Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM III


KERJASAMA, SYUF’AH, HIWALAH DAN UTANG PIUTANG

Dosen :

H. Asep Komarudin, S.Ag. M.Ud.

Di susun oleh :
Hesti Octaviani

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS AL-GHIFARI
BANDUNG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulis bisa menyusun dan menyajikan makalah Pendidikan Agama III
tentang “ Kerja Sama,Syuf’ah,Hiwalah dan Utang Piutang ” dengan tepat waktu. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Bapak H. Asep Komarudin,S.Ag. M.Ud. selaku dosen mata
kuliah, yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis dalam proses penyusunan makalah
ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
dorongan dan motivasi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
yang membangun guna menyempurnakan makalah ini sehingga dapat menjadi acuan dalam
menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.

Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.

Bandung, Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi (muamalah) sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa
disadari seperti jual-beli, utang piutang, dan pinjam-meminjam dan hal itu sering kita lakukan.
Meminjamkan sesuatu berarti memberikan pertolongan kepada orang yang meminjam. Allah swt
berfirman dalm surah al-ma’un yang menegaskan bahwa di antara ciri orang yang mendustakan
agama allah mereka enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam muamalah ada beberapa metode kerjasama yang sering digunakan. Antara lain
metode Muzaraah dan Mukhabarah, Qiradl dan Mudharabah. Diantara yang empat metode ini ada
beberapa metode yang sering digunakan bahkan lazim digunakan yaitu : Qiradl dan mudharabah
karena kedua metode ini beroprasi dibidang usaha, baik usaha kecil sampai dengan usaha besar.
Sedangkan Muzaraah dan Mukhabarah digunakan dalam bidang pertanian.

