Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
FAKULTAS PERTANIAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut ulama klasik dalam perjanjian mudharabah tidak diperlukan dan tidak
dibenarkan adanya jaminan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa transaksi
mudharabah terjadi karena adanya kepentingan bersama untuk bermitra usaha yang
didasarkan pada sikap saling membutuhkan dan saling percaya dan terjadinya
mudharabah bila mana pemilik modal sudah merasa yakin dan percaya atas diri orang
yang akan mengelola modalnya itu. Karenanya jaminan yang dibebankan pada
pengelola modal dinilai tidak mencerminkan nilai mudharabah yang sesungguhnya.
Dalam perkembangannya pada praktik ekonomi modern dalam transaksi mudharabah
seorang mudharib akan dibebani dengan jaminan. Hal ini sesuai dengan peraturan
Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 pasal 6 huruf (o) yang menjelaskan bahwa
bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi resiko apabila nasabah
tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian
dan/atau kecurangan Bentuk pengikat terhadap jaminan kebendaan dalam pembiayaan
mudharabah dapat berupa gadai, hak tanggungan, fidusa dan resi gudang.
1. Al-Qur’an
ِ ْال ِّل فَضْ ِل ِم ْنيَ ْبتَ ُغونَ ْلْ َر
َضفِي يَضْ ِربُونَ َوآ َخرُون
“…Dan dari orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah
SWT…” (al- Muzzammil:20)14.
Argumen dari surat al-Muzzammil: 20 di atas adalah kata yadribun yang sama
dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan uasaha.
2. Al-Hadits
ب زا ُر ثاَبِت بْنُ بِ ْش ُر َحد ثنَا ْالخَ لَّ ُل ع َِل ي َ حْ َم ِن ال ر َع ْب ِدع َْن ْالقَا ِس ِم بْنُ نَصْ ُر َحد ثنَا ْال
صل ى ال ِّل َرسُو ُل قَا َل قَا َل أبَِي ِه َ ُّبْنُ ْال َح َسنُ َحد ثنَا ْالبَ َرفِي ِه ن ث َََّل ث َو َسل َم َعلَ ْي ِه الل
3. Ijma’
Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak seorangpun mengingkari mereka.
Karenannya, hal itu dipandang sebagai ijma‟.
4. Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah
untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena sebagian
orang ada yang kaya dan ada yang miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta
tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak
mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu,
syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil
manfaatnya.
C. Batasan Tindakan terhadap harta mudharabah dan Tindakan sahibul
MAL dalam mudharabah
Istilah bagi hasil kerapkali disebut dalam ekonomi syari’ah dengan istilah
Mudharabahkannya dengan akad antara dua pihak saling menanggung, salah satu
pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian
yang telah ditentukan dari keuntungan sesuai dengan persyaratan. Menurut Jumhur,
mudharabah adalah bagian dari musyarakah. Dalam merumuskan pengertian
mudharabah, Wahbah AzZuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu
mengemukakan: Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk
diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan
bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani
kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya. M.
Algaoud dan Mervyn K. Lewis, dalam bukunya menjelaskan bahwa, mudharabah
sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak,
pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana
kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau
usaha. Menurut Fazlur Rahman, syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa
kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak
pertama/ pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan
bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masingmasing pihak sesuai
dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syarat”
bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan
sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja. Ibnu Rusyd dari mazhab Maliki
menyatakan bahwa dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk
saling membantu antara rab almal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib).
Kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus . Meskipun
mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur’an atau Sunnah, ia adalah
sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam sejak periode awal
era Islam. Adapun landasan hukum mudharabah ini adalah Firman Allah yang artinya
”.... dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....” Selain itu
terdapat juga “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu....” Menurut , para fuqaha menyatakan kehalalan
mudharabah ini berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada
beberapa Sahabat seperti Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib tetapi tidak ada Hadits
sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi. Secara umum
Mudharabah terbagi kepada dua jenis yaitu:
a. Mudaharabah muthlaq, yakni mudharabah yang cakupan sangat luas dan tidak
terikat kepada syarat-syarat tertentu seputar materi usaha; waktu, dan daerah bisnis.
Disini dana yang diterima dari shahibul maal (Pemilik Harta) ke mudharib (Penerima
Dana) yang memberikan kekuasaan yang sangat besar.
b. Mudharabah muqayyad, yakni mudharabah yang terikat kepada syarat-syarat
tertentu mengenai batasan materi usaha, waktu, atau tempat usaha. Di sini pembatasan
ini seringkali mencerminkan shahibul maal memasuki dunia usaha. Untuk sahnya
mudharabah maka harus terpenuhi rukun dan syarat mudharabah. Mudharabah adalah
ijab dan qabul yang tepat; sedangkan menurut Jumhur ulama ada tiga rukunnya,
yakni:
c. sighat (ijab dan qabul). mudharabah ini yakni harta/modal, Pekerja/ pengusaha,
keuntungan, sighat (ijab dan qabul) serta dua pihak yang ber-akad.
a. Syirkah Ikhtiari, ialah terjadinya suatu perkongsian secara otomatis tetapi bebas
untuk menerima atau menolak. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk
membentuknya. Hal ini dapat terjadi apabila dua orang ataulebih mendapatkan hadiah
atau wasiat bersama dari pihak ketiga
2. Syirkah Jabari, ialah terjadinya suatu perkongsian secara otomatis dan paksa,tidak
ada alternatif untuk menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses warismewaris,
manakala dua saudara atau lebih menerima warisan dari orang tua mereka
(Muhammad, 2003: 34).
