Anda di halaman 1dari 30

LEMBAGA ASURANSI SYARIAH (II)

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah

Dosen Pengampu:

Moh. Nu’man, S.H., M.H

Disusun oleh Kelompok 5:


Silvi Ayu Saputri (12406193053)
Sawitri Idha Churiyati (12406193071)
Fadzila Nur Aini (12406193088)

KELAS 4B
MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
APRIL 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga
senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya.
Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini maka penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung.
2. Bapak Dr. H. Dede Nurohman, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam
3. Ibu Hj. Amalia Nuril Hidayati, SE., M.Sy, selaku Ketua Jurusan Manajemen
Keuangan Syariah
4. Bapak Moh. Nu’man, S.H., M.H, sebagai dosen mata kuliah Aspek Hukum
Lembaga Keuangan Syariah yang telah memberikan pengarahan sehingga
makalah dapat terselesaikan.
5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT.
Dan tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, karya ini penulis suguhkan kepada
segenap pembaca, dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif
demi perbaikan. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Allah SWT.

Tulungagung, 18 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II: PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Asuransi Syariah ............................................ 3
B. Sejarah dan Strategi Perkembangan Asuransi Syariah ....................... 5
C. Pedoman Umum Asuransi Syariah ..................................................... 6
D. Ketentuan Asuransi Haji ..................................................................... 9
E. Ketentuan Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah ............................... 11
F. Akad-Akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah ........................ 12
G. Jenis Investasi bagi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi .................. 18
H. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah .................. 20
BAB III: PENUTUP
A.Kesimpulan ..................................................................................... 24
B.Saran ................................................................................................ 26
DAFTAR RUJUKAN ..................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia, perkembangan asuransi semakin berkembang. Lahirnya
perusahaan asuransi syariah didukung dengan besarnya jumlah penduduk yang
beragama islam yang membutuhkan suatu lembaga keuangan islam, sehingga
setiap transaksi muamalah yang dilakukannya sesuai dengan syariah.
Berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga otoritas fikih yaitu
menyatakan tentang ketidakbolehan sistem asuransi konvensional, karena
akadnya mengandung unsur riba, kecurangan, maupun ketidakjelasan.
Sementara akad dalam asuransi syariah berlandaskan pada asas saling tolong-
menolong yang seluruh aktivitasnya tunduk pada pengawasan syariat, sehingga
akadnya bersih dari riba.
Dalam menerjemahkan istilah asuransi berdasarkan konteks islam
terdapat beberapa istilah, diantaranya takaful, ta’min dalam bahasa arab,
maupun Islamic Insurance dalam bahasa inggris. Istilah-istilah tersebut pada
dasarnya tidak berbeda atau satu sama lain yang mengandung makna
pertanggungan atau saling menaanggung. Namun dalam prakteknya yang
sering digunakan sebagai istilah asuransi di negara Indonesia ini adalah istilah
takaful.1
Pada asuransi syariah ini ada beberapa macam akad, salah satunya yakni
akad tabarru’. Sumbe dana pembayaran klaim asuransi syariah ini diperoleh
dari rekening tabarru’ sepenuhnya, yaitu dana tolong menolong dari seluruh
peserta yang sejak awal sudah diakadkan dengan ikhlas. Berdasarkan uraian
tersebut maka disusunlah makalah ini guna mengkaji lebih dalam tentang
lembaga asuransi syariah. Baik tentang sejarah dan strategi perkembangan
asuransei syariah, pedoman umum asuransi syariah, akad yang digunakan
dalam asuransi syariah, jenis investasi dalam perusahaan asuransi maupun
reasuransi, serta perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional.