B. Rumusan Masalah
a. Pengertian, Rukun, Syarat, dan Ketentuan dalam Kerjasama, Syuf’ah, Hiwalah, dan Utang
Piutang
b. Muzaraah dan Mukhabarah, Qiradl dan Mudharabah
c. Syirkah dan Macam-Macamnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. KERJASAMA (SYIRKAH)
a. PENGERTIAN
Syirkah menurut istilah Bahasa kerjasama adalah hubungan aktivitas dengan kegiatan
pengelolahan suatu usaha. Pengelolahan yang terjadi antara dua pihak atau lebih sebagian hasil
yang keluar untuk mencapai tujuan dan keuntungan bersama. Keuntungan yang didapat dalam
suatu kerjasama akan dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Ada berbagai
macam jenis kerjasama yang dapat diketahui. Seperti kerjasama yang kedua belah pihak atau
anggota yang bekerjasama sama-sama mengeluarkan uang. Atau ada pula hanya salah satunya
mengeluarkan modal uang sedangkan pihak lainnya bermodal tenaga atau pengalaman dalam
bidang usaha.
Para pemilik modal yang tidak mempunyai keahlian ataupun keterampilan dapat melakukan
kerjasam dengan pihak yang dirasa memiliki keahlian dalam usaha tertentu. Agar harta dari
pemilik modal dapat terjaga dalam bentuk suatu usaha yang bersifat produktif, sehingga dapat
dikembangkan dan menghasilkan keuntungan. Disisi lain bagi pihak yang tidak mempunyai
modal untuk usaha sangat terbantu akan adanya pemberian modal tersebut. Sehingga dapat
mengembangkan keterampilan dalan usaha tersebut serta terhindar dari pengangguran. Tidak
jarang pula dengan ada bantuan modal pihak yang awalnya tidak memiliki modal usaha dapat
memiliki modal sendiri untuk mengembangkan usahanya
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih arti syirkah yaitu percampuran salah satu harta dari
dua harta dengan harta lainnya. Maksud percampuran ialah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut
hukum kebiasaan yang ada.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai pengertian syirkah diantaranya:
1. Menurut Malikiyah Syirkah adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi
dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
2. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah Syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua
orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati bersama.
3. Menurut Hanafiyah Syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang
bekerja sama dalam modal keuntungan.
4. Menurut Sayyid Sabiq syirkah ialah akad antara dua orang yang berserikat dalam
modal dan keuntungan.
5. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie syirkah ialah akad yang berlaku antara dua orang
atau lebih untuk ta'awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keutungannya.
Dari beberapa penjelasan tentang Syirkah diatas dapat penulis mempunyai kesimpulan
bahwasannya Syirkah adalah suatu akad percampuran harta antara dua orang atau lebih yang salah
satu pihak menjadi pemodal dan yang satu pihak lain menjadi pengelola dengan sifat ingin tolong
menolong sesama mahkluk Allah SWT dengan pembagian keuntungan dibagi sesuai dengan
penyertaan modal masing-masing. Ataupun pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan
yang disepakati bersama antara para pihak yang melakukan akad Syirkah.
b. DASAR HUKUM
Ada beberapa dasar hukum syirkah yang menjadi pegangan bagi para ulama, yaitu :
1. Al-Qur’an
َ ۡ َ
.‫ص‬
ِ َ ‫ِ َ ع ۡ و ِد‬
ِِ ‫نمِث‬ ۢ ‫فِ ل ُب‬ ِ ‫ك َ ء ُ ٱثل‬
َ َۡ‫ش‬
ُ ُ ‫ن َ َ ف ِلك َ ه ُ م‬ َ ُ‫ِم‬
ِ ‫ضا ذم‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ٗ ي ة ُ َ َوص ب‬
ۡ َ‫هَاأ َوۡدَيۡنٍغ‬
ّ َ ّ
‫صة‬ِ َ ‫ ر و‬ٞ ‫ل ع َ ِليم ٌ ح َ ِليم‬
َ ‫ِ و ُ ٱل‬
ِِ ‫ن‬
ِ ‫ٱلل‬
Artinya: “ maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun” (QS. An-Nisa> :12)
2. Hadis
Dalam sunnah Nabi Muhammad SAW ditemukan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Daud. Hadis ini menguatkan pendapat tentang diperbolehkannya sebuah kerjasama yang
disebut dalam Islam dengan istilah Shirkah. Nabi Muhammad SAW mengemukakan bahwa:
ّ َ ‫ ه ُ ا ى َّللا نّ َ ق ع َ ال نَ ْ ه أِب َ ى ُ ر َ ي ْ ر ْ ر ة َ ىضي‬: َ ‫َ د هُُُ ُ َ ا ثال ى الشىري ّ ثُ كيىْ ْ أنا‬
ْ ‫َللا ُ ع َ ن‬
‫)ابوداود رواه( خ َ ر َ ج م تْ َ ى ن ْ ب َ ي ْ ن ى ىهم َ ا فإ خ ىذا َ ان هَ ص ُ َ احى ب َ ه ُ م َ ا ملَ ْ يَ َ نُ ْ أح‬
Dari Abu Hurairah ia merafa’kannya- berkata: sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku
(orang) ketiga dari dua orang yang berkongsi selama salah seorang di antara keduanya tidak
berkhianat kepada yang lainnya. Apabila ia berkhianat kepada yang lainnya maka aku keluar dari
keduanya.” (HR. Abu Daud).
Maksud dari hadis diatas adalah bahwa Allah SWT memperboleh kan suatu kerjasama
serta akan menurunkan barakah pada harta mereka, memberikan pengawasan dan pertolongan
kepada mereka serta mengurus terpeliharanya atas harta mereka. Selama dalam perkongsian
ataupun kerjasama tersebut tidak terjadi ada pengkhianatan ataupun penipuan serta perbuatan yang
menyakitkan salah satu pihak sehingga menghilangnya unsur kerelaan dalam kerjasama tersebut.
Apabila ada pengkhianatan ataupung menghilangnya unsur kerelaan atas kerjasama tersebut maka
Allah SWT akan mencabut barakah dari harta tersebut ataupun bisa diartikan oleh penulis sebagai
batalnya akad tersebut.
c. RUKUN DAN SYARAT
Dalam suatu kerjasama diperlukan adanya suatu rukun dan syarat-syarat agar menjadi sah.
Syarat sahnya suatu akad apabila terpenuhi semua rukun dari akad tersebut. Apabila salah satu dari
rukun tidak terpenuhi dalam suatu akad maka akad tersebut menjadi tidak sah dalam
menjalankannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah yang harus ada dalam
melakukan kerjasama antara dua orang atau lebih sebagai berikut :
1. Para pihak yang melakukan perjanjian shirkah.
2. Sighot (ijab dan qabul).
3. Objek dari akad (mahallul ‘aqad ) bisa berupa harta (modal) dan pekerjaan.
Menurut ulama Hanafiyah syirkah hanya mempunyai satu rukun yaitu: ijab dan qabul.
Sedangkan orang yang berakad dan obyeknya bukan termasuk rukun, tetapi termasuk syarat.
Adapun syarat dalam akad shirkah menurut jumur ulama antara lain :
1. Pihak-pihak yang melakukan akad
Dalam hal ini pihak yang melakukan akad haruslah memenuhi persyaratan kecakapan
bertindak hukum (mukallaf), antara lain ;
a. Orang yang berakal Maksud dari berakal adalah orang yang melakukan akad tidak
dalam keadaan gila taupun kehilangan kesadaran seperti orang mabuk.
b. Baligh disini diartikan bahwa para pihak yang melakukan akad shirkah sudah dalam
kategori orang dewasa, yaitu kelayakan seseorang untuk menerima hak dan
kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan secara hukum. Sehingga seluruh
perbutannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
c. Dengan kehendak sendiri. Maksudnya yaitu tidak ada unsur paksaan dari salah satu
pihak ataupun dari pihak lain. Sehingga unsur kerelaan dalam akad tersebut dapat
tercapai.
2. Sighot (ijab dan qabul).
Akad Shirkah dapat terjadi bila terdapat ijab kabul oleh pihak yang memiliki modal
dan keahlian. Tidak ada suatu ketentuan tentang ijab kabul harus diucapkan ataupun
harus dituangkan dalam bentuk tulisan. Karena yang terpenting dalam ijab kabul yaitu
adanya bentuk persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan akad shirkah.
Ijab kabol dinilai tidak sah apabila pihak pihak ataupun salah satu pihak sekiranya
terpaksa dalam melakukannya. Karena pada dasarnya suatu ijab kabol itu harus
mencerminkan suatu kerelaan untuk bekerja sama, untuk itu tidak sah hukumnya
apabila salah satu pihak merasa melakukan kerjasama dengan rasa terpaksa.
3. Obyek akad (mahallul ‘aqad). Para ahli hukum islam mensyaratkan beberapa syarat
terhadap objek akad, antara lain;
a. Objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan Maksudnya objek akad
berupa benda atau barang, manfaat benda, atau pekerjaan yang dapat
dilaksanakan.
b. Objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan. Artinya objek akad diketahui
dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
sengketa. Unsur ketidakjelasan dalam objek yang ditentukan dapat
persengketaan sehingga dapat membatalkan akad.
c. Objek akad dapat ditransaksikan menurut syara. Maksudnya objek akan
tersebut tidak dilarang oleh hukum seperti suatu sifat objek tersebut tidak
memungkinkan untuk dilakukannya sebuah transaksi contoh: jual beli ikan laut
yang belum ditangkap oleh nelayan.
4. Tujuan (maudu’ al-‘aqad).
Tujuan disini masuk rukun keempat menurut para ahli kontenporer islam,
dibedakan dengan objek akad. Objek akad merupakan tempat terjadinya akibat hukum.
Maksudnya objek akad adalah suatu faktor utama terjadinya suatu akibat hukum. Akan
tetapi berbeda dengan tujuan akad yang diartikan sebagai maksud para pihak yang bila
terealisasi timbul akibat hukum terhadap objek tersebut. Dan juga tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam serta memberi keuntungan kepada kedua belah
pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam akad. Adapun tujuan dari akad
shirkah tersebut antara lain :
1) Memberikan keuntungan kepada para anggota pemilik modal.
2) Memberikan lapangan pekerjaan.
3) Memberikan bantuan berupa modal untuk membuka suatu usaha
d. MACAM-MACAM SYIRKAH
Macam-macam syirkah para ulama' fiqih memberikan beberapa macam syirkah sebagian
ulama ada yang memperoleh syirkah tertentu dan ada yang melarang syirkah tertentu pula. Ulama
fiqih membagi syirkah dalam dua bentuk, yaitu syirkah amlak dan syirkah al-‘uqūd.
1. Syirkah Amlak adalah pemilikan suatu jenis barang oleh lebih dari satu orang.
Syirkah ini terjadi pada harta warisan, atau hibah kepada lebih dari satu orang.
Harta ini menjadi milik mereka bersama dan diusahakan bersama.
2. Syirkah Uqūd yaitu bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung
dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan.
Syirkah uqūd menurut pendapat para ulama Macam-macam syirkah uqūd tersebut akan
dijelaskan satu persatu. Adapun macam-macam syirkah uqūd adalah
1. Syirkah Inan.
Suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama
memberikan modal usaha sedangkan pihak lain menyediakan tenaga ataupun lahan.
Akan tetapi dalam kerjasama bisa saja salah satu pihak memberi modal sekaligus tenaga
dan pihak lainnya murni hanya memberikan modal saja. Dalam syirkah ini tidak
disyaratkan sama dalam jumlah modal begitu juga wewenang dan keuntungan. Menurut
Ulama Hanafiyah pembagian keuntungan berdasarkan besarnya modal.
2. Syirkah Al-Wujuh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal
tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
3. Syirkah Mufawadah
Adalah kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan
modal uang atau jasa.
4. Syirkah Abdan
Adalah bentuk kerjasama untuk melakukan sesuatu yang bersifat karya.
e. BATALNYA SYIRKAH
Ketika kita melakukan sebuah perjanjian, tidak semua pihak dapat menepati atau dapat
melaksanakan hasil kesepakatan sesuai dengan perjanjian. Sehingga perjanjian yang telah
disepakati itu akan batal secara hukum. Dalam akad shirkah ada beberapa faktor yang membuat
kerjasama tersebut bisa batal. Antara lain faktor-faktor yang membuat batal syirkah adalah :
1. Pembatalan shirkah secara umum
a. Pembatalan atau pemberhentian kerjasama dari salah satu pihak yang
berkerjasama
b. Salah satu pihak mengundurkan diri.
c. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
d. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
2. Pembatalan secara khusus untuk sebagian syirkah
a. Harta syirkah rusak
b. Tidak ada kesamaan modal
f. PEMBAGIAN HASIL SYIRKAH
Setiap kerjasama antara dua orang atau lebih pasti mempunyai suatu tujuan yang ingin
dicapai. Memungkinkan tujuan tersebut akan dicapai apabila dilaksanakan bersama.
Pencapaian atau tujuan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah sebuah keuntungan. Demikian
juga dengan syirkah bahwa tujuan nya adalah tercapainya serta memperoleh laba atau
keuntungan yang akan dibagi bersama.
Dalam syirkah modal ataupun tenaga didapat dari anggota yang berakad. Sehingga dalam
hal keuntunggan mengalami pembagian antara anggota yang ada didalamnya. Karena berasal
dari modal dan tenaga yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Para ulama telah sepakat dalam
pembagian keuntungan harus sesuai dengan pesentase jumlah modal yang disetorkan oleh para
pihak sebesar 50% maka keuntungan yang diperoleh juga 50%. Begitu pula jika mengalami
kerugian maka haruslah dibagi dengan sama rata sesuai dengan pembagian keuntungan.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai modal yang berbeda akan tetapi
pembagian keuntungan samaseperti harta yang disetorkan kepada syirkah itu sebesar 30%,
sedangkan yang lain 70%, sedangkan pembagian keuntungan masing-masing anggota syirkah
sebesar 50%.
Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan pembagian semacam ini dengan
alasan tidak boleh dibagi pihak yang bekerja sama mensyaratkan kerugian. Imam Hanafi dan
Imam Hambali, memperbolehkan pembagian keuntungan berdasarkan dengan sistem di atas
dengan syarat pembagian itu harus melalui kesepakatan terlebih dahulu antara kedua belah
pihak. Imam Ahmad pun juga sependapat bahwasannya pembagian keuntungan dapat berbedak
dengan modal yang disertakan dalam kerjasama.
B. SYUF’AH (hak untuk menawar pertama kali)
a. PENGERTIAN
Secara bahasa syuf’ah terambil dari kata asy-syaf’u yaitu sepasang antara syafi (pemilik hak
beli yang pertama) dengan syuf’ah, menggabungkan sesuatu yang ia beli dengan miliknya yang
sebelumnya hanya satu. Syuf’ah disyariatkan berdasarkan hadis. Syu’ah disyariatkan Allah SWT
untuk mencegah terjadinya kerugian yang berkaitkan dengan kepemilikan bersama. Dalam istilah
para ahli fiqih, syuf’ah adalah berhaknya seseorang untuk mengambil bagian mitra kongsinya dari
orang yang telah membelinya dengan ganti harta. Maka, pemilik hak membeli pertama (syafi’)
mengambil bagian mitra kongsinya yang telah terjual, dengan harga yang ditetapkan dalam akad.
Rasulullah bersabda,
‫“ ش َِر ْي َكهُ يُؤْ ِذنُ َحتّى يَبِ ْي ُع أ َ ْن لَهُ الَيَ ِجل‬
“ Ia tidak boleh menjualnya hingga minta izin dari mitra kongsinya.”
Ibnu Qayyim berkata, “Seseorang yang berkongsi dengan orang lain diharamkan menjual
bagiannya sebelum diberi izin oleh mitra kongsinya. Jika ia menjual bagiannya tanpa seizin mitra
kongsinya, maka mitra kongsinya tersebut lebih berhak terhadap barang tersebut. Dan jika ia
diizinkan untuk menjualnya kepada orang lain dan berkata, ’Saya tidak punya keperluan terhadap
bagian itu’, maka ia tidak bisa menuntutnya setelah dijual. Inilah yang ditetapkan oleh hukum
syara’, dan sama sekali tidak ada perbedaan di antara ulama tentang hal ini. Dan, inilah kebenaran
yang disepakati.
b. DASAR HUKUM
Hukum dari syuf’ah adalah boleh atau mubah. Dasar hukum dari kebolehannya terdapat dalam
beberapa hadis Nabi di antaranya ialah dari Jabir dalam periwayatan yang mutafaq’alaih:
ُ ‫صلّى هللااِ َر‬
َ َ‫س ْو ُل ق‬
‫ضى َجا ِبر َع ْن‬ َ ‫س ْم ماَلَ ْم آ ُ ِل فِى ِبالش ْف َع ِة‬
َ ُ‫سلّ ْم َو َعلَ ْي ِه هللاا‬ ِ ‫ت ْال ُحد ُْود ُ َوقَ َع‬
َ ‫ يُ ْق‬, َ ‫ت فَإِذا‬ ُ ‫ش ْف َعة فَلَ الط ُر ُق َو‬
ِ َ‫ص ِرف‬ ُ
“ Rasul Allah SAW. Telah menerapkan syuf’ah dalam setiap yang belum terbagi. Bila telah
terdapat batas atau terbentang jalan, tidak ada lagi syuf’ah “
Hadis Nabi dari Anas bin malik menurut riwayat muslim yang mengatakan :
‫بالدار أحق الدار جار‬
“ Tetangga rumah lebih berhak (membeli) rumah “