3. Syirkah Uqud
Syirkah Uqud yaitu sebuah perserikatan antara dua pihak atau lebih dalamhal usaha,
modal dan keuntungan. Mengenai syirkah al-uqud ini para ulamamembagi menjadi
bermacam-macam jenis, Fuqaha Hanafiyah membedakanjenis syirkah menjadi tiga
macam yaitu, syirkah al-amwal, syirkah al-a’mal,syirkah alwujuh, masing-masing
bersifat syirkah al-mufawadhah dan ‘Inan.Dan fuqaha Hanabilah membedakan
menjadi lima macam syirkah yaituSyirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah, syirkah
al-abdan dan syirkah al-wujuh serta syirkah al-mudharabah dan yang terakhir menurur
fuqahaMalikiyah dan Syafi’iyah membedakanya menjadi empat jenis syirkah yaitu
syirkahal-’inan, syirkah al-mufawadhah, abdan dan wujuh. (Al-Zuhailiy,1989:
794).Dari paparan para fuqaha di atas, pembagian dari jenis syirkah tersebut dapat
dihimpun menjadi dua kategori, kategori pertama merupakan kategoridari pembagian
segi materi syirkah yaitu syirkah al-amwal, a’mal, abdan danwujuh, sedangkan
kategori kedua adalah kategori dari segi pembagian posisi dankomposisi saham. Yaitu
syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah dan syirkahal-Mudharabah.Dari berbagai
jenis syirkah di atas maka akan lebih jelas bila dijelaskan dari masing-masing jenis
syirkah tersebut:
1. Syirkah al-amwal adalah persekutuan antara dua pihak pemodal atau lebihdalam
usaha tertentu dengan mengumpulkan modal bersama dan membagikeuntungan dan
resiko kerugian berdasarkan kesepakatan (A Masadi, t.th:194).
2. Syirkah al-a’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu misalnya kerjama
dua orang arsitek untuk mengerjakan satu proyek. Syirkah ini disebut juga Syirkah
abdan atau Syirkah sana’i (Antonio, 1999:132).
2) anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil
dari yang lain,
1. Sighat (Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkahtergantung
pada sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah mengandung
arti izin buat membelanjakan barang syirkah dari peseronya.
2. Al-‘Aqidain (subjek perikatan). Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu:
b) baligh,
a) modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak,atau yang nilainya sama, b)
modal yang dapat terdiri dari aset perdagangan,
c) modal yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu, yaitu menjadi
harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu (Pasaribu
1996: 74).Dilihat dari segi peranan dalam pekerjaan, partisipasi para mitra dalam
pekerjaan musyarakah adalah sebuah hukum dasar dan tidak dibolehkan dari salah
satu dari mereka untuk mencantumkan ketidak ikutsertaan dari mitralainnya, seorang
mitra diperbolehkan melaksanakan pekerjaan dari yang lain.Dalam hal ini ia boleh
mensyaratkan bagian keuntungan tambahan lebih bagi dirinya.
4. hukum musyarakah
Dasar hukum Musyarakah yaitu: pertama:
a. Al – QUR AN
T.M. Hasbi Ash Shidieqy (2000: 3505) menafsirkan bahwa kebanyakan orang yang
bekerjasama itu selalu ingin merugikan mitra usahanya, kecuali mereka yang beriman
dan melakukan amalan yang sholeh karena merekalahyang tidak mau mendhalimi
orang lain. Tetapi alangkah sedikitnya jumlah orangorang seperti itu. Dan juga dalam
surat An-Nisa’ ayat 12 yang artinya:
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
Dalam yang sepertiga itu,sesudah dipenuhi wasiat yang di buat olehnya atau sesudah
dibayarutangnya dengan tidak memberi madhorot
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benardari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun.”(Depag,1997: 117)M. Quraish
Shihab menerangkan bahwa bagian waris yang diberikan kepada saudara seibu baik
laki-laki maupun perempuan yang lebih dari seorang,maka bagiannya adalah sepertiga
dari harta warisan, dan dibagi rata sesudah wasiat dari almarhum ditunaikan tanpa
memberi madhorot kepada ahli waris (Shihab, 2002: 366). Dari kedua ayat diatas
menunjukan bahwa Allah SWT mengakui adanya perserikatan dalam kepemilikan
harta. Hanya saja surat Shaadayat 24 menyebutkan perkongsian terjadi atas dasar akad
(ikhtiyari). Sedangkansurat An-Nisa menyebutkan bahwa perkongsian terjadi secara
otomatis (Jabr)karena waris (Antonio, 1999: 130).
b.HADIST
C., Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’i Antonio
dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perbedaan antara musyarakah dan mudharabah terletak pada kerja sama atau
kesepakatan nya . Pada Mudharabah kerja sama dilakukan dengan cara salah satu
pihak memberikan modal saja, dan pihak lain yang mengelola nya . Dan apabila ada
kerugian, maka hal tersebut akan ditanggung oleh pemodal. Sedangkan dalam
musyarakah, kerja sama dilakukan dengan cara kedua belah pihak mengeluarkan
modal dan juga mengelolanya secara bersama-sama . Dan apabila ada kerugian, maka
kerugian tersebut akan ditanggung oleh kedua belah pihak.
Afidah S. 2014. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Pemberian Bonus pada Produk
Simpanan Berkah Plus (Deposito Mudharabah) di BMT “Taruna Sejahtera”, Jatisari,
Mijen, Kota Semarang
Hulam T. 2010. Jaminan dalam Transaksi Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah”.
Jurnal Mimbar Hukum, Nomor 3
Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes III, 2007, Hukum Keuangan Islam Konsep, 7HRUL
GDQ 3UDNWLN, (pen. M. Sobirin Asnawi, Siwi Purwandari dan Waluyati Handayani),
Nusamedia, Bandung.
Wilson, Rodney, 1988, Bisnis Menurut ,VODP 7HRUL GDQ 3UDNWHN, Intermasa,
Jakarta.