Kelompok 5
Shelly Novianita (1110081000003)
Anjar Ningtias (1110081000045)
Adini Rahmatia Ningrum (1110081000046)
Suryani (1110081000052)
Gizzyan Deva Navesa (1110081000117)
Ani Fitriawati (1110081000122)
Neni Suryanti (1110081000127)
Atin Fajarwati (1110081000143)
Manajemen 3D (14.55 16.30)
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat dalam rangka memberikan informasi mengenai akad kerjasama
dalam perdagangan (Musyarakah dan Mudharabah) serta kerjasama dalam bidang pertanian
(Muzaraah, Mukhabarah, dan Musaqah) dengan harapan masyarakat dapat lebih memahami
seluk beluk kedua kerjasama tersebut. Dasar penulisan ini pula dilakukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Fiqih Muamalah.
Dalam
koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kami sampaikan :
1. M. Saleh, Lc, selaku dosen mata kuliah Fiqih Muamalah
2. Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini
Akhirnya, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.
Jakarta, 21 November 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A.
Musyarakah................................................................................. 2
B. Mudharabah.................................................................... 10
C. Muzaraah.................................................................................... 20
D. Mukhabarah................................................................................. 28
E.
BAB III
Musaqah....................................................................................... 30
PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 37
B. Saran..................................................................................................... 37
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 38
BAB I
Pendahuluan
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, strategi keuangan bertujuan pemanfaatan
sumberdaya keuangan untuk mendukung bisnis, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Strategi keuangan ini mencakup penghapusan riba, spekulasi (gharar) dan perjudian (maisir)
dalam semua transaksi, peningkatan kekayaan dan pemerataan distribusi pendapatan serta
pencapaian masyarakat yang sejahtera dibawah perlindungan Allah SWT. Prinsip transaksi
bisnis tersebut meliputi prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip kepercayaan, prinsip sewa
dan prinsip kebajikan.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih dalam tentang prinsip bagi hasil (Profit and
Loss Sharing) yang mencakup musyarakah, mudharabah, muzaraah, mukhabarah dan
musaqah. Prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah termasuk dalam kerjasama
dalam perdagangan, sedangkan muzaraah, mukhabarah, dan musaqah termasuk kerjasama
dalam bidang pertanian.
Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep
mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai
berbagai
aktivitas
ekonomi
(Crone,
1987;
Kazarian,
1991;
Cizaka,
1995).
BAB II
Pembahasan
Kerjasama dalam Perdagangan
Musyarakah
A. Definisi Al Musyarakah
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam
hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fiil madhi), yashruku
(fiil mudhari) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu
atau syarikat (kamus al Munawar) Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan
bagian lainnya.
1) Menurut ulama Hanafiyah syirkah adalah perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat
mengenai pokok harta dan keuntungannya.
2) Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah suatu keizinan untuk bertindak secara
hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
3) Menurut Ulama Syafiiyah dan Hanabilah, syirkah adalah hak bertindak hukum bagi
dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise} dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Ijab-kabul (sighah) adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang
bertransakasi.
b.
c.
Objek aqad (mahal) yang disebut juga maqud alaihi, yang mencakup modal atau
pekerjaan
d.
ii.
2) Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi yaitu :
i.
Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat
pembayaran (nuqud).
ii.
Syirkah Ikhtiariyah
Persekutuan atau kerjasama terjadi atas perbuatan dan kehendak pihak - pihak
yang berserikat.
b.
Syirkah Ijbariyah
Persekutuan yang terjadi tanpa adanya perbuatan dan kehendak pihak yang
berserikat (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan yang
berserikat).
Syirkah Al Inan
Syirkah al-Inan adalah kontrak antara dua orang atau Iebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang
disepakati di antara mereka, Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik
dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik
sesuai kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis almusyarakah ini.
b.
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang alau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Dengan demikian, syarat utama adalah kesamaan dana yang diberikan,
kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing
pihak.
c.
Syirkah Amaal
Syirkah Amaal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan
itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek,
atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam
sebuah kantor.
d.
Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang
secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada
penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-masyarakah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan
tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah
piutang. Keuntungan dibagi berdasararkan keputusan nisbah masing-masing
pihak. Sedangkan kerugian, hanya pemilik modal saja yang menanggung
kerugian financial yang terjadi. Pihak yang menyumbangkan reputasi/nama
baik, tidak perlu menanggung kerugian financial, karena tidak mnyumbangkan
modal financial apapun. Namun demikian, pada dasarnya ia tetap menanggung
kerugian pula., yakni jatuhnya reputasi/nama baik.
e.
Syirkah Al Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lain menjadi pengelola. Tetapi ada sebagian ulama menganggap AlMudharabah tidak termasuk kepada jenis Al-Musyarakah.
f. Salah satu pihak menarik diri dari perserikatan, krena menurut pakar fiqh, akad
perserikatan itu tidak bersikatmengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan.
g. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
h.
Salah satu pihak yang berserikat menjadi tidak cakap hukum (seperti gila yang sulit
disembuhkan).
i. Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang
berperang dengan negeri muslim; karena orang seperti ini dianggap telah wafat.
(tranding
kepemilikan
aset),
(property),
kewiraswastaan
peralatan
(entrepreneurship),
(equipment)
atau intangible
kepandaian
asset(seperti
(skill),
hak
skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp. 100.000.000,dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp. 20.000.000,- dan nisbah atau
porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50:50 (50% untuk nasabah dan 50% untuk bank),
pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp. 50.000.000,- (dana
pinjaman dari bank) ditambah Rp. 10.000.000,- (50% keuntungan untuk bank).
Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
semakin kecil. Pada akhirnya, nasabah akan memiliki 100% saham dan bank tidak lagi
memiliki saham atas rumah tersebut.
Mudharabah
A. Definisi Al Mudharabah
1) Menurut ulama Hanafiyah, mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam
keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerjaan (usaha) dari
pihak yang lain.
2) Menurut ulama Malikiyah, mudharabah adalah akad perwakilan, di mana pemilik
harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan
pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
3) Menurut ulama Syafiiyah, mudharabah adalah suatu akad yang membuat penyerahan
modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara
mereka berdua.
4) Menurut ulama Hambali, mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan
jelas jumlahbya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian
tertentu dari ketentuanya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Al-Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua
pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan
dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari
Tuhanmu. (Al-Baqarah : 198).
Al-hadits:
Dari shalih bin shuhaib r.a. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw.
bersabda, Tiga hal padanya terdapat berkah: jual beli dengan pembayaran kemudian,
muqaradah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jelai untuk kepentingan rumah
tangga, bukan untuk jual-beli.
Ijma:
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi
pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan
seperti hadits yang dikutip Abu Ubaid.
Adanya pihak yang berakad, yaitu pemilik modal (shahibul maal) dan
pengelola dana (mudharib)
b.
Adanya objek yang diakadkan mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
c.
Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, yaitu orang tersebut harus
cakap hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi
orang yang akan mengelola modal yaitu wakil dari pemilik modal. Itulah
sebabnya, syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam
akad mudharabah.
b.
Berebentuk Uang
Jelas Jumlahnya
Tunai
Diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal.
Oleh sebab itu, jika modal itu berebentuk barang, menurut para mayoritas ulama
tidak dibolehkan, karena sulit untuk menetukan keuntungannya yang cenderung
menimbulkan gharar.
c.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas
persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
d.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk
berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada
waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak karena persyaratan yang
mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah yaitu keuntungan.
Yang terkait dengan ijab dan qobul, harus diucapkan ioleh kedua pihak guna
menunjukkan kemauan mereka untuk meyempurnakan kontrak. Sighat harus
sesuai dengan hal-hal berikut :
Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang
diajukan dalam penawaran atau salah satu pihak meninggalkan tempat
berlangsungnya negosiasi tersebut, sebelum kontrak disempurnakan.
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat
mudharabah tidak dipenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan
sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya
sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas
berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk
pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pemilik
modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan
tidak bertanggung jawab sesuatu apa pun, kecuali atas kelalaiannya.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau
pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam
keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena
dialah penyebab kerugian.
3. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik
modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.
Tabungan berjangka
Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus
seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.Sistem
atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum
Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua
bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal
(pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada
kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal
(dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6
bulan, dan 12 bulan. Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan
biasanya dana akan cair saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada
tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan
pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke
produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:
Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut
dalam akad.
b.
Melakukan
pembiayaan
pada
usaha-usaha
yang
dapat
diprediksi
pendapatannya seperti:
mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk
memenuhi kebutuhan karyawannya.
mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer.
c.
Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank
hanya terlibat dalam pembiayaan
Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.
b.
c.
Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila
pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta
menggarap, maka akad al-muzaraah ini dianggap tidak sah.
d.
e.
f.
Obyek akad (mahalul aqdi), disyaratkan juga harus jelas, baik berupa
pemanfaatan jasa penggarap di mana benih berasal dari penggarap atau
pemanfaatan tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah.
g.
D. Bentuk Muzaraah
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau
dari sudut sah tidaknya akad al-muzaraaah, maka ada empat bentuk muzaraaah yaitu:
1.
Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani, sehingga
yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad al- muzaraaah dianggap sah;
2.
Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit,
alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzaraaah adalah manfaat tanah, maka
akad al-muzaraaah dianggap sah.
3.
Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang
menjadi obyek al-muzaraah adalah jasa petani, maka akad al-muzaraaah juga sah;
4.
Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani, maka
akad ini tidak sah. Karena menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan, menentukan
alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak
boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan
manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan, sedangkan manfaat alat
adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian bagi mereka harus mengikuti
petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.
Bentuk Muzaraah yang Terlarang
Muzaraah dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik lahan dengan
tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60% dari nilai total hasil panen, sedangkan pemilik
lahan mendapat 40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan dan telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan para shahabat hingga generasi berikutnya.
Adapun bentuk muzaraah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak
adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa
dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani
berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzaraah yang halal di atas adalah pada cara pembagian
hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi
hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal lahan
sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk
menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan
apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada
masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari
lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di
lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa
hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai
dengan perjanjian prosentase.
Bentuk muzaraah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan persyaratan kepada
orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil
tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang
mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi misalnya.
Rasulullah SAW menetapkan keadilan dalam masalah ini, yaitu kedua belah pihak
bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak
mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan lebih dari
yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil
semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu
tanah yang ditentukan itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia
samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil
tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka
kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan
mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka keduaduanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi bin Khadij, ia berkata: Kami kebanyakan pemilik tanah di
Madinah melakukan muzaraah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya
ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu
musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa
suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang.
Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang
berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang
itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orang-orang tidak melakukan
penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya.
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat, Apa yang kamu perbuat terhadap tanamtanamanmu itu? Mereka menjawab: Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari
korma dan gandum. Maka jawab Nabi, Jangan kamu berbuat demikian.
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari
hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya, untuk
ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya. Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat
berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta
menjauhkan semua hal yang menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan
masyarakat Islam.
b.
c.
Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah, jika dari penggarap namanya
mukhabarah dan ini dilarang, sesuai hadits dari Jabir berkata, Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Salam melarang mukhabarah. (HR Ahmad dengan sanad
shahih).
d.
Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat
sisanya sesuai kesepakatan berdua, maka akadnya batal.
e.
Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzaraah. Rafi
bin Khadij berkata, Adapun emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya.
f.
g.
Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual
beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. Hadits yang dibawakan
Imam Ahmad ditafsirkan kepada muzaraah, bukan sewa tanah.
F. Berakhirnya Muzaraah
Bank
(pemilik lahan)
Kontrak kesepakatan
bagi hasil
Petani penggarap
(nasabah)
Penggarapan
Hasil
lahan
Panen
Konsep bagi hasil sebenarnya bukan transaksi baru dalam masyarakat Indonesia.
Tradisi ini telah lama dikenal dalam berbagai kegiatan ekonomi. Pada sektor pertanian
dikenal sistem maro, mertelu, marapat, paroan. Sistem bagi hasil pertanian, terutama untuk
tanaman padi berlangsung antara penggarap dan pemilik modal lahan dengan proporsi bagi
hasil yang relatif beragam. Skema kerja sama ini dalam fikih dikenal dengan istilah
muzaraah, musaqah dan mukhabarah. Pada sektor kelautan juga praktek bagi hasil telah
lama dipraktekkan antara nelayan dan pemilik boat/ perahu. Sistem ini tampaknya lebih
cocok, karena hasil ikan yang akan diperoleh para nelayan tidak dapat diperkirakan, sehingga
sistem bagi hasil ini lebih adil.
Dengan demikian, pola pembiayaan syariah mempunyai karakteristik yang lebih
cocok dengan komoditi yang dibudidayakan oleh petani. Hal ini disebabkan :
1) Di bank Islam tidak dikenal adanya perhitungan bunga, tetapi menggunakan
prinsip bagi hasil dan pengambilan keuntungan secara jual beli.
2) Dalam prinsip bagi hasil, besarnya pembagian porsi keuntungan antara
pemilik dana (Bank) dan pengelola usaha (Petani) diserahkan kepada kedua
belah pihak tersebut disesuaikan dengan masa panen.
3) Dengan demikian, pada usaha pertanian yang kecil pendapatannya, nisbah
yang disepakati akan tidak sama dengan usaha yang lebih besar
pendapatannya, mengingat setiap komoditi usaha pertanian memiliki tingkat
pendapatan yg berbeda, dan masa panen (menghasilkan) yg berbeda pula.
4) Petani tidak dibebani dangan bunga pinjaman, melainkan pengembaliannya
secara otomatis disesuaikan dgn masa panen.
Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
b.
c.
d.
petani penggarap.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Tertanggulanginya kemiskinan.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan
bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
Mukhabarah
A. Definisi Mukhabarah
Mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Perbedaan antara muzaraah
dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Jika muzaraah benih tanaman berasal
dari pemilik tanah, maka dalam mukhabarah benih tanaman berasal dari penggarap. Pada
umumnya kerjasama mukhabarah ini dilakukan pada tanaman yang benihnya cukup mahal,
seperti cengkeh, pala, vanili, dan lain-lain. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman
yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama mukhabarah.
. .
Rafi bin Khadij berkata diantara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami, dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak
berhasil, oleh karena itu Rasulullah Saw melarang paroan dengan cara demikian. (Riwayat
Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi,
Ibnu Munzir, dan Khattabi mereka mengambil hadis Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)
(Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian
tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian
dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari
tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah
yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian
bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang
dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari
adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang
sesuai dengan pendapat yang kedua ini.
e.
Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
petani penggarap.
b.
c.
d.
Musaqah
A. Definisi Musaqah
Secara etimologi kalimat musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang
bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya
mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus.
Secara terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
1) Abdurahman al-Jaziri,al-musaqah ialah : aqad untuk pemeliharaan pohon
kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu.
2) Malikiyah, al-musaqah ialah : sesuatu yang tumbuh. Menurut Malikiyah,
tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
a.
b.
c.
d.
Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di
petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
e.
b.
5) Menurut Syaikh Shihab al-Din al-Qolyubi dan Syaikh Umairah, bahwa almusaqah ialah
menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan allah dari pohon
untuk mereka berdua.
6) Menurut Hasbi ash-Shiddiqie yang di maksud dengan al-musaqah :
Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan
Setelah diketahui semua definisi dari ahli fiqih, maka secara esensial al-musaqah itu
adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dengan penggarap dengan tujuan agar kebun
itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan
di bagi menjadi dua sesuai dengan aqad yang telah disepakati.
Menurut kebanyakan ulama, hukum dari musaqah ini adalah boleh atau mubah. Dasar
hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk Khaibar yang disebutkan
sebelumnya, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan
sebagian ulama yang memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak
boleh karena upah itu tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah
pasti sesuai dengan perjanjian.
1)
2)
3)
4)
5)
Adapun syarat syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang
b.
c.
d.
e.
sebagainya.
Lamanya perjanjian itu harus jelas.
Hanafiyah, semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqahkan, seperti
tebu.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang
berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk
pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut Imam Malik, musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akaar
kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan
juga untuk pohon-pohon yang berakar kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak
lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut Mazhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya
dapat dimakan. Dalam kitab Al-Mughni, Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk
pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.
Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad
tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan
oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil,
sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
Menurut Ulama Malikiyah pada umunya menyepakati hukum-hukum yang ditetapkan ulam
Hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan:
Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh
disyaratkan
Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi
oleh penggarap
Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap,
seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain
Menurut Ulama Syafiiyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi
pekerjaan penggarap di atas, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap
tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban
pemilik tanah.
b.
ditetapkan syara. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut
ulama Hanafiyah, antara lain:
Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.
G. Hikmah Musaqah
1. Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala
kekurangan dan kebutuhan.
2. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan
tumbuh subur karena dirawat.
bahwa
ada
perbedaan
kerjasama dalam menuaikan benih maka ia tidak boleh dipaksa. Menurut jumhur
ulama, akad al-musaqah itu bersifat mengikat kedua belah pihak. Beda dengan almuzaraah yang sifatnya baru mengikat jika benih sudah disemaikan, apabila benih belum
disemaikan, maka pemilik boleh saja untuk membatalkan perjanjian itu. Berbeda dengan
pendapat Hanabilah yang
mengatakan
bahwa
merupakan akad yang tidak mengikat kedua belah pihak, oleh karena itu boleh saja salah satu
pihak yang melakukan akad membatalkan;
2. Menurut Hanafiyah penentuan waktu dalam al-musaqah itu bukanlah salah satu syarat,
penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Sedangkan dalam akadal-muzaraah itu dalam penentuan waktu, ada dua pendapat.
Menurut Hanafi; pertama disyaratkannya tenggang waktu, dan kedua tidak disyaratkan;
3. Apabila tenggang waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah berakhir, akad dapat terus
dilanjutkan tanpa ada imbalan terhadap petani penggarap. Sedangkan dalam akad almuzaraah bila tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga berbuah (dipanen), maka
petani penggarap melanjutka pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah dari hasil
bumi yang akan dipetik.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Umat muslim, khususnya yang berada di Indonesia alangkah baiknya dapat
mengaplikasikan berbagai kerjasama yang telah dicontohkan pada zaman Nabi Muhammad
SAW, baik dalam bidang perdagangan (Musyarakah dan Mudharabah) maupun dalam bidang
pertanian (Muzaraah, Mukhabarah, dan Musaqah). Terlebih Indonesia dikenal sebagai
negara agraris sehingga diharapkan melaksanakan minimal kerjasama dalam pertanian.
Daftar Pustaka
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Shahih Sunan NasaI, Jilid 3. Jakarta: Pustaka
Azzam.
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.