1
Gemala Dewi, Aspek Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 136

1
B. Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka permasalahan fundamental
yang harus dirumuskan dapat disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Asuransi Syariah?
2. Bagaimana Sejarah dan Strategi Perkembangan Asuransi Syariah?
3. Apa Saja Pedoman Umum Asuransi Syariah?
4. Bagaimana Ketentuan Asuransi Haji?
5. Bagaimana Ketentuan Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah?
6. Apa Saja Akad-Akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah?
7. Apa Saja Jenis Investasi bagi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi?
8. Apa Saja Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini
guna membantu pembaca dalam memahami dan menjelaskan tentang:
1. Sejarah Perkembangan Asuransi Syariah.
2. Sejarah dan Strategi Perkembangan Asuransi Syariah.
3. Pedoman Umum Asuransi Syariah.
4. Ketentuan Asuransi Haji.
5. Ketentuan Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
6. Akad-Akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah.
7. Jenis Investasi bagi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
8. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Asuransi Syariah


Sistem akuntansi syariah baru diakui dan disepakati ulama dunia pada
1965 M/1385 H. Pada 1385 H, majma’ al-fiqh al-islami (OIC) mengadopsi dan
mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah.
Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreativitas dan kebutuhan
umat Muslim berbanding didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai
sistem saling tolong-menolong dan membantu diantara peserta. Adapun
dikalangan ahli fikih Islam, ulama yang pertama membahas tentang asuransi
ialah Ibn ‘Abidin (1784-1836 M/1252 H), yaitu seorang ulama yang bermazhab
Hanafi. Beliau mengawali pembahasan ini dalam karyanya Hasyiyah Ibn
‘Abidin, Bad Jihad, fasl isti’man al-kafir dan kitab Radd al-Mukhtar ‘Ala al-
Dar Al-Mukhtar.
Secara kelembagaan, perkembangan asuransi syariah global ditandai
dengan kehadiran perusahaan asuransi syariah di berbagai belahan dunia, antara
lain Sudanese Islamic Insurance (1979), Islamic Arab Insuranve Co. (1979)48,
Dar al-Maal al-Islami, Geneva (1981), Islamic Takaful Company (I.T.C), S.A.
Luxembourg (1983), Islamic Takaful and Re-Takaful Company, Bahamas
(1983), Syarikat al-Takafol al-Ismaiyah, Bahrain, E.C (1983), Takaful Malaysia
(1985).
Di Indonesia, asuransi syariah, berawal dari suatu kepedulian yang
tulus, beberapa pihak bersepakat untuk membangun perekonomian syariah di
Indonesia. Simpul awal ekonomi syariah tersebut ditandai dengan berdirnya
bank syariah pertama di Indonesia. Selanjutnya, simpul tersebut makin kuat
dengan terbentuknya Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI)
pada 16 tahun silam.2
Atas prakarsa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui
Yayasan Abdi Bangsa, bersama Bank Muamalat Indonesia Tbk., PT Asuransi

2
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), hlm. 104

3
Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, dan beberapa pengusaha
Muslim Indonesia, serta bantuan teknis dari Syarikat Takaful Malaysia, Bhd.
(STMB), TEPATI mendirikan PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful
Indonesia) pada 24 Februari 1994, sebagai pendiri asuransi syariah pertama di
Indonesia.
Selanjutnya, pada 5 Mei 1994 Takaful Indonesia mendirikan PT
Asuransi Takaful Keluarga (Takaful Keluarga) yang bergerak di bidang
asuransi jiwa syariah dan PT Asuransi Takaful Umum (Takaful Umum) yang
bergerak di bidang asuransi umum syariah. Takaful Keluarga kemudian
diresmikan oleh Menteri Keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad dan mulai
beroperasi sejak 25 Agustus 1994. Adapun Takaful Umum diresmikan oleh
Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie selaku ketua sekaligus pediri
ICMI dan mulai beroperasi pada 2 Juni 1995. Sejak saa itu, Takaful Keluarga
dan Takaful Umum berkembang menjadi salah satu perusahaan asuransi syariah
terkemuka di Indonesia. Hal tersebut kemudian mendorong berbagai
perusahaan masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dengan langsung
mendirikan perusahaan asuransi penuh maupun membuka divisi atau cabang
asuransi syariah.3
Strategi pengembangan bisnis syariah melalui pendirian perusahaan
dilakukan oleh asuransi mubarakah yang bergerak dalam bisnis asuransi jiwa.
Adapun strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang
asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi, antara lain:4
1. PT MAA Life Assurance
2. PT MAA General Assurance
3. PT Great Eastrn Life Indonesia
4. PT Asuransi Tri Pakarta
5. PT AJB Bumi Putera 1912
6. PT Asuransi Jiwa BRingin Life Sejahtera
Bahkan, sejumlah pemain asuransi besar di dunia pun turut terarik
masuk dalam bisnis asuransi syariah, sebagai Negara Muslim terbesar di dunia

