anggaran belanja negara yang tidak melebihi anggaran penerimaan dalam negeri.
Untuk itu, tabungan pemerintah diharap terus meningkat berbarengan dengan
pemulihan kondisi ekonomi.
2. Perpajakan yang masih sederhana segera diperluas pada objek pajak dan
dilakukan penyempurnaan cara penaksiran pajak dan cara pengumpulannya.
3. Pengeluaran pemerintah diusahakan untuk program yang mendapat prioritas
Pengeluaran pemerintah diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan
sumber-sumberdalamnegerisecaramaksimal.

2
Sehubungan dengan itu, dalam Pelita II atau tahun 1974/75 s/d 1978/79 pajak atas
perusahaan minyak mencapai jumlah hampir 50% dari penerimaan pusat dan hal ini
memiliki konsekuensi pada kebijakan fiskal yaitu:
1. Dengan penerimaan itu terjadi kenaikan pengeluaran riil pemerintah, namun
penerimaan domestik tidak ikut meningkat karena pajak belum sempurna.
2. Pajak atas perusahaan minyak yang diterima saat itu sebenarnya merupakan
bagian dari perhitungan perusahaan minyak sehingga tidak ada pengaruhnya pada
daya beli dalam negeri atau malahan menyebabkan inflasi.
Perkembangan berikutnya terutama tahun 1980-an, penghasilan pajak nonminyak
mencapai jumlah kurang dari 30% dari total penghasilan pajak atau hanya 25% dari total
anggara pengeluaran. Tentu hal itu sangat mengecewakan pemerintah Indonesia karena
saat itu juga terjadi penurunan penghasilan minyak. Sampai dengan awal Pelita III atau
dalam tahun 1979/80 masalah itu menjadi masalah berat bagi pemerintah Indonesia
sehingga pemerintah Indonesia mengintensifkan penetapan dan penarikan pajak. Mulai
Januari 1981 pemerintah Indonesia melakukan perubahan pajak secara keseluruhan
sehingga kinerja pajak nonminyak menjadi lebih baik karena dalam Pelita V atau tahun
1989/90 s/d 1993/94 diperkirakan akan terjadi penurunan yang tajam atas bantuan luar
negeri. Perubahan pajak dapat dilihat dari sisi pola penerimaan pemerintah pusat,
perkembangan penerimaan domestik bukan minyak dan pembaruan kebijakan pajak.1
a) Pola Penerimaan Pemerintah Pusat
Dalam periode tahun 1967 – 1975 penerimaan pemerintah pusat
meningkat dengan pesatnya yaitu kira – kira 10% atau menjadi lebih besar dari
20% dari Gross Domestic Product atau GDP serta hampir keseluruhannya berasal
dari minyak. Penerimaan negara ini dikelompokkan menjadi:
Penerimaan dalam negeri bukan minyak, yang terbagi dalam:
1) Pajak langsung
2) Pajak tidak langsung
3) Penerimaan bukan pajak
4) Penerimaan pajak minyak
5) Penerimaan dari luar negeri seperti pinjaman dan bantuan.
Dalam periode ini, pemerintah belum melakukan pinjaman dari pihak perbankan
seperti dengan penerbitan obligasi pemerintah. Dari kondisi ini, terlihat bahwa

1
Wayan Sudirman, Kebijakan Fiskal dan Moneter, ( Jakarta : Kencana, 2011 )
hlm 15-16
3
arah pola penerimaan pajak dalam periode 1967 – 1975 adalah :
1) Peningkatan pajak atas perusahaan minyak.
2) Masih rendahnya pajak dari bukan minyak.
3) Sangat rendahnya pajak tidak langsung.
Naiknya penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor. Dengan usaha
penyempurnaan kebijakan pajak, tahun 1990-an pola penerimaan pajak menjadi
terbalik jika dibandingkan dengan periode 1967- 1975, yaitu :
1) Pajak atas perusahaan minyak menurun
2) Pajak bukan minyak meningkat
3) Pajak tidak langsung tidak turun
4) Penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor turun pelan –pelan
b) Perkembangan Penerimaan Domestik Nonminyak
Dalam Pelita I atau 1969/70 s/d 1973/74 pajak langsung yang berupa
pajak perseroan, MPO dan pajak penjualan mengalami Peningkatan dengan tajam
tetapi pajak tidak langsung seperti Ipeda (iuran pembangunan daerah) dan pajak
cukai meningkat agak lambat. Kondisi ini memberi gambaran agar pemerintah
mengintensifkan pajak atas pendapatan perorangan atau perseroan dan pajak
tanah pemukiman di perkotaan. Pada periode ini tidak dilaksanakan pajak ekspor
karena untuk meningkatkan perdagangan luar negeri di balik peningkatan pajak
impor. Pajak merupakan salah satu pendapatan pemerintah di samping bantuan
luar negeri. Rata – rata bantuan luar negeri terhadap pengeluaran pembangunan
dalam Pelita I berkisar 57%, Pelita II berkisar 36%, Pelita III berkisar 30% , dan
Pelita IV berkisar 50%.
Dalam awal Pelita III atau tahun 1979/80-1980/81 muncul harapan yang
cerah akan pendapatan pajak pendapatan atan PPn karena ditetapkannya
pembaruan pajak tahun 19981. Dalam tahun berikut, yaitu tahun 1988 atau
dalam akhir Pelita IV atau 1988/89 Pajak Pertambahan Nilai atau PPn
meningkat tiga kali disbanding dengan tahun 1983 walaupun pajak bumidan
bangunan atau PBB masih kecil. Selama tahun 1983 hingga tahun 1988 potensi
dalammeningkatkan PPN masih tinggi yaitu 53% dan PPh 35%.
APBN awal Pelita V atau 1989/90 sejalan dengan paket 27 Oktober 1988
atau Pakto 27 1988 yaitu suatu APBN yang diupayakan untuk meningkatkan daya
beli masyarakat luas atau untuk pemerataan dan penyehatan neraca pembayaran.
Pengeluaran dalam APBN ditujukan untuk meningkatkan kemampuan golongan

4
ekonomi lemah, penyerapan tanaga kerja, dan peningkatan pendapatan nasional.
Suatu kenyataan bahwa dalam dalam APBN tahun 1989/90 pengeluaran
pembangunan yang dibiayai dengan tabungan sebesar 13,75% dan 86,25%
dibiayai dari pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, peranan kebijakan pajak
masih sangat lemah sehingga kenaikan penerimaan pajak sangat diharapkan
hingga saat ini. 2
c) Pembaruan Kebijkan Pajak
Keadaan yang teruraikan di atas merupakan suatu tanda keberhasilan dan
pembaruan kebijakan pajak yang dimulai sejak tahun 1981. Pembaruan ini
dilakukan oleh pemerintah karena didorong oleh suatu pandangan yang kuat
bahwa dalam Pelita berikutnya khususnya mulai Pelita V atau 1989/90 s/d
1993/94 akan terjadi penurunan yang cepat dalam ketergantungan pada bantuan
luar negeri dan pada pajak minyak sehingga pengumpulan pajak nonminyak
diintensifkan. Dalam bulan Desember 1983 dan 1985 Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujuiUndang – undang Perpajakan, seperti:
1) Undang –undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Peraturan dan Prosedur
Pajak Umum.
2) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pendapatan dan
Pajak Pertambahan Nilai terhadap Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan
Barang Mewah.
3) Undang – undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB.
4) Undang – undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Pajak Materai.
Penerimaan dalam negeri yang berupa pajak sangat diandalkan oleh pemerintah
karena penerimaan dalam negeri lainnya seperti minyak tergantung pada pasaran
dunia dan kebijakan OPEC dan penerimaan ekspor non migas juga tergantung
pada kebijakan kuota impor, retribusi impor, dumping dan kebijkan lainnya.
Kebijakan pajak dapat bersifat fleksibel atau kenyal dalam pengaturan
perekonomian. Reformasi perpajakan meliputi aspek – aspek rumusan dan
pembuatan peraturan perundang – undangan pajak yang menyangkut utility
ekonomi, meningkatkan keadilan, pemerataan beban, peningkatan kepatuhan
pajak, penyempurnaan administrasi pajak dengan kepastian hukum, memberikan
kemudahan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat wajib pajak dan
berusaha meningkatkan pendapatan negara dari pajak.

2
Ibid., hlm 18-19
5
Sesungguhnya jauh sebelum zaman reformasi pembaruan perpajakan nasional I
telah dilakukan yaitu dalam tahun 1983 – 1985, pembaruan perpajakan yang II
dilakukan dalam tahun 1994 dan 1997.
Dalam pembaruan perpajakan yang I melahirkan Undang- undang Perpajakan:
1) Undang – undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
2) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3) Undang – undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan
Pajak Penjualan atas barang mewah.
4) Undang – undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB.
5) Undang - undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dalam pembaruan perpajakan yang II melahirkan Undang – undang
Perpajakan:
1) Undang – undang Nomor 9 Tahun 1984 tentang Ketentuan Umumdan
Tata Cara Perpajakan.
2) Undang – undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan.
3) Undang – undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN Barang danJasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4) Undang – undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB.
Pembaruan perpajakan yang III melahirkan Undang – undang Perpajakan :
1) Undang – undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyeleseian
Sengketa Negara yang Mengundangkan Tata Cara Sengketa Pajak
Diantara Wajib Pajak dan Pemerintahan,
2) Undang – undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang memerinci pendapatan dari pajak dan retribusi.
Jenis pajak daerah tingkat I berupa pajak kendaraan bermotor, bea balik
nama kendaraan bernotor dan pajak bahanbakar kendaraan bermotor, serta
jenis pajak daerah tingkat II berupa pajak hotel dan restoran, pajak
hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian C, dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan
air permukaan. Retribusi terdiri dari jasa umum, jasa usaha dan perijinan
tertentu.
3) Undang – undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan

6
Surat Paksa yang diterbitkan karena wajib pajak atau penanggung tidak
melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
Melakukan penyitaan jika wajib pajak atau penanggung tidak memenuhi
surat penagihan pajak.
4) Undang – undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
bukan Pajak yang terdiri dari penerimaan yang bersumber dari
pengelolaan dana pemerintah, penerimaan dari pemanfaatan sumber daya
alam, penerimaan dari hasil – hasil pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
pemerintah, penerimaan berdasarkan keputusan pengadilan dan berasal
dari pengenaan denda administrasi, penerimaan berupa hibah yang
merupakan hak pemerintah dan penerimaan yang diatur dalam undang –
undang tersendiri.
5) Undang – undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan. Pajak dikenakan kepada yang menerima
(pribadi atau badan) hal atas tanah atau bangunan yang terdiri dari
pemindahan hak dan pemberian hak baru. Hak atas tanah atau bangunan
adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Perekonomian menjelang tahun 2000 yang telah diwarnai oleh krisis ekonomi
yang dimunculkan dengan krisis moneter mulai tahun 1997, membuat pemerintah harus
mengatasinya dengan memulai suatu strategi kebijakan fiskal yang baru agar masyarakat
percaya dengan pengelolaan fiskal yang sehat. Langkah awal yang dilakukan oleh
pemerintah adalah konsolidasi fiskal untuk memulihkan kepercayaan dan penurunan
kebangkrutan fiskal, kemudian dilanjutkan dengan reformasi fiskal yang lebih mengakar,
reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan, reformasi anggaran, dan reformasi
departemen keuangan. Dengan krisis moneter tahun 1997 telah mengubah kondisi
anggaran pendapatan dan belanja negara menjadi defisit, ekonomi sektor riil macet dan
terjadi inflasi sekitar 78%, kurs mata uang asing meningkat, dan PDB turun 13%. Setelah
rekapitulasi perbankan, utang pemerintah menjadi 96% dari PDB atau sebesar Rp 1.226,1
triliun (setara dengan US $ 60,8 miliar). Sebagian utang itu adalah akibat dari kebijakan
bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kebijakan penjaminan bank, kebijakan
rekapitalisasi bank, dan kebijakan diversifikasi.
Kebijakan BLBI adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan

7
likuiditas bank akibat arus dana keluar yang tidak terbendung yang dipicu oleh krisis di
Thailand. Pembelian dollar terjadi besar – besaran dan dana rupiah nasabah bank ditarik
untuk ditukarkan dengan dollar sehingga bank kesulitan rupiah. Dana keluar dari bank
ditambah dengan peristiwa ekonomi yang tidak mendukung seperti penutupan 18 bank
sekaligus pada November 1997, inflasi, orang enggan menyimpan uang rupiah, kegiatan
ekonomi macet, terjadi pemutusan hubungan kerja, kehidupan semakin berat, dan
meledaknya kerusuhan di berbagai daerah. Kondisi secara keseluruhan ini sangat
menekan dunia perbankan, yaitu bank satu tidak dapat meminjam dari bank lain,
pinjaman luar negeri tidak mungkin. Kalau hal ini dibiarkan, bank akan hancur total.
Oleh karena itu, satu –satunya yang dapat menyelamatkan bank adalah Bank Indonesia.
Kebijakan penjaminan bank dimulai Maret 1998 dimaksudkan untuk mengatasi
situasi perbankan yang sudah benar – benar kehilangan kepercayaan dari para
nasabahnya berupa penarikan rupiah untuk membeli mata uang asing atau simpanannya
dipindahkan ke bank asing. Kebijakan ini sangat tepat terbukti sewaktu likuidasi banyak
bank tidak terjadi kondisi sewaktu penutupan 16 bank sebelumnya. Kebijakan
penjaminan bank ini merupakan sumber kedua timbulnya utang dalam negeri pemerintah.
Kebijakan rekapitulasi bank dilakukan setelah proses penutupan bank (1998-
1999) selesei, sehingga bank yang masih bertahan dapat beroperasi normal kembali.
Bank yang bertahan yang dibebani kredit macet dan tidak mempunyai modal memadai
harus melewati proses penyehatan khusus BPPN, termasuk pembersihan neracanya dari
kredit macet dan penambahan modal atau rekapitalisasi. Tindakan rekapitalisasi
dipandang sebagai prasyarat pentingnya bagi pemulihan ekonomi. Bank diwajibkan
memenuhi rasio kecukupan modal minimal 4% akhir tahun 1998, jika ada kekurangan,
pemilik lama diminta menyetor paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh
pemerintah dalam bentuk obligasi pemerintah. Ternyata yang kekurangan modal adalah
bank- bank pemerintah. Rekapitalisasi inilah sebagai sumber utang pemerintah yang
sangat besar. Dengan kebijakan rekapitalisasi menyebabkan kepemilikan saham bank
sebagian terbesar dimiliki oleh pemerintah. Hal ini tidak baik dan tidak akan sehat karena
risiko yang ada di bank. Oleh karena itu, kebijakan ini diikuti dengan kebijakan menjual
kembali saham tersebut atau disebut divestasi.
B. Kebijakan Fiskal dan Moneter 2001-2008
1) Kebijakan Fiskal tahun 2001-2008
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan
pemerintah di bidang pendapatan dan pengeluaran negara dengan tujuan untuk

8
perbaikan ekonomi. Kebijakan fiskal mempengaruhi kondisi perekonomian, tingkat
pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, pemerataan
pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Kebijakan fiskal ditetapkan oleh
pemerintah dan legislatif melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. Ada 3
(tiga) tujuan kebijakan fiskal, yaitu :
a) Untuk memantapkan stabilitas ekonomi makro,
b) Untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri,
c) Untuk meningkatkan pendapatan perkapita.
Dalam tahun 2001, proses pemulihan ekonomi masih dipengaruhi oleh
ketidakpastian, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum pulih, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing masih lemah, inflasi cenderung meningkat, dan
pertumbuhan nilai ekspor khususnya nonmigas cenderung meningkat. Dengan
pengaruh tersebut, kebijakan ekonomi makro diarahkan pada upaya untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam mengurangi tekanan inflasi dan
melemahnya nilai tukar rupiah serta memelihara ketahanan fiskal. Peranan pemeritah
dalam perekonomian dan pembangunan menjadi sangat penting, yaitu :
a) Merumuskan instrumen kebijakan fiskal dan pengeluaran,
b) Menganalisa pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi
perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi,yang semakin memburuk.
Bersamaan dengan itu, mulai bulan Januari 2001, bangsa dan negara Indonesia
melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan dasar otonomi di
seluruh daerah tingkat II yang jumlahnya mencapai 336. Babak baru tersebut
menuntut peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan atau penyediaan
barang publik dan pembangunan ekonomi di tingkat daerah sangat besar, khususnya
dalam bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah
yang telah menjadi salahsatu bagian utama kebutuhan penduduk.
Walaupun telah digalakkan otonomi, kemampuan daerah untuk mempertahankan
dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan masih sangat terbatas karena
pendapatan asli daerah atau PAD masih rendah dalam penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD daerah tingkat II dan kesiapan sumber
daya manusia serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih
terbatas. Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat karena kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan
dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila

9
langsung diatur oleh pemerintah pusat.
Saat ini kesejahteraan masyarakat belum terwujud karena efektifitas pengeluaran
APBD tidak mampu mengimbangi peningkatan PAD berupa pajak dan restribusi.
Desentralisasi pajak di Indonesia merupakan komponen utama dari program otonomi
daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Undang- undang tentang desentralisasi pajak
tidak mengatur penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat khususnya
kesehatan dan pendidikan.
Dalam tahun 2002, peranan pemerintah sangat signifikan dalam pembangunan
ekonomi melalui instrumen fiskal dan moneter. Sebagaimana diketahui bahwa, tujuan
pemerintah melakukan intervensi dalam sistem perekonomian adalah :
a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
b) Pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan
c) Mempertahankan stabilisasi.
Instrumen yang utama dalam kebijakan fiskal adalah pengenaan pajakdan subsidi.
Kebijakan fiskal yang dilaksanakan pemerintah tertuang dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Negara atau APBN yang disusun setiap tahun.Alokasi anggaran pemerintah
antar sektor merupakan indikator keberpihakan pemerintah dalam memicu pertumbuhan
sektor tersebut.3
Pada awal pembangunan sebagian besar perhatian pemerintah diarahkan untuk
pembangunan sektor pertanian terutama dalam mencapai swasembada (kemampuan
untuk memenuhi) pangan. Untuk itu, berbagai program dilaksanakan dalam rangka
mendorong produksi pertanian terutama tanaman pangan mulai dari subsidi pupuk
dan output, subsidi kredit pertanian, kelembagaan sampai pada investasi pemerintah
untuk pembangunaninfrastruktur seperti saluran irigasi dan pencetakan areal baru.
Pada dasawarsa terakhir, perubahan lingkungan strategis baik internal maupun
eksternal sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah baik fiskal
maupun moneter.Beberapa perubahan lingkungan strategis telah terjadi baik domestik
maupun internasional, seperti :
a) Dinamika ekonomi global dengan segala manfaat dan kelemahannya,
b) Perubahan sistem manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan otonomi
daerah di kabupaten atau kota,
c) Reorientasi peran pemerintah dalam pembangunan dari sebagai pelaku menjadi
pemicu dan pemacu pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat.

3
Budiono, Ekonomi Moneter Edisi 3 Seri Sionopsis Pengantar Ekonomi, (Yogyakarta : BPFE),
1994, hlm 86
10
Sementara itu perubahan lingkungan strategis domestik yang sangat besar
mempengaruhi kebijakan perekonomian adalah desentralisasi fiskal dan otonomi
daerah. Perubahan lingkungan strategis tersebut berdampak pada perubahan kebijakan
yang diambil pemerintah serta pada penerimaan dan belanja pemerintah. Dalam
hubungan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagian penerimaan dalam
negeri diserahkan penggunaannya kepada daerah. Sebagai konsekwensinya jumlah
anggaran pembangunan yang dikelola pemerintah pusat menurun drastis.
Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua , yaitu
manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen
tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi. Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang
didasarkan pada Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan
Undang-undang nomor 33 tahun 2004, memberikan kewenangan yang luas dan nyata
kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengatur sumber daya sesuai dengan
kepentingan masyarakat daerahnya. Pemerintah Daerah berwenang untuk menetapkan
prioritas pembangunan sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.
Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang
dimulai pada tahun anggaran 2001 tersebut membawa konsekwensi perlunya diadakan
perubahan pendekatan pada manajemen keuangan daerah terutama pada sisi
pengelolaan fiskal. Tentang Program Pembangunan Nasional atau Propenas tahun 2000-
2004, juga merupakan kelanjutan dari kebijakan fiskal tahun anggaran sebelumnya.
APBN tahun 2002 di samping diselaraskan dengan kebijakan program pembangunan
ekonomi yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2002 juga mempertimbangkan
kinerja perekonomian dalam tahun anggaran 2001.
Searah dengan arah kebijakan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Tahunan
atau Repeta tahun 2002, prioritas anggaran belanja pembangunan dalam tahun anggaran
2002 dititik beratkan pada :
a) Pembangunan sektor pendidikan yang lebih difokuskan pada peningkatan
partisipasi pendidikan dasar melalui penuntasan program wajib belajar
pendidikan 9 tahun dan peningkatan mutu pendidikan.
b) Pembangunan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial yang diarahkan untuk
meningkatkan mutu dan jangkauan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar dan

11
rujukan seluruh penduduk, terutama bagi penduduk miskin, serta peningkatan
dan perluasan pelayanan kesehatan sosial dalam rangka meningkatkan potensi
ekonominya, dan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, kelautan, pulau-
pulau kecil, dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
c) Pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui
penciptaan iklim usaha yang kondusif, peningkatan akses kepada sumber daya
produktif, serta pengembangan kewirausahaan dan koperasi yang memiliki
keunggulan komparatif.
d) Pembangunan sektor perhubungan, dengan arah kegiatan pemeliharaan,
pembangunan dan pengembangan aksesbilitas, serta pelayanan jaringan
perhubungan dalam rangka untuk meningkatkan mobilitas barang dan orang.
e) Pembangunan penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang
diarahkan untuk menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat melalui peningkatan kekuatan, serta kemampuan Kepolisian
Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya dengan melaksanakan
beberapa kegiatan seperti penyelenggaraan operasi penegakan hukum dan
keamanan serta ketertiban masyarakat.
f) Peningkatan ketahanan, melalui kegiatan meningkatkan profesionalisme
Tentara Nasional Indonesia dan kemampuan operasi dalam upaya mencegah
disintergrasi nasional dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam
menciptakan stabilitas dalam negeri.
g) Penguatan politik luar negeri dan diplomasi yang ditujukan untuk memulihkan
citra Republik Indonesia didunia internasional dalam rangka mendukung
pemulihan ekonomi nasional
Pada periode anggaran 1999/2000 sampai tahun 2004, sementara rasio PDB mengalami
pertumbuhan sebesar 13,6% pertahun anggaran. Dalam tahun 2003 telah dilakukan
kebijakan konsolidasi fiskal oleh Direktorat Bea dan Cukai tentang reformasi kebijakan
fiskal untuk meningkatkan penerimaan pajak dan iklim investasi yang lebih baik,
kebijakan cukai rokok untuk mengatasi cukai palsu atas rokok sehingga penerimaan
negara meningkat, reformasi administrasi kepabeanan tentang perluasan jalur prioritas
dan penyempurnaan prosedur verifikasi kepabeanan untuk meningkatkan kepatuhan.
Dalam tahun 2004, Pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1% dari Produk
Domestik Bruto serta ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto kurang dari 60%.

12
Angka tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka pendek yang
mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005. Strategi penurunan defisit
anggaran ditempuh dengan dua (2) langkah :
a) Meningkatkan penerimaan negara terutama dari pajak,
b) Pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara.
Dalam tahun 2004 pembaharuan kebijakan pajak terus dilakukan berupa pembaharuan
administrasi perpajakan sebagai kelanjutan dari pembaharuan administrasi perpajakan
tahun 2003. Tujuan pembaharuan itu adalah untuk meningkatkan efektifitas pemungutan
pajak serta memperluas basis pajak tanpa harus menunggu perubahan undang-undang
perpajakan yang ada. Pemerintah terus menggiring wajib pajak yang belum melakukan
kewajiban perpajakan dan menggiring mereka menjadi wajib pajak yang patuh.
Kebijakan fiskal tahun 2005 adalah kebijakan sebagai penerusan kebijakan fiscal
tahun 2004 seperti kebijakan melakukan kampanye sadar dan peduli pajak
melaluiBillboard, videotron, highway information system, dan komik pajak
untukKonsumsi anak-anak serta melalui media elektronik, pengembangan dan
pengawasan terhadap e-filling, e-registration, e-payment, dan e-counseling, peningkatan
kinerja tim optimalisasi penerimaan pajak, dan melanjutkan programCanvassing,
manajemen pemeriksaan pajak, dan penagihan tunggakan pajak. AgarKemampuan
ekonomi masyarakat dapat terdorong, telah dilakukan kebijakan intensifikasi perpajakan
seperti penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak untuk tiap wajib pajak sehingga
mengubah penerimaan gaji bersih yang dibawa pulang oleh pegawai atau karyawan,
pemberian fasilitas fiskal bagi perusahaan yang membantu korban bencana alam berupa
deductible expense. Peningkatan pelayanan administrasi terus dilakukan baik dalam
bidang PPN, PBB, cukai, bea masuk dan lain-lainnya.
2) Kebijakan Moneter Tahun 2001-2008
Krisis tahun 1997 sampai 1998 menunjukkan besarnya tantangan krisis yang
dimulai dari krisis mata uang menjalar dengan cepat ke sistem perbankan dan
perekonomian secara keseluruhan. Krisis 1997 sampai 1998 kemudian membuat
otoritas membenahi kelembagaan perumusan kebijakan ekonomi dan moneter di
Indonesia salah satu respon awal yang ditempuh untuk mengatasi kuatnya tekanan
eksternal tersebut ialah penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas pada
Agustus 1997 pembagian kewenangan dan tanggung jawab antar otoritas juga
diperkuat dengan pembagian tujuan fungsi dan peranan yang jelas antara otoritas
fiskal moneter dan keuangan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan konsistensi

13
kebijakan yang tempo dan memperbaiki kredibilitas masing-masing pemangku
kebijakan, Bank Indonesia dipandang perlu untuk independen agar dapat
merumuskan dan mengelola kebijakan moneter dengan konsisten dan kredible
dengan satu tujuan tunggal yaitu stabilitas harga dependensi tersebut tentu saja
disertai dengan peningkatan transparansi dan akuntabilitas kepada publik.
Penguatan struktural kelembagaan Bank Indonesia dilakukan melalui penerbitan
undang-undang nomor 23 tahun 1999 sebagaimana kemudian diubah menjadi
undang-undang nomor 3 tahun 2004 dan undang-undang nomor 6 tahun 2009.
Dengan terbitnya undang-undang ini Bank Indonesia memulai era baru sebagai
penjaga stabilitas nilai rupiah melalui pelaksanaan tugas di bidang moneter
perbankan dan sistem pembayaran yang independen.Seiring perjalanan waktu,
kebijakan moneter melalui pengendalian uang beredar dirasakan menjadi kurang
efektif. Perilaku permintaan uang pascakrisis mengalami perubahan struktural
sehingga sulit untuk dijelaskan dari sekadar motif transaksi maupun motif berjaga-
jaga. Volume perputaran uang di sektor keuangan telah jauh melebihi kebutuhan
pembiayaan di sektor riil. Hal tersebut berdampak pada hubungan antara uang
beredar dengan berbagai variabel di sektor riil menjadi makin kompleks dan sulit
diprediksi. Sesuai dengan komitmen Bank Indonesia untuk terus melakukan
transformasi demi meningkatkan kualitas kebijakan, kerangka kebijakan moneter
baru untuk meningkatkan efektivitas pengendalian inflasi kemudian dirumuskan.
Mulai tahun 2001 Bank Indonesia mulai menempuh langkah-langkah untuk
menerapkan inflation targeting meskipun uang primer masih dijadikan sebagai
sasaran operasional hingga akhir Oktober 2013 kebijakan moneter Bank Indonesia
mulai diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan dan diumumkan
kepada publik hingga akhirnya pada tahun 2005 Indonesia mengumumkan secara
ekspresif penggunaan inflasi targeting sebagai frame kebijakan moneter secara
eksplisit penggunaan infaltion targeting sebagai frame kebijakan moneter secara full-
flaged inflation targeting (FFIT).
Mengingat inflasi dipengaruhi berbagai faktor yang tidak hanya dalam
pengendalian langsung bank sentral, koordinasi kebijakan antara BI dan Pemerintah
dalam pengendalian menjadi sangat penting. Salah satu bentuk koordinasi yang
diambil adalah pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di
tingkat nasional oleh BI dan Pemerintah pada tahun 2005. Penguatan koordinasi
kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di tingkat daerah

14
(TPID) pada tahun 2008.
Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di
daerah, pada Juli 2011 dibentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang
diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran
TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia,
Kemenko Perekonomian dan Kemendagri.Merespons dinamika tantangan yang
berubah dan pelajaran dari krisis keuangan global 2008 tersebut, Bank Indonesia
melakukan penguatan kerangka kebijakan moneter ITF yang telah
diimplementasikan sejak tahun 2005. Hasil penguatan kerangka kebijakan moneter
ITF kemudian berkembang menjadi bauran kebijakan (policy mix), di mana upaya
pengendalian inflasi sebagai overriding objective juga diikuti kemampuan
mempertimbangkan indikator- indikator stabilitas pasar keuangan.
Pada era implementasi bauran kebijakan, Bank Indonesia meningkatkan
optimalisasi pengelolaan trilemma kebijakan moneter. Pengelolaan trilemma tersebut
mencakup bauran antara kebijakan moneter dan makroprudensial untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, kebijakan pengelolaan nilai tukar
sejalan dengan fundamentalnya, dan kebijakan manajemen arus modal. 4
Ada lima hal penting didalam desain ITF yaitu operasi moneter, response
kebijakan, Indikator kebijakan, sasaran akhir dan koordinasi dengan pemerintah.
Pertama, dalam Operasi moneter, sasaran pengendalian moneter adalah BI rate
dengan menggunakan instrumen moneter. Kedua, response kebijakan moneter
merupakan kegiatan untuk melihat bagaimana BI rate dinaikkan, diturunkan atau
tidak berubah, Ketiga, indikator kebijak kebijakan moneter yakni bagaimana BI
melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi khususnya
prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besara-besaran moneter, perkembangan
sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan dan memperhatikan langkah-
langkah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, sasaran
inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter, dimana didalam menetapkan sasaran
akhir ini harus berkordinasi dengan pemerintah dengan mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kelima, koordinasi dengan pemerintah, hal ini dilakukan
agar kebijakan moneter yang diambil sejalan dengan kebijakan pemerintah dibidang

4
A. Abimanyu, Exit Strategy dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2004,
2003, hlm 102
15
ekonomi.
Dalam tahun 2001 sampai 2008 pemerintah peranan pemerintah sangat signifikan
dalam pembangunan ekonomi melalui instrumen fiskal dan moneter. Instrumen yang
utama dalam kebijakan moneter adalah kebijakan suku bunga dan jumlah uang
beredar sedangkan instrumen yang utama adalah kebijakan fiskal adalah pengenaan
pajak dan subsidi. Berbagai kebijakan baik fiskal maupun moneter diarahkan untuk
memacu pertumbuhan sektor industry
C. Kebijakan Fiskal dan Moneter Tahun 2009 – 2018
1) Kebijakan Fiskal Tahun 2009 – 2018
Pertumbuhan ekonomi yang baik adalah tujuan utama semua negara di dunia
tak terkecuali di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi akan selalu menjadi pusat
perhatian dan menjadi salah satu isu yang banyak menyita perhatiant dunia, untuk
mencapai tujuan tersebut harus diikuti dengan kemampuan variabel makro ekonomi
dalam mengatasi setiap masalah ekonomi yang ada.
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan
keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang
lebih baik. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan
cara mempengaruhi sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran pada APBN.
Pemerintah seringkali menghadapi masalah defisit anggaran sehingga memerlukan
suatu kebijakan fiskal untuk menghadapinya. 5
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, demi mendukung
penurunan tingkat defisit, pemerintah selalu menjaga defisit kumulatif APBN dan
APBD berada dalam batas yang telah ditetapkan yaitu di bawah 3%.Melalui APBN
pemerintah berkewajiban untuk menjalankan peran dan fungsi sentral kebijakan fiskal
agar stabilitas kinerja dari anggaran pendapatan dan belanja negara berada dalam
kondisi baik dengan melakukan optimalisasi pendapatan negara dengan target
penerimaan perpajakan yang realistik berdasarkan basis data terkini, pemerintah juga
akan melakukan efisiensi belanja negara serta penguatan terhadap kualitas belanja
negara untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional dan melakukan efisiensi
pembiayaan anggaran untuk mendorong keseimbangan primer menuju ke arah yang
positif. Tolak ukur yang perlu dijaga dalam mempertahankan stabilitas kinerja dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yaitu penerimaan pajak, defisit

5
Pohan.A, Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia,
(Jakarta : PT.Rajawali Grafindo Persada), 2008, hlm 20
16
anggaran pemerintah dan kondisi keseimbangan primer APBN.
Keseimbangan primer merupakan total penerimaan dikurangi belanja dalam APBN
yang tidak termasuk pembiayaan bunga dan cicilan pokok utang pemerintah.
Keseimbangan primer merupakan salah satu pendekatan untuk menilai kondisi
kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Jika keseimbangan primer berada dalam
kondisi defisit, maka penerimaan negara tidak dapat menutup pengeluaran sehingga
untuk membayar bunga atau cicilan utang pokok menggunakan pokok utang baru.
Hal tersebut beresiko terganggunya kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan
fiskal (fiscal need) karena beban bunga utang harus ditutup dengan penarikan utang
baru sehingga perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan
fiskal
2) Kebijakan Moneter Tahun 2009-2018
Kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral dimaksudkan untuk
mempengaruhi harga dan kegiatan sektor rill suatu perekonomian. Proses dalam
mempengaruhi harga dan sektor rill disebut sebagai mekanisme transmisi.
Mekanisme transmisi adalah saluran yang menghubungkan antara kebijakan moneter
dengan perekonomian. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang
secara umum yang bersifat terus-menerus dalam periode tertentu. Sementara itu,
faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu tekanan
inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. 6
Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan
inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll)
sepenuhnya berada di luar pengendalian Bank Indonesia. Dalam pelaksanaannya,
Bank Indonesia memiliki kerangka kebijakan moneter meliputi implementasi
kebijakan moneter dan strategi kebijakan moneter. Implementasi kebijakan moneter
meliputi penentuan kombinasi intrumen moneter, target operasional, dan pelaksanaan
operasi pengendalian moneter di pasar keuangan yang sesuai dengan arah dan respons
kebijakan moneter.
Sementara itu, kerangka strategis kebijakan moneter umumnya terkait dengan
pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi,
dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya. Target nilai tukar

6
Sadono.Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi 3, (Jakarta : PT.Rajwa
Grasindo Persada), 2010, hlm 44
17
merupakan strategi kebijakan dengan tiga kemungkinan pelaksanaan, yaitu
menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditi tertentu yang diakui
secara internasional, menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang
negara-negara besar yang memiliki laju inflasi yang rendah, atau dengan
menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu pada saat
perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi di
antara kedua negara.
Laporan Inflasi Pertahun (Indeks Harga Konsumen)
Pada Tahun 2009 – 2018
Perkembangan Inflasi pada tahun 2009 yakni sebesar2,78 %, di tahun 2010 terjadi
inflasi hingga sebesar 6,96 %, namun di tahun berikutnya yakni tahun 2011 kembali
mengalami penurunan hingga 3,79 %, di tahun 2012 sebesar 4,3%, sampaipada tahun
berikutnya yaitu tahun 2013 terjadi peningkatan inflasi yang lumayan hingga sebesar8,38
%, inflasi di tahun berikutnya yakni tahun 2014 masih kondisi kondusif yakni 8,36 %,
inflasi kembali turun di tahun 2015 sebesar 3,35 %, sampai di tahun 2016 menjadi 3,02%,
di tahun 2017 inflasi mulai naik hingga 3,61 %, ditahun berikut pada tahun 2018
inflasi kembali turun ke 3,13 % hingga pada tahun berikut yakni tahun 2019 update
terbaru sebesar 2,48%.

18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penentuan sistem dan keberhasilan kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh
pengalaman dan sejarah penerapannya dalam pengelolaan suatu negara. Dalam
kenyataannya, sejarah fiskal dibentuk karena adanya situasi atau kondisi sumber
pendapatan pemerintah dari suatu periode tertentu ke periode berikutnya, baik karena
pengaruh luar negeri maupun karena pengaruh dalam negeri. Sedangkan kebijakan
moneter paradigma lama yang menyatakan bahwa jumlah atau kuantitas uang beredar
dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas moneter menjadi tidak berlaku. Karena itu
manajemen moneter melalui sasaran kuantitas nampaknya semakin kurang dapat
dipertahankan lagi.
Dan Sedangkan Paradigma baru yang lebih meyakini jalur suku bunga dan jalur nilai
tukar sebagai jalur utama transmisi kebijakan moneter bukan berarti memandang kurang
pentingnya jalur kredit. Kecenderungan adverse selection dan moral hazard merupakan
fenomena yang sering dijumpai dalam bisnis perbankan. Akan tetapi kenyataan ini pada
dasarnya merupakan dampak lanjutan dari perubahan suku bunga dan nilai tukar tersebut.
Demikian pula mengenai jalur harga asset. Pada dasarnya ada tiga harga asset dalam
perekonomian, yaitu: suku bunga pada pasar uang Rupiah, nilai tukar pada pasar valuta
asing, dan harga saham pada pasar modal.
B. SARAN

19
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini, masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan sekiranya pembaca memberikan saran dan
kritik mengenai kesalahan- kesalahan yang ada,dekimian makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu A. Exit Strategy dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2004, 2003
A Pohan, 2008, Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia,
(Jakarta : PT.Rajawali Grafindo Persada),
Budiono, 1994, Ekonomi Moneter Edisi 3 Seri Sionopsis Pengantar Ekonomi,
(Yogyakarta : BPFE),
Sudirman,Wayan,2011 Kebijakan Fiskal dan Moneter, ( Jakarta : Kencana,)
Sukirno Sadono,2010, Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi 3, (Jakarta : PT.Rajwa
Grasindo Persada)

21

Anda mungkin juga menyukai