Anda di halaman 1dari 23

Syirkah ( Partnership) dan Akad Akad Dalam Bisnis Islam

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu : Lorena Dara Putri Karsono, M.M.

Disusun Oleh :
1. Dewi Alai (2150210036)
2. Dahlia indah Nurul Hidayah (2150210037)
3. Riska Ramayanti (2150210038)
4. Muhammad Fatchurrohman (2150210049)

Kelas : B2MBR

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2021/2022
1.1 Pengertian Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau


percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi
syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha finanssial dengan tujuan mencari keuntungan (Taqiyyudin,1996).
1

Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha memiliki perbedaan
pendapat. Abdurrahman al-Jaziri dalam Suhendi merangkum pendapat-pendapat tersebut
antara lain, menurut Sayyid Sabiq syirkah ialah akad antara dua orang berserikat pada
pokok harta (modal) dan keuntungan. Menurut Muhammad al-Syarbini alKhatib yang
dimaksud dengan Syirkah ialah ketetapan hak pada suatu untuk dua orang atau lebih
dengan cara yang masyhur atau diketahui. Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira
yang dimaksud dengan syirkah adalah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau
lebih. Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad alHusaini pula mengatakan bahwa
syirkah ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih
dengan cara yang diketahui. Pendapat Imam Hasbie Ash-Shidieqie bahwa yang dimaksud
dengan syirkah ialah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih dalam bekerja pada
suatu usaha dan membagi keuntungannya. Sedangkan Idris Muhammad menyebutkan
syirkah sama dengan syarikat dagang yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan
bekerja sama dalam dagang dengan menyerahkan modal masing-masing di mana
keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-
masing. Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau
lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

1
JURNAL EKONOMI Volume 21, Nomor 3 September 2013
Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikah adalah bentuk perseroan dalam Islam
yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Secara prinsip
syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistim ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-
perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik bunga dalam model
ini, tetapi juga berbeda dalam hal transaksi pembentukannya, operasionalnya maupun
pembentukan keuntungan dan tanggungjawab kerugian (Faruq, 2000). Model syirkah
merupakan sebuah konsep yang secara tepat dapat memecahkan permasalahan
permodalan. Satu sisi, prinsip Islam menyatakan bahwa segala setuatu yang dimanfaatkan
oleh orang lain berhak memperoleh kompensasi yang saling menguntungkan, baik
terhadap barang modal, tenaga atau barang sewa. Di sisi lain Islam menolak dengan tegas
kompensasi atas barang modal berupa bunga (Chapra, 1999). Para ahli ekonomi Islam
mendukung pentingnya peranan syirkah dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kemandekan ekonomi sering terjadi karena pemilik modal tidak mampu mengelola
modalnya sendiri atau sebaliknya mempunyai kemampuan mengelola modal tetapi tidak
memiliki modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkah yang
dibenarkan dalam syariah Islam (Qardawi, 1997). JURNAL EKONOMI Volume 21,
Nomor 3 September 2013

Dalam kerangka keterbatasan modal bagi para pelaku usaha, Islam memberikan
alternatif kemitraan berupa pembiayaan tanpa riba. Pembiayaan tanpa riba yang dimaksud adalah
qard al-hasan dan syirkah. Qard al-hasan adalah pembiayaan yang dilakukan tanpa kompensasi
apapun. Bentuk pembiayaan ini hanya bersifat tolong memolong dengan saling keridhaan antar
pelaku usaha. Biasanya model qarh al-hasan ini dilakukan dalam jangka pendek. Berdasarkan
sifatnya tersebut maka syirkah menjadi alternatif lain dalam umat Islam melakukan usaha yang
mengharapkan kompensasi keuntungan dalam usaha yang dilakukan (Yusanto, 2009). Akan
tetapi tidak banyak bacaan, kajian atau bahkan masyarakat Islam yang belum mengetahui dan
memahami syirkah Islami yang terdapat dalam Al-Quran, Hadist, pendapat imam mazhab dan
pendapat para ahli hukum Islam mengenai syirkah itu sendiri. Hal ini tentu sangat riskan
mengingat perkembangan ekonomi baik dari sisi operasional maupun transaksinya terjadi setiap
detik dalam kehidupan masyarakat Islam itu sendiri.
1.2 Dasar Hukum Syirkah

Dasar hukum syirkah dalam Al-Qur’an


Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 12 :
ِ ُ‫…فَهُ ْم ُش َر َك ۤا ُء فِى الثُّل‬
‫ث‬
“…mereka berkongsi untuk mendapat bagian sepertiga…”
FIrman Allah dalam surat Sād ayat ayat 24:
ُ‫ت َوقَلِ ْي ٌل َّما هُ ۗ ْم َوظَ َّن د َٗاو ُد اَنَّ َما فَتَ ٰنّه‬ ّ ٰ ‫ْض اِاَّل الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬ ٰ ُ ‫َواِ َّن َكثِ ْيرًا ِّمنَ ْال ُخلَطَ ۤا ِء لَيَب ِْغ ْي بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم عَلى بَع‬
َ ‫فَا ْستَ ْغفَ َر َربَّهٗ َو َخ َّر َرا ِكعًا َّواَن‬
‫َاب‬
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, dan amatlah sedikitlah mereka ini.”
Sementara dasar hukum syirkah dari Al-Sunnah antara lain alah sebagai berikut:
Hadis riwayat dari Abu Hurairah:
‫ إن هللا يقول أنا ثالث الشريكين ما لم يكن أحدهما صاحبه فإذا‬:‫عن أبي حيان التيمي عن أبيه عن أبي هريرة رفعه قال‬
‫خانه خرجت من بينهما‬2
"Dari Abu Hayyan al-Taimi dari ayahnya dari Abu Hurairah (marfu') Rasulullah
bersabda: sesungguhnya Allah Swt. berfirman Aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang bersekutu, selama salah satu di antara mereka tidak menghianati lainnya, apabila
salah seorang di antara mereka menghianati lainnya, maka Aku keluar dari persekutuan
mereka"
Rasulullah Saw. bersabda:
‫بد هللا على الشريكين ما لم يتخاؤنا‬3

"Pertolongan Allah akan selalu menyertai dua pihak yang berkongsi atau bersekutu,
selama mereka tidak saling menghianati"

2
Sulaiman bin al-Asy'ats bin Syaddad bin 'Amr al-Azadí Abu Daud, Sunan Abu Daud,(Digital
Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Işdar al-Säni, 2005). X/176, hadis nomor 3385; baca juga
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, (Digital Library, al-
Maktabah al-Syamilah al-Işdar al Sani, 2005), II/189, hadis nomor. 11756.
3
Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir.(Digital Library al-Maktabah al-Syamilah al-
Işdär al-Säni, 2005), VI/1037.
Kaidah fikih:
‫األصل في المعامالت اإلباحة إال أن يدل ذليل على تحريمها‬
"Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yong
mengharamkannya."
Selain dasar hukum di atas, syirkah juga disyariatkan berdasarkan ijma' atau kesepakatan
ulama dan juga kesepakatan kaum muslimin. Dalam konteks Indonesia, dasar legalitas
syirkah dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) nasal 134-186.

1.3 Rukun Syirkah

1. Akad (ijab dan kabul).


2. Anggota yang berserikat, dua orang atau lebih (‘aqidani).
3. Objek akad, dengan disebutkan ma’qud ‘alaih.

Adapun syarat sah akad syirkah ada 2, yaitu:

1. Objek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan
akad-akad, misalnya akad jual-beli.
2. Objek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak
bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990).

1.4 Macam-Macam Akad Syirkah

Secara garis besar syirkah ada dua macam yaitu:

1. Syirkah Amlak

Syirkah amlak adalah perkongsian dalam hal untuk memiliki harta. Syirkah amlak
ada dua macam, yaitu syirkah amlak ikhtiyan (perkongsian sukarela) dan syirkah
amlak ijbari (perkongsian paksa). Perkongsian sukarela adalah kesepakatan dua orang
atau lebih untuk memliki suatu barang tanpa adanya keterpaksaan dari masing-masing
pihak. Contohnya dua orang yang bersepakat untuk membeli suatu barang, misalnya
satu buah mobil truk untuk angkutan barang. Sementara perkongsian yang bersifat
memaksa adalah perkongsian di mana para pihak yang terlibat dalam kepemilikian
barang atau suatu aset tidak bisa menghindar dari bagian dan porsinya dalam
kepemilikian tersebut, karena memang sudah menjadi ketentuan hukum. Misalnya
dalam hal bagian harta waris bagi saudara orang yang mewariskan, apabila jumlah
saudara lebih dari satu orang, maka mereka secara ijbari berkongsi mendapatkan
sperenam. Artinya sperenam harta warisan dibagi sejumlah saudara yang ada.

2. Syirkah 'Uqud

syirkah 'uqud adalah perkongsian dalam transaksi. Syirkah Uqud dan Pembagiannya
Secara umum menurut ulama fiqh, termasuk kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah
menyatakan bahwa syirkah 'uqud terbagi menjadi empat, yaitu syirkah inan, syirkah
mufawadah, syirkah abdan dan syirkah wujuh.

a. Syirkah Inan

Al-Syarakhsi mendefinisikan syirkah 'inän sebagai berikut:

"Dua orang yang bersekutu dengan modal bersama, akad dilakukan bersama-
sama, begitu juga saat membeli suatu barang, modal harus berupa dana cash
dan tidak boleh berupa hutang"4.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, syirkah inan adalah persekutuan antara dua pihak
atau lebih untuk memanfaatkan harta bersama sebagai modal dalam berdagang,
apabila mendapat keuntungan maka dibagi bersama, bila terjadi kerugian juga
ditanggung bersama. Ulama bersepakat bahwa syirkah inan diperbolehkan.
5
Namun demikian ada perbedaan mengenai penamaan syirkah 'inan dan
persyaratannya. Al Farra' mengatakan bahwa "al-'inan" berasal dari kata 'anna al-
Syai' yang berarti muncul sesuatu. Dikatakan syirkah 'inan karena kemauan untuk
berkongsing mucul dari masing-masing pihak, artinya tidak ada paksaan

4
10 Al-Sarakhsi, al-Mabsut, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Işdär al Sani, 2005),
XIII/364.
5
Lihat Ibnu Qudamah, al-Mugni ..., V/136. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami...
V/3880.
Kerjasama untuk menjalankan usaha dan membagi hasilnya muncul dari masing-
masing pihak.

Para pihak yang melakukan kerjasama atau perkongsian seolah terikat dengan
kesepakatan dan aturan yang berlaku di antara mereka, sehingga para pihak yang
terlibat dalam perkongsian tidak bisa melakukan tindakan sewenang-wenang
terkait dengan pengelolaan usaha.6 Syirkah 'inan sah apabila dilakukan oleh para
pihak yang cakap hukum, modal bukan harta tanggungan atau harta dari gaşab.
Masing masing pihak yang terlibat dalam syirkah ini juga harus mengetahui kadar
dan jumlah modal yang disertakan dalam perkongsian. Para pihak yang terlibat
dalam syirkah 'inan tidak harus satu agama, boleh dilakukan antara muslim
dengan non-muslim. Ada dua syarat yang harus terpenuhi dalam syirkah 'inan
sebagaimana diterangkan al-Kasani yang dikutip oleh Wahbah al Zuhaili:

1) Pertama, modal syirkah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat
membeli. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu syirkah
menjadi tidak sah jika modal yang digunakan berupa utang atau harta yang
tidak ada. Karena tujuan dari transaksi syirkah adalah mendapat keuntungan,
dan keuntungan tidak mungkin didapatkan tanpa bekerja atau membelanjakan
modal.7

2) Kedua, modal syirkah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu
uang, seperti dirham dan dinar di masa lalu, atau mata uang tersebar luas sekarang
di modern.

6
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami. V/3880.

5. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh, (alih bahasa Abdu Hayyie al-Kattani,
dkk.), (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), V/451.

7
Masing-masing pihak yang terlibat dalam syirkah 'inan tidak harus menyetorkan
modal yang sama. Begitu juga dalam bekerja menjalankan modal juga tidak
dituntut danya kesamaan volume kerja. Biasanya masing-masing pihak
mempunyai tanggung jawab sendiri yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan.
Dalam pembagian keuntungan juga dalam syirkah ini tidak ada keharusan untuk
sama, akan tetapi disesuaikan dengan modal yang disetorkan dan volume kerja
yang telah dilakukan.

Pasal 175 KHES menyebutkan bahwa:

1) Para pihak dalam syirkah al-'inan tidak wajib untuk menyerahkan semua
uangnya sebagai sumber dana modal.

2) Para pihak dibolehkan mempunyai harta yang terpisah dari modal syirkah
'inan.

b. Syirkah Mufawadah

Menurut wahbah az-zuhaili, syirkah mufawadah perkongsian antara dua orang


atau lebih dalam suatu pekerjaan, dengan syarat-syarat masing-masing pihak yang
terlibat sama dalam modal, pengelolaan harta dan satu agama di mana masing-
masing pihak menjadi penanggung jawab bagi yang lain dalam soal jual beli..
Dengan kata lain masing-masing pihak terikat dengan transaksi yang dilakukan
pihak lain baik dalam bentuk hak maupun kewajiban. Maksudnya, masing-masing
pihak saling memberikan jaminan dalam hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan transaksi yang mereka lakukan. Dengan begitu, masing-masing pihak
menjadi wakil bagi mitranya untuk menerima hak, dan pada saat yang sama juga
menjadi (kafil) atau penanggung atas kewajiban mitranya. 8

Syirkah mufawadah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih dimana
masing-masing pihak yang terlibat harus menyertakan modal yang sama, mereka
juga harus ikut mengelola modal dengan volume dan intensitas kerja yang sama
risiko ditanggung bersama dan pembagian modal juga harus sama.

8
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami..., V/3880.
KHES pasal 165 menyebutkan bahwa syirkah mufāwadah adalah sebagai berikut:

"Kerjasama untuk melakukan usaha boleh dilakukan dengan jumlah modal yang
sama dan keuntungan dan atau kerugian dibagi sama.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, dapat dipahami bahwa dalam syirkah


mufawadah semua pihak yang berkongsi harus terlibat dalam perkongsian secara
proporsional dan harus relatif sama. Masalah modal, para pihak harus
menyerahkan modal sesuai dengan kesepakatan dan proporsi yang sama. Risiko
dan keuntungan harus ditanggung secara bersama dengan proporsi yang sama.
Hanya saja apabila terjadi kerugian akibat kelalaian salah seorang pihak maka
pihak tersebut yang menanggung kerugian.

Dalam syirkah mufāwadah hal permodalan tidak diperkenankan ada pihak atau
anggota perkongsian yang menyertakan modal lebih besar dari anggota lainnya.
Begitu juga dalam masalah pengelolaan modal atau dalam menjalankan usaha,
tidak boleh salah satu pihak mendominasi dalam bekerja. Berkaitan dengan
pembagian keuntungan, keuntungan harus dibagi dalam proporsi yang sama.

Selain ketentuan di atas, dalam Syirkah mufawadah juga berlaku persyaratan yang
berlaku dalam syirkah inan. Persyaratan tersebut adalah modal syirkah hendaknya
nyata dan modal harus berupa barang bernilai dan berharga, yaitu umumnya uang.

Al-Kassani, sebagai dikutip Wahbah al-Zuhaili menjelaskan syarat-syarat khusus


syirkah mutawadah sebagai berikut:9

1) Masing-masing sekutu hendaknya cakap untuk mengadakan transaksi wakalah


dan kafalah, yaitu, keduanya harus merdeka, balig, berakal dan bijaksana
(rasyid ).

2) Persamaan dalam modal, baik dari segi kadar maupun nilai, dan baik sejak
awal maupun ketika berakhir.

9
Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam... V/455-457.
3) Apabila semua barang yang dimiliki salah satu dari kedua pihak yang
melaksanakan akad syirkah mufawadah dan dapat dijadikan sebagai modal
syirkah harus dimasukkan dalam syirkah, maka akad syirkah yang
dilaksanakan tidak bisa disebut sebagai syirkah mufawadah, karena hal itu
bertentangan dengan prinsip persamaan. Adapun hal-hal yang tidak bisa
dijadikan sebagai modal mufawadah, seperti barang dagangan, barang tak
bergerak, utang dan harta yang tidak ada di tangan, maka ia tidak harus
diikutsertakan dalam mufawadah. Ini berbeda dengan pendapat Zaidiyah yang
mengharuskan persamaan jenis modal. Oleh karena itu, jika modal salah satu
sekutu adalah emas, sedangkan modal mitranya adalah perak, namun nilai
keduanya sama, maka syirkah mufawadah tetap sah menurut riwayat yang
paling masyhur dari dua riwayat yang ada. Begitu juga, tidak disyaratkan
untuk mencampurkan dua modal, hal ini berbeda dari pendapat Zufar.

4) Persamaan dalam pembagian keuntungan mufāwadah.

5) Mufawadah hendaknya dilakukan pada semua jenis perdagangan yang


diperbolehkan. Oleh karena itu, tidak sah jika salah satu sekutu melakukan
perdagangan tertentu, tanpa mitranya yang lain, karena hal itu akan
membatalkan hakikat mufawadah, yaitu persamaan.

Dari sini bisa dipahami mengapa Abu Hanifah dan Muhammad mensyaratkan
agar mufawadah dilakukan dua orang yang seagama (sama-sama muslim).
Sehingga tidak sah jika mufawadhah dilakukan oleh orang muslim dengan
orang kafir; karena kafir dzimmi, misalnya, memiliki kekhususan melakukan
perdagangan yang tidak boleh dilakukan seorang muslim, yaitu berdagang
arak dan babi.

Karena adanya ketentuan harus adanya persamaan proporsi modal, volume


pekerjaan, penanggungan risiko dan persamaan dalam pembagian keuntungan,
padahal praktik semacam ini susah untuk dilakukan, maka ulama Hanafiyah,
Zaidiyah, Syafi'yah, Hanbaliyah dan mayoritas ulama lainnya tidak
memperbolehkan syirkah mufawadah. Masalah modal memang mudah diukur
untuk disamakan, begitu juga masalah keuntungan, namun dalam masalah
penanggungan risiko dan persamaan volume dan proporsi kerja sangat sulit
diterapkan, karena tidak bisa diukur secara pasti. Ulama yang memperbolehkan
syirkah mufiwadah hanyalah kalangan Malikiyyah.

c. Syirkah Abdan

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa syrikah abdan atau syirkah a'mal adalah
persekutuan dua pihak atau lebih di mana masing-masing pihak mempunyai
keterampilan tertentu untuk bekerja, sementara keuntungan dibagi sesuai dengan
volume kerja dan kesepakatan di antara mereka. 10
Jadi, Syirkah abdan atau
syirkah a'mal adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk mengerjakan
suatu pekerjaan, dimana pekerjaan ini tidak mebutuhkan modal uang, akan tetapi
hanya membutuhkan keterampilan tertentu dan atau tenaga.

Sebagai contoh, dua orang yang mempunyai keterampilan dalam menjahit


pakaian. Keduanya berkongsi untuk mengerjakan satu paket borongan penjahitan
baju seragam. Keduanya sama-sama mempunyai peralatan konveksi untuk
mengerjakan borongan tersebut. Keuntungan dibagi di anatara dua orang tersebut
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Para pihak yang berkongsi dalam syirkah abdan harus mempunyai keterampilan
tertentu, karena pada dasarnya modal dalam syirkah abdan adalah keterampilan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Pekerja dalam syirkah abdan akan
mempunyai nilai ekonomi atau dapat dihargai apabila pekerjaan tersebut dapat
terukur, baik berdasarkan durasi waktu maupun dari sisi hasil. Dalam hal ini pasal
148 KHES menyebutkan,

1) Suatu pekerjaan mempunyai nilai apabila dapat dihitung dan diukur.

2) Suatu pekerjaan dapat dihargai dan atau dinilai berdasarkan jasa dan atau hasil

10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami.... V/3887.
Pasal 150 menyebutkan:

1) Suatu akad kerjasama-pekerjaan dapat dilakukan dengan syarat masing-


masing pihak mempunyai keterampilan untuk bekerja.

2) Pembagian tugas dalam akad kerjasama-pekerjaan, dilakukan berdasarkan


kesepakatan.

Masing-masing pihak dalam syirkah abdän dapat membuat kesepakatan atau


perjanjian di antara mereka untuk membagi pekerjaan yang menjadi obyek
perkongsian. Pembagian pekerjaan ini tentunya disesuaikan dengan kemampuan
pihak yang ikut serta dalam perkongsian. Oleh karena itu, upah atau keuntungan
dalam syirkah abdan tidak harus sama, akan tetapi disesuaikan dengan andil
partisipasi, jenis pekerjaan yang dilakukan, volume dan proporsi kerja.

Risiko dalam syirkah abdan pada dasarnya ditanggung bersama para pihak yang
berkongsi. Namun demikian, apabila terjadi kerusakan atau rendahnya kualitas
hasil pekerjaan yang diakibatkan oleh kelalaian salah satu pihak atau anggota,
maka anggota tersebut yang bertanggung jawab atas risiko tersebut.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum syirkah abdan Kalangan Malikiyyah,


Hanafiyyah, Hanbaliyah dan Zaidiyyah berpendapat bahwa syirkah abdan
hukumnya boleh, karena tujuan yang ingin dicapai dalam syirkah ini adalah
keuntungan dengan bermodalkast usaha. Dalam konteks ini, pada dasarnya
perkongsian yang dilakukan adalah perkongsian untuk menyewakan jasa atau
tenaga (ijarah).

d. Syirkah Wujuh

Al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsut mendefinisikan syirkah wujüh sebagai berikut:

"Dua orang yang tidak mempunyai modal berkongsi untuk membeli suatu barang
dengan harga tangguh, kemudian mereka menjual kembali barang tersebut
dengan harga kontan atau cash".
Senada dengan al-Sarakhsi, al-Kasani mendefinisikan syirkah wujuh sebagai
berikut:

"Dua orang yang berkongsi tanpa modal, akan tetapi mereka mempunyai
reputasi yang baik di masyarakat, mereka membeli dengan sistem pembayaran di
belakang (pembayaran tangguh), kemudian menjual barang tersebut dengan
cash".

Dari dua pendapat ulama di atas, dapat dipahami bahwa syrikah wujuh adalah
perkongsian antara dua pihak untuk memperdagangkan barang tertentu. Para
pihak yang berkongsi ini sudah dikenal mempunyai reputasi yang baik, sehingga
mereka dapat dipercaya untuk membeli barang tertentu dengan pembayaran
tangguh, kemudian mereka menjualnya secara tunai. Keuntungan dibagi di antara
mereka sesuai dengan kesepakatan. Jadi dalam syirkah wujuh tidak ada setoran
modal.

Syirkah jenis disebut dengan syirkah wujuh karena yang menjadi modal adalah
reputasi para pihak yang berserikat. Reputasi kejujuran dan integritas mereka
dalam bekerja. Suatu barang yang dijual dengan harga tangguh tidak akan
mungkin kecuali tanpa jaminan, baik berupa jaminan maupun reputasi seseorang.

Berkaitan dengan pembagian keuntungan, dalam syirkah wujuh tidak boleh ada
perbedaan dalam pembagiaan keuntungan apabila jumlah penjualan barang sama.
Artinya apabila anggota syirkah ini berhasil menjual barang yang dibelinya dalam
jumlah yang sama, maka keuntungan juga harus dibagi rata. Pembagian
keuntungan berdasarkan jumlah penjualan barang yang telah dilakukan anggota
perkongsian. Dalam KHES pasal 140 ayat (3) disebutkan bahwa

"Pembagian keuntungan dalam syirkah al-wujuh ditentukan berdasarkan


kesepakatan”. Kalangan Hanafiyah memperbolehkan syirkah wujuh. Hal ini
berbeda dengan kalangan Syafi'yah yang tidak memperbolehkan syirkah jenis ini.
Argumentasi kalangan Hanafiyah adalah karena masyarakat sudah melakukan
praktik syirkah wujuh ini di berbagai wilayah, sementara tidak ada pihak yang
mengingkarinya. Sementara
11
argumentasi kalangan Syafi'iyyah tidak
memperbolehkan syirkah ini adalah karena tidak adanya percampuran
kepemilikan antara para pihak atau anggota perkongsian. Masing-masing pihak
bertanggung jawab atas barang yang dibelinya secara tangguh tersebut, dan
apabila mendapat keuntungan juga untuknya.12

 Syarat-syarat Syirkah 'Uqud

Wahbah al-Zuhaili mengutip dari berbagai kalangan ulama menjelaskan syarat-


syarat syirkah 'uqud sebagai berikut:

a. Bisa diwakilkan

Pekerjaan yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan. Karena
diantara ketentuan syirkah adalah adanya persekutuan dalam keuntungan yang
dihasilkan dari perdagangan. Selain itu, keuntungan perdagangan tidak akan
menjadi hak milik bersama, kecuali jika masing-masing pihak bersedia
menjadi wakil bagi mitranya dalam mengelola sebagia harta syirkah, dan
bekerja untuk dirinya sendiri atas sebagian harta syirkah yang lain.

b. Jumlah keuntungan yang dihasilkan hendaknya jelas. 13

c. Bagian keuntungan yang diberikan hendaknya tidak dapat terbedakan


(syuyuu') dan tidak tertentu.

 Persyaratan Syirkah A'mal

llauddin Muhammad al-Samarqandi, Tuhfah al-Fuqaha", (Digital Library, al Maktabah al-


11

Syamilah al-Isdar al-Säni, 2005), III/11 Lihat juga Al-Sarakhsi, al Mabsit XIII/369.
12
lihat Lihat Abu Bakar (Al-Bakri) bin Muhammad Syața al-Dimyati, l'anah al juga Yahya bin
Syarf al-Nawawi, al-Majmu", (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005),
XIV/75.