3
Ibid., hal. 104—105
4
Ibid.,

4
merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat
diabaikan, diantara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis syariah
Indonesia yaitu:
1. PT Asuransi Allianz Life Indonesia
2. PT Prudencial Life Assurance
Perkembangan asuransi syariah di Indonesia cukup pesat. Pada saat ini,
Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara dengan jumlah operator asuransi
syariah yang terbanyak di dunia. Berdasarkan data DSN-MUI 2008, terdapat 51
perusahaan asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi
syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah,
dan enam broker asuransi dan reasuransi syariah. Perusahaan asuransi yang
sepenuhnya beroperasi berdasarkan syariah hanya tiga jenis, yakni asuransi
takaful umum, asuransi takaful keluarga (jiwa), dan mubarakah.5

B. Sejarah dan Strategi Pengembangan Asuransi Syariah


Perkembangan asuransi syariah belakangan ini diburu banyak orang dan
menenangkan. Kini, nyaris semua perusahaan asuransi membentuk unit syariah.
Bahkan asuransi asing juga ikut membuka unit syariah. Mereka tentu ingin
mencicipi kue syariah di Indonesia. Berdasarkan data OJK, pada tahun 2014
sudah terdapat 45 perusahaan asuransi dan reasuransi syariah di Indonesia.
Rinciannya, empat perusahaan full asuransi jiwa syariah, dua asuransi kerugian
syariah, 17 unit asuransi jiwa syariah, 20 asuransi umum syariah, dan 3 unit
reasuransi syariah. Dibandingkan dari total aset, marker share asuransi syariah
masih sebesar 3.99% dari total industri asuransi nasional. Dari sisi premi,
market share asuransi syariah baru sebesar 4.41% dibanding total premi
asuransi nasional. Jika dibandingkan dengan GDP Indonesia tahun 2012, maka
penetrasi asuransi syariah masih kecil, hanya sebesar 0.8%.6
Untuk mengembangkan industri asuransi syariah, OJK pada tahun 2015
menetapkan lima strategi untuk mendukung pertumbuhan asuransi syariah.
Pertama, memunculkan pengaturan peransuransian syariah ke dalam UU

5
Ibid., hlm. 105—106
6
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
286—287

5
Nomor 40 tentang Peransuransian. Kedua, mendorong pemisahan unit usaha
syariah (spin off) dalam sepuluh tahun ke depan. Ketiga, membuat master plan
pengembangan keuangan syariah yang bersifat nasional. Keempat, melakukan
sosialisasi mengenai asuransi syariah secara terus-menerus kepada berbagai
lapisan masyarakat. Kelima, melakukan penguatan industri melalui peningkatan
pengawasan.7
Otoritas Jasa Keuangan juga mengembangkan asuransi mikro syariah
sebagai bagian dari program pengembangan asuransi mikro yang dicanangkan
OJK pada Oktober 2013. Beberapa perusahaan asuransi sebenarnya sudah
memiliki produk asuransi syariah dengan premi atau kontribusi yang relatif
kecil. Namun, jumlah dan jenis produk asuransi syariah mikro dimaksud masih
sangat terbatas. Pengembangan asuransi mikro merupakan bagian dari program
financial inclusion atau keuangan inklusif dan asuransi mikro syariah ini
diselenggarakan dengan prinsip syariah yang dapat dijangkau oleh masyarakat
berpenghasilan rendah. Pengembangan asuransi mikro syariah diharapkan
dapat menjadi tumpuan untuk mewujudkan keuangan inklusif pada sektor
asuransi.8
Sedangkan menurut Mardani, strategi pengembangan asuransi syariah
di antaranya:9
1. Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi
pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah.
2. Perlu dukungan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan.
4. Meningkatkan kualitas SDM asuransi syariah.