Ketentuan yang berlaku dalam syuf’ah ialah:


a. Obyek syuf’ah itu adalah dalam bentuk harta tak bergerak seperti rumah, tanah dan
lainnya.
b. Obyek syuf’ah dengan adanya hak syu’ah itu telah keluar dari pemilikan yang punya
dengan penggatian .
c. Orang yang diberi hak syuf’ah mitra terhadap obyek syuf’ah.
d. Orang yang diberi hak syuf’ah harus menuntut haknya untuk syuf’ah segera setelah
mengetahui bahwa obyek suf’ah akan dijual.
c. RUKUN
a. Barang yang diambil (sebagian sudah di jual). Syaratnya, keadaan tidak bergerak
karena dalam hadis yang telah lalu diberikan contoh rumah atau kebun. Adapun barang
yang bergerak berarti dapat dipindahkan, padanya tidak berlaku syuf’ah, kecuali
dengan jalan yang mengikuti pada yang tidak bergerak, karena syuf’ah disyari’atkan
untuk menghindarkan keberatan dari pihak tetangga yang baru dan menghilangkan
keberatankeberatan kalau barang itu dibagi. Karena adanya pembagian, sudah tentu
memerlukan biaya.
b. Orang yang mengambil barang (serikat lama). Syaratnya, orang tersebut berserikat
pada zat yang diambil dan memiliki bagiannya. Maka tetangga tidak berhak mengambil
syuf’ah, menurut mazhab Syafi’i begitu juga yang berserikat pada manfaat dan orang
yang mempunyai hak pada harta waqaf.
c. Orang yang dipaksa (serikat baru). Syaratnya, keadaan barang itu dimilikinya dengan
jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka, wasiat atau pemberian.
d. HIKMAH
Kita semua tahu bahwa segala perintah atau aturan baik itu bersifat samawi (berasal dari
Tuhan) namun ardi (buatan manusia) menyatakan adanya syuf’ah. Syariat Nabi Muhammad yang
terang benderang memperbolehkan dan menetapkan hal ini karena adanya beberapa faedah.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan igin menjual bagian dari
rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi
sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan,
kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi criteria yang ditentukan akan
mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari
tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutunya yang lain
dengan adanya tetangga ini bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi criteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika
ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutunya
yang lain dengan adanya tetangga ini.
Barangkali orang yang membeli itu berakhlak jelek dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui
hak tetangga, maka hal itu akan menyakiti tetangganya. Rasulullah telah bersabda,
‫صن ْي ِجب ِْر ْي ُل َمازَ ا َل‬ ِ ‫ظنَ ْنتَ َحتّى ِب ْال َج‬
ِ ‫ار ي ُْو‬ َ ُ‫ُورثهُ اَنّه‬
َ ‫سي‬ُ
“Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga itu
akan menjadi ahli waris. “