13
Ibid, V/451.
jika syirkah a'mal adalah mufawadah, maka disyaratkan di dalamnya syarat-syarat
yang telah disebutkan dalam syirkah mufawadah, seperti cakap untuk
melaksanankan akad kafalah, persamaan dalam keuntungan, dan syirkah harus
dilaksanakan dengan menggunakan afazh mufawadah. Adapun jika bentuk
syirkah adalah 'inan, maka tidak awajibkan syarat-syarat mutawadah, namun
hanya disyaratkan kecakapan untuk melaksanakan akad wakalah. Abu Hanifah
berkata, Sesuatu yang boleh dilakukan akad wakalah di dalamnya, boleh
dilakukan akad syirkah padanya. Sedangkan sesuatu yang tidak boleh dilakukan
akad wakalah padanya, maka tidak boleh dilakukan akad syirkah padanya.

2.1 Pengertian Mudharabah

Mudarabah secara bahasa berasal dari kata wazan menandakan pekerjaan yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih. Mudarabah merupakan salah satu akad yang dilaksanakan dua pihak,
pemilik modal (sähibul mäl) dan pelaku usaha yang menjalankan modal (mudärib). Ada dua
pendapat mengenai akad mudarabah, ada yang berpendapat ia adalah bagian dari musyarakah
ada yang menyebutnya dengan qirad Berkaitan dengan penamaan mudarabah, ada dua
pandangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa mudarabah berarti melakukan perjalanan
di bumi untuk berdagang. Firman Allah yang berkaitan dengan definisi ini adalah dalam surat al-
Muzammil ayat 20:

"...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah….”

Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiq al-Islami wa Adillatuh menyebutkan bahwa


mudarabah secara bahasa terambil dari kata (potongan), maksudnya pemilik harta
memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang lain untuk digunakan
sebagai modal usaha. Mudarabah juga terambil dari kata yang berarti persamaan,
yaitu adanya persamaan dalam hak menerima keuntungan. 14

Secara terminologi mudárabah berarti sejumlah uang yang diberikan seseorang


kepada orang lain untuk modal usaha, apabila mendapat keuntungan maka dibagi dua,

14
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatub, (Beirut: Darul Fikr al Mu'athirah,
2002), V/566.
yaitu, untuk pihak pemilik modal (sahibul mäl) dan pelaku usaha atau yang
menjalankan modal (mudärib) dengan persentase atau jumlah sesuai dengan
kesepakatan. Sementara apabila terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik
modal15

Pasal 20 ayat (4) Kompilasi Hukun Ekonomi Syari'ah disebutkan bahwa mudarabah
adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal
untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkannisbah.

Berdasarkan pemaparan definisi di atas, dapat dipahami bahwa madrabah adalah


kerja sama antara dua pihak untuk menjalankan suatu saha atau bisnis tertentu, di
mana pihak satu sebagai pemilik modal, kemudian pihak lainnya sebagai pelaksana
usaha. Apabila terjadi maka yang menanggung seluruh kerugian adalah pihak pemilik
modal, kecuali kerugian terjadi karena kelalaian pihak yang kerugian menjalankan
usaha. Sementara apabila usaha tersebut mendapatkan teuntungan, maka dibagi sesuai
dengan kesepakatan di anatara mereka.

2.2 Dasar Hukum Mudharabah


Mudarabah mempunyai landasan dari al-Quran, al-Sunnah, ijma' dan qiyas. Landasan
dari al-Quran adalah sebagai berikut:

1) Firman Allah dalam surat al-Muzammil ayat 20:

"berkeliaran di muka bumi mencari karunia Allah"

2) Firman Allah dalam surat al-Jumu'ah ayat 10:

"Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung".

15
Veithzal Rival dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Manageme Teori Konsep, dan
Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah Praktisi dan Mahasiswa (Jakarta:
rajawali Pers, 2008), h. 123.
Pada dasarnya ayat-ayat di atas tidak secara langsung menjelaskan atau melegitimasi
akad mudarabah, hanya saja secara maknawi mengandung arti kegiatan ekonomi
melalui mudarabah. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut bisa dijadikan landasan
hukum akad mudarabah.

Landasan dari al-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:

1) Hadis riwayat Imam baihaqi dari Ibnu 'Abbas:


"Dari ibnu Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muththalib jiks memberikan dana
ke mitra unahanya secara mudharabah bersangkutan mensyaratkan agar
dananya tidak dibawa mengarungi laut menuruni embal yang berbahaya atau
membeli ternak Jika menyalahi aturan tersebut, maka yang
bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syara tersebut
kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw pa membolehkanya”.

2) Hadis riwayat Ibnu Majah

"Dari Shuhaib, ra, "Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Ada tiga hal
yang didalamnya berisi berkah, yaitu "Jual-beli dengan kontan, menyerahkan
permodalan dan mencampur gandum dengan sya'ir untuk keperluan rumah
tangga, bukan untuk dijual".

