Anda di halaman 1dari 14

AKAD MUSYARAKAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Muamalah Kontemporer

Dosen Pengampu : Ulin Nuha, M.S.I.

Disusun Oleh :

Kelompok5-ES4D

1. Fidiya Nur Anisa (1820210125)


2. Intan Kirana (1820210138)
3. Olivia Muflihah Maharani (1820210151)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Musyarakah (syirkah) adalah penggabungan harta untuk dijadikan modal
usaha dan hasilnya yang berupa keuntungan yang dibagi sesuai nisbah bagi hasil yang
disepakati atau proporsional, dan kerugian dibagi secara proporsional. Modal usaha
(ra’s al-mal) merupakan konsep yang melekat pada kegiatan usaha yang
menggunakan akad syirkah dan mudharabah. Secara akademis, syirkah dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu syirkah klasik dan syirkah kontrmporer.
Adapun dalam Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur, sebagaimana
dijelaskan Muhammad Abdullah ‘Athiqi dalam Kitab ‘Uqud al-Syirkat, dijelaskan
bahwa dalam syirkah terhadap milik masing-masing mitra yang porsinya harus jelas,
baik setengahnya, sepertiganya, atau sepersepuluhnya. Adapun menurut ulama
Hanafiah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah penggabungan dua
bagian harta atau lebih sehingga tidak diketahui bagian yang satu dari yang lainnya.
Usaha syirkah termasuk usaha yang bersifat profit and loss share (bagi untung
dan bagi rugi). Cara membaginya dapat dilakukan dengan salah satu dua acara
penentuan nisbah, yaitu nisbah bagi jasil secara proporsional dan nisbah bagi hasil
kesepakatan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka kami akan mencoba menjelaskan
akad musyarakah tentang bagaiman cara melakukannya dan apa saja syaratnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian akad Musyarakah?
2. Bagaimana dasar hukum akad Musyarakah?
3. Bagaimana rukun dan syarat akad Musyarakah?
4. Apa saja macam-macam akad Musyarakah?
5. Bagaimana aplikasi akad Musyarakah dalam lembaga keuangan syariah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Musyarakah


Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti al-ikhtilath
(percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara masing-masing
sulit dibedakan. Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan usaha. Secara
etimologis, musyarakah adalah penggabungan, percampuran atau serikat. Musyarakah
berarti kerjasama kemitraan atau dalam bahasa Inggris disebut partnership.1
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syirkah adalah kerja sama antara
dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati
oleh pihak-pihak yang berserikat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily, musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan kesempatan bahwa keutungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
Secara fiqih, dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-
Syaukani menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas
dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari
mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama
itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara
mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada
syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya
dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh
dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar
jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis
itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.2
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan akad musyarkah adalah
akad kerja sama penggabungan (pencampuran) harta yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja sama sesuai dengan kesepakatan
(perjanjian).
1
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, Prenadamedia Group, Jakarta: 2017, hal. 142.
2
Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2014, hal. 96.
B. Dasar Hukum Akad Musyarakah
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al qur’an,
sunnah, dan ijma’.
1. Al Qur’an
a. Dalam Q.S An Nisa’ (4): 12, Allah berfirman:
ِ ُ‫ك فَهُ ْم ُش َر َكآ ُء فِى الثُّل‬
...‫ث‬ َ ِ‫ فَا ِ ْن َكانُوْ آ اَ ْكثَ َر ِم ْن ذل‬. . .
“… Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu …”
Syirkah pada ayat ini terjadi pada pembagian maurts (harta warisan).
Dalam Surah An-Nisa (4) ayat 12, pengertian syuraka’ adalah bersekutu dalam
memiliki harta yang diperoleh dari warisan.

b. Dalam Q.S Shad (38): 24, Allah berfirman:


‫ْض اِالَّ الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا‬ ُ ‫ك بِ ُس َؤا ِل نَ ْع َجتِكَ اِلى نِ َعا ِجه قلى َواِ َّن َكثِ ْيرًا ِّمنَ ْال ُخلَطَآ ِء لَيَ ْب ِغ ْي بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬ َ ‫قَا َل لَقَ ْد ظَلَ َم‬
)28( ‫َاب‬ َ ‫ت َوقَلِ ْي ٌل َّما هُ ْمقلى َوظَ َّن دَاو ُد اَنَّ َمافَتَنّهُ فَا ْستَ ْغفَ َر َربَّهُ َو َخ َّر َرا ِكعًا َّواَن‬
ِ ‫صلِح‬ّ ‫و َع ِملُواال‬
“Daud berkata, ‘sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan
sesungguhnya, kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh; dan amat sedikitlah mereka ini’. Daud
mengetahui bahwa Kami mengujinya maka dia meminta ampun kepada
Tuhannya lalu bersungkur sujud dan bertaubat”.
Dalam Surah Shâd (38) ayat 24, lafal al-khulatha’ diartikan syaruka’,
yakni orang-orang yang mencampurkan harta mereka untuk dikelola bersama.
Al-Syirazi, dalam kitab al-Muhadzdzab, berpendapat bahwa yang
dimaksud al-khulta’ adalah menggabungkan atau menyatukan modal. Oleh
karena itu, secara tegas beliau menyatakan bahwa syirkah –amwal yang
modalnya tidak disatukan (al-ikhtilath) tidaklah sah.
Al-Syirazi juga menyampaikan pendapatnya mengenai syarat mitra
sebagai subjek atau personalia hukum syirkah. Dalam pandangannya, makruh
hukumnya berkongsi dengan nonmuslim (Yahudi, Nasrani, maupun Majusi).
2. Sunnah
a. Dalam hadis qudsi riwayat Imam Abu Daud (no. 3.383), Rasulullah Saw.
bersabda:
َ ‫ث ال َّش ِري َك ْي ِن َم لَ ْم يَ ُخ ْن أَ َح ُدهُ َما‬
ُ ْ‫صا ِحبَهُ فَإ ِ َذاخَ انَهُ خ ََرج‬
‫ت ِم ْن بَ ْينِ ِه َما‬ ُ ِ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َرفَ َعهُ قَا َل إِ َّن هللاَ يَقُو ُل أَنَا ثَال‬
Dari Abu Hurairah dan me-rafa-kannya, ia berkata, “Sesungguhnya
Allah berfirman, ‘Aku adalah pihak ketiga atas dua pihak yang ber-syirkah
(bersekutu), selama salah satu puhak tidak berkhianat terhadap pihak lainnya,
Aku keluar dari syirkah tersebut”.
Hadis ini menunjukkan bolehnya syirkah (bersekutu atau berserikat), dan
sisi pendalilnya ialah bahwa Allah adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersekutu selama tidak ada khianat di antara mereka berdua.
Dalam kitab al-Iqna’ (2/41) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“Allah bersama pihak yang ber-syirkah” adalah bahwa Allah menjaga mereka
dan menolongnya serta memberkahi usaha mereka. Apabila di antara mereka
berkhianat terhadap mitra lainnya, Allah tidak akan membantu mereka dan
usaha mereka tidak diberkahi.
b. ‫ب ْب ِن يَ ِزي َد اَ ْل َم ْخ ُزو ِم ِّي ( أَنَّهُ َكانَ َش ِريكَ اَلنَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم قَ ْب َل اَ ْلبَ ْعثَ ِة‘ فَ َجا َء يَوْ َم‬
ِ ‫َوع َْن اَلسَّا ِع‬
4049:‫ صحيح أبي داود‬.َ‫ َوابْنُ َما َجة‬،َ‫ َوأبُو دَا ُود‬،ُ‫ َمرْ َحبًا بِا َ ِخي َو َش ِري ِكى ) َر َواهُ أَحْ َمد‬: ‫ فَقَال‬،‫ح‬ ِ ‫اَ ْلفَ ْت‬
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah
sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi
Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda:
"Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku." Riwayat Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah.
Hadits ini menunjukkan bahwa syirkah sudah ada sejak zaman jahiliyah
kemudian Islam mengakuinya dan menetapkannya sebab Islam membiarkan
setiap perkara yang baik dan bermanfaat serta menggugurkan setiap perkara
yang rusak dan membahayakan. Hadis ini juga menerangkan bahwa pergaulan
dan nasihat yang baik dampaknya akan senantiasa langgeng walaupun setelah
berlalunya waktu yang panjang, dan bahwasanya Nabi memiliki akhlak yang
baik dan selalu menepati janji dan orang ini (Saib Al-Makhzumi) tidak bisa
melupakan baiknya persahabatan Nabi dan indahnya pergaulan beliau.3
3. Ijma’

3
Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Syirkah dan Mudharabah, Simbiosa Rekatama
Media, Bandung, 2019, hal. 28.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al Mughni, telah berkata: “Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi masyarakat secara global walaupun terdapat
perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.4
4. Fatwa DSN tentang Akad Musyarakah
Ketentuan pembiayaan musyarakah terdapat pada fatwa DSN-MUI No.08
Tahun 2000, sebagai berikut:5
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-
hal berikut:
1. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal.
4. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang
untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang
disengaja.
5. Seseorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
c. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
1. Modal
a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
lainnya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti

4
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta: 2010, hal. 91.
5
Ghufron Ajib, Fiqh Muamalah II Kontemporer-Indonesia, CV. Karya Abadi Jaya, Semarang: 2015, hal. 177-181.
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset,
harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra.
b) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan
atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan.
c) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan.
2. Kerja
a) Partisipasi para mitra dealam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masingmasing dalam
organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
3. Keuntungan
a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian musyarakah.
b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan
diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
c) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
d) Kerugian Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya operasional dan persengketaan
a) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.

C. Rukun dan Syarat Akad Musyarakah


Rukun dan syarat Akad Musyarakah sebagai berikut:6
1. Ijab-qabul (sighat). Adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang
bertransaksi. Persyaratan khusus untuk kontrak musyarakah tidak ada, yang ada
hanya ucapan/ungkapan yang menyatakan tujuannya. Perjanjian/kontrak
tersebut sebaiknya sesuai dengan apa yang dijanjikan dan tercantum dalam
akad tertulis. Perjanjian musyarakah sebaiknya menggunakan notaris secara
tertulis di hadapan saksi.
2. Dua pihak yang berakad (‘aqidani). Para pihak yang membuat kontrak, yaitu
perjanjian antara pihak yang berkepentingan atau berkompeten dalam
menetapkan persyaratan yang ditetapkan dalam kontrak/perjanjian.
3. Objek aqad (mahal), yang disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal
atau pekerjaan. Objek kontrak berupa dana atau modal yang diberikan harus
uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal
ini. Beberapa ulama juga memberi kemungkinan pula bila modal berwujud aset
perdagangan, seperti barang-barang, properti, perlengkapan, dan sebagainya.
Mazhab Syafi‟i dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh masing-
masing pihak harus dicampur. Tetapi mazhab Hanafi tidak mencantumkan
syarat itu jika modal dalam bentuk tunai, sedangkan mazhab Hambali tidak
mensyaratkan pencampuran dana.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah ketentuan
dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka menyatakan tidak
akan ikut serta mengangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun tidak ada
keharusan mereka memegang beban kerja secara bersama. Salah satu pihak
boleh menangani pekerjaan lebih dari yang lain, dan berhak menuntut
pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.

D. Macam-Macam Akad Musyarakah


Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:7

6
Ibid, hal. 52.
7
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2015, hal. 49-50.
1. Syirkah Al-Amlak
Syirkah Al-Amlak (syirkah milik) adalah ibarat dua orang atau lebih memilikkan
suatu benda kepada yang lain tanpa ada akad syirkah. Dari definisi tersebut, dapat
dipahami bahwa syirkah milik adalah suatu syirkah dimana dua orang atau lebih
bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua
orang diberi hibah ssebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleh
dua orang melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah
tersebut. Dalam syirkah al-amlak, terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
a. Syirkah al-jabr
Berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
b. Syirkah Ikhtiyariyah
Yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-
orang yang berserikat.
2. Syirkah Al-Uqud
Syirkah al-uqud (contractual partnership), dapat dianggap sebagai kemitraan yang
sesungguhnya, karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan
untuk membuat suatu perjanjian investasi bersama dan berbagi untuk keuntungan
dan risiko. Syirkah al-Uqud dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Syirkah Mufawwadah. Merupakan akad kerja sama usaha antar dua pihak atau
lebih, yang masing-masing pihak harus menyerahkan modal dengan porsi
modal yang sama dan bagi hasil atas usaha atau risiko ditanggung bersama
dengan jumlah yang sama. Dalam syirkah mufawwadah, masing-masing mitra
usaha memiliki hak dan tangung jwab yang sama.
b. Syirkah Inan. Merupakan akad kerja sama usaha antara dua orang atau lebih,
yang masing-masing mitra kerja harus menyerahkan dana untuk modal yang
porsi modalnya tidak harus sama. Pembagian hasil usaha sesuai dengan
kesepakatan, tidak harus sesuai dengan kontribusi dana yang diberikan.
Dalam syirkah inan, masing-masing pihak tidak harus menyerahkan modal
dalam bentuk uang tunai saja, akan tetapi dapat dalam bentuk aset atau
kombinasi antara uang tunai dan asset atau tenaga.
c. Syirkah Al-‘Amal. Syirkah al-‘amal adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan
dari pekerjaaan itu. Misalnya kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap
sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order
pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah ini kadang disebut dengan
syirkah abdan atau sanaa’i.
d. Syirkah Al-Wujuh Yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prastise yang baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang
secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Mereka membagikan berdasarkan jaminan kepada penyedia barang yang
disiapkan oleh setiap rekan kerja. Sayyid Sabiq memberikan definisi syirkah
al-wujuh yaitu dua orang atau lebih membeli suatu barang tanpa modal,
melainkan semata berdagang kepada nama baik dan kepercayaan pada
pedagang kepada mereka. Syirkah ini disebut juga syirkah tanggung jawab
tanpa kerja dan modal.
e. Syirkah Mudharabah. Merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih
yang mana satu pihak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana 100%
untuk keperluan usaha, dan pihak lain tidak menyerahkan modal dan hanya
sebagai pengelola atas usaha yang dijalankan, disebut mudharib.

E. Aplikasi Akad Musyarakah dalam Lembaga Keuangan Syariah


1. Praktek Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah dalam konteks perbankan berarti perjanjian kesepakatan bersama
antara beberapa pemilik modal untuk meyertakan modal sahamnya pada suatu
proyek. Berkaitan dengan modal, karena bank umumnya mengoperasikan uang
sebagai modalnya, maka dapat dipastikan bahwa musyarakah yang digunakannya
adalah syirkah al-„inan, karena dalam prinsip operasional perbankan syariah tidak
menentukan mesti sama dalam permodalan.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan
musyarakah dalam perbankan syariah, yaitu:

a. Pembiayaan atau proyek investasi yang telah disetujui dilakukan bersama


dengan mitra usaha yang lain sesuai dengan bagian masing-masing yang telah
ditetapkan.

b. Semua pihak, termasuk bank syariah, berhak ikut serta dalam manajemen
proyek tersebut.
c. Semua pihak secara bersama-sama menentukan posisi keuntungan yang akan
diperoleh dan pembagian keuntungan ini tidak sebanding dengan penyertaan
modal masing-masing.

d. Bila proyek teryata rugi, maka semua pihak ikut menanggung kerugian
sebanding dengan penyertaan modal.8

2. Skema aplikasi musyarakah dalam perbankan syariah

Mitra 1 Mitra 2
Akad Musyarakah

Proyek Usaha

Laba/Rugi Mitra 1 Laba/Rugi Mitra 2

Hasil usaha:
Apabila untung akan dibagi sesuai nisbah, Apabila rugi, akan ditanggung sesuai proporsi modal

Keterangan:

a. Dimulai dari pengajuan permohonan investasi musyarakah oleh nasabah dengan


mengisi permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank
syariah berserta dokumen pendukung. Selanjutnya, pihak bank melakukan
evaluasi kelayakan investasi musyarakah yang diajukan nasabah dengan
menggunakan analisis 5 C (character, Capacity, Capital, Commitment, dan
callacteral). Kemudian, analisis diikuti dengan verifikasi. Bila nasabah dan
usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk

8
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Kakuba Dipantara, Yogyakarta, 2015, hal. 123-124
penandatanganan kontrak musyarakah dengan nasabah sebagai mitra dihadapan
notaris.
b. Bank dan nasabah mengontribusikan modalnya masing-masing dan nasabah
sebagai mitra aktif mulai mengelola usaha yang disepakati berdasarkan
kesepakatan dan kemampuan terbaiknya.
c. Hasil evaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan. Keutungan
yang diperoleh akan dibagi antara bank dan nasabah sesuai dengan porsi yang
telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian, maka kerugian ditanggung
proporsional terhadap modal masing-masing mitra.
d. Bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan
metode perhitungan yang telah disepakati.9

9
Riyal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syari’ah Teori dan Praktik Kontemporer, Salemba empat, jakarta,
2009, hlm. 154
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akad musyarkah adalah akad kerja sama penggabungan (pencampuran) harta
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja sama
sesuai dengan kesepakatan (perjanjian). Terdapat dasar hukum mengenai akad
musyarakah yaitu al-qur’an, hadits, ijam’, dan fatwa DSN. Ada beberapa macam akad
musyarakah: Syirkah Al-Amlak, dan Syirkah Al-Uqud.
Dan dalam pelaksanaan akad musyarakah terdapat rukun dan syaratnya yang
terdiri dari Ijab-qabul (sighat), Dua pihak yang berakad (‘aqidani), dan Objek aqad
(mahal). Terdapat fatwa DSN MUI No.08 Tahun 2000 tentang akad musyarakah. Dan
dalam pengaplikasian akad musyarakah dalam lembaga keuangan, ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan musyarakah dalam
perbankan syariah. Dan yang terakhir terdapat skema akad musyarakah, yang dapat di
lihat dalam makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2017.
Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2014.
Mubarok, Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Syirkah dan
Mudharabah, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2019.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Gema Insani,
Jakarta: 2010.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2015.
Ajib, Ghufron, Fiqh Muamalah II Kontemporer-Indonesia, CV. Karya Abadi Jaya,
Semarang: 2015.
Mustofa, Imam, Fiqih Muamalah Kontemporer, Kakuba Dipantara,Yogyakarta, 2015.
Yahya, Riyal, dkk, Akuntansi Perbankan Syari’ah Teori dan Praktik Kontemporer,
Salemba empat, Jakarta, 2009.

Anda mungkin juga menyukai