C. HIWALAH
a. PENGERTIAN

Menurut bahasa yang dimaksud dengan hiwalah adalah al-intiqal dan al-tahwil artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdur Rahman Al Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang
lain”.

Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam


mendefinisikannya antara lain:

1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah : “Memindahkan tagihan dari


tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban
pula”.
2. Menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali, hiwalah adalah : “Pemindahan atau pengalihan
hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.
3. Al Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :Pernikahan utang
dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
4. Syihab Al Din Al Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
“Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain”.
5. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari
tanggungan muhil menjdai tanggungan muhal’alaihi.
6. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan hutang
dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain itu
mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.
b. DASAR HUKUM
Islam mensyari’atkan dan membolehkan hiwalah karena kebutuhan manusia.
1. Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda : ”Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan
piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.”
Dalam hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan kepada oran yang menghutangkan,
apabila orang yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan
mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Dan ia harus menagih orang yang
mendapat pengalihan (muhal’alaih) agar haknya terpenuhi.
2. Ijma’
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak
berbentuk barang / benda Karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh karena itu,
harus pada uang atau kewajiban financial.
c. RUKUN
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan
hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal
(pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 :
1. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih).
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalahkan utangku
yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku
terima hiwalah engkau”.
d. SYARAT
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah
menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak
pertama), muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan dengan hutang tersebut.
 Syarat bagi muhil :
a. Baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia
sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b. Ridha. Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad
tersebut tidak sah.
 Syarat bagi muhal :
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah
(madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)
 Syarat bagi muhal ‘alaih :
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut
madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab
dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad.
 Syarat bagi hutang yang dialihkan :
a. Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang
yang sudah pasti.
b. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu,
kualitas dan kuantitasnya

D. UTANG PIUTANG
a. PENGERTIAN
Dalam terminologi fikih muamalah, utang piutang disebut dengan ‚dayn‛ ( ‫) دين‬. Istilah ‚dayn‛
( ‫ ) دين‬ini juga sangat terkait dengan istilah ‚qard}‛ ( ‫ ) قرض‬yang dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan pinjaman. Sebagian ulama ada yang mengistilahkan utang piutang dengan istilah iqrad
atau qard. Salah satunya adalah Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz alMalibary, dalam kitab Fath al-
Mu’in beliau mendefinisikan iqrad dengan memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji
harus mengembalikan sama dengan yang diutangkan. Dalam pengertian umum, utang piutang
mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan),
transaksi seperti ini dalam fiqih dinamakan mudayanah atau tadayyun.

Utang piutang (qard) menurut bahasa artinya al-qat‘u (memotong). Dinamakan demikian
karena pemberi utang (muqrid}) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada
pengutang. Secara istilah, menurut Hanafiyah qard{ adalah harta yang memiliki kesepadanan yang
anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain suatu transaksi yang dimaksudkan
untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang
sepadan dengan itu.

Madhhab-madhhab yang lain mendefinisikan qard sebagai bentuk pemberian harta dari
seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta sepadan yang menjadi
tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil, hal itu dimaksudkan sebagai
bantuan kepada orang yang diberi saja. Harta tersebut mencakup harta mithliyat (barang yang
memiliki kesepadanan dan kesetaraan dipasar), hewan dan barang dagangan. Sedangkan para
ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian utang piutang (qard), antara lain:

1. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, qard adalah harta yang diserahkan kepada orang lain
untuk diganti dengan harta yang sama. Atau dalam arti lain suatu transaksi yang dimaksudkan
untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang
sepadan dengan itu.

2. Menurut ulama Malikiyah, qard adalah penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai
imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.

3. Menurut ulama Hanabilah, qard adalah penyerahan harta kepada seseorang untuk dimanfaatkan
dan ia wajib mengembalikan dengan harta yang serupa sebagai gantinya.
4. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta yang
diberikan oleh muqrid (pemberi pinjaman) kepada muqtarid{ (orang yang meminjam), agar
muqtarid{ mengembalikan yang serupa dengannya kepada muqrid{ ketika telah mampu.