Hadis hadis di atas secara jelas menyinggung masalah modarabah Riwayat


yang pertama merupakan al-sunnah al-taqririyah atau persetujuan Rasulullah
terhadap perilaku atau tindakan sahabat yang mempraktikkan mudarabah.
Sementara hadis kedua secara tegas menyebut akad mudarabah, hanya saja
menggunakan istilah maqaradah Kedua hadis ini menjadi landasan
diperbolehkan dan disyariatkannya mudarabah

Madarabah juga disyariatkan berdasarkan ijma' sahabat Ulama juga tidak ada
yang mengingkari mengenai diperbolehkan mudarábah, dalam hal ini Ibnu
Mundzir mengatakan

"Ulama bersepakat mengenal diperbolehkannya mudarabah"


Selaian itu, pensyariatkan mudarabah juga dianalogkan atau diqiyaskan
dengan musiqah. Namun demikian, sebagian kalangan ulama tidak
memasukkan qiyas sebagai landasan dalam akad mudiarabah Sementara
dalam konteks Indonesia, muçarabah legalitasnya berdasarkan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 238-253.

Hikmah disyariatkannya mudarabah ini adalah mempermudah manusia dalam


bekerjasama untuk mengembangkan modal secara suka sama suka sesuai
dengan ketentuan syariat. Tidak ada pihak yang dizhalimi dan dijalankan
secara jujur dan bertanggung jawab. Pihak yang punya modal dapat membantu
pihak lain yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan
usaha. Artinya manusia membutuhkan akad mudarabah sebagai pegangan
untuk menjalankan usaha yang halal Berkaitan dengan ini al-Kasani
mengatakan:

“Manusia membutuhkan akad mudirabah, karena terkadang ada orang yang


mempunyai modal akan tetapi tidak mempunyal keterampilan bendagang
sementara ada yang mempunyai keterampilan berdagang tidak mempunyai
modal Maka dalam mudirabah keduanya bisa bersinerg anak memenuhi
kebutuhan mereka Allah tidak mensyariatkan akad (matrabah) kecuali untak
menciptakan kemaslahatan dan memenu kebutuhan hamba-Nya”.

2.3 Rukun dan Syarat Mudharabah


Akad madárabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya Rukun madárabah
ada lima, yaitu

a. pernilik modal (sahibul mal)

b. pelaku usaha atau pengelola modal (mudarib)

c. modal (ra'sul mäl)

d. pekerjaan pengelola modal

e. (al-amal) dan keuntungan al-ribb).


Mudarabah yang sah harus memenuhi syarat Syarat yang melekat pada rukunnya.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pertama, syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad. Kedua belah pihak
yang berakad, pemilik modal (şahibul mäl) dan pengelola modal (mudärib) harus
cakap bertindak atau cakap hukum Berakal dan baligh, dalam akad mudarabah
kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan harus muslim.

b. Kedua, syarat yang terkait dengan modal adalah sebagai berikut

1) Modal harus berupa uang atau mata uang yang berlaku di pasaran Menurut
mayoritas ulama modal dalam mudarabah tidak boleh berupa barang, baik
bergerak maupun tidak.

2) Modal harus jelas jumlah dan nilainya. Ketidakjelasan modal akan berakibat
pada ketidakjelasan keuntungan, sementara kejelasan modal merupakan
syarat sah mudarabah

3) Modal harus berupa uang cash, bukan piutang Berdasarkan syarat ini, maka
mudrabah dengan modal berupa tanggungan utang pengelola modal kepada
pemilik modal.

4) Modal harus ada pada saat dilaksanakannya akad mudarabah.

5) Modal harus diserahkan kepada pihak pengelola modal atau pengelola usaha
(mudarib), bila modal tidak diserahkan maka akad mudarabah rusak.

Persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau laba dalam akad madarabah adalah
sebagai berikut:

a. Jumlah keuntungan harus jelas.

b. Sebagai tambahan untuk syarat pada poin satu di atas, disyaratkan juga bahwa
proporsi atau persentase pembagain hasil dihitung hanya dari keuntungan, tidak
termasuk modal.
c. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang
diberikan sahibul mal.

d. Penghitungan bagi hasil harus berdasarkan keuntungan yang didapat tidak boleh
menentukan jumlah tertentu untuk pembagian hasil.

2.4 Jenis-Jenis Mudharabah

Secara garis besar madarabah ada dua jenis, yaitu mudarabah mutlaqah (unrestricted
investment) dan mudarabah muqayyadah (restricted investment) Dalam akad
mudarabah mutlaqah pengelola modal dibeli keleluasaan dalam mengelola dan
menjalankan modal Keleluasaan menentukan jenis usaha, termasuk lokasi, dan tujuan
usaha Pemilik modal tidak menentukan jenis usaha yang harus dijalankan oleh
pengelola modal.

Sementara dalam akad mudarabah muqayyadah (restricted investment), pemilik


modal sudah menentukan usaha yang haru dijalankan oleh pengelola modal. Oleh
karena itu dia harus menjalankan usaha sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik
modal saat akad. Jenis usaha, lokasi, jangka waktu dan tujuan usaha harus sesuai
dengan kesepakatan dan apa yang telah ditentukan oleh pemilik modal.

