BIOTEKNOLOGI
BIOTEKNOLOGI FARMASI
DISUSUN OLEH :
AGUN
HESTI
INTAN
YASA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AL - GHIFARI
2019-2020
KATA PENGANTAR
A. Latar Belakang
Dalam bioteknologi farmasi hal utama yang dihasilkan adalah suatu produk
yang dapat digunakan sebagai obat untuk meningkatkan kesehatan makhluk hidup.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan :
1. Apa saja ruang lingkup kajian bioteknologi farmasi?
2. Apa saja arti penting bioteknologi dalam farmasi?
3. Apa saja komponen yang terlibat dalam bioteknologi farmasi?
4. Apa saja contoh bioteknologi farmasi?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui ruang lingkup kajian biteknologi farmasi
2. Mengetahui arti penting bioteknologi dalam farmasi
3. Mengetahui komponen apa saja yang terlibat dalam bioteknologi
farmasi
4. Mengetahui contoh-contoh bioteknologi farmasi
BAB II
PEMBAHASAN
3. Produk Vaksin
Selain digunakan untuk memproduksi hormon maupun enzim,
teknologi DNA rekombinan juga digunakan untuk membuat vaksin. Pada
aplikasi ini, secara garis besar beberapa mikroorganisme digunakan untuk
menghambat kemampuan mikroorganisme patogen (penyebab penyakit).
Mikrobia menjadi suatu bibit penyakit dalam tubuh apabila mikrobia
tersebut menghasilkan senyawa toksik bagi tubuh manusia. Selain itu,
bagian-bagian tubuh mikrobia seperti flagel dan membran sel juga dapat
menimbulkan penyakit. Hal ini karena bagian-bagian tersebut kemungkinan
terdiri dari protein asing bagi tubuh. Senyawa dan protein asing ini disebut
antigen.
Gen yang mengkode senyawa penyebab penyakit (antigen) diisolasi
dari mikrobia yang bersangkutan. Kemudian gen ini disisipkan pada
plasmid mikrobia yang sama, tetapi telah dilemahkan (tidak berbahaya).
Mikrobia ini menjadi tidak berbahaya karena telah dihilangkan bagian yang
menimbulkan penyakit, misal lapisan lendirnya. Mikrobia yang telah
disisipi gen ini akan membentuk antigen murni. Bila antigen ini disuntikkan
pada manusia, sistem kekebalan manusia akan membuat senyawa khas yang
disebut antibodi.
4. Terapi Gen
Menurut Nurcahyo (2011), terapi gen adalah suatu teknik yang
digunakan untuk memperbaiki gen-gen mutan (abnormal/cacat) yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu penyakit. Pada awalnya, terapi
gen diciptakan untuk mengobati penyakit keturunan (genetik) yang terjadi
karena mutasi pada satu gen, seperti penyakit fibrosis sistik. Penggunaan
terapi gen pada penyakit tersebut dilakukan dengan memasukkan gen
normal yang spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan. Terapi gen
kemudian berkembang untuk mengobati penyakit yang terjadi karena mutasi
di banyak gen, seperti kanker. Selain memasukkan gen normal ke dalam sel
mutan, mekanisme terapi gen lain yang dapat digunakan adalah melakukan
rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal dengan gen
normal, mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik peredaman gen,
dan melakukan mutasi balik selektif sehingga gen abnormal dapat berfungsi
normal kembali.
Secara garis besar ada dua macam cara yang biasa digunakan untuk
memasukkan gen baru ke dalam sel.
a. Terapi Gen Ex Vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan (seperti kulit, system
hemopoietik, hati ) atau jaringan tumor dapat diambil dari pasien dan
kemudian dibiakkan dalam laboratorium. Selama pembiakkan, sel itu
dimasuki suatu gen tertentu untuk terapi penyakit itu. Kemudian
diikuti dengan reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi itu
ke pasien. Penggunaan sel penderita untuk diperlakukan adalah untuk
meyakinkan tidak ada respon imun yang merugikan setelah infuse
atau transplantasi. Terapi gen ex vivo saat ini banyak digunakan pada
uji klinis, kebanyakan menggunakan vector retrovirus untuk
memasukkan suatu gen ke dalam sel penerima.
b. Terapi Gen In Vivo
Organ seperti paru paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex
vivo, sebab pembiakan sel target dan retransplantasi tidak mungkin
dilakukan. Oleh karena itu terapi gen somatic, dilakukan dengan
pemindahan gen in vivo. Dengan kata lain dengan memberikan gen
tertentu baik secara lokal maupun sistemik. Penggunaan vector
retrovirus memerlukan kondisi sel target yang sedang membelah
supaya dapat terinfeksi. Akan tetapi, banyak jaringan yang merupakan
target terapi gen, sebagian besar selnya dalam keadaan tidak
membelah. Akibatnya, sejumlah strategi diperlukan baik penggunaan
system vector virus maupun non-virus untuk menghantarkan gen
terapetik ke sel target yang sangat bervariasi seperti kulit, otot, usus,
liver dan sel darah. Sistem penghantar gen in vivo yang ideal adalah
efisiensi tinggi masuknya gen terapetik dalam sel target. Gen itu dapat
masuk ke inti sel dengan sedikit mungkin terdegradasi, dan gen itu
tetap terekspresi walaupun ada perubahan kondisi
Gambar 5 Terapi Gen In Vivo dan Terapi Gen Ex Vivo
Terapi gen dapat dilakukan pada gen sel somatic maupun embrional,
berikut penjelasannya.
a. Terapi gen pada sel somatic
Terapi gena pada sel somatis (somatic gene therapy) yaitu usaha
mereparasi gen karena cacat bawaan dengan cara menyisipkan gene
normal ke organisme penderita, sebagai contoh kelainan metabolisme.
Langkah-langkah terapi gena sebagai berikut: sel sumsum tulang
(bone marrow) atau sel kulit diekstrasi (dikeluarkan) dari tubuh pasien
kemudian dipelihara dalam medium kultur untuk perbanyakan.
Kemudian disisipkan gen normal ke dalam DNA sel tadi dengan
rekayasa gena ini diharapkan dapat menyebabkan perubahan genotipe
sel yang semula cacat. Transgenesis untuk mengembalikan rDNA
tubuh pasien yang menderita cacat bawaan. Terapi gene sel somatik
dari sudut pandang sosial masih menimbulkan masalah pro dan
kontra. Masih dipertimbangkan dengan alasan karena risiko dan
keamanan.
b. Terapi Gena pada sel embrional
Terapi gena pada sel (Germ line gene therapy) yaitu usaha mereparasi
gena karena cacat bawaan, sebagai contoh kelainan metabolisme.
Langkah-langkah terapi gena sebagai berikut: misalnya sumsum
tulang (bone marrow) atau sel kulit diambil kemudian keduanya
dipelihara dalam medium kultur vektor ke dalam sel hospes dengan
menggunakan metode mikroinjeksi DNA ke sel telur terbuahi diikuti
dengan implantasi sel telur termanipulasi ke induk titipan yang telah
dipersiapkan. Pada tikus dengan induksi dapat diperoleh 40 buah ova,
namun sel telur yang dapat dibuahi sekitar 20 buah. 2 pl buffer yang
mengandung klon plasmid DNA diinjeksikan ke salah satu dari
pronukleus sel telur terbuahi. Ada 2 buah pronukleus dari jantan dan
betina, pronukleus jantan lebih besar sehingga dipilih untuk diinjeksi.
Pronuklei mengalami fusi kemudian terbentuklah zygote diploid.
Embryo ditumbuhkan pada medium in vitro, sampai pembelahan sel
tertentu. Kemudian diimplantasikan ke induk titipan. Antara 3 – 10 %
hewan yang berkembang mengandung kopi dari DNA eksogen yang
bersatu dengan kromosomnya
5. Produksi Antibiotik
Antibiotika adalah suatu zat yang dihasilkan oleh organisme tertentu
dan berfungsi untuk menghambat pertumbuhan organisme lain yang ada di
sekitarnya. Antibiotika dapat diperoleh dari jamur atau bakteri yang
diproses dengan cara tertentu. Dipelopori oleh Alexander Fleming dengan
penemuan penisilin dari Penicillium notatum. Penicillium chrysogenum
digunakan untuk mem-perbaiki penisilin yang sudah ada dengan mutasi
secara iradiasi ultra violet dan sinar X. Selain Penicillium chrysogenu,
beberapa mikroorganisme juga digunakan sebagai antibiotik, antara lain:
• Cephalospurium : penisilin N.
• Cephalosporium : sefalospurin C.
• Streptomyces : streptomisin, untuk pengobatan TBC
Produksi antibiotic dilakukan dalam skala besar pada tangki fermentasi
dengan ukuran besar. Sebagai contoh, penicillium chrysogenum
ditunbuhkan dalam 100.000 liter fermentor selama kurang lebih 200 jam.
Mula-mula suspense spora P.chrysogenum ditumbuhkan pada larutan
bernutrisi. Kultur diinkubasi selama 24 jam pada suhu 24◦ C dan selanjutnya
ditransfer ke tangki aerasi yang baik selama satu hingga dua hari.
7. Produksi steroid
Hormon steroid sangat penting peranannya dalam dunia kesehatan.
Misalnya kortison dan steroid lainnya yang serupa diketahui dapat
digunakan untuk meredakan sakit dan mengurangi bengkak. Produksi
kortison dengan sintesis daria sam deoksiolat (deoxycholic acid) dan fungi
Rhizopus arrhizus menghidroksilasi progesteron membentuk steroid lain
dengan mengintroduksi oksigen pada posisi nomor 11 dan menghasilkan 11-
α-hidroksiprogresteron. Fungi Cunninghamella blakesleena juga dapat
menghidroksilasi steroid korteksolon (cortexolone) untu membentuk
hidrokortison dengan mengintroduksi oksigen pada posisi nomor 11
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
a. Bioteknologi farmasi merupakan penerapan dan pengembangan
bioteknologi dalam bidang farmasi/obat-obatan yang menunjang
perbaikan kesehatan makhluk hidup serta perawatan medis.
b. Arti penting bioteknologi farmasi yaitu merancang dan
memproduksi obat-obatan yang disesuaikan dengan genetik
masing-masing orang, mengembangkan obat-obatan khusus untuk
efek terapi yang maksimal dengan dosis yang tepat, memproduksi
vaksin yang lebih aman oleh organisme yang ditransformasi
melalui rekayasa genetik
c. Komponen yang terlibat dalam bioteknologi farmasi dan
kedokteran dapat berupa bagian-bagian dari organisme yang
digunakan dalam menghasilkan produk atau jasa untuk kepentingan
penelitian atau pengembangan perawatan kesehatan dan obat-
obatan
d. Contoh dari bioteknologi farmasi diantaranya pembuatan insulin,
antibody monoclonal, antibiotik, vaksin, steroid, vitamin dan terapi
gen.
2. Saran
Dari pembuatan makalah ini ada beberapa hal yang perlu diperbaiki
diantaranya mahasiswa harus selalu mengikuti perkembangan informasi
mengenai bioteknologi farmasi, hal ini dikarenakan ilmu bioteknologi
farmasi yang terus berkembang dan memunculkan teori atau cara baru.
DAFTAR PUSTAKA
Betteng, R., Pangemanan, D., & Mayulu, N. 2014. Analisis Faktor Resiko
Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Ii
Puskesmas Wawonasa. Jurnal e-Biomedik, 2(2): 400-410.
Machmud, M., Harjosudarmo, Jumanto, Manzila, Ifa, & Suryadi, Yadi. 2004.
Pengembangan Teknik Produksi dan Aplikasi Antibodi Monoklonal
Ralstonia solanacerum. Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian BB-
Biogen Tahun 2004.
Madigan, M.T., Martinko, J.M., Dunlap, P.V. and Clark, D.P. 2009. (published
February, 2008) Brock Biology of Microorganisms, 12th edition, Pearson
Benjamin-Cummings, San Francisco