C. Pedoman Umum Asuransi Syariah


Pedoman umum asuransi syariah menurut fatwa Dewan Syariah
Nasional, sebagai berikut:10
1. Ketentuan umum

7
Ibid., hlm. 287
8
Ibid.,
9
Mardani, Aspek Hukum..., hlm. 107
10
Ibid., hlm. 107—110

6
a. Asuransi syariah (ta’min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak
melalui inestasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
b. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) yakni
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.
c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial.
d. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
e. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah
dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
f. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
2. Akad dalam asuransi
a. Akad yang dilakukan antara peserta dan perusahaan dan perusahaan
terdiri akad tijarah dan/atau akad tabarru’.
b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) yakni mudarabah. Adapun
akad tabarru’ adalah hibah.
c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;
2) Cara dan waktu pembayaran premi;
3) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
3. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’
a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudarib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal
(pemegang polis);

7
b. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Adapun
perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
4. Ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru’
a. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak
yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga
menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan
kewajibannya.
b. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
5. Jenis asuransi dan akadnya
a. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan
asuransi jiwa.
b. Adapun akad bagi kedua jenis asuransi tersebut yakni mudarabah dan
hibah.
6. Premi
a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad
tabarru’.
b. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan
tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
c. Premi yang berasal dari jenis akad mudarabah dapat diinvestasikan dan
hasil inestasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.
7. Klaim
a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian.
b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang
dibayarkan.
c. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan
merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

8
d. Klaim atas akad tabarru’, merupakan hak peserta dan merupakan
kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
8. Investasi
a. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari
dana yang terkumpul.
b. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
9. Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada
perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.
10. Pengelolaan
a. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga
yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
b. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan
dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudarabah).
c. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan
dana akad tabarru’ (hibah).
11. Ketentuan tambahan
a. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi
oleh DPS.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
c. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

D. KETENTUAN ASURANSI HAJI


Ketentuan asuransi haji telah ditetapkan oleh DSN berikut:
1. Ketentuan umum:
a. Asuransi haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi
yang menggunakan sistem konvensional.

9
b. Asuransi haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
c. Asuransi haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta'amuni
(tolong-menolong) antar-sesama jemaah haji.
d. Akad asuransi haji adalah akad tabarru' (hibah) yang bertujuan untuk
menolong sesama jemaah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan
antara jemaah haji sebagai pemberi tabarru' dan Asuransi syariah yang
bertindak sebagai pengelola dana hibah.
2. Ketentuan khusus:
a. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk thri selu-
rubjemaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Jemaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabbaru’ yang
merupalcan bagian dari komponen Biaya Perjalanan lbadah Haji
(BPIH).
c. Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus di-
pisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
d. Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru sesuai dengan
Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syar'iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana
tabarru'.
e. Asuransi syariah berhak mempendeh ujrah (fee) atas pengelolaan dana
tabarru' yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
f. Asuransi syariah berkewajiban membayar klaim kepada jemaah haji
sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian.
g. Surplus operasional adalah hak jemaah haji yang pengelolaannya
diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk
untuk kemaslahatan umat.

10
E. Ketentuan Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah
Ketentuan akad taburru’ dalam asuransi syariah telah diatur ditetapkan
oleh fatwa DSN berikut:
1. Ketentuan hukum:
a. Akad tabarru' merupakan akad yang harus melekat pada semua produk
asuransi.
b. Akad tabarru' pada asuransi adalah semua bentuk akad yang di-lakulcan
antar-peserta pemegang polis.
c. Asuransi syariah yang dimaksud pada poin 1 yakni asuransi jiwa,
asuransi kerugian dan reasuransi.
2. Ketentuan akad:
a. Akad tabarru' pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk
hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar-peserta,
bukan untuk tujuan komersial.
b. Dalam akad tabarru', harus disebutkan sekurang-kurangnya:
1) hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu.
2) hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun
tabarru' selaku peserta dalam arti badan/kelompok.
3) cara dan waktu pembayaran pmmi dan klaim.
4) syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
3. Kedudukan para pihak dalam akad tabarru:
a. Dalam akad tabarru' (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan
digunalcan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa
musibah.
b. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana
tabarru’ (mu'ammam/mutabarra’lahu) dan secara kolektif selaku
penanggung (mu'ammin/mutabarri’).
c. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
4. Pengelolaan:

11
a. Pengelolaan asuransi dan reasuransi syariah hanya boleh ditakukan oleh
suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
b. Pembukuan dana tabarru. harus terpisah dari dana lainnya.
c. Hasil investasi dari dana tabarru' menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalarn akun tabarru’.
d. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat
diperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad
mudharabah musytarakah, atau memperoleh ujarah (fee) berdasarkan
akad wakalah bil ujrah.
5. Surplus underwriting:
a. Jika terdapat Surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh
dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
1) Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun
tabarru’.
2) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat
aktuaria/manajemen risiko.
3) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan
sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
b. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut harus disetujui ter-lebih
dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
6. Defisit underwriting:
a. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru),
maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut
dalam bentuk gardh (pinjaman).
b. Pengembalian dana gardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari
dana tabarru’.

F. Akad-Akad yang digunakan dalam Asuransi


Akad yang digunakan dalam asuransi syariah, yaitu:
1. Akad Mudarabah—Musyarakah

12
Penggunaan akad ini telah ditetapkan oleh fatwa DSN No. 51/ DSN-
MUI/111/2oo6, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Ketentuan umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1) Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi
syariah.
2) Peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam
reasuransi.
b. Ketentuan hukum:
1) Mudharabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi,
karena merupakan bagian dari hukum mudharabah.
2) Mudharabah musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi
syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun
nontabungan.
c. Ketentuan akad:
1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu
perpaduan dari akad mudarabah dan akad musyarakah.
2) Perusahaan asuransi sebagai mudarib menyertakan modal atau dananya
dalam investasi bersama dana peserta.
3) Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan
secara bersama-sama dalam portofolio.
4) Perusahaan asuransi sebagai mudarib mengelola investasi dana tersebut.
5) Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi.
b) Besaran nisbah, cara, dan waktu pembagian hasil investasi
c) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi
yang diakadkan.
6) Hasil investasi:
Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salalt satu
alternatif sebagai berikut:
Alternatif I:

13
a) Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudarib)
dan peserta (sebagai shahibul maal) sesuai dengan nisbah yang
disepakati.
b) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi
(sebagai mudarib) dibagi antara perusahaan asu-ransi (sebagai
musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana
masing-masing.
Alternatif II:
a) Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan
asuransi (sebagai musytarik) dan peserta berdasarkan porsi modal
atau dana masing-masing.
b) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi
(sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai
mudarib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
7) Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik
menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang
disertakan.
d. Kedudukan para pihak dalam akad mudharabah musytarakah:
1) Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudarib
(pengelola) dan sebagai musytarik (investor).
2) Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai
shahibul maal (investor).
3) Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non-saving,
bertindak sebagai shahibul maal (investor).
e. Investasi.
1) Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakulcan
investasi dari dana yang terkumpul.
2) Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
2. Akad Wakalah Bil Ujrah
Penggunaan akad ini telah ditetapkan oleh Fatwa DSN No. 52/ DSN-
MUI/111/2006, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan umum:

14
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1) asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah.
2) peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan
asuransi dalam reasuransi syariah.
b. Ketentuan hukum:
1) Wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dan
peserta.
2) Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan
pemberian ujrah (fee).
3) Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang
mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru' (non-
saving).
c. Ketentuan akad:
1) Akad yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah.
2) Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain:
a) Kegiatan administrasi;
b) Pengelolaan dana;
c) Pembayaran klaim;
d) Underwriting;
e) Pengelolaan portofolio risiko;
f) Pemasaran;
g) Investasi;
3) Dalam akad wakalah bil ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya
a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b) Besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c) Syarat-ayarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
d. Kedudukan dan ketentuan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah:
1) Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat
kuasa) untuk mengelola dana.