2.5 Ketentuan-Ketentuan dalam Akad Mudarabah

Ada beberapa ketentuan yang harus dimengerti dan dipatuhi oleh masing-masing
pihak yang melaksanakan akad mudarabah. ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pada akad mudarabah mutlaqah, pengelola modal (mudirib) tidak diperbolehkan


melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari ketentuan syara'.

b. Pada akad mudarabah muqayyadah, pengelola modal (mudant) dalam pengelolaan


modal tidak boleh menjalankan modal di lus usaha yang telah ditentukan bersama
dengan pemilik modal.
c. Bagi pengelola modal (mudarib) tidak diperbolehkan mengmabil atau berhutang
dengan menggunakan uang modal untuk keperluan lain tanpa seizin pemilik
modal.

d. Bagi pengelola modal (mudirib) tidak diperbolehkan membeli komoditi atau


barang yang harganya lebih tinggi dari modal yang telah disediakan.

e. Bagi pengelola modal (mudarib) tidak diperbolehkan mengalihkan modal kepada


orang lain dengan akad mudirabah, atau dengan kata lain mengoper modal untuk
akad mudarabah.

f. Bagi pengelola modal (mudarib) tidak diperbolehkan mencampur modal dengan


harta miliknya.

g. Pengelola modal (mudärib) hendaknya melaksanakan usaha sebagaimana


mestinya.16

Selain ketentuan di atas, ada ketentuan tentang hak bagi pengelola modal. Pengelola
modal (muxtarib) mempunyai hak nafkah selama menjalankan modal Hanya saja,
dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai batasan nafkah
tersebut.

Menurut Imam Syafi'i, pengelola modal tidak mempunyai hak nafkah dalam
menjalankan modal atau usaha. Karena ia akan mendapatkan bagi hasil dari usaha
yang dijalankan. Apabila pengelola modal meminta biasaya hidup (living cost) saat
akad, maka akad mudarabah menjadi rusak. Sementara menurut Ibrahim al-Nakhai
dan Hasan al-Başri berpendapat bahwa pengelola modal berhak atas nafkaf atau biaya
hidup, baik saat bepergian menjalankan usaha maupun saat di rumah Menurut
mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah, Imam Malik dan kalangan Zaidiyah,
pengelola modal berhak mendapatkan nafkah (living cost) saat menjalankan
usahanya, termasuk tempat tinggal, makan dan keperluan lainnya. Hanya saja ia tidak
berhak atas nafkah tersebut saat di rumah atau sedang tidak menjalankan usaha. Biaya
nafkah tersebut bisa diambil dari modal maupun dari keuntungan. Sementara menurut

16
Wahbah al-Zuhaili, al-Figh al-IslámiV/590-592
kalangan Hanbaliah pengelola modal diperbolehkan mensyaratkan adanya nafkah
atau meminta nafkah kepada pemilik modal. Persyaratan ini dibuat saat akad. .
17

Ketentuan mudarabah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tercantum


dalam pasal 238-253.

3.1 Kesimpulan

17
Ibid, V/597-599
Dalam sebuah bisnis kita tidak dapat dilepas dari sebuah kerja sama, dalam bisnis islam
dikenal sebagai syirkah yang berasal dari kata “al-ikhtilath” yang berarti percampuran atau
campuran. Syirkah disini memiliki sebuah definisi kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Dalam syirkah memiliki
sebuah sistem dan sebuah tatanan untuk mencapai akad-akadnya. Hukum atau prinsip yang
mendasari syirkah diantara lain adalah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 12, surat Sād ayat ayat
24,dan hadist Nabi. Dalam pelaksanaan syirkah, memiliki beberapa rukun yang harus dipenuhi
yakni Akad (ijab dan kabul), anggota yang berserikat, dua orang atau lebih (‘aqidani), dan objek
akad. Selain itu, syarat sah dalam melakukan syirkah juga memiliki pedoman yakni, objek
akadnya berupa tasharruf dan objek akadnya dapat diwakilkan (wakalah). Syirkah secara garis
besar dibagi menjadi 2 yakni syirkah Amlak dan Uqud, namun syirkah uqud sendiri dibagi
menjadi empat tersendiri.

Kerja sama, tidak akan lepas juga pada pergelutan bisnis dan dalam teori syariat dan fiqh,
bisnis dikategorikan sebagai mudharabah karena peristiwanya sama yakni jual-beli. Mudharabah
memiliki definisi bahasa berasal dari kata wazan menandakan pekerjaan yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih. Mudarabah merupakan salah satu akad yang dilaksanakan dua pihak, pemilik
modal (sähibul mäl) dan pelaku usaha yang menjalankan modal (mudärib). Hukum atau dasar
pemikiran Mudharabah yakni surat al-Muzammil ayat 20, surat al-Jumu'ah ayat 10, dan Hadist
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan jual beli lainnya. Rukun dari sebuah jual beli atau
mudharabah adalah pernilik modal (sahibul mal), pelaku usaha atau pengelola modal (mudarib),
modal (ra'sul mäl), pekerjaan pengelola modal, (al-amal) dan keuntungan al-ribb). Syarat
mudharabah yakni ada pada pembagian hasil dan pada pelaksanaan jual beli itu sendiri, secara
garis besar jual beli harus dilakukan secara jelas dan transparans dan apabila ada kerugian
ataupun keuntungan seharusnya dibagi berdasarkan hukum syara’ yang telah ditentukan dan juga
kesepakatan atas konsekuensi dalam jual beli. Jenis jenis mudharabah yakni , yaitu mudarabah
mutlaqah (unrestricted investment) dan mudarabah muqayyadah (restricted investment).
Kemudian ketentuan dalam mudharabah diatur dalam hukum fiqh yakni pada garis besarnya
adalah tidak boleh melanggar perjanjian dan melanggar hukum syara’ tanpa terkecuali.

Anda mungkin juga menyukai