5. Menurut Hasbi as-siddiqi utang piutang (qard) adalah akad yang dilakukan oleh dua orang yang
salah satu dari kedua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia
menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan barang
tersebut senilai dengan apa yang dia ambil dahulu. Berdasarkan pengertian ini maka qard memiliki
dua pengertian yaitu: I’arah yang mengandung arti tabarru’ atau memberikan harta kepada
seseorang dan akan dikembalikan, dan mu’awadah karena harta yang diambil bukan sekedar
dipakai kemudian dikembalikan, melainkan dihabiskan dan dibayar gantinya.

Sehingga dengan demikian, utang piutang (qard{) adalah adanya pihak yang memberikan harta
baik berupa uang atau barang kepada pihak yang berutang, dan pihak yang berutang menerima
sesuatu tersebut dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan harta tersebut dalam
jumlah yang sama. Selain itu akad dari utang piutang itu sendiri adalah akad yang bercorak ta‘awun
(pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.

b. DASAR HUKUM
Dasar hukum utang piutang dapat kita temukan dalam al-Qur’an dan Hadis. Utang piutang
dalam hukum Islam dapat didasarkan pada perintah dan anjuran agama supaya manusia hidup
saling tolong menolong serta bekerjasama dalam hal kebaikan. Firman Allah Swt :

... ‫ال ع ِ ر َ ى ب لَى و َ ت عَ َ او َ ن وا‬


ْ َ ْ‫إل ا ع ثِ َ عَ ى ت َل َ او َ ن وا و ُ َ َل و َ الت ق ّ و‬ ِ َ ‫ و َ ْالع ُ د ْو‬...
ِ ْ ‫ان‬

Artinya: ‚... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...‛ (QS Al-Maidah : 2)

Dalam transaksi utang piutang terdapat nilai luhur yang tinggi, yaitu perintah tolong
menolong dalam kebaikan. Pada dasarnya pemberian utang kepada seseorang haruslah dengan
niat yang tulus untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Hadid
ayat 11 :

‫ضاعِ ُ ف وَ ح ُ سَ َ ن ً ا ق َر ا الل ضً ْ ّ و َ ق ْ رِ ي ضُ ُ ال ّ ِذ ي ذَا م َ ن‬


َ ‫ي ْ ر ٌ و َ لَو ُ لَو ُ ف َ ي‬
ْ
Artinya: ‚Barang siapa menghutangkan (karena Allah Swt) dengan hutang yang baik, maka
Allah Swt akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan ia akan memperoleh
pahala yang banyak.‛

Ayat di atas menggambarkan bahwasannya Allah Swt mendorong agar umat Islam berlomba-
lomba dalam hal kebaikan, terutama dalam hal menafaqahkan hartanya di jalan Allah Swt. Dan
kemudian akan diganti dengan balasan yang berlipat-lipat kebaikannya. Selain itu, Allah Swt juga
memberikan aturan dalam transaksi utang piutang agar sesuai dengan prinsip syariah. Yaitu aturan
agar setiap utang piutang hendaknya dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat pada surat
al-Baqarah ayat 282:

Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, dan janganlah
ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya...‛

Selain itu juga dasar hukum utang piutang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 283:

Artinya: ‚Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)‛... (QS.al-Baqarah : 283).

Selain dasar hukum dari al-Qur’an di atas, terdapat pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah sebagaimana berikut:

‫ ق َ ال اب ك ِ ْ َ نِ ا ن نَ سِ ع‬: ‫ْ لَة ر َ َ ا َ ي م تُ ْ َ و َ س َ ل ع ّ َ لَي ِ اهلل ص ْ و َ ل اهلل ر ّ ى َ س ُ و ْ َ لُ ق ا م َ اَل‬


ِ ‫ِ ي َ ة و َ َ ْالق رَ ا ضُ ْ مَ ْ ث َ اِل ِ َ ا ب ِ ع ال ِشرْ َ ّ صد َ ق ةَ م ُ َ كتْ وُ ْ ب ً ا لُْْ ا َ ن ّ ة ِ ب َ ا ع بِ َ لَى ا سُ ْ ر‬
‫ي َ بِ ْ لَي‬
‫ِ ّ أل ق َ لَ ن ّ اَل ال صد َ ق ةَ ِ م ِ ن َ ا َ ف ْ ضلَ ُ الُق رَ ْ َ ضِ ب لُ ا م َ ا ف قَ لُُْ ي تُ َ اجِ ب ْ ِ ي لْ ُ ع شرَ َ َ ب ِ ث مَ َ ان‬
‫اج َ ة م ِ ن ْ إل ي ّ سَ ْ ت َ ق ْ رِ ضُ َل س ْ ت َ ق ْ رِ و ضُ َ عِ ن دْ َ ه ُ و َ ْالم ُ ي سُ ْ سا ّء أَُُ ل ال‬

Artinya: ‚Dari Anas bin Malik bahwasannya Rasulullah Saw bersabda : ‚Aku melihat pada waktu
malam di isra’kan, pada pintu surga tertulis: shadaqah dibalas sepuluh kali lipat, dan hutang
delapan belas kali lipat. Aku bertanya: ‚Wahai Jibril, mengapa hutang itu lebih mulia daripada
shadaqah?‛, ia menjawab, ‚Karena pemintaminta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam
tidak akan meminjam kecuali karena kebutuhan‛. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Berdasarkan hadis tersebut di atas, memberikan utang kepada orang yang membutuhkan
bahkan kedudukannya lebih mulia daripada bersedekah. Sedangkan dasar hukum utang piutang
salah satunya terdapat dalam hadis Nabi Muhammad Saw :

ّ ‫ َ ق م َ اَل َ سل ّ َ و َ و ِ ي ْ ع َل اهلل ى َ صل ُ ّ َ بِ ّ ّ أ َ ود‬: ‫ُ ضُ ْ قِر ي ُ مل ِ س ْ م ُ ن ْ ام َ م‬


ُِ‫الن ُُِ ن ع سُ ْ م َ نِ اب ْ ع َ ن‬
‫ي ِ ت رَ ّ م ا ضً َ ر ْ ق َ م ِا ً ل ِ س ْ م‬ َ ‫ر ًُّ م ا َ ه‬
ْ ِ ‫صدق َ َ ت ِ َ ُُِِ ا كَ نَ كَ ّ إ ل‬

Artinya: ‚Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Saw bersabda: tidakkah seorang muslim memberi
pinjaman kepada orang muslim yang lain sebanyak dua kali melainkan pinjaman itu
(berkedudukan) seperti sedekah satu kali.‛ (HR. Ibnu Majah).

Hadis di atas menjelaskan bahwa memberikan utang kepada seseorang pada saat ia
membutuhkan sebanyak dua kali, maka nilai pahalanya sma dengan memberikan sedekah sekali.

Dari ayat al-Qur’an dan hadis di atas, dapat digambarkan bahwasannya utang piutang itu
diperbolehkan dan dianjurkan. Dan Allah Swt pasti akan memberikan balasan berlipat-lipat bagi
seseorang yang berkenan memberikan utang kepada saudaranya yang membutuhkan. Dan untuk
orang yang berutang dengan niat yang baik maka Allah pun akan menolongnya sampai utang
tersebut terbayarkan.

c. RUKUN DAN SYARAT


Dalam utang piutang (qard), terdapat pula rukun dan syarat seperti akad-akad yang lain dalam
muamalah. Adapun rukun dan syarat utang piutang (qard) sendiri ada tiga, yakni:

1. ‘Aqid yaitu orang yang berutang piutang, yang terdiri dari muqrid{ (pemberi utang) dan
muqtarid (penerima utang).

2. Ma’qud ‘alayh yaitu barang yang diutangkan


3. Sighat al-‘aqd yaitu ungkapan ijab dan qabul, atau suatu persetujuan antara kedua belah pihak
akan terlaksananya suatu akad.

Demikian juga menurut Chairuman Pasaribu bahwa rukun utang piutang ada empat macam yaitu:

1. Orang yang memberi utang

2. Orang yang berutang

3. Barang yang diutangkan (objek)

4. Ucapan ijab dan qabul (lafadz).

Dengan demikian, maka dalam utang piutang dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi
rukun dan syarat dari utang piutang itu sendiri. Rukun sendiri adalah unsur terpenting dari sesuatu,
sedangkan syarat adalah prasyarat dari sesuatu tersebut. Sedangkan syarat-syarat yang harus
terpenuhi dalam pelaksanaan utang piutang adalah :

1. ‘Aqid (orang yang berutang piutang) Orang yang berutang dan memberikan utang dapat
dikatakan sebagai subyek hukum. Sebab yang menjalankan praktik utang piutang adalah mereka
berdua, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki oleh kedua belah pihak (subyek hukum), yaitu
orang yang memberi utang dan yang berpiutang adalah sebagai berikut:

a. Orang tersebut telah sampai umur (dewasa)

b. Berakal sehat

c. Orang tersebut mau dan bisa berpikir

2. Objek Utang (Ma’qud ‘alayh)

Ma’qud ‘alayh atau objek yang dijadikan utang piutang adalah satu hal lain dari rukun dan
syarat dalam transaksi utang piutang, disamping adanya ijab qabul dan pihak-pihak yang
melakukan utang piutang tersebut, perjanjian utang piutang itu dianggap terjadi apabila terdapat
objek yang menjadi tujuan diadakannya utang piutang.

Untuk itu objek utang piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan penggunaannya mengakibatkan
musnahnya benda utang.

b. Dapat dimiliki

c. Dapat diserahkan kepada pihak yang berutang

d. Telah ada pada waktu perjanjian dilakukan.

3. Ijab dan Qabul (Sighat al-aqd)

Sighat Akad merupakan ijab, pernyataan pihak pertama mengenai perjanjian yang diinginkan
sedangkan qabul merupakan pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Sighat akad dapat
dilakukan secara lisan, tulisan atau isyarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang
adanya ijab dan qabul, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab
qabul. Sighat akad sangat penting dalam rukun akad. Karena melalui akad tesebut maka akan
diketahui maksud dari setiap pihak yang melakukakan transaksi sighat akan dinyatakan melalui
ijab dan qabul sebagai berikut:

a. Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami

b. Antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian

c. Pernyataan ijab dan qabul harus sesuai dengan kehendak masingmasing, dan tidak boleh ada
yang meragukan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad (qard) adalah sebagai berikut:

a. Besarnya pinjaman (qard) harus diketahui takaran atau jumlahnya.

b. Sifat pinjaman (qard) harus diketahui jika dalam bentuk hewan.

c. Pinjaman (qard) berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Jadi tidak sah apabila berasal
dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.