15
2) Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk sauing dan
tabarru', bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola
dana.
3) Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4) Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas muwakkil (pemberi kuasa);
5) Akad wakalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan
(yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap
kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya,
kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi;
6) Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakalah.
e. Investasi:
1) Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan
dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan
syariah.
2) Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabarru' maupun saving, dapat
digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti
di atas, akad mudarabah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudarabah.
3. Akad Tabarru'
Penggunaan ini telah ditetapkan oleh Fatwa DSN No. 53/ DSN-
MUI/111/2006, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan hukum:
1) Akad tabarru’ merupaken aluad yang harus melekat pada semua produk
asuransi.
2) Akad tabarru' pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan
antar-peserta pemegang polis.
3) Asuransi syariah yang dimaksud pada poin 1 yakni asuransi jiwa,
asuransi kerugian, dan reasuransi.
b. Ketentuan akad:

16
1) Akad tabarru' pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk
hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar-peserta,
bukan untuk tujuan komersial.
2) Dalam akad tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a) Hak dan kewajiban masing-masing peeserta secara individu;
b) Hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun
tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
c) Cara dah waktu pembayaran premi dan klaim;
d) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
c. Kedudukan para pihak dalam akad tabarru’
1) Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa
musibah.
2) Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana
tabarru’ (mu'amman/mutabarra’lahu) dan secara kolektif selaku
penanggung (muamin/mutabarri’).
3) Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
d. Pengelolaan:
1) Pengelolaan asuransi dan reasuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh
suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2) Pembukuan dana tabarru' harus terpisah dari dana lainnya.
3) Hasil investasi dari dana tabarru' menjadi hak kolektif peserta dan
dilakukan dalam akun tabarru’
4) Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat
memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudarabah atau akad
mudharabah musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan
akad wakalah bil ujrah.
e. Surplus underwriting:
1) Jika terdapat Surplus underwriting atas dana tabarru', maka boleh
dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:

17
a) Diperlakukan seluruhnya sebagai dana eadangan dalam alcun
tabarru'.
b) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat
aktuaria/manajemen risiko.
c) Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan
sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
2) Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut harus disetujui terlebih
dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
f. Defisit underwriting:
1) Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru' (defisit tabarru’),
maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut
dalam bentuk qardh (pinjaman).
2) Pengembalian dana gardh kepada perusahaan asumsi disisihkan dari
dana tabarru’. 11

G. Jenis Investasi bagi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi


Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dapat menginvestasikan
sananya dalam beberapa jenis, diantaranya:12
1. Deposito dan sertifikat wadi’ah syariah.
2. Sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.
3. Saham syariah yang tercatat di bursa efek.
4. Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek.
5. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah.
6. Unit penyertaan reksadana syariah.
7. Penyertaan langsung syariah.
8. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi.

11
Mardani, Aspek Hukum...., hlm. 110—118
12
Ibid., hlm. 118

18
9. Pembiayaan kepemilikan tanah dan bangunan, kendaraan bermotor, dan
barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan barang
ditangguhkan).
10. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah.
11. Pinjaman polis.
Sedangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
No. Kep.4499/Lk/2000 Tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
Menyatakan bahwa jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan reasuransi
syariah terdiri dari:13
1. Deposito dan Sertifikat Deposito Syariah
2. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
3. Saham syariah yang tercatat di Bursa Efek
4. Obligasi syariah yang tercatat di Bursa Efek
5. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin Pemerintah
6. Unit penyertaan reksa dana syariah
7. Penyertaan langsung syariah
8. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi
9. Pembiayaan kepemilikan tanah dan/atau bangunan, kendaraan bermotor dan
barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan)
10. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil)
11. Pinjaman polis.
Jenis asuransi syariah (takaful), sebagai berikut:14
a. Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa)
Takaful keluarga adalah bentuk asuransi yang memberikan
perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri
peserta asuransi takaful. Adapun produk takaful keluarga meliputi:
1) Takaful berencana
2) Takaful pembiayaan

13
Uswatun Hasanah, “Instrumen Investasi dalam Perusahaan Asuransi Syariah”, dalam
Az-Zarqa. Vol. 11, No. 1, Juni 2019
14
Mardani, Aspek Hukum..., hlm. 119

19
3) Takaful pendidikan
4) Takaful dana haji
5) Takaful berjangka
6) Takaful kecelakaan siswa
7) Takaful kecelakaan diri
8) Takaful khairat keluarga
b. Takaful Umum (Asuransi Kerugian)
Takaful umum adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan
perlindungan finansial dan menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta
benda milik peserta takaful. Adapun produk takaful umum, meliputi:
1) Takaful fire (kebakaran)
2) Takaful proferty all risk
3) Takaful rumah tinggal
4) Takaful konsorsium pasar
5) Takaful gempa bumi
6) Takaful sabotase dan terorisme
7) Takaful kendaraan bermotor
8) Takaful pengangkutan (chargo).

H. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional


Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi
konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat
syar`i, antara lain:15
1. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua
belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad
tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
2. Akad asuransi ini adalah akad idz'an (penundukan) pihak yang kuat adalah
perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak
dimiliki tertanggung.

15
M. Nur Rianto, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung:
CV. Pusaka Setia, 2012), hlm. 229.

20
3. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau di kurangi.
4. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta
yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek
ribawi.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki
perbedaan mendasar dalam beberapa hal:
1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli
antara nasabah dengan perusahaan).
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada
sembarang sektor dengan sistem bunga.
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan
dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan
kebijakan pengelolaan dana tersebut.
4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah
dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta untuk
keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana
pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana
dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan
dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan

21
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu
tidak mendapat perhatian.
Berikut tabel perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi
konvensional:16
Keterangan Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
Pengawasan Adanya Dewan Pengawas Tidak ada
Dewan Syariah Syariah. Fungsinya mengawasi
produk yang dipasarkan dan
investasi dana.
Akad Tolong-menolong (takaful). Jual beli.
Investasi Dana Investasi dana berdasarkam Investasi dana
syariah dengan sistem bagi berdasarkan bunga.
hasil.
Kepemilikan Dana yang terkumpul dari Dana yang terkumpul
Dana nasabah (premi) merupakan dari nasabah (premi)
milik peserta. Perusahaan menjadi milik
hanya sebagai pemegang perusahaan sehingga
amanah untuk mengelola. perusahaan bebas
menentukan
investasinya.
Pembayaran Dari rekening tabarru’ (dana Dari rekening dana
Klaim kebijakan) seluruh peserta yang perusahaan.
sejak awal sudah diikhlaskan
oleh peserta untuk keperluan
tolong-menolong bila jadi
musibah.
Keuntungan Dibagi antara perusahaan dan Seluruhnya menjadi milik
(profit) peserta sesuai dengan prinsip perusahaan.
bagi hasil (mudarabah).

16
Mardani, Aspek Hukum..., hlm. 122.

22
Selain itu, perbedaan lain antara asuransi syariah dan asuransi konvensional
sebagai berikut:17
No. Asuransi Syariah Asurans Konvensional
1. Ada kepastian, karena adanya akad Tidak ada kepastian,
tabaddul (jual beli) atau akad takaful karena tidak jelas akad
(tolong-menolong). yang mendasarinya.
2. Unsur amanah. Ada unsur judi.
3. Tidak ada unsur riba, karena menggunakan Ada unsur riba.
cara bagi hasil (mudarabah).

17
Ibid., hlm. 122

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Strategi pengembangan bisnis syariah melalui pendirian perusahaan
dilakukan oleh asuransi mubarakah yang bergerak dalam bisnis asuransi jiwa.
Adapun strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang
asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi. Perkembangan
asuransi syariah di Indonesia cukup pesat. Pada saat ini, Indonesia dikenal sebagai
salah satu Negara dengan jumlah operator asuransi syariah yang terbanyak di dunia.
Pedoman umum asuransi syariah menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, sebagai
berikut: Ketentuan umum, akad dalam asuransi, Kedudukan para pihak dalam akad
tijarah dan tabarru’, Ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru’, Jenis asuransi dan
akadnya, premi, klaim, investasi, reasuransi, pengelolaan, dan ketentuan tambahan.
Ketentuan asuransi haji telah ditetapkan oleh DSN berikut: Pertama,
Ketentuan umum: Asuransi haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah
asuransi yang menggunakan sistem konvensional, Asuransi haji yang dibenarkan
menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Asuransi
haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta'amuni (tolong-menolong) antar-
sesama jemaah haji. Kedua, Ketentuan khusus: Menteri Agama bertindak sebagai
pemegang polis induk thri selu-rubjemaah haji dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jemaah haji
berkewajiban membayar premi sebagai dana tabbaru’ yang merupalcan bagian dari
komponen Biaya Perjalanan lbadah Haji (BPIH). Premi asuransi haji yang diterima
oleh asuransi syariah harus di-pisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
Ketentuan akad tabarru’ dalam asuransi syariah telah diatur ditetapkan oleh
fatwa DSN berikut: pertama, Ketentuan hukum Akad tabarru' merupakan akad yang
harus melekat pada semua produk asuransi. Kedua, Ketentuan akad: Akad tabarru'
pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong antar-peserta, bukan untuk tujuan komersial.
Ketiga, Kedudukan para pihak dalam akad tabarru: Dalam akad tabarru' (hibah),
peserta memberikan dana hibah yang akan digunalcan untuk menolong peserta atau

