Anda di halaman 1dari 25

HUKUM BENTUK KERJASAMA BISNIS

Selly Fanny Adisty (2008203076)

Alfina Nur Fizriyah (2008203078)

Khafidhotul Fadilah (2008203093)

Jurusan Perbankan Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon

ABSTRACT
In the business world, business actors sometimes need to collaborate with other business
actors. This collaboration is usually carried out with the aim of business expansion,
complementing technology needs that are not owned, saving the company from
bankruptcy, to covering the shortage of production costs/running a business. In the
business world, it is also bound by applicable law, where the law regulates the procedures
or ethics in business with a legal basis. In this article, the author will discuss what the law
of cooperation in business looks like and the aims and objectives are also discussed
regarding franchising, build to transfer, incorporation of limited liability companies, as
well as agencies/distributors. Where in compiling this article using quantitative methods
with data collection processes through library research or literature studies with data
sources from journals, books, websites and articles that are relevant to the title of the
discussion. With the preparation of this article, it is hoped that it can become material and
can increase our knowledge or insight.

Keywords: Law, Cooperation, Agency, Business

ABSTRAK
Dalam dunia bisnis, pelaku usaha terkadang perlu melakukan kerjasama dengan pelaku
usaha lain. Kerjasama ini biasanya dilakukan dengan tujuan ekspansi bisnis, melengkapi
kebutuhan teknologi yang tidak dimiliki, menyelamatkan perusahaan dari kepailitan,
hingga menutup kekurangan biaya produksi/menjalankan usaha. Dalam dunia bisnis pun
terikat dengan hukum yang berlaku yang mana hukum itu mengatur bagaimana tatacara
atau etika dalam bisnis dengan landasan hukumnya. Dalam artikel ini penyusun akan
membahas mengenai seperti apa hukum kerjasama dalam bisnis serta maksud dan
tujuannya dibahas juga mengenai franchising, bangun guna serah, penggabungan
perseroan terbatas, juga keagenan/distributor,. Dimana dalam menyusun artikel ini
menggunakan metode kuantitatif dengan proses pengumpulan data melalui library
research atau kajian literature dengan sumber data jurnal, buku, website dan artikel yang
relefan dengan judul pembahasan. Dengan penyusunan artikel ini diharap bisa menjadi
bahan materi dan bisa menambah pengetahuan atau wawasan kita.

Kata Kunci: Hukum, Kerjasama, Keagenan, Bisnis

I. PENDAHULUAN

Keinginan seseorang untuk memulai suatu usaha bisnis tidak selalu sejalan
dengan kemampuannya dalam mengelola bisnis tersebut dari nol. Oleh karena itu, secara
logika ketika kita tidak dapat mengatasi masalah sendiri maka kita berlari untuk
membentuk kerjasama untuk menghadapi masalah bersama. Dengan demikian, tatkala
mustahil bagi Anda untuk merintis bisnis dari nihil seorang diri, maka ada baiknya
apabila memulai dari kerjasama bisnis yang menguntungkan.
Kerjasama bisnis berarti membiarkan pihak lain untuk turut serta campur tangan
dalam pengelolaan bisnis Anda untuk membantu meringankan beban Anda dalam
mengoperasikannya seorang diri.
Di sisi lain karena berstatus kerjasama maka hal yang diutamakan ialah
memperoleh distribusi keuntungan yang sama. Dengan demikian memang diperlukan
kecermatan sebelum memulai kerjasama bisnis.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan proses pengumpulan data


melalui library research atau kajian literature dengan sumber data jurnal, buku, website
dan artikel yang relefan dengan judul pembahasan. Dalam menganalisis data dan materi
penulis menggunakan metode deskriptif analisis dengan menguraikan pengertian, sejarah,
serta beberapa aspek yang terkait dengan pembahasan secara umum.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hukum Kerjasama
Hukum kerjasama sebagai pedoman nasihat kerjasama dalam ekonomi Islam
adalah hadits, yang menjelaskan adanya keterlibatan Tuhan antara dua orang yang
bekerja sama. Aku (Allah) adalah orang ketiga dari dua orang yang bergotong royong,
selama mereka tidak saling berkhianat kepada sahabatnya. Ketika salah satu dari mereka
mengkhianati temannya, aku (Allah) meninggalkannya. Artinya Allah seolah-olah
menjadi pihak ketiga di antara mereka, selama tidak ada pengkhianatan, Dia akan
membantu mereka, melindungi mereka, dan memberkati kekayaan mereka. Jika ada
pengkhianatan, berkah dan pertolongan Allah akan dicabut darinya.
Hadits ini jelas memberikan dorongan untuk kerjasama, karena ada jaminan
bahwa Allah akan terlibat dalam perjuangannya untuk memberikan bantuan,
perlindungan dan berkah. Selain mendorong kerja sama, ada peringatan agar teman-
teman tidak selingkuh. Penipuan yang terjadi akan menyebabkan Tuhan melepaskan
tangannya dan berhenti membantu usahanya. Dari sini dapat dilihat seberapa besar resiko
yang terjadi akibat kecurangan, sehingga dalam dunia bisnis Islam kecurangan,
kecurangan dapat berdampak pada batalnya akad yang dibuat dan memaparkan dosa
kepada pelakunya.
Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan
di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya
senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para
pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan
sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar-menawar.1 Hubungan bisnis
yang terjalin di antara para pihak pada umumnya karena mereka bertujuan saling bertukar
kepentingan. Roscoe Pound2 memberikan definisi “kepentingan” atau “interest” adalah
“a demand or desire which human beings, either individually or through groups or
associations in relations seek to satisfy” (kepentingan sebagai suatu tuntutan atau hasrat
yang ingin dipuaskan manusia, baik secara indvidu ataupun kelompok atau asosiasi).3

1
Agus Yudha Hernoko, 2010 Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, hlm. 1.
2
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung : Refika
Aditama, Hlm 12-13.
3
Diterjemahkan Agus Yudha Hernoko, 2010, dalam bukunya Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 1
Melalui hubungan bisnis, pertukaran kepentingan para pihak senantiasa
dituangkan dalam bentuk kontrak mengingat “setiap langkah bisnis adalah langkah
hukum (isi Kontrak)”.4 Ungkapan ini merupakan landasan utama yang harus diperhatikan
para pihak yang berinteraksi dalam dunia bisnis, meskipun para pihak acap kali tidak
menyadarinya, namun setiap pihak yang memasuki kehidupan bisnis pada dasarnya
melakukan langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya.
Kerjasama dalam ekonomi syariah secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,
yaitu mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah produk ekonomi syariah dimana
shahibul mal (pemodal) menyerahkan dana hanya kepada pengelola modal (mudharib)
untuk dikelola. Oleh karena itu, dalam kerjasama dengan model mudharabah, investor
tidak ikut serta dalam pengelolaannya, dan pengelolaan dana sepenuhnya dilakukan oleh
mudharib. Konsekuensi dari model mudalaba adalah investor dan mudarib berbagi
kerugian dan berbagi keuntungan. Ditinjau dari jenisnya, kerjasama modus mudharabah
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Mudharabah mutlak, pengelola bebas menggunakan dana untuk bidang usaha
apapun tanpa batasan.
2. Mudharabah muqayad, pengelola yang menggunakan modal harus disesuaikan
dengan jenis usaha yang ditentukan oleh pemilik modal.

Modus kerjasama mudharabah dapat dibedakan menjadi 2 jenis ditinjau dari


kuantitasnya, yaitu:
1. Mudharabah bilateral adalah individu seperti A dan B. dimana A adalah shahibul
mal dan B adalah mudharib. Dalam model ini tidak banyak hambatan dalam
evaluasi manajemen, yang penting A percaya dan mau membiarkan B mengelola
uangnya. Oleh karena itu, pembiayaan akad mudharabah dalam model ini tidak
diperlukan.
2. Mudharabah bertingkat (bilateral) atau biasa dikenal dengan mudharabah
musyarakah terdiri dari tiga tingkatan, tingkat pertama adalah shahibul mal,
tingkat kedua adalah mudharib, dan tingkat ketiga adalah mudharib akhir. Dalam
kerjasama model mudharabah multi level, akan banyak kendala dalam akad,

4
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, op.cit, hlm. 27.
karena kredibilitas mudharib sulit dinilai. Untuk itu, Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan Majelis Ulama Indonesia telah mengambil keputusan bahwa harus ada
pembiayaan akad dalam mudharabah bertingkat. Hal ini dilakukan untuk menjaga
keamanan dana yang dipercayakan kepada Muharib oleh Shahibulmar.

Pada sistem ekonomi syariah jika dilihat pada jenis usahanya dapat dikelompokan
menjadi; Al-Muzara’ah, Al-Mujara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada
si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase)
dari hasil panen. Dalam prinsip ini benih disediakan oleh pemilik lahan. Rasulullah
menganjurkan ummatnya untuk melakukan kerja sama dalam pengelolaan tanah
pertanian secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil, Rasulullah juga menganjurkan untuk
menanami tanah pertanian atau menyerahkannya kepada orang lain untuk digarap.
Dalam konteks ekonomi syariah dapat memberikan modal dalam bentuk
pembiayaan bagi pengelola yang bergerak di bidang pertanian atas dasar prinsip bagi
hasil dari hasil panen. Selain itu ada juga al-Musaqah, al-Musaqah adalah bentuk yang
lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu
dari hasil panen. Dalam hal ini seseorang pemilik kebun memberikan kepercayaan pada
penggarap untuk memelihara kebunnya dengan mempergunakan peralatan dan dana
mereka, sebagai imbalan mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.

B. Maksud dan Tujuan Kerjasama

Kerjasama maksudnya adalah kegiatan mengatur kemitraan yang saling


menguntungkan dan dikerjakan secara sukarela oleh bidang-bidang yang berkaitan
dengan dunia usaha. Bisnis tidak melulu berbicara tentang mencari uang dan keuntungan
saja, kebanyakan pengusaha menjalin relasi atau hubungan dengan pengusaha lain
termasuk kompetitornya yang bertujuan untuk mencari keuntungan bagi kedua belah
pihak. Hal tersebut dikarenakan beberapa pengusaha berfikir bahwa persaingan hanya
akan memberikan dampak negatif.
Tujuan dari individu atau kelompok menjalin suatu kerjasama adalah :
● Meningkatkan rasio untuk mencapai suatu keuntungan.
● Untuk meningkatkan kesatuan dan persatuan dalam suatu negara.
● Membuat pelaku kegiatan saling mengenal satu sama lain.
● Menjadi sarana untuk mengemukakan opini dan pendapat

Ada 3 bentuk kerja sama yang didasarkan perbedaan di dalam organisasi, grup,
atau di dalam sikap grup, yaitu:
1. Kerja Sama Primer
kerja sama primer adalah kerja sama yang dilakukan dalam kelompok terdekat
yaitu keluarga. Di dalam kelompok-kelompok ini, individu cenderung membaurkan diri
dengan individu lain di dalam kelompok, dan setiap individu hendak berusaha menjadi
bagian dari kelompoknya.
2. Kerja Sama Sekunder
kerja sama sekunder merupakan kerja sama yang terjadi di lingkungan sekunder,
seperti lingkungan kerja atau organisasi kemasyarakatan. Sikap individu dalam kerja
sama sekunder lebih individualis dibanding kerja sama primer. Individu dalam kerja sama
sekunder lebih mementingkan menyelesaikan pekerjaannya dibandingkan kedekatan
antar anggota.
3. Kerja Sama Tersier
Bentuk kerja sama dalam kerja sama tersier bersifat longgar dan mudah pecah.
Hal ini dapat terjadi bila alat penyatu tidak membantu masing-masing pihak dalam
mencapai tujuannya.

C. Keagenan/Distributor

1. Aspek hukumKeagenan atau Distributor


Keagenan adalah jasa perantara untuk melakukan transaksi bisnis tertentu yang
menghubungkan pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain, atau yang
menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain. Dalam era
globalisasi dewasa ini, kedudukan dan fungsi keagenan memainkan peranan yang
strategis dan signifikan dalam menjembatani kebutuhan pelaku usaha di satu sisi dengan
kebutuhan konsumen di sisi lain. Seringkali menjadi bahan diskusi di kalangan agen dan
pelaku usaha yang membutuhkan jasa keagenan. Hal ini dapat dipahami karena
keberadaan agen dan prinsipal dalam dunia usaha memiliki hubungan simbiose
mutualisma, yaitu hubungan yang saling membutuhkan. Prinsipal membutuhkan jasa
keagenan karena beberapa sebab, misalnya (i) prinsipal tidak menguasai area pemasaran
untuk memasarkan barang dan/atau jasanya, (ii) prinsipal terlalu sibuk dengan pekerjaan
pokoknya sehingga harus melakukan pendelegasian pekerjaannya, atau (iii) prinsipal
membutuhkan pillak lain yang memiliki koneksi atau hubungan bisnis serta jaringan
pemasaran yang luas sehingga sasaran dan target pemasaran barang dan/atau jasanya
segera terealisasi.5
Sehubungan dengan hal terseut J. Soedradjad Djiwandono mengemukakan ada 5
manfaat (utility) dari jasa keagenan yaitu : (i) time utility (manfaat penggunaan waktu),
(ii) place utility (manfaat penggunaan tempat), (iii) quantity utility (manfaat peningkatan
volume produksi), (iv) assorbrtertt utility (berguna bagi konsumen untuk memilih jenis
dan kualitas barang secara lebih selektif), dan v) possession utility (jaminan bagi
produsen terhadap kepemilikan barangnya dan pendapatan yang pasti atas penjualan
barangnya).6
Secara khusus ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang
keagenan/distributor belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis misalnya, Departemen
Perdagangan dan Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan
Nomor 77/KP /III/78, tanggal 9 Maret 1978 yang menentukan bahwa lamanya perjanjian
harus dilakukan. Sampai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 23/MPP/KEP/1/1998 tentang LembagaLembaga Usaha Perdagangan
(Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan
Meteri No. 159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan.
Selain itu para pihak dalam membuat Perjanjian keagenan dan/atau distributor biasanya
mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang dianut oleh Pasal 1338
KUHPerdata.
5
Levi Lana, "Problematika Hukum dalam Jasa Keagenan", Jurnal Hukurn Bisnis, Vol. 13, April 2001.
6
J. Soedradjad Djiwandono "Perlindungan Hukum Bagi Keagenanan Tunggal di Indonesia" (Makalah
dipresenasikan pada "Seminar Perhimpunan Alumni Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara", Jakarta, 22
Oktober 1988).
Pada prinsipnya perjanjian keagenan/distributor di buat dalam bentuk perjanjian
baku, perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak, yang
lazimnya telah berbentuk formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak pertama
yaitu pihak prinsipal. Dengan demikian perjanjian yang diadakan merupakan perjanjian
baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara
kolektif dalam bentuk formulir. Suatu perusahaan nasional yang ingin memperoleh
pengakuan keagenan/distributor diwajibkan untuk mengajukan permohonan tertulis
kepada departemen perindustrian dan perdagangan dengan melampirkan akta pendirian
perusahaan, angka pengenal impor (A.P.I), akta perjanjian yang dilakukan dengan pihak
prinsipal antara prinsipal dengan agen/distributor serta bukti pemilikan akta rencana
pengadaan fasilitas keagenan/distributor.
Perjanjian keagenan/distributor secara khusus tidak dikenal dalam KUH Perdata
dan KUHD. Sehingga perjanjian itu dapat digolongkan dalam perjanjian innominaat
(perjanjian tidak bernama), serta keberadaannya dimungkinkan berdasarkan asas
konsensualisme. Berdasarkan asas konsensualisme, maka perjanjian yang akan dilakukan
oleh distributor harus memenuhi syarat untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang
tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian secara tidak langsung
berlaku Pasal ayat KUH Perdata yang menyatakan: "Semua perjanjian yang dibuat secara
sah, maka berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya". Perjanjian
merupakan dasar dalam melaksanakan perjanjian keagenan/distributor, karena dalam
perjanjian diatur hak dan kewajiban dari para pihak. Perjanjian distributor termasuk
dalam perjanjian innominat (tak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUH
Perdata. Sekalipun tidak diatur secara khusus, tetapi tetap harus tunduk pada peraturan
atau ketentuan umum Buku III KUH Perdata.
2. Perkembangan Konsep Keagenan
a. Azas-Azas Hukum Keagenan
Hubungan antara prinsipal dengan agen pada prinsipnya didasarkan pada suatu
kesepakatan (consent), yaitu agen setuju untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi
prinsipal dan pada sisi lain prinsipal setuju atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh
agen tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka tanggung jawab atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh agen dibebankan kepada prinsipal.
b. Keagenan dalam KUHD
Beberapa literatur hukum di Indonesia7 menyebutkan bahwa Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD), yang merupakan warisan pemerintahan kolonial
Belanda, juga mengenal konsep keagenan, sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan
mengenai makelar (Pasal 62-73), kasir (Pasal 74-75), komisioner (Pasal 76-85a) dan
ekspeditur (Pasal 86-90). Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa baik makelar, kasir,
komisioner maupun ekspeditur adalah pihak-pihak yang menjadi perantara yang
melakukan perbuatan hukum berdasarkan kuasa. Agen adalah seseorang yang melakukan
suatu perbuatan hukum dan menciptakan akibat hukum untuk kepentingan orang lain. Hal
ini berbeda dengan asas hukum yang berlaku umum bahwa seseorang melakukan suatu
perbuatan hukum dengan maksud untuk memperoleh atau untuk menciptakan akibat
hukum untuk dirinya sendiri.
c. Keagenan dalam KUH Perdata
Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sama
sekali tidak mengatur tentang keagenan. Namun demikian, beberapa penulis agaknya
sepakat bahwa Pasal 1792 KUH Perdata yang mengatur tentang pemberian kuasa
dianggap sebagai ketentuan umum (lex generalis) yang mengakomodasi dasar hukum
hubungan keagenan.8 Pasal 1792 KUH Perdata menyatakan bahwa : "Pemberian kuasa
adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan". Prof.
Asikin menyamakan pemberian kuasa ini dengan pemberian tugas, yaitu mengandung
kewajiban bahwa pihak yang menerima tugas (opdracht) wajib melakukan tugas tersebut.
3. Jasa Keagenan Dalam Praktik
Keagenan Hanya dalam Fungsi, Secara fungsional, praktik keagenan dalam
kehidupan sehari-hari dapat pula dilihat pada profesi atau pekerjaan yang walaupun tidak
menyandang sebutan "agen" tetapi keberadaan mereka dalam melakukan suatu tindakan
hukum akan memberikan konsekuensi hukum pada (mengikat) pihak yang lain.
Misalnya, (i) direksi perusahaan yang menjalankan kegiatan untuk dan atas nama

7
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung:Alumni, 1985, hal. 158.
8
I Ketut Oka Setaiwan, Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan Pengaturannya di Indonesia, Bandung: Ind
Hill Co., 1996, halaman 16
perusahaan, (ii) teman serikat dalam suatu persekutuan perdata, (iii) pengacara yang
melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama kliennya, (iv) penjaga toko yang
melakukan transaksi jual atas nama pemilik toko, dan (v) karyawan perusahaan yang
melakukan tindakan untuk dan atas nama direksi perusahaan.
Hubungan keagenan adalah hubungan perwakilan karena apa yang dilakukan oleh
agen merupakan representasi dari apa yang hendak dilakukan oleh prinsipal.
Karakteristik hubungan seperti itu menimbulkan konsekuensi hukum bahwa apa yang
menjadi hak agen di satu sisi akan menjadi kewajiban prinsipal di sisi lain, dan apa yang
menjadi kewajiban agen secara otomatis pula akan menjadi hak prinsipal pada ujung
yang lain. Kemudian Dalam praktik, hubungan keagenan dapat diakhiri dengan cara
kesepakatan timbal balik oleh kedua belah pihak, serta berakhir karena adanya
sebabssebab hukum, atau berakhir karena adanya pembatalan secara sepihak baik oleh
prinsipal maupun oleh agen.

D. Franchising (Hak Monopoli)

Suatu bentuk kegiatan usaha yang baru bagi masyarakat Indonesia pada dewasa
ini adalah waralaba (franchise). Waralaba atau franchise adalah suatu bisnis yang
didasarkan pada perjanjian dua pihak, yaitu franchisor (pemilik hak) dan franchisee (yang
diberi hak) untuk menjalankan bisnis dari franchisor menurut sistem yang ditentukan oleh
franchisor. Dengan kata lain, waralaba adalah suatu pengaturan bisnis di mana sebuah
perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual
produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor.9
Franchise adalah pola bisnis dimana ada Pihak Franchisor sebagai pemilik sistem
bisnis memberikan ijin kepada Pihak Franchisee untuk menjalankan usaha menggunakan
sistem bisnis yang dimiliki Franchisor dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
Franchisor. Syarat-syarat tersebut antara lain bahwa Franchisee harus membayar
sejumlah uang sebagai Franchise Fee dan Manajemen Fee serta harus bersedia mentaati
ketentuan yang ditetapkan oleh Franchisor. Franchisee bersedia menerima syarat-syarat
tersebut karena tertarik pada kenyataan bahwa bisnis yang menggunakan sistem bisnis
milik Franchisor tersebut telah terbukti sukses serta telah terbukti mendatangkan

9
Adrian Sutedi. Hukum Waralaba. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. V.
keuntungan. Salah satu kunci suksesnya adalah bahwa dengan menggunakan sistem milik
Franchisor itu usaha yang dijalankan menjadi memiliki ciri khas dan memiliki
keunggulan yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor. Siapapun yang ingin menggunakan
sistem tersebut harus seijin Franchisor. Penggunaan sistem tanpa ijin Franchisor
merupakan pelanggaran hukum karena beberapa bagian dari sistem telah menjadi Hak
Kekayaan Intelektual milik Franchisor yang dilindungi undang-undang.
Waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2007, adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha
terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah metode pemasaran dalam rangka
memperluas jaringan usaha secara cepat. Konsep bisnis waralaba sebagai bentuk
terobosan pengembangan usaha bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara
yang sama kuatnya dan strategsinya dengan cara konvensional dalam mengembangkan
usaha. Mengingat usaha yang diwaralabakan adalah usaha-usaha yang telah teruji dan
sukses dibidangnya, sehingga dianggap dapat “menjamin” mendatangkan keuntungan,
faktor ini yang kemudian menjadi “magnet” untuk menarik animo masyarakat secara
luas. Bahkan sistem waralaba dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut
pendanaan, sumber daya manusia (SDM) dan manajemen.
Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk
mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan penerima waralaba.
Melalui konsep waralaba seseorang tidak perlu memulai usaha dari nol, karena telah ada
sistem yang terpadu dalam waralaba, yang memungkinkan seorang penerima waralaba
menjalankan usaha dengan baik.
Pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal
memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian waralaba mereka.
Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus
menerus. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba menyebutkan dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan
konsep waralaba di seluruh Indonesia, maka perlu mendorong pengusaha nasional
terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai pemberi waralaba
nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri
khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.
Bisnis waralaba adalah pola bisnis dengan resiko kegagalan yang kecil dimana
pertumbuhannya sangat pesat dan memberi warna tersendiri dalam perekonomian
Indonesia. Popularitas bisnis waralaba sebagai suatu cara pemasaran sekaligus
mendistribusi barang dan jasa yang efektif, karena keberadaan waralaba diakui mampu
menjangkau suatu jenis produk ke seluruh Indonesia. Besarnya peluang bisnis waralaba
di Indonesia menjadikan waralaba baik asing maupun lokal bermunculan dan mengalami
peningkatan yang sangat luar biasa. Untuk seorang pemula dalam dunia bisnis, bentuk
waralaba ini merupakan alternatif untuk memulai sebuah bisnis.10
Negara Indonesia masuk dalam lima besar negara yang memiliki perkembangan
waralaba terbesar di dunia, yang meliputi berbagai bidang usaha baik makanan,
pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Waralaba yang berkembang di
Indonesia banyak didominasi oleh waralaba lokal, namun tidak menutup kemungkinan
waralaba asing juga dapat ditemui. Hal ini tergantung dari jumlah besarnya modal yang
dimiliki.11 Salah satu bisnis Franchise yang sedang berkembang di Indonesia saat ini
adalah Franchise Primagama yang bergerak di bidang jasa pendidikan non formal berupa
bimbingan belajar. Franchisor Primagama juga memberitahukan sebagian Rahasia
Dagangnya kepada Franchisee. Memenuhi perintah perundang-undangan, semua
Franchise Primagama diikat dengan perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan notaris.
Salah satu yang diperjanjikan dan dikerjasamakan dalam Perjanjian Franchise Primagama
adalah tentang Rahasia Dagang Primagama. Karena sifatnya yang rahasia maka memuat
Rahasia Dagang dalam suatu perjanjian tentu tidak dapat sejelas objek perjanjian lain
pada umumnya sehingga wajar apabila kepastian hukum dari objek perjanjian menjadi
lemah. Disamping itu, Rahasia Dagang hanya akan dilindungi sebagai HAKI selama
terjaga kerahasiaannya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan
10
Arifa’i, Proposal Bisnis, Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk Usaha Alternatif Menjadi Jutawan
Dalam Waktu Relatif Singkat, (Surakarta: L4L Press, 2007), hlm. 56.
11
Sheila Felicia, “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba (Analisis Kontrak Bisnis
Waralaba Lokal Apotek K-24 Di Semarang”, Tesis, (Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
2010), hlm. 1
dengan waralaba dan sedang berlaku di Indonesia saat ini adalah : 1). Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba; 2). Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012; 3). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 4). Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2009 Tentang pedoman
Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang
Berkaitan Dengan Waralaba.
Seiring dengan besarnya animo pelaku usaha untuk memilih bentuk usaha
waralaba, Pemerintah Indonesia melengkapi rangkaian peraturan tentang waralaba.
Secara terperinci pedoman dan tata cara praktek penyelenggaraan usaha waralaba terakhir
diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor
53/M-DAG/PER/8/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba sebagai tindak lanjut dari
Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Perjanjian Franchise (Waralaba) yaitu Kontrak atau perjanjian sangat penting
kedudukannya dalam merangkai hubungan hukum dalam bentuk hak dan kewajiban yang
telah disepakati oleh pelaku usaha (para pihak) yang harus ditaati & dilaksanakan dengan
penuh iktikad baik demi mengamankan transaksi bisnisnya. Perjanjian franchise, yang
telah diatur oleh pemerintah No 47 Tahun 2007 dalam penyelenggaraan waralaba, sangat
penting kedudukannya dalam hubungan hukum antar para pihak guna menjamin dan
melindungi hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para 6 Arifa’i, Proposal Bisnis
dan Personal Franchise (Waralaba Pribadi). Pada awalnya franchise terbentuk ketika
francisor menjalin hubungan hukum berupa perjanjian kerjasama secara terpadu,
termasuk memperjanjikan kerjasama untuk memanfaatkan merek dan rahasia dagang
milik Franchisor dalam suatu periode tertentu berdasarkan petunjuk penyelenggaraan
usaha yang ditetapkan oleh Franchisor.
Idealnya, perjanjian waralaba atau waralaba harus diikuti dan ditegakkan dengan
itikad baik oleh semua pihak, termasuk kepatuhan dan kerahasiaan rahasia dagang kepada
salah satu pihak tanpa izin pemilik waralaba. Namun karena peluang pelanggaran rahasia
dagang selalu terbuka, maka perjanjian waralaba tetap harus mengantisipasi segala
kemungkinan pelanggaran, termasuk jika franchisor melakukan pelanggaran, yaitu
dengan melakukan atau dengan sengaja membuka atau menggunakan tanpa persetujuan
franchisor, membocorkan rahasia bisnis. diluar perjanjian tanpa izin, sehingga
menimbulkan kerugian bagi franchisor dan pada akhirnya menimbulkan akibat hukum,
sehingga terjadi perselisihan antara franchisor dan franchisee.
Pasal 50 (b) Undang-Undang Larangan Perilaku Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian terhadap bentuk waralaba.
Artinya larangan-larangan yang diatur dalam Undang-undang tersebut dapat atau dapat
diselewengkan oleh penerima waralaba. Namun, karena praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat sangat mungkin terjadi dalam waralaba, pengecualian tidak mutlak.
Perjanjian waralaba harus dirumuskan sesuai dengan Peraturan Komisi Pengatur
Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 2 Tahun 2009, Pedoman Pengecualian Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penerapan Perjanjian Terkait Kekayaan
Intelektual. Selain itu, pembentukan perjanjian waralaba juga harus mematuhi Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 6 Tahun 2009 “Peraturan Tentang Pedoman
Pengecualian Terhadap Hukum Yang Berlaku” (No. 5 Tahun 2009) terhadap perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba.
Karakteristik dasar Franchise yaitu :
1. Harus ada kesepakatan tertulis (kontrak).
2. Pemilik waralaba harus memberikan pelatihan dalam semua aspek bisnis residen.
3. Memungkinkan pemilik waralaba (dalam kendali pemilik waralaba) untuk
beroperasi di bawah nama/merek dagang, format dan/atau prosedur pemilik
waralaba.
4. Franchisee harus berinvestasi melalui sumber pendanaan mereka sendiri atau
dukungan dari sumber pendanaan lain.
5. Penerima Waralaba memiliki hak untuk sepenuhnya mengelola bisnis mereka
sendiri.
6. Penerima waralaba membayar biaya pemilik waralaba dan/atau royalti atas
pendapatannya.
7. Penerima waralaba berhak atas wilayah pemasaran tertentu di mana ia adalah
satu-satunya pihak yang berhak memasarkan barang atau jasa yang dihasilkannya.
8. Transaksi antara franchisor dan franchisee bukanlah transaksi antar cabang dari
perusahaan induk yang sama, atau antara individu yang mereka kendalikan dan
perusahaan yang mereka kendalikan.

E. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)

Kerjasama Joint Venture merupakan sistem patungan yang dilakukan oleh


beberapa orang, yang mana sistem ini menguntungkan dalam segi pembagian resiko.
Sistem ini juga termasuk dalam kegiatan pemodal asing dan sudah diatur pemerintah.
Pihak yang terlibat akan membentuk entitas bisnis baru dan masing masing akan
berkontribusi untuk memaksimalkan rencana bisnis yang dibuat. Namun perjanjian kerja
ini tidak berlaku selamanya, dan tergantung kesepakatan antara semua pihak yang
terlibat. Umumnya perusahaan akan kembali beroperasi dengan normal setelah jangka
waktu yang ditentukan selesai, atau tujuan yang disepakati telah tercapai. Dalam kontrak,
joint venture terbagi menjadi 2 jenis, yaitu
● Domestik
● Internasional.

Dan bila melihat industri atau bidang bisnis, ada beberapa industri yang
pendirianya wajib menggunakan perjanjian joint venture, yaitu :
● Pelabuhan
● Pelayanan
● Penerbangan
● Produksi, transmisi
● Distribusi tenaga listrik
● Telekomunikasi
● Pembangkit tenaga atom
● Mass media atau media masa
● Air minum
● Kereta api umum
Sementara untuk industri atau bidang bisnis yang dilarang untuk penanaman
adalah industri yang terkait dengan pertahanan negara, yaitu :
● Produksi senjata
● Mesin perang
● Alat-alat peledakan
● Peralatan perang.

Regulasi tentang joint venture telah diatur dalam UU, PP, dan SK Menteri.
Berikut adalah rangkuman landasan hukum mengenai joint venture :
● UU Nomor 1 Tahun 1967 Pasal 23 tentang Penanaman Modal Asing
● PP Nomor 20 Tahun Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam
rangka penanaman modal asing
● PP Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemilik Saham perusahaan penanaman Modal
Asing
● SK Menteri negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang ketentuan pelaksanaan pemilikan
saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing.

Dalam pembuatannya, ada beberapa manfaat penting yang melatarbelakangi


dibuatnya perjanjian joint venture, berikut adalah beberapa diantaranya :
● Penggabungan sumber daya, joint venture memungkinkan entitas bisnis baru yang
telah dibuat agar dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Ini disebabkan karena
perusahaan yang terlibat dapat meraih pasar perusahaan rekan yang lain dengan
sumber daya yang lebih besar.
● Penggabungan keahlian, dengan penggabungan keahlian masing-masing entitas
bisnis, maka entitas baru tentunya akan memiliki keunggulan yang lebih baik.
● Menghemat uang, setelah dua entitas bisnis bergabung maka tiap perusahaan
dapat menghemat pengeluaran masing masing. Ini disebabkan karena biaya yang
harus dikeluarkan tidak dibebankan pada satu perusahaan melainkan kepada
entitas lain yang terlibat.
● Alat bertumbuh, pihak terlibat akan melakukan penggabungan ide, keterampilan
dan juga aset yang memungkinkan entitas bisnis baru dapat mencapai
pertumbuhan bisnis yang lebih baik.
● Inovasi produk dan layanan pihak terlibat akan menawarkan produk baru melalui
inovasi. Agar dapat menjangkau ke pelanggan baru melalui produk baru yang
dibuat.
● Ekspansi pasar asing, saat ini joint venture juga menjadi salah satu metode yang
digunakan untuk memperluas jaringan distribusi produk ke pasar asing yang
menjadi target pasar.

Dalam pembuatan joint venture ada beberapa aspek penting yang harus ada di
dalam perjanjian, berikut adalah rincian nya :
● Tujuan khusus, setiap pihak terlibat biasanya memiliki tujuan masing masing
telah dan telah ditentukan sebelumnya. Di dalam perjanjian, pihak terlibat akan
menyatakan tujuan ini dengan jelas dalam persetujuan dan perjanjian yang telah
disepakati.
● Durasi tertentu, Durasi dibuat untuk menentukan kapan perjanjian joint venture
akan berakhir. Umumnya ada 2 cara yang dilakukan pihak terlibat untuk
menentukan durasi, yang pertama ialah setelah tujuan yang dibuat telah tercapai,
atau yang kedua adalah menentukan durasi perjanjian sejak awal.
● Pembagian keuntungan, pembagian keuntungan ini dibuat untuk menentukan
rasio tepat untuk pembagian keuntungan dan kerugian.
● Kesepakatan, dalam bagian kesepakatan ini biasanya berisi tentang rincian
kewajiban, hak, dan juga regulasi lainya.
● Struktur usaha, dengan perjanjian joint venture, struktur usaha juga harus
disepakati bersama karena ini akan mempengaruhi semua aspek bisnis dalam
entitas bisnis yang baru.

Hingga saat ini ada banyak sekali perusahaan yang telah melakukan perjanjian
joint venture dan membentuk suatu entitas bisnis baru.
F. Bangun Guna Serah (BOT)

Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan


kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk
meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global. Untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur, dipandang perlu mengambil langkah-langkah yang
komprehensif guna menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan
usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat. Partisipasi
swasta ini dapat diarahkan pada proyek yang membutuhkan dana besar, seperti
pembangunan jalan tol, migas, bendungan, pembangunan mall, perluasan bandara,
maupun pembangkit listrik dan dapat juga diarahkan pada proyek infrastruktur yang tidak
membutuhkan dana yang terlalu besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk,
rest area, resort dan lain-lain.12 Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur, yang menyebutkan bahwa jenis Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan
dengan Badan Usaha mencakup:

a. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan,


penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana
perkeretaapian;

b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;

c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;

d. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku,


jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;

e. infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah,


jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang
meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;

f. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan


telekomunikasi dan infrastruktur e-government;

g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk


pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau
distribusi tenaga listrik; dan

12
Ridwan Soleh, Kajian Tentang Kerja Sama Pembiayaan dengan Sistem Build Operate And Transfer
(BOT) di Kabupaten Pekalongan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009, halaman 42.
h. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi
minyak dan gas bumi

Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang


Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, kerjasama pemerintah dengan
badan usaha ini dapat dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama atau izin pengusahaan
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dengan Badan Usaha
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bentuk kerja sama yang ditawarkan antara lain Joint Venture berupa production sharing,
manajemen contract, technical assistance, franchise, joint enterprise, portofolio
investment, build operate and transfer (BOT) atau bangun guna serah dan bentuk kerja
sama lainnya.
Salah satu cara pembiayaan proyek infrastruktur yang sering dilakukan adalah
dengan mengajak pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah
dengan sistem Build Operate and Transfer (BOT) atau Perjanjian Bangun Guna Serah
(BGS). Pembiayaan proyek dengan Perjanjian BOT/BGS ini mencakup studi kelayakan,
pengadaan barang, pembiayaan, sampai dengan pengoperasian.13 Menurut Pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, yang dimaksud dengan Perjanjian Bangun Guna Serah Build Operate and
Transfer) merupakan Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara, pengertian Bangun
Guna Serah, yang selanjutnya disingkat BGS, adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah
oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Jadi, perjanjian BOT/BGS ini
merupakan suatu konsep di mana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya dari

13
Bambang Pujianto, dkk., Analisis Potensi Penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta Dalam Pengembangan
Infrastruktur Transportasi Di Perkotaan, Semarang: Universitas Diponegoro, 2005, halaman 1.
perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN dan
setelah dibangun, dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahapan pengoperasian selesai
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek
kepada pemerintah selaku pemilik proyek. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, sebelum
melaksanakan perjanjian BOT/BGS penyediaan infrastruktur, Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah melakukan identifikasi proyek-proyek Penyediaan Infrastruktur
yang akan dikerjasamakan dengan Badan Usaha, dengan mempertimbangkan paling
kurang: 1) kesesuaian dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional/daerah
dan rencana strategis sektor infrastruktur, 2) kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah, 3) keterkaitan antar sektor infrastruktur dan antar wilayah, 4)
analisa biaya dan manfaat sosial.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara pada BAB VIII
dijelaskan bahwa Build Operate and Transfer/Bangun Guna Serah (BOT/BGS)
digunakan dengan pertimbangan Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara untuk kepentingan pelayanan umum dalam
rangka penyelenggaran tugas dan fungsi, dan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia
dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penyediaan bangunan dan
fasilitas tersebut.
Bangunan dan fasilitasnya yang menjadi bagian hasil dari pelaksanaan BOT/BGS
ini harus dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama Pemerintah
Republik Indonesia, dan biaya persiapan BOT/BGS yang dikeluarkan Pengelola Barang
atau Pengguna Barang sampai dengan penunjukan mitra BOT/BGS dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sedangkan Biaya persiapan BOT/BGS yang
terjadi setelah ditetapkannya mitra BGS dibebankan pada mitra BOT/BGS. Pelaksanaan
BOT/BGS dituangkan dalam perjanjian yang dibuat dalam bentuk Akta Notariil dan
ditandatangani antara Pengelola Barang dengan mitra BOT/BGS. Perjanjian ini harus
memuat:
1) dasar perjanjian,
2) identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian,
3) objek BOT/BGS,
4) hasil BOT/BGS,
5) peruntukan BOT/BGS,
6) jangka waktu BOT/BGS,
7) besaran kontribusi tahunan serta mekanisme pembayarannya,
8) besaran hasil BOT/BGS yang digunakan langsung untuk tugas dan fungsi
Pengelola Barang/Pengguna Barang,
9) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian,
10) ketentuan mengenai berakhirnya BOT/BGS,
11) sanksi
12) penyelesaian perselisihan

Sesuai dengan Pasal 36 PP Nomor 27 Tahun 2014 jo Pasal 111 Permenkeu


Nomor 78/PMK.06.2014, jangka waktu BOT/BGS paling lama 30 (tiga puluh) tahun
terhitung sejak perjanjian ditandatangani dan hanya berlaku untuk 1 (satu) kali perjanjian
dan tidak dapat dilakukan perpanjangan. Selama dalam jangka waktu pengoperasian
BOT/BGS, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari hasil BOT/BGS harus digunakan
langsung oleh Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan,
dan dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian BOT/BGS. Besaran
hasil BOT/BGS yang digunakan langsung tersebut, ditetapkan oleh Pengelola Barang
berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Pengelola
Barang. Selama pelaksanaan BOT/BGS, mitra BOT/BGS dapat melakukan perubahan
dan/atau penambahan hasil BOT/BGS setelah memperoleh persetujuan Pengelola Barang
dan dilakukan addendum perjanjian BOT/BGS.
Dalam Perjanjian BOT/BGS, hal yang diperjanjikan untuk dilaksanakan
dirumuskan dalam isi perjanjian. Kebebasan yang dimiliki oleh para pihak harus
didasarkan pada perbuatan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan undangundang,
kesusilaan dan ketertiban umum, karena hal ini akan mengakibatkan timbulnya keadaan
yang tidak seimbang.31 Sementara yang terkait dengan aspek pelaksanaan perjanjian,
sudah selayaknya suatu kontrak harus dipenuhi oleh para pihak dengan iktikad baik.
Faktor-faktor pelengkap lainnya yaitu kepatutan dan kelayakan. Dalam Perjanjian
BOT/BGS, itikad baik harus diprioritaskan dalam pelaksanaan Perjanjian, dengan
memperhitungkan perubahan keadaan yang berpengaruh terhadap pemenuhan prestasi
yang diperjanjikan. Sebagai perjanjian yang berada dalam ranah hukum publik dan
hukum privat dengan adanya kemanfaatan bagi masyarakat sebagai variabel penting yang
harus diperhatikan kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian maka dalam
perjanjian BOT/BGS prinsip pertanggungjawaban yang lebih cocok untuk diterapkan
adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini tidak
menitikberatkan kesalahan pada salah satu pihak. Pihak manapun yang memenuhi unsur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut, dapat digugat. Jadi
dalam hal ini baik pihak investor maupun pihak pemerintah dapat digugat dengan syarat
ada perbuatan melanggar hukum, ada kerugian dan ada hubungan kausalitas antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian.
Pesatnya perkembangan sektor bisnis menyebabkan kebutuhan akan modal, di
antaranya dana dan tanah, yang semakin besar. Namun, tidak semua pelaku usaha dalam
praktiknya memiliki dana sekaligus hak atas tanah sebagai modal untuk menjalankan atau
mengembangkan usahanya. Kondisi tersebut juga menjadi salah satu faktor yang
mendorong diperlukannya kerja sama investasi dengan pihak lain. Kerja sama tersebut
salah satunya dapat dijalin dalam suatu perjanjian kerja sama dengan skema build,
operate, and transfer/BOT (bangun guna serah). Istilah bangun guna serah tercantum dan
tersebar dalam banyak aturan. Namun, aturan bangun guna serah yang secara spesifik
berkaitan dengan pajak tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.
248/KMK.04/1995 jo. Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No.SE-38/PJ.4/1995. Merujuk
pada Pasal 1 KMK 248/1995, bangun guna serah adalah: “Bentuk perjanjian kerja sama
yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan
bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah selama masa bangun
guna serah berakhir”
Berdasarkan definisi itu dapat diketahui jika terdapat dua pihak yang terlibat
dalam perjanjian bangun guna serah. Pertama, investor, yaitu pihak yang diberikan hak
untuk mendirikan bangunan dan menggunakan atau mengusahakan bangunan tersebut
selama masa perjanjian bangun guna serah. Kedua, pemegang hak atas tanah, yaitu pihak
yang memberikan hak atas tanah kepada investor. Adapun bangunan yang didirikan oleh
investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko
melalui konsep BOT, sebagai suatu perjanjian antara pemilik hak atas tanah dengan
investor, dimana pemilik hak atas tanah menyerahkan studi kelayakan, pembangunan,
pengoperasian kepada investor pada suatu jangka waktu tertentu, dengan ketentuan
apabila masa BOT telah habis, tanah beserta bangunan, serta kelengkapan bangunan
diserahkan kepada pemilik hak atas tanah, sehingga baik pemilik hak atas tanah maupun
pihak investor yang mendanai pembangunan objek BOT memiliki keuntungan.
Build Operate Transfer (BOT) atau Bangun Guna Serah (BGS) Pengaturan
mengenai skema pembangunan Build Operate Transfer (“BOT”) dapat kita lihat pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Milik Daerah (“Permendagri 19/2016”). Skema pembangunan BOT dalam
Permendagri 19/2016 dikenal dengan istilah Bangun Guna Serah (“BGS”). Jangka waktu
BGS/BSG paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Jangka
waktu BGS 30 tahun itu hanya berlaku untuk 1 (satu) kali perjanjian dan tidak dapat
dilakukan perpanjangan. Jadi skema pembangunan BOT diatur dalam Permendagri
19/2016. Skema pembangunan BOT dalam Permendagri 19/2016 dikenal dengan istilah
BGS.
Perjanjian BGS dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Penandatanganan
perjanjian BGS dilakukan setelah mitra BGS menyampaikan bukti setor pembayaran
kontribusi tahunan pertama kepada pemerintah daerah. Bukti setor pembayaran
kontribusi tahunan pertama merupakan salah satu dokumen pada lampiran yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dari perjanjian BGS.
Pihak yang dapat melakukan BGS adalah Pengelola Barang. Pengelola Barang
adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan koordinasi
pengelolaan barang milik daerah. Pihak yang dapat menjadi mitra BGS/BSG meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Swasta kecuali perorangan; dan/atau
d. Badan Hukum lainnya.

Objek BGS/BSG meliputi:


a. Barang milik daerah berupa tanah yang berada pada Pengelola Barang; atau
b. Barang milik daerah berupa tanah yang berada pada Pengguna Barang.

IV. KESIMPULAN

Kerjasama dalam ekonomi syariah secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,
yaitu mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah produk ekonomi syariah dimana
shahibul mal (pemodal) menyerahkan dana hanya kepada pengelola modal (mudharib)
untuk dikelola. kebanyakan pengusaha menjalin relasi atau hubungan dengan pengusaha
lain termasuk kompetitornya yang bertujuan untuk mencari keuntungan bagi kedua belah
pihak. Hal tersebut dikarenakan beberapa pengusaha berfikir bahwa persaingan hanya
akan memberikan dampak negatif.

Beberapa bentuk kerjasama yaitu :


1. Keagenan adalah jasa perantara untuk melakukan transaksi bisnis tertentu yang
menghubungkan pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain, atau yang
menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain.
2. Waralaba atau franchise adalah suatu bisnis yang didasarkan pada perjanjian dua pihak,
yaitu franchisor (pemilik hak) dan franchisee (yang diberi hak) untuk menjalankan bisnis
dari franchisor menurut sistem yang ditentukan oleh franchisor.
3. Kerjasama Joint Venture merupakan sistem patungan yang dilakukan oleh beberapa
orang, yang mana sistem ini menguntungkan dalam segi pembagian resiko. Sistem ini
juga termasuk dalam kegiatan pemodal asing dan sudah diatur pemerintah.
4. Pihak yang terlibat akan membentuk entitas bisnis baru dan masing masing akan
berkontribusi untuk memaksimalkan rencana bisnis yang dibuat.
V. DAFTAR PUSTAKA

A.Y Hernoko, 2010 Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 1.
Arifa’i, Proposal Bisnis, Personal Franchise ( Waralaba Pribadi ) Bentuk Usaha
Alternatif Menjadi Jutawan Dalam Waktu Relatif Singkat, (Surakarta: L4L Press,
2007), hlm. 56.
Bambang Pujianto., dkk., Analisis Potensi Penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta
Dalam Pengembangan Infrastruktur Transportasi di Perkotaan, Semarang:
Universitas Diponegoro, 2005.
Djiwandono, J. Soedradjad., "Perlindungan Hukum Bagi Keagenanan Tunggal di
Indonesia" (Makalah dipresentasikan pada "Seminar Perhimpunan Alumni
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara", Jakarta, 22 Oktober 1988).
Felicia Sheila, “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba (Analisis
Kontrak Bisnis Waralaba Lokal Apotek K-24 Di Semarang”, Tesis, (Semarang,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hlm. 1
J. Ibrahim, L. Sewu, 2003, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung :
Refika Aditama, Hlm 12-13
L. Levi, "Problematika Hukum dalam Jasa Keagenan", Jurnal Hukurn Bisnis, Vol. 13,
April 2001.
Setiawan, dan I Ketut Oka., Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan
Pengaturannya di Indonesia, Bandung: Ind Hill Co., 1996.
SGP. Nainggolan, 2016 “Penggabungan (Marger) Perseroan Terbatas Di Indonesia Dan
Dampaknya Terhadap Pekerja” (Pdf)
Soleh Ridwan, Kajian Tentang Kerja Sama Pembiayaan dengan Sistem Build Operate
And Transfer (Bot) di Kabupaten Pekalongan, Semarang: Universitas
Diponegoro,
Subekti, R., Hukum Perjanjian. Cetakan X, PT. Intermasa, Jakarta, 1985.
Sutedi Adrian. Hukum Waralaba. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. V

Wibsite:
https://jabar.bpk.go.id
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/40532
https://ejournal.gunadarma.acid
https://alhasanah.or.id
https://pt.slideshare.net

Anda mungkin juga menyukai