Perlu dikatahui bahwa syarat yang ada dalam akad menurut keabsahannya terbagi menjadi tiga
yaitu:

a) Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, memperkuat substansi akad dan
dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
b) Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria dalam syarat shahih, atau
akad yang semua rukunnya terpenuhi namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Akibat hukumnya
mauquf (berhenti dan tertahan untuk sementara).

c) Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi nilai
manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi dapat menimbulkan dampak negative.

d. ETIKA DALAM TRANSAKSI UTANG PIUTANG

Di samping adanya syarat dan rukun sahnya utang piutang, juga terdapat ketentuan-ketentuan
mengenai adab atau etika yang harus diperhatikan dalam masalah utang piutang (Qard), yaitu:

1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan 2. Etika bagi pemberi utang (muqrid)

a. Orang yang menghutangkan wajib memberi tempo pembayaran bagi yang meminjam agar
ada kemudahan untuk membayar.

b. Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.

c. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan penuh maaf.

d. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi
utangnya setelah jatuh tempo. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280.

َ ِ ‫عَ ْ كنُ َل ُُِِ ْ ت مُ إ خ ْ نِ َ ي ْ ر ٌ ل ّ كمُ ْ ت صَ َ و ّ دق واُ َ أَن م َ ي سْ َ ر َ ة إ ِ ف َ لَ ن‬


ُْ‫ظ ر َ ة ٌ ذُوع سُ ْ ر َ كاَ و ة نَ َ إ ِ ن‬
‫ُُُُُُُُُُُُُُُُُُِِِِِِِِِِ م ُ ت َون‬

Artinya: ‚Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam keadaan kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui‛.

3. Etika bagi orang yang berhutang (muqtarid)

1) Diwajibkan kepada orang yang berutang untuk sesegera mungkin melunasi utangnya tatkala ia
telah mampu untuk melunasinya, Sebab orang yang menunda-nunda pelunasan utang padahal ia
mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zalim. Sebagaimana sabda Nabi Saw: َُ
‫سول ُ ر َ ّ أ َ و ن ُ عن َُْ اهلل ي ُ َ ضرِ َ رة َ َ ي ْ ر َ ى أَ ُِب ن ُ ْ ع‬
َ ‫ اَل َ سل ّ َ و َ و ِ ي ْ ع َل َ اهلل صل ُ ّ ى َ اهل ِل‬: ِ َ ‫ط م ُ ق م‬
‫َِل‬ ِّ
‫ن الغ‬ َ ِ
‫ظ‬ ‫ٌل‬ ‫م‬
.ُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ
ُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ
ُُِ

Artinya: ‚Melambatkan membayar hutang padahal dia mampu, maka termasuk zalim‛. (HR.
Bukhari Muslim).

2) Pemberi utang (muqrid) tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berutang (muqtarid) dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau
mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Keharaman
itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan
utang (muqrid) kepada si penghutang (muqtarid).

3) Berutang dengan niat yang baik, dalam arti berutang tidak untuk tujuan yang buruk seperti:
berutang untuk foya-foya (bersenangsenang), berutang dengan niat meminta karena jika meminta
tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi dan berutang dengan niat tidak akan
melunasinya.

4) Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaknya orang yang berutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan utang, karena hal ini termasuk bagian dari
menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman,
karena akan merubah hutang yang awalnya sebagai wujud tolong menolong menjadi permusuhan.

e. BERAKHIRNYA AKAD UTANG PIUTANG

Akad utang piutang (qard) berakhir apabila objek akad (qarad) ada pada muqtarid (orang yang
meminjam) telah diserahkan atau dikembalikan kepada muqrid (pemberi pinjaman) sebesar pokok
pinjaman, pada jatuh tempo atau waktu yang telah disepakati di awal perjanjian. Dan
pengembalian qarad hendaknya dilakukan di tempat terjadinya akad qard itu berlangsung. Tetapi
apabila si muqrid (kreditur) meminta pengembalian qarad di tempat yang ia kehendaki maka
dibolehkan selama tidak menyulitkan si muqtarid (debitur).
Akad utang piutang (qard) juga berakhir apabila dibatalkan oleh pihak-pihak yan berakad
karena alasan tertentu. Dan apabila muqtarid (orang yang berhutang) meninggal dunia maka qard
atau pinjaman yang belum dilunasi menjadi tanggungan ahli warisnya. Jadi ahli warisnya
berkewajiban melunasi hutang tersebut. Tetapi qarad dapat dianggap lunas atau berakhir jika si
muqrid (pemberi pinjaman) menghapus hutang tersebut dan menganggapnya lunas.
E. MUZARAAH DAN MUKHABARAH

A. Pengertian

Muzara’ah dan Mukhabarah Menurut bahasa, Al-Muzara’ah yang berarti Tharh AlZur’ah
(melemparkantanaman)1 ,muzara’ah memilki dua arti yang pertama al-muzara’ah yag berarti tharh
al-zur’ah (melemparkan tanaman) maksuudnya adalah modal(albudzar). Makna yang pertama
adalah makna majaz, makna yang kedu adalah al-inbat makna hakikimakna kedua ini berarti
menumbukan.

Anda mungkin juga menyukai