24
peserta lain yang tertimpa musibah. Keempat, Pengelolaan: Pengelolaan asuransi
dan reasuransi syariah hanya boleh ditakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi
sebagai pemegang amanah. Kelima, Surplus underwriting: Jika terdapat Surplus
underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif
Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru'.
Akad yang digunakan dalam asuransi syariah, yaitu: Akad Mudarabah
Musyarakah: Penggunaan akad ini telah ditetapkan oleh fatwa DSN No. 51/ DSN-
MUI/111/2006, Akad Wakalah Bil Ujrah: Penggunaan akad ini telah ditetapkan
oleh Fatwa DSN No. 52/ DSN-MUI/111/2006, dan Akad Tabarru': Penggunaan ini
telah ditetapkan oleh Fatwa DSN No. 53/ DSN-MUI/111/2006.
Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dapat menginvestasikan
sananya dalam beberapa jenis, diantaranya: Deposito dan sertifikat wadi’ah syariah,
Sertifikat wadi’ah Bank Indonesia, Saham syariah yang tercatat di bursa efek,
Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek, Surat berharga syariah yang diterbitkan
atau dijamin oleh pemerintah, Unit penyertaan reksadana syariah, Penyertaan
langsung syariah, Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi,
Pembiayaan kepemilikan tanah dan bangunan, kendaraan bermotor, dan barang
modal dengan skema murabahah (jual beli dengan barang ditangguhkan),
Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah, dan Pinjaman polis.
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional sebagai berikut:
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak
penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui
jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, Akad asuransi ini adalah akad
idz'an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang
menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung, Mengandung unsur
pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi, dan Pada
perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah
dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi.

25
B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini tentu masih banyak kekurangan,
namun puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan dengan penuh ta’dzim
kepada allah swt yang telah memberikan petunjuk-nya sehingga makalah ini
bisa diselesaikan tepat pada waktunya. penulis mengharapkan para pembaca
dapat menambah wawasan tentang lembaga asuransi syariah, terutama
mengenai sejarah perkembangan asuransi syariah, sejarah dan strategi
pengembangan asuransi syariah, pedoman umum asuransi syariah, ketentuan
asuransi haji, ketentuan akad tabarru’ pada asuransi syariah, akad-akad yang
digunakan dalam asuransi syariah, jenis investasi bagi perusahaan dan
reasuransi, dan perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syariah. Penulis
menyarankan agar pembaca juga mempelajari buku-buku lain tentang lembaga
asuransi syariah. Hal ini dikarenakan penulis hanya membahas lembaga
asuransi syariah secara garis besar saja. Saran dari pembaca sangat kami
harapkan, semoga dengan makalah ini dapat menambah hasanah ilmu
pengetahuan bagi penulis maupun pembaca pada umumnya. jazakumullah bil
khair.

26
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala. 2007. Aspek Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.
Mardani. 2015. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, Jakarta:
Kencana.
Rianto, M. Nur. 2012. Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis,
Bandung: CV. Pusaka Setia.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana.
Hasanah, Uswatun, “Instrumen Investasi dalam Perusahaan Asuransi Syariah”,
dalam Az-Zarqa, Vol. 11 No. 1, Juni 2019.

27

Anda mungkin juga menyukai