Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk individu yang memiliki berbagai keperluan hidup,


telah disedaikan oleh Allah swt beragam benda yang dapat memenuhi
kebutuhannya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut tidak
mungkin diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan, dengan kata lain dia
harus bekerja sama dengan orang lain, manusia dijadikan Allah swt sebagai makhluk
sosial yang tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat, membutuhkan antara satu
dengan yang lain, sehingga terjadi interaksi dan kontak sesama manusia lainnya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan manusia berusaha mencari
karunia Allah swt yang ada di muka bumi ini sebagai sumber ekonomi, interaksi
manusia dengan segala tujuannya tersebut diatur dalam Islam dalam bentuk ilmu
yang disebut fiqih muamalah.1 Islam datang sebagai pengatur hubungan antar
sesama makhluk, seperti jual beli, pernikahan, warisan dsb, tujuannya adalah agar
manusia hidup damai, adil dan kasih sayang antara yang satu dengan yang lainnya.
Perkembangan ekonomi berbasis syariah sudah dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini masyarakat Indonesia
banyak mengalami kehidupan yang sangat memprihatinkan. Terutama kalangan
masyarakat menengah ke bawah, mereka semua bekerja keras agar kehidupan
memprihatinkan yang mereka hadapi sekarang ini tidak terus berkelanjutan. Dengan
kondisi tersebut, untuk memperbaiki dari awal tentunya harus mendapatkan motivasi
dari masyarakat guna terwujudnya sistem ekonomi yang kuat dan
berkembang.Untuk mendapatkan karunia Allah, banyak cara yang bisa dilakukan.
Ada yang berusaha secara individu dan yang berusaha bersama-sama (kolektif).

Salah satu bagian terpenting dari muamalah atau ekonomi dalam perspektif
Islam adalah syirkah (perseroan) (Nabhani, 1996: 153). Transaksi perseroan tersebut
mengharuskan adanya Ijab dan Qabul (A. Mas’adi, 2002: 77). Sah tidaknya transaksi
perseroan tergantung kepada suatu yang ditransaksikan yaitu harus sesuatu yang bisa
dikelola tersebut sama-sama mengangkat mereka (Diebul, 1984: 206). Prinsip umum

1
Abdul Munib, “HUKUM ISLAM DAN MUAMALAH (Asas-asas hukum Islam dalam bidang muamalah)”.
Vol.5.No.1, Februari 2018
fiqih muamalah adalah kebolehan (al-ibahah), sehingga segala transaksi-transaksi
muamalah boleh dilakukan dengan satu syarat yaitu tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Fiqih muamalah mengatur lebih rinci tentang akadakad yang boleh
digunakan dalam transaksi-transaksi bisnis dalam bentuk prinsip-prinsip syariah,
seperti mudharabah, bai (murabahah, salam, istishna’), musyarakah, ijarah, hiwalah,
kafalah, rahn, qard, dan lain sebagainya2

Secara sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses transaksi
dimana dua orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan
prosentasi bagi hasil yang telah disepakati. Musyarakah ini sekilas merupakan akad
yang didasarkan atas prinsipprinsip syariah. Tetapi tentu belum bisa dikatakan
bahwa akad ini telah memenuhi kualifikasi sebagai bagian dari akad-akad syariah.
Karena, saat ini banyak sekali bermunculan bank dengan label syariah tetapi
sesungguhnya tidak menerapkan sistem tersebut. Musyarakah dimaksudkan sebagai
pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian
dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati. Manfaat yang ditimbulkan dari akad ini adalah; pertama, lebih
menguntungkan karena berdasarkan prinsip bagi hasil; dan kedua, fasilitas yang
diberikan adalah mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau
sekaligus di akhir periode). Selain itu bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue
sharing adalah sistem bagi hasil yang basis perhitunganya adalah pendapatan bank
atau keuntungan bank dari pihak ketiga sebelum di kurangi biaya-biaya operasional
bank (laba kotor). Bagi hasil ini bisa dalam berbentuk Rupiah atau US Dollar.3

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian dan konsep dasar dari akad musyarakah didalam
muamalah?
2. Bagaimana implementasi akad musyarakah dalam bidang perbankan di
Indonesia?

2
Muhamad Kholid, “PRINSIP-PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG
PERBANKAN SYARIAH” Asy-Syari‘ah Vol. 20 No. 2, Desember 2018
3
Nur Aziroh, “MUSYARAKAH DALAM FIQIH DAN PERBANKAN SYARIAH”. Volume 2, No.2, Desember 2014
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsep Dasar Akad Musyarakah Dalam Praktik Muamalah

Dalam memahami mengenai akad musyarakah pada muamalah, maka perlu


diketahui perihal akad dalam tatanan perikatan dalam islam. Terdapat dua definisi
mengenai akad. Pertama, akad merupakan suatu ikatan disebabkan oleh dua atau lebih
ucapan yang mempunyai akibat hukum. Kedua, akad merupakan ketetapan bagi
seseorang dalam hal mengerjakan sesuatu yang timbul dari satu kehendak atau dua
kehendak. Adapun, akad terdiri atas beberapa unsur yaitu subjek (al-‘aqidaean),
objek (mahallul), ijab-qobul, selaras dengan hukum (syariah), dan konsekuensi
hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak.

Secara umum, perikatan dalam islam dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis,
antara lain sebagai berikut:

1. Akad - Akad Perniagaan (uquudu tijarah)


2. Akad - Akad Piutang (uquudu tadhayun)
3. Akad – Akad Kebaikan (uquudu tabarru)4

Secara bahasa musyarakah dalam praktiknya dapat disebut dengan syirkah.


Kemudian, syirkah merupakan “ihktilath” atau pencampuran, yakni bercampurnya
antara satu harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara kedua harta
tersebut. Sedangkan, menurut syariat musyarakah adalah suatu akad (ikatan) dimana
terdapat dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan kerja sama dalam
rangka memperoleh keuntungan. Syirkah atau musyarakah berarti akad kerja sama
antara dua atau lebih subjek pada suatu usaha tertentu yang mana para pihak
berkontribusi baik dengan harta maupun keahlian dimana resiko dan keuntungan
akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

Disamping itu, musyarakah juga dapat diartikan manakala seseorang


mencampurkan hartanya atas harta lainnya yang mana salah satu pihak tidak
memisahkan harta dari yang lainnya. Secara terminologi, musyarakah adalah akad
antara dua atau lebih orang untuk bersekutu perihal modal dan keuntungan.

4
Juhaya Pradja. Ekonomi Syariah. Jakarta : Pustaka Setia. 2012. Hlm 82-86.
Sehingga, akad kerja sama yang terjadi diantara pemilik modal yang
menggabungkan modalnya dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan berdasarkan kesepakatan terkait perhitungan keuntungan dan kerugian
yang timbul merupakan praktik musyarakah dalam muamalah.

Secara garis besar, konsep akad musyarakah terbagi atas dua bentuk, yakni
syirkah al-amlak dan syirkah al-uqud.

a. Syirkah al-amlak atau syirkah milik merupakan konsep musyarakah yang


dilakukan oleh dua orang atau lebih memilikkan suatu harta (benda) kepada yang
lain tanpa ada akad syirkah. Syirkah ini terbagi dalam beberapa bentuk, antara lain
sebagai berikut:
1) Syirkah al-jabr, yaitu berkumpulnya suatu kepemilikan atas benda dari dua
orang atau lebih secara paksa.
2) Syirkah al-ikhtiyar, yaitu perbuatan perserikatan yang mengakibatkan
kepemilikan bersama.
b. Syirkah al-uqud (contractual partnership) adalah suatu kemitraan yang
berdasarkan perjanjian dengan sukarela untuk investasi bersama dan bagi hasil
serta risiko. Syirkah ini terbagi atas 5 bentuk, yaitu sebagai berikut:
1) Syirkah al-mufawadhah, yaitu persekutuan atau akad kerja sama usaha
antara dua pihak atau lebih dengan porsi modal yang sama. Oleh karena itu,
pembagian hasil dan resiko kerugian ditanggung secara sama rata atau
dengan jumlah yang sama. Sehingga, para pihak yang melakukan kerja
sama memiliki kesamaan hak dan kewajiban.
2) Syirkah al-inan, yaitu persekutuan atau akad kerja sama usaha antara dua
orang atau lebih dengan porsi modal yang berbeda atau tidak harus sama.
Kemudian, pembagian hasil tidak mesti sesuai dengan porsi modal yang
disetor, melainkan berdasarkan kesepakatan. Selain itu, para pihak yang
berserikat tidak harus menyetorkan modal berupa uang tunai, tetapi dapat
berbentuk aset atau tenaga atau kombinasi kesemuanya.
3) Syirkah al-wujuh, yaitu persekutuan atau akad kerja sama usaha tanpa
modal, melainkan berdasarkan kepercayaan dan tanggung jawab.
4) Syirkah al-amal, yaitu persekutuan atau akad kerja sama usaha antara dua
pihak yang berprofesi sama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagi keuntungan atas pekerjaan tersebut.5

Selanjutnya, dalam musyarakah terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
sebagai berikut:

1. Modal berasal dari para syarik atau pihak. Jika modal disetorkan dalam jumlah yang
sama, maka termasuk kedalam syirkah mufawadhah. Akan tetapi, jika modal
disetorkan dengan jumlah yang berbeda, maka tergolong kedalam syirkah inan.
2. Pembagian hasil. Dalam mudharabah pembagian hasil berdasarkan kesepakatan,
sedangkan dalam musyarakah pembagian hasil sifatnya proporsional atau dapat juga
sesuai dengan kesepakatan dalam akta perjanjian. Selain itu, kerugian dalam akad
musyarakah juga sama halnya seperti pembagian hasil yakni proporsional atau sesuai
dengan porsi modal yang disetorkan.6

B. Implementasi Akad Musyarakah dalam Bidang Perbankan di Indonesia

Musyarakah dalam konteks perbankan berarti perjanjian kesepakatan bersama


antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan modal sahamnya pada suatu
proyek. Berkorelasi dengan modal, bank umum sebagai yang mengoperasikan uang
sebagai modal, maka dapat dipastikan musyarakah yang digunakan ialah syirkah al-
mal yakni syirkah al-inan dan syirkah al-mufawadhah. Namun, prinsipnya ialah
perbankan syari‟ah tidak menentukan harus sama dengan permodalan, maka bisa
dipertanggung jawabkan bahwa musyarakah yang digunakan oleh perbankan syari‟ah
adalah syirkah al-inan.

Ibn Rusyd mengartikan syirkah atau musyarakah itu sebagai akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana setiap pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Syirkah ini disepakati oleh kalangan
fuqaha akan kebolehannya selagi memenuhi rukunnya, yaitu ijab dan qabul, untuk
memperjelaskan bentuk transaksinya7. Akad Musyarakah digunakan oleh bank untuk
memfasilitasi pemenuhan sebagian kebutuhan permodalan nasabah guna menjalankan
5
Chefi Abdul Latif. 2020. “Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah di Perbankan Syariah”.
Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah. Vol 11 (1).
6
Jaih Mubarok, Hasanudin. Fikih Mu’amalah Maliyyah. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. 2017. Hlm 104.
usaha atau proyek yang disepakati. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan
bank sebagai mitra dapat sebagai pengelola usaha sesuai dengan kesepakatan.
Pembagian keuntungan dari pemakaian dana dinyatakan dalam bentuk nisbah. Nisbah
bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi
kecuali atas dasar kesepakatan para pihak. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara
berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan. Pembagian
keuntungan dapat dilakukan dengan cara bagi untung atau rugi (profit and loss
sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing).

Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan


keuangan nasabah. Dalam hal kerugian bank dan nasabah memegang kerugian secara
proporsional sesuai modal masing-masing. Jika terjadi kerugian karena kecurangan,
kelalaian atau menyalahi perjanjian maka kerugian tersebut ditanggung oleh pihak
yang melakukan kecurangan tersebut8 Berikut merupakan beberapa ketentuan yang
wajib menjadi perhatian dalam melaksanakan musyarakah dalam perbankan syari‟ah,
ialah :

a. Pembiyaan suatu usaha investasi yang telah menemui kesepakatan dan disetujui
dilakukan bersamasama dengan mitra usaha yang lain sesuai dengan bagian
masingmasing yang telah ditetapkan.
b. Semua pihak yang telibat, termasuk bank syari‟ah memiliki hak dalam
manajemen usaha tersebut.
c. Seluruh pihak secara seksama menentukan posisi keuntungan yang akan
diperoleh, pembagiannya disesuaikan dengan penyertaan modal masing-masing.
d. Bila proyek ternyata rugi, maka semua pihak ikut menanggung kerugian
sebanding dengan penyertaan modal.

Aturan operasional akad musyarakah di perbankan syari‟ah terlaksana pada


penyaluran dana, dimana produknya disebut dengan pembiayaan musyarakah, yakni
penyertaan modal yang diberikan oleh bank syari‟ah kepada nasabah yang telah
memiliki sebagian modal. Dalam pelaksanaanya, akad musyarakah diawali dengan
pengajuan pembiayaan dari nasabah kepada bank. Kemudian, bank merealisasikan
pengajuan nasabah tersebut dan berinvestasi sesuai dengan jumlah modal yang

7
Syukri Iska. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi. Yogyakarta: Fajar Media
Press. 2012., hal 198
8
Muhamad. Manajemen Keuangan Syariah Analisis Fiqih dan Keuangan. Yogyakarta: tp, 2013., hal 252-253
diperlukan nasabah. Perhitungan investasi modal yang diberikan bank secara
proporsional dengan modal yang dimiliki nasabah. Terakhir, nasabah melaksanakan
proyek dengan gabungan modal tersebut.

Menurut PBI, dalam melaksanakan musyarakah tersebut ditetapkan dengan


beberapa syarat, sebagai berikut:

1) Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha bersama


dengan menyediakan modal dan/atau barang untuk membiayai opersional usaha
tersebut;
2) Nasabah bertindak sebagai pengelola proyek sedangkan bank bertindak sebagai
mitra usaha dengan berhak mengelola manajemen;
3) Berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah, bank berhak menunjuk nasabah
untuk mengelola usaha;
4) Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang
5) Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
6) Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah;
7) Biaya operisional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
8) Pembagian keuntungan dari pengelola dana dinyatakan dalam bentuk nisbah
disepakati;
9) Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi
modal masing-masing, kecuali terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi
perjanjian dari salah satu pihak;
10) Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
11) Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad;
12) Pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi
(profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
13) Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan
nasabah;
14) Pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad atau
dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha;
dan
15) Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila
nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad
karena kelalaian dan atau kecurangan.

Anda mungkin juga menyukai