Anda di halaman 1dari 18

FIQIH JINAYAH

PENGANTAR FIQIH JINAYAH


Dosen Pengampu: Seva Maya Sari M.HI

OLEH :

KELOMPOK 1

MUHAMMAD ROMADHAN NST (0204212097)

MUTYA FRADILLA BUDIMAN (0204212081)

RIKI ALAMSYAH HASIBUAN (0204212086)

RISKA NURAJIJAH PANE (0204212111)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia
Rahmat dan kasih sayangnya kepada kami semua sehingga dengan limpahan karunia yang telah
Allah berikan kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih Jinayah dengan judul PENGANTAR
FIQIH JINAYAH .

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik
dari segi penyusunan, bahasa, Maupun penulisannya. Oleh karna itu kami mengharap agar para
pembaca dapat memaklumi hal tersebut dan juga agar dapat memberikan saran guna menjadi acuan
bagi kami agar lebih baik kedepan nya dalam membuat sebuah makalah.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasa pengetahuan para pembaca dan bermanfaat
dalam proses pendidikan kita saat ini dan yang akan mendatang.

Medan, 10 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................................. 1


A. Latar belakang masalah ............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ......................................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................................... 2


1. Pengertian Hukum Pidana Islam ................................................................................... 2
2. Objek pembahasan fiqh jinayah .................................................................................. 3
3. Unsur unsur dalam jinayah .......................................................................................... 3
4. Sumber-sumber hukum fiqh jinayah ............................................................................. 4
5. Tujuan Hukum Pidana Islam………………………………………………………….9

BAB III: PENUTUP ...................................................................................................... 11


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 11
B. Saran .......................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 12

Ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah
segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukalaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari
Al-Qur’an dan Hadits. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang
mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang
mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at
Islam dimaksud secara material mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk
melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang
segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang Islam lainnya.

Salah satu tebing terjal yang masih harus didaki oleh cendekiawan Islam adalah masalah
penerapan hukum pidana yang sesuai dengan Syariat Islam. Di dunia Islam Sendiri hanya
segelintir negara yang menerapkan hukum Pidana Islam. Sedangkan lainnya masih menerapkan
hukum peninggalan penjajah. Hal terbesar yang perlu dirubah adalah stereotip negatif terhadap
Hukum Pidana Islam sendiri. Banyak orang yang menganggap hukum Pidana Islam tidak sesuai
lagi dengan era ini. Hukum ini terlalu kejam. Kita tidak tahu apakah anggapan ini muncul dari
orang yang berpendidikan pernah mempelajari aspek-aspek dalam Hukum Pidana Islam) atau
tidak.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Hukum Pidana Islam?

2. Apa saja Objek Pembahasan Fiqih Jinayah?

3. Apa saja Sumber-Sumber Fiqih Jinayah?

4. Mengetahui apa saja tujuan mempelajari hukum pidana islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam adalah terminologi yang dipergunakan dalam Islam untuk menyebut
Jinayah. Istilah hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hakama, yahkumu, hukmun,
artinya mencegah atau menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kedzhaliman,
mencegah penganiayaan dan menolak bentuk kemafsadatan.

Pengertian hukum pada dasarnya adalah apa-apa yang difirmankan Allah Ta’ala yang
berhubungan dengan perbuatan orang yang dibebani hukum (mukallaf) dan dituntut
pelaksanaannya. Itulah yang dinamai dengan syari’at atau jalan yang harus ditempuh.

Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti
suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku
kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk singular bagi satuan laki-laki
atau bentuk mufrad mudzakkar sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku
kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya dia (wanita) yang telah berbuat dosa. Orang yang
menjadi sasaran atau objek perbuatan jaani atau jaaniah. Jinayah menurut bahasa merupakan nama
bagi suatu perbuatan jelek seseorang.

Fikih Jinayah adalah ilmu tentang hokum syara' yang berkaitan dengan masalah perbuatan
yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang detil.
Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengetian "Fikih" dan "Jinayah". Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua,
yaitu jarimah atau tindak pidana dan uquah atau hukumannya

2
2. Objek Pembahasan Fiqih Jinayah

Objek pembahan fikih Jinayah secara garis besar adalah Jarimah (delik, tindak pidana) dan
Uqubah (hukumannya). Pengertian Jarimah Menurut bahasa, Jarimah berasal dari kata jarimah
yang sinonimnya kasaba waqotho'i artinya: berusaha dan memotong. Hanya saja pengertian usaha
disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia. (Zahrah, tt.)

Menurut istilah, Imam Al Mawardi mengemukakan sebagai berikut:

“ Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara', yang di ancam dengan hukuman
Had atau ta'dzir”. (Almawardi, 1973)

Sedangkan kata uqubah barasal dari kata aqabah yang menujukkan adanya perbuatan yang
mendahului uqubah yaitu jinayah pengertian hukuman menurut ulama ulama Fiqh adalah sebagai
berikut:

"Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan Syara'sebagai kosukuensi dari pelanggaran


terhadap larangan dan pengabaian terhadap perintah".

Pengertian ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu

"Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena


adanya pelanggaran atas ketentuan ketentuan syara' "(Audah, tt).1

3. Unsur-Unsur dalam Jinayah

Di dalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika terpenuhi semua
unsur-unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Unsur-unsur umum tersebut ialah :
1. Rukun syar‟ (yang berdasarkan Syara‟) atau disebut juga unsur formal, yaitu adanya nas Syara‟
yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan akan dikenai hukuman. Nas Syara‟
ini menempati posisi yang sangat penting sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana Islam,

1 Islamul Haq, Fiqh Jinayah, ( Sulawesi Selatan: IAIN Prepare Nusantara Pres 2020), h. 8-9.

3
sehingga dikenal suatu prinsip la hukma li af‟al al-uqala‟ qal wurud an-nass (tidak ada hukum
bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nas).

2. Rukun maddi atau disebut juga unsure material, yaitu adanya perbuatan pidana yang dilakukan.

3. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta
pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang terpaksa, tidak dapat
dihukum.2

Itulah objek utama kajian fiqh jinayah jika dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkân
al-jarîmah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan materi pembahasan, di mana hal ini erat
hubungannya dengan unsur materiil atau al-rukn al-mâdî, maka objek utama kajian fiqh jinayah
meliputi tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Jarimah qishash yang terdiri atas:


a. Jarimah pembunuhan.
b. Jarimah penganiayaan.

2. Jarimah hudud yang terdiri atas:


a. Jarimah zina.
b. Jarimah qadzf (menuduh muslimah baik-baik berbuat zina).
c. Jarimah syurb al-khamr (meminum minuman keras).
d. Jarimah al-baghyu (pemberontakan).
e. Jarimah al-riddah (murtad).
f. Jarimah al-sariqah (pencurian).
g. Jarimah al-hirâbah (perampokan)

3. Jarimah ta’zir, yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh Alquran atau
hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk
jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat
godaan setan dalam diri manusia. 3

4. Sumber Sumber Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam.jumurul fuqaha’ sudah sepakat
sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4, yakni al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan

2 Marsaid, Al-fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Memahami Tindak Pidana Dalam Hukum Islam, (Palembang: Rafah Press , 2020), h. 57

3 Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Amzah, 2013) , h. 3-4.

4
hukum tersebut wajib diikuti.apabila tidak terdapat hukum suatu peritiwa dalam Al-Qur’an baru
di cari dalam hadist dan seterusnya prosesnya seperti itu dalam mencari hukum.adapun masih ada
beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisikan tentang mengikat dan tidak nya,
seperti: Ikhtisan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz zari’ah, maka hukum pidana Islam pun
bersumber dari sumber-sumber tersebut.

Tetapi pada umumnya bagi hukum pidana Islam formil, maka kesemua sumber diatas bisa
dipakai, sedangkan untuk hukum Pidana Islam materiil, hanya 4 sumber sudah disepakati,
sedangkan Qiyas masih diperselisihkan. Dan di sini akan dibahas 4 sumber yang telah
disepakati.[3]
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat
kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan
hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Sebagian besar umat islam
sepakat menetapkan sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an, As-sunnah dan ijtihad
kesepakatan itu tidak semata-mata didasarkan kemauan bersama tapi kepada dasar-
dasar normatif yang berasal dari Al-Qur’an dan al-sunnah sendiri, seperti yang
disebutkan dalam al-Qur’an. Surat An-Nisa’: 105

ِ ‫ّللاُ َوال تَ ُك ْن ِل ْلخَائِنِينَ خ‬


)١٠٥( ‫َصي ًما‬ َ َ‫اس بِ َما أَ َراك‬ ِ ‫اب بِ ْال َح‬
ِ َ‫ق ِلتَحْ ُك َم بَيْنَ الن‬ َ َ‫إنَا أَ ْنزَ ْلنَا إِلَيْكَ ْال ِكت‬

Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

Terdapat argumentasi yang kuat bahwa keseluruhan al-Qur’an (ayat al-Qur’an)


adalah mutasyabih, dan al-Qur’an adalah nyata (haq) sebagaimana yang dijelaskan
dalam surat: Q.S. Yunus: 36

)٣٦( َ‫ع ِليم ِب َما يَ ْف َعلُون‬ َ ‫ش ْيئًا ِإ َن‬


َ َ‫ّللا‬ ِ ‫الظ َن ال يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ ‫ق‬ َ ‫ظنًّا ِإ َن‬
َ ‫َو َما يَت َ ِب ُع أَ ْكثَ ُر ُه ْم ِإال‬

Artinya : Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Yunus: 37)

ِ ‫ْب فِي ِه ِم ْن َر‬


‫ب‬ ِ ‫صي َل ْال ِكتَا‬
َ ‫ب ال َري‬ ِ ‫صدِيقَ الَذِي بَيْنَ يَدَ ْي ِه َوتَ ْف‬
ْ َ‫ّللا َولَ ِك ْن ت‬ ِ ‫َو َما َكانَ َهذَا ْالقُ ْرآنُ أَ ْن يُ ْفت ََرى ِم ْن د‬
ِ َ ‫ُون‬
)٣٧( َ‫ْالعَالَ ِمين‬
5
Artinya : tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al
Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-
hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari
Tuhan semesta alam.

Adapun sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an:

a. Q.S. Al-Isra’: 32

)٣٢( ‫س ِبيال‬ َ ‫شةً َو‬


َ ‫سا َء‬ َ ‫اح‬ ِ ‫َوال تَ ْق َربُوا‬
ِ َ‫الزنَا ِإنَهُ َكانَ ف‬

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu


adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

b. Q.S. An-Nur: 4

ً ‫ش َهادَة‬ ُ ‫ت ث ُ َم لَ ْم يَأْتُوا ِبأ َ ْربَ َع ِة‬


َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ثَ َمانِينَ َج ْلدَة ً َوال تَ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ ْ‫َوالَذِينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
)٤( َ‫أَبَدًا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik


(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik”.[4]
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf (menuduh berzina)
.
c. Q.S. Al-Baqarah: 219

‫اس َو ِإثْ ُم ُه َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ َ‫ع ِن ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما ِإثْم َك ِبير َو َمنَافِ ُع ِللن‬
َ َ‫يَ ْسأَلُونَك‬
)٢١٩( َ‫ت لَ َعلَ ُك ْم تَتَفَ َك ُرون‬ َ ُ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َماذَا يُ ْن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو َكذَلِكَ يُبَ ِين‬
ِ ‫ّللاُ لَ ُك ُم اآليَا‬

Artinya : “Mereka bertanya kepadaMu tentang khamar dan judi.


Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya
kepadaMu apa yang mereka nafkah kan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadaMu supaya kamu berfikir.”

2. Al-Sunnah / Hadits.
Al-sunnah / Hadits merupakan sumber hukum ajaran islam yang ke 2, karena
hal-hal yang di ungkapkan dalam Al-Qur’an bersifat umum atau memerlukan

6
penjelasan, maka Nabi Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadits. Adapun yang
dimaksud dengan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi. Selain al-
Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai
dasar penetapan hukum syarak. Fungsi dari As-sunnah sendiri adalah untuk
menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya
menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadits berfungsi untuk
menjelaskan. Adapun contoh-contoh Hadist dalam pidana Islam sebagai berikut:

Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw :

‫أن شريكَ بنَ سحما َء‬ ِ ‫ َأو ُل لعان كانَ فِي‬:‫ع ْنهُ قال‬
َ ‫اإلسالَ ِم‬ َ َ‫ي للا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ملك َر‬
ِ ‫وعن أنس بن‬
‫قذَفَهُ هال ُل بْنُ أميةً بأمرت ِه‬, َ‫هرك‬
ِ ‫ظ‬َ ‫ اْلبَيَنَةَ وإالَ فحدَ فِي‬:‫سلَ َم‬
َ ‫علَي ِه َو‬َ َ‫صلَي للا‬
َ ِ ‫فقا َ َل النَ ِبي‬
)‫(أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات‬

Artinya : “Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an pertama yang
terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin
Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah
saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”

3. Ijma’
Menurut bahasa Ijma’ mempunyai 2 arti yaitu :

a. Kesepakatan, seperti; perkataan: “Jama al qaumu ‘alaa kadzaa idzaa


itafaquudlaini”. Yang artinya suatu kaum telah berijma’ begini, jika
mereka sudah sepakat kepadanya. Kebulatan Tekad atau niat, Firman
Allah Q.S yunus 71

َ ‫ت‬
ِ‫ّللا‬ ِ ‫يري بِآيَا‬ ِ ‫امي َوتَ ْذ ِك‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم نَبَأ َ نُوح إِ ْذ َقا َل ِل َق ْو ِم ِه يَا َق ْو ِم إِ ْن َكانَ َكب َُر‬
ِ َ‫علَ ْي ُك ْم َمق‬ َ ‫َواتْ ُل‬
‫ي‬َ َ‫ضوا إِل‬ُ ‫غ َمةً ث ُ َم ا ْق‬ ُ ‫علَ ْي ُك ْم‬ ُ ‫ّللا ت ََو َك ْلتُ فَأَجْ ِمعُوا أَ ْم َر ُك ْم َو‬
َ ‫ش َركَا َء ُك ْم ث ُ َم ال يَ ُك ْن أَ ْم ُر ُك ْم‬ ِ َ ‫فَعَلَى‬
)٧١( ‫ون‬ ِ ‫َوال ت ُ ْن ِظ ُر‬
Artinya : “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh
di waktu Dia berkata kepada kaumnya: Hai kaumku, jika terasa berat bagimu
tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah,
Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian
janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan
janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”

7
b. Menurut Syara’: Kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin di
sesuaikan masa setelah wafat Nabi saw, tentang suatu hukum syara’ yang
amali. Adapun syarat-syarat terwujudnya Ijma’ (menurut jumhur ulama):

• Persepakatan para mujtahid, kesepakatan bukan mujtahid (orang awam)


tidak diakui sebagai ijma’.

• Bahwa para mujtahid harus sepakat, tidak seorang pun berpendapat lain.

Karena itu tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan:


1) Suara terbanyak.
2) Kesepakatan tidak diakui ijma’ dengan kesepakatan golongan salaf.
3) Kesepakatan ulama’ salaf kota Madinah saja.
4) Kesepakatan Ahli Bait nabi saja.
5) Kesepakatan khulafaurrasyidin saja.

Kesepakatan 2 orang Syekh: Abu Bakar dan Umar, karena adanya


pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’iy
(diyakini) keabsahannya dan kebenarannya. Bahwa kesepakatan itu; diantara
mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan
dibahas. Kesepakatan mujtahid itu terjadi setelah Nabi wafat. Bahwa
kesