ABSTRACT
In the business world, business actors sometimes need to collaborate with other business
actors. This collaboration is usually carried out with the aim of business expansion,
complementing technology needs that are not owned, saving the company from
bankruptcy, to covering the shortage of production costs/running a business. In the
business world, it is also bound by applicable law, where the law regulates the procedures
or ethics in business with a legal basis. In this article, the author will discuss what the law
of cooperation in business looks like and the aims and objectives are also discussed
regarding franchising, build to transfer, incorporation of limited liability companies, as
well as agencies/distributors. Where in compiling this article using quantitative methods
with data collection processes through library research or literature studies with data
sources from journals, books, websites and articles that are relevant to the title of the
discussion. With the preparation of this article, it is hoped that it can become material and
can increase our knowledge or insight.
ABSTRAK
Dalam dunia bisnis, pelaku usaha terkadang perlu melakukan kerjasama dengan pelaku
usaha lain. Kerjasama ini biasanya dilakukan dengan tujuan ekspansi bisnis, melengkapi
kebutuhan teknologi yang tidak dimiliki, menyelamatkan perusahaan dari kepailitan,
hingga menutup kekurangan biaya produksi/menjalankan usaha. Dalam dunia bisnis pun
terikat dengan hukum yang berlaku yang mana hukum itu mengatur bagaimana tatacara
atau etika dalam bisnis dengan landasan hukumnya. Dalam artikel ini penyusun akan
membahas mengenai seperti apa hukum kerjasama dalam bisnis serta maksud dan
tujuannya dibahas juga mengenai franchising, bangun guna serah, penggabungan
perseroan terbatas, juga keagenan/distributor,. Dimana dalam menyusun artikel ini
menggunakan metode kuantitatif dengan proses pengumpulan data melalui library
research atau kajian literature dengan sumber data jurnal, buku, website dan artikel yang
relefan dengan judul pembahasan. Dengan penyusunan artikel ini diharap bisa menjadi
bahan materi dan bisa menambah pengetahuan atau wawasan kita.
I. PENDAHULUAN
Keinginan seseorang untuk memulai suatu usaha bisnis tidak selalu sejalan
dengan kemampuannya dalam mengelola bisnis tersebut dari nol. Oleh karena itu, secara
logika ketika kita tidak dapat mengatasi masalah sendiri maka kita berlari untuk
membentuk kerjasama untuk menghadapi masalah bersama. Dengan demikian, tatkala
mustahil bagi Anda untuk merintis bisnis dari nihil seorang diri, maka ada baiknya
apabila memulai dari kerjasama bisnis yang menguntungkan.
Kerjasama bisnis berarti membiarkan pihak lain untuk turut serta campur tangan
dalam pengelolaan bisnis Anda untuk membantu meringankan beban Anda dalam
mengoperasikannya seorang diri.
Di sisi lain karena berstatus kerjasama maka hal yang diutamakan ialah
memperoleh distribusi keuntungan yang sama. Dengan demikian memang diperlukan
kecermatan sebelum memulai kerjasama bisnis.
A. Hukum Kerjasama
Hukum kerjasama sebagai pedoman nasihat kerjasama dalam ekonomi Islam
adalah hadits, yang menjelaskan adanya keterlibatan Tuhan antara dua orang yang
bekerja sama. Aku (Allah) adalah orang ketiga dari dua orang yang bergotong royong,
selama mereka tidak saling berkhianat kepada sahabatnya. Ketika salah satu dari mereka
mengkhianati temannya, aku (Allah) meninggalkannya. Artinya Allah seolah-olah
menjadi pihak ketiga di antara mereka, selama tidak ada pengkhianatan, Dia akan
membantu mereka, melindungi mereka, dan memberkati kekayaan mereka. Jika ada
pengkhianatan, berkah dan pertolongan Allah akan dicabut darinya.
Hadits ini jelas memberikan dorongan untuk kerjasama, karena ada jaminan
bahwa Allah akan terlibat dalam perjuangannya untuk memberikan bantuan,
perlindungan dan berkah. Selain mendorong kerja sama, ada peringatan agar teman-
teman tidak selingkuh. Penipuan yang terjadi akan menyebabkan Tuhan melepaskan
tangannya dan berhenti membantu usahanya. Dari sini dapat dilihat seberapa besar resiko
yang terjadi akibat kecurangan, sehingga dalam dunia bisnis Islam kecurangan,
kecurangan dapat berdampak pada batalnya akad yang dibuat dan memaparkan dosa
kepada pelakunya.
Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan
di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya
senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para
pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan
sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar-menawar.1 Hubungan bisnis
yang terjalin di antara para pihak pada umumnya karena mereka bertujuan saling bertukar
kepentingan. Roscoe Pound2 memberikan definisi “kepentingan” atau “interest” adalah
“a demand or desire which human beings, either individually or through groups or
associations in relations seek to satisfy” (kepentingan sebagai suatu tuntutan atau hasrat
yang ingin dipuaskan manusia, baik secara indvidu ataupun kelompok atau asosiasi).3
1
Agus Yudha Hernoko, 2010 Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, hlm. 1.
2
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung : Refika
Aditama, Hlm 12-13.
3
Diterjemahkan Agus Yudha Hernoko, 2010, dalam bukunya Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 1
Melalui hubungan bisnis, pertukaran kepentingan para pihak senantiasa
dituangkan dalam bentuk kontrak mengingat “setiap langkah bisnis adalah langkah
hukum (isi Kontrak)”.4 Ungkapan ini merupakan landasan utama yang harus diperhatikan
para pihak yang berinteraksi dalam dunia bisnis, meskipun para pihak acap kali tidak
menyadarinya, namun setiap pihak yang memasuki kehidupan bisnis pada dasarnya
melakukan langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya.
Kerjasama dalam ekonomi syariah secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,
yaitu mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah produk ekonomi syariah dimana
shahibul mal (pemodal) menyerahkan dana hanya kepada pengelola modal (mudharib)
untuk dikelola. Oleh karena itu, dalam kerjasama dengan model mudharabah, investor
tidak ikut serta dalam pengelolaannya, dan pengelolaan dana sepenuhnya dilakukan oleh
mudharib. Konsekuensi dari model mudalaba adalah investor dan mudarib berbagi
kerugian dan berbagi keuntungan. Ditinjau dari jenisnya, kerjasama modus mudharabah
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Mudharabah mutlak, pengelola bebas menggunakan dana untuk bidang usaha
apapun tanpa batasan.
2. Mudharabah muqayad, pengelola yang menggunakan modal harus disesuaikan
dengan jenis usaha yang ditentukan oleh pemilik modal.
4
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, op.cit, hlm. 27.
karena kredibilitas mudharib sulit dinilai. Untuk itu, Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan Majelis Ulama Indonesia telah mengambil keputusan bahwa harus ada
pembiayaan akad dalam mudharabah bertingkat. Hal ini dilakukan untuk menjaga
keamanan dana yang dipercayakan kepada Muharib oleh Shahibulmar.
Pada sistem ekonomi syariah jika dilihat pada jenis usahanya dapat dikelompokan
menjadi; Al-Muzara’ah, Al-Mujara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada
si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase)
dari hasil panen. Dalam prinsip ini benih disediakan oleh pemilik lahan. Rasulullah
menganjurkan ummatnya untuk melakukan kerja sama dalam pengelolaan tanah
pertanian secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil, Rasulullah juga menganjurkan untuk
menanami tanah pertanian atau menyerahkannya kepada orang lain untuk digarap.
Dalam konteks ekonomi syariah dapat memberikan modal dalam bentuk
pembiayaan bagi pengelola yang bergerak di bidang pertanian atas dasar prinsip bagi
hasil dari hasil panen. Selain itu ada juga al-Musaqah, al-Musaqah adalah bentuk yang
lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu
dari hasil panen. Dalam hal ini seseorang pemilik kebun memberikan kepercayaan pada
penggarap untuk memelihara kebunnya dengan mempergunakan peralatan dan dana
mereka, sebagai imbalan mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
Ada 3 bentuk kerja sama yang didasarkan perbedaan di dalam organisasi, grup,
atau di dalam sikap grup, yaitu:
1. Kerja Sama Primer
kerja sama primer adalah kerja sama yang dilakukan dalam kelompok terdekat
yaitu keluarga. Di dalam kelompok-kelompok ini, individu cenderung membaurkan diri
dengan individu lain di dalam kelompok, dan setiap individu hendak berusaha menjadi
bagian dari kelompoknya.
2. Kerja Sama Sekunder
kerja sama sekunder merupakan kerja sama yang terjadi di lingkungan sekunder,
seperti lingkungan kerja atau organisasi kemasyarakatan. Sikap individu dalam kerja
sama sekunder lebih individualis dibanding kerja sama primer. Individu dalam kerja sama
sekunder lebih mementingkan menyelesaikan pekerjaannya dibandingkan kedekatan
antar anggota.
3. Kerja Sama Tersier
Bentuk kerja sama dalam kerja sama tersier bersifat longgar dan mudah pecah.
Hal ini dapat terjadi bila alat penyatu tidak membantu masing-masing pihak dalam
mencapai tujuannya.
C. Keagenan/Distributor
7
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung:Alumni, 1985, hal. 158.
8
I Ketut Oka Setaiwan, Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, Bandung: Ind
Hill Co., 1996, halaman 16
perusahaan, (ii) teman serikat dalam suatu persekutuan perdata, (iii) pengacara yang
melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama kliennya, (iv) penjaga toko yang
melakukan transaksi jual atas nama pemilik toko, dan (v) karyawan perusahaan yang
melakukan tindakan untuk dan atas nama direksi perusahaan.
Hubungan keagenan adalah hubungan perwakilan karena apa yang dilakukan oleh
agen merupakan representasi dari apa yang hendak dilakukan oleh prinsipal.
Karakteristik hubungan seperti itu menimbulkan konsekuensi hukum bahwa apa yang
menjadi hak agen di satu sisi akan menjadi kewajiban prinsipal di sisi lain, dan apa yang
menjadi kewajiban agen secara otomatis pula akan menjadi hak prinsipal pada ujung
yang lain. Kemudian Dalam praktik, hubungan keagenan dapat diakhiri dengan cara
kesepakatan timbal balik oleh kedua belah pihak, serta berakhir karena adanya
sebabssebab hukum, atau berakhir karena adanya pembatalan secara sepihak baik oleh
prinsipal maupun oleh agen.
Suatu bentuk kegiatan usaha yang baru bagi masyarakat Indonesia pada dewasa
ini adalah waralaba (franchise). Waralaba atau franchise adalah suatu bisnis yang
didasarkan pada perjanjian dua pihak, yaitu franchisor (pemilik hak) dan franchisee (yang
diberi hak) untuk menjalankan bisnis dari franchisor menurut sistem yang ditentukan oleh
franchisor. Dengan kata lain, waralaba adalah suatu pengaturan bisnis di mana sebuah
perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual
produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.9
Franchise adalah pola bisnis dimana ada Pihak Franchisor sebagai pemilik sistem
bisnis memberikan ijin kepada Pihak Franchisee untuk menjalankan usaha menggunakan
sistem bisnis yang dimiliki Franchisor dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
Franchisor. Syarat-syarat tersebut antara lain bahwa Franchisee harus membayar
sejumlah uang sebagai Franchise Fee dan Manajemen Fee serta harus bersedia mentaati
ketentuan yang ditetapkan oleh Franchisor. Franchisee bersedia menerima syarat-syarat
tersebut karena tertarik pada kenyataan bahwa bisnis yang menggunakan sistem bisnis
milik Franchisor tersebut telah terbukti sukses serta telah terbukti mendatangkan
9
Adrian Sutedi. Hukum Waralaba. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. V.
keuntungan. Salah satu kunci suksesnya adalah bahwa dengan menggunakan sistem milik
Franchisor itu usaha yang dijalankan menjadi memiliki ciri khas dan memiliki
keunggulan yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor. Siapapun yang ingin menggunakan
sistem tersebut harus seijin Franchisor. Penggunaan sistem tanpa ijin Franchisor
merupakan pelanggaran hukum karena beberapa bagian dari sistem telah menjadi Hak
Kekayaan Intelektual milik Franchisor yang dilindungi undang-undang.
Waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2007, adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha
terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah metode pemasaran dalam rangka
memperluas jaringan usaha secara cepat. Konsep bisnis waralaba sebagai bentuk
terobosan pengembangan usaha bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara
yang sama kuatnya dan strategsinya dengan cara konvensional dalam mengembangkan
usaha. Mengingat usaha yang diwaralabakan adalah usaha-usaha yang telah teruji dan
sukses dibidangnya, sehingga dianggap dapat “menjamin” mendatangkan keuntungan,
faktor ini yang kemudian menjadi “magnet” untuk menarik animo masyarakat secara
luas. Bahkan sistem waralaba dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut
pendanaan, sumber daya manusia (SDM) dan manajemen.
Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk
mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan penerima waralaba.
Melalui konsep waralaba seseorang tidak perlu memulai usaha dari nol, karena telah ada
sistem yang terpadu dalam waralaba, yang memungkinkan seorang penerima waralaba
menjalankan usaha dengan baik.
Pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal
memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian waralaba mereka.
Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus
menerus. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba menyebutkan dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan
konsep waralaba di seluruh Indonesia, maka perlu mendorong pengusaha nasional
terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai pemberi waralaba
nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri
khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.
Bisnis waralaba adalah pola bisnis dengan resiko kegagalan yang kecil dimana
pertumbuhannya sangat pesat dan memberi warna tersendiri dalam perekonomian
Indonesia. Popularitas bisnis waralaba sebagai suatu cara pemasaran sekaligus
mendistribusi barang dan jasa yang efektif, karena keberadaan waralaba diakui mampu
menjangkau suatu jenis produk ke seluruh Indonesia. Besarnya peluang bisnis waralaba
di Indonesia menjadikan waralaba baik asing maupun lokal bermunculan dan mengalami
peningkatan yang sangat luar biasa. Untuk seorang pemula dalam dunia bisnis, bentuk
waralaba ini merupakan alternatif untuk memulai sebuah bisnis.10
Negara Indonesia masuk dalam lima besar negara yang memiliki perkembangan
waralaba terbesar di dunia, yang meliputi berbagai bidang usaha baik makanan,
pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Waralaba yang berkembang di
Indonesia banyak didominasi oleh waralaba lokal, namun tidak menutup kemungkinan
waralaba asing juga dapat ditemui. Hal ini tergantung dari jumlah besarnya modal yang
dimiliki.11 Salah satu bisnis Franchise yang sedang berkembang di Indonesia saat ini
adalah Franchise Primagama yang bergerak di bidang jasa pendidikan non formal berupa
bimbingan belajar. Franchisor Primagama juga memberitahukan sebagian Rahasia
Dagangnya kepada Franchisee. Memenuhi perintah perundang-undangan, semua
Franchise Primagama diikat dengan perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan notaris.
Salah satu yang diperjanjikan dan dikerjasamakan dalam Perjanjian Franchise Primagama
adalah tentang Rahasia Dagang Primagama. Karena sifatnya yang rahasia maka memuat
Rahasia Dagang dalam suatu perjanjian tentu tidak dapat sejelas objek perjanjian lain
pada umumnya sehingga wajar apabila kepastian hukum dari objek perjanjian menjadi
lemah. Disamping itu, Rahasia Dagang hanya akan dilindungi sebagai HAKI selama
terjaga kerahasiaannya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan
10
Arifa’i, Proposal Bisnis, Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk Usaha Alternatif Menjadi Jutawan
Dalam Waktu Relatif Singkat, (Surakarta: L4L Press, 2007), hlm. 56.
11
Sheila Felicia, “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba (Analisis Kontrak Bisnis
Waralaba Lokal Apotek K-24 Di Semarang”, Tesis, (Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
2010), hlm. 1
dengan waralaba dan sedang berlaku di Indonesia saat ini adalah : 1). Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba; 2). Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012; 3). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 4). Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2009 Tentang pedoman
Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang
Berkaitan Dengan Waralaba.
Seiring dengan besarnya animo pelaku usaha untuk memilih bentuk usaha
waralaba, Pemerintah Indonesia melengkapi rangkaian peraturan tentang waralaba.
Secara terperinci pedoman dan tata cara praktek penyelenggaraan usaha waralaba terakhir
diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba sebagai tindak lanjut dari
Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Perjanjian Franchise (Waralaba) yaitu Kontrak atau perjanjian sangat penting
kedudukannya dalam merangkai hubungan hukum dalam bentuk hak dan kewajiban yang
telah disepakati oleh pelaku usaha (para pihak) yang harus ditaati & dilaksanakan dengan
penuh iktikad baik demi mengamankan transaksi bisnisnya. Perjanjian franchise, yang
telah diatur oleh pemerintah No 47 Tahun 2007 dalam penyelenggaraan waralaba, sangat
penting kedudukannya dalam hubungan hukum antar para pihak guna menjamin dan
melindungi hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para 6 Arifa’i, Proposal Bisnis
dan Personal Franchise (Waralaba Pribadi). Pada awalnya franchise terbentuk ketika
francisor menjalin hubungan hukum berupa perjanjian kerjasama secara terpadu,
termasuk memperjanjikan kerjasama untuk memanfaatkan merek dan rahasia dagang
milik Franchisor dalam suatu periode tertentu berdasarkan petunjuk penyelenggaraan
usaha yang ditetapkan oleh Franchisor.
Idealnya, perjanjian waralaba atau waralaba harus diikuti dan ditegakkan dengan
itikad baik oleh semua pihak, termasuk kepatuhan dan kerahasiaan rahasia dagang kepada
salah satu pihak tanpa izin pemilik waralaba. Namun karena peluang pelanggaran rahasia
dagang selalu terbuka, maka perjanjian waralaba tetap harus mengantisipasi segala
kemungkinan pelanggaran, termasuk jika franchisor melakukan pelanggaran, yaitu
dengan melakukan atau dengan sengaja membuka atau menggunakan tanpa persetujuan
franchisor, membocorkan rahasia bisnis. diluar perjanjian tanpa izin, sehingga
menimbulkan kerugian bagi franchisor dan pada akhirnya menimbulkan akibat hukum,
sehingga terjadi perselisihan antara franchisor dan franchisee.
Pasal 50 (b) Undang-Undang Larangan Perilaku Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian terhadap bentuk waralaba.
Artinya larangan-larangan yang diatur dalam Undang-undang tersebut dapat atau dapat
diselewengkan oleh penerima waralaba. Namun, karena praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat sangat mungkin terjadi dalam waralaba, pengecualian tidak mutlak.
Perjanjian waralaba harus dirumuskan sesuai dengan Peraturan Komisi Pengatur
Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 2 Tahun 2009, Pedoman Pengecualian Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penerapan Perjanjian Terkait Kekayaan
Intelektual. Selain itu, pembentukan perjanjian waralaba juga harus mematuhi Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 6 Tahun 2009 “Peraturan Tentang Pedoman
Pengecualian Terhadap Hukum Yang Berlaku” (No. 5 Tahun 2009) terhadap perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba.
Karakteristik dasar Franchise yaitu :
1. Harus ada kesepakatan tertulis (kontrak).
2. Pemilik waralaba harus memberikan pelatihan dalam semua aspek bisnis residen.
3. Memungkinkan pemilik waralaba (dalam kendali pemilik waralaba) untuk
beroperasi di bawah nama/merek dagang, format dan/atau prosedur pemilik
waralaba.
4. Franchisee harus berinvestasi melalui sumber pendanaan mereka sendiri atau
dukungan dari sumber pendanaan lain.
5. Penerima Waralaba memiliki hak untuk sepenuhnya mengelola bisnis mereka
sendiri.
6. Penerima waralaba membayar biaya pemilik waralaba dan/atau royalti atas
pendapatannya.
7. Penerima waralaba berhak atas wilayah pemasaran tertentu di mana ia adalah
satu-satunya pihak yang berhak memasarkan barang atau jasa yang dihasilkannya.
8. Transaksi antara franchisor dan franchisee bukanlah transaksi antar cabang dari
perusahaan induk yang sama, atau antara individu yang mereka kendalikan dan
perusahaan yang mereka kendalikan.
Dan bila melihat industri atau bidang bisnis, ada beberapa industri yang
pendirianya wajib menggunakan perjanjian joint venture, yaitu :
● Pelabuhan
● Pelayanan
● Penerbangan
● Produksi, transmisi
● Distribusi tenaga listrik
● Telekomunikasi
● Pembangkit tenaga atom
● Mass media atau media masa
● Air minum
● Kereta api umum
Sementara untuk industri atau bidang bisnis yang dilarang untuk penanaman
adalah industri yang terkait dengan pertahanan negara, yaitu :
● Produksi senjata
● Mesin perang
● Alat-alat peledakan
● Peralatan perang.
Regulasi tentang joint venture telah diatur dalam UU, PP, dan SK Menteri.
Berikut adalah rangkuman landasan hukum mengenai joint venture :
● UU Nomor 1 Tahun 1967 Pasal 23 tentang Penanaman Modal Asing
● PP Nomor 20 Tahun Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam
rangka penanaman modal asing
● PP Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemilik Saham perusahaan penanaman Modal
Asing
● SK Menteri negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang ketentuan pelaksanaan pemilikan
saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing.
Dalam pembuatan joint venture ada beberapa aspek penting yang harus ada di
dalam perjanjian, berikut adalah rincian nya :
● Tujuan khusus, setiap pihak terlibat biasanya memiliki tujuan masing masing
telah dan telah ditentukan sebelumnya. Di dalam perjanjian, pihak terlibat akan
menyatakan tujuan ini dengan jelas dalam persetujuan dan perjanjian yang telah
disepakati.
● Durasi tertentu, Durasi dibuat untuk menentukan kapan perjanjian joint venture
akan berakhir. Umumnya ada 2 cara yang dilakukan pihak terlibat untuk
menentukan durasi, yang pertama ialah setelah tujuan yang dibuat telah tercapai,
atau yang kedua adalah menentukan durasi perjanjian sejak awal.
● Pembagian keuntungan, pembagian keuntungan ini dibuat untuk menentukan
rasio tepat untuk pembagian keuntungan dan kerugian.
● Kesepakatan, dalam bagian kesepakatan ini biasanya berisi tentang rincian
kewajiban, hak, dan juga regulasi lainya.
● Struktur usaha, dengan perjanjian joint venture, struktur usaha juga harus
disepakati bersama karena ini akan mempengaruhi semua aspek bisnis dalam
entitas bisnis yang baru.
Hingga saat ini ada banyak sekali perusahaan yang telah melakukan perjanjian
joint venture dan membentuk suatu entitas bisnis baru.
F. Bangun Guna Serah (BOT)
12
Ridwan Soleh, Kajian Tentang Kerja Sama Pembiayaan dengan Sistem Build Operate And Transfer
(BOT) di Kabupaten Pekalongan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009, halaman 42.
h. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi
minyak dan gas bumi
13
Bambang Pujianto, dkk., Analisis Potensi Penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta Dalam Pengembangan
Infrastruktur Transportasi Di Perkotaan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2005, halaman 1.
perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN dan
setelah dibangun, dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahapan pengoperasian selesai
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek
kepada pemerintah selaku pemilik proyek. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, sebelum
melaksanakan perjanjian BOT/BGS penyediaan infrastruktur, Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah melakukan identifikasi proyek-proyek Penyediaan Infrastruktur
yang akan dikerjasamakan dengan Badan Usaha, dengan mempertimbangkan paling
kurang: 1) kesesuaian dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional/daerah
dan rencana strategis sektor infrastruktur, 2) kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah, 3) keterkaitan antar sektor infrastruktur dan antar wilayah, 4)
analisa biaya dan manfaat sosial.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara pada BAB VIII
dijelaskan bahwa Build Operate and Transfer/Bangun Guna Serah (BOT/BGS)
digunakan dengan pertimbangan Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara untuk kepentingan pelayanan umum dalam
rangka penyelenggaran tugas dan fungsi, dan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia
dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penyediaan bangunan dan
fasilitas tersebut.
Bangunan dan fasilitasnya yang menjadi bagian hasil dari pelaksanaan BOT/BGS
ini harus dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama Pemerintah
Republik Indonesia, dan biaya persiapan BOT/BGS yang dikeluarkan Pengelola Barang
atau Pengguna Barang sampai dengan penunjukan mitra BOT/BGS dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sedangkan Biaya persiapan BOT/BGS yang
terjadi setelah ditetapkannya mitra BGS dibebankan pada mitra BOT/BGS. Pelaksanaan
BOT/BGS dituangkan dalam perjanjian yang dibuat dalam bentuk Akta Notariil dan
ditandatangani antara Pengelola Barang dengan mitra BOT/BGS. Perjanjian ini harus
memuat:
1) dasar perjanjian,
2) identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian,
3) objek BOT/BGS,
4) hasil BOT/BGS,
5) peruntukan BOT/BGS,
6) jangka waktu BOT/BGS,
7) besaran kontribusi tahunan serta mekanisme pembayarannya,
8) besaran hasil BOT/BGS yang digunakan langsung untuk tugas dan fungsi
Pengelola Barang/Pengguna Barang,
9) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian,
10) ketentuan mengenai berakhirnya BOT/BGS,
11) sanksi
12) penyelesaian perselisihan
IV. KESIMPULAN
Kerjasama dalam ekonomi syariah secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,
yaitu mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah produk ekonomi syariah dimana
shahibul mal (pemodal) menyerahkan dana hanya kepada pengelola modal (mudharib)
untuk dikelola. kebanyakan pengusaha menjalin relasi atau hubungan dengan pengusaha
lain termasuk kompetitornya yang bertujuan untuk mencari keuntungan bagi kedua belah
pihak. Hal tersebut dikarenakan beberapa pengusaha berfikir bahwa persaingan hanya
akan memberikan dampak negatif.
A.Y Hernoko, 2010 Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 1.
Arifa’i, Proposal Bisnis, Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk Usaha
Alternatif Menjadi Jutawan Dalam Waktu Relatif Singkat, (Surakarta: L4L Press,
2007), hlm. 56.
Bambang Pujianto., dkk., Analisis Potensi Penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta
Dalam Pengembangan Infrastruktur Transportasi di Perkotaan, Semarang:
Universitas Diponegoro, 2005.
Djiwandono, J. Soedradjad., "Perlindungan Hukum Bagi Keagenanan Tunggal di
Indonesia" (Makalah dipresentasikan pada "Seminar Perhimpunan Alumni
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara", Jakarta, 22 Oktober 1988).
Felicia Sheila, “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba (Analisis
Kontrak Bisnis Waralaba Lokal Apotek K-24 Di Semarang”, Tesis, (Semarang,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hlm. 1
J. Ibrahim, L. Sewu, 2003, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung :
Refika Aditama, Hlm 12-13
L. Levi, "Problematika Hukum dalam Jasa Keagenan", Jurnal Hukurn Bisnis, Vol. 13,
April 2001.
Setiawan, dan I Ketut Oka., Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan
Pengaturannya di Indonesia, Bandung: Ind Hill Co., 1996.
SGP. Nainggolan, 2016 “Penggabungan (Marger) Perseroan Terbatas Di Indonesia Dan
Dampaknya Terhadap Pekerja” (Pdf)
Soleh Ridwan, Kajian Tentang Kerja Sama Pembiayaan dengan Sistem Build Operate
And Transfer (Bot) di Kabupaten Pekalongan, Semarang: Universitas
Diponegoro,
Subekti, R., Hukum Perjanjian. Cetakan X, PT. Intermasa, Jakarta, 1985.
Sutedi Adrian. Hukum Waralaba. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. V
Wibsite:
https://jabar.bpk.go.id
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/40532
https://ejournal.gunadarma.acid
https://alhasanah.or.id
https://pt.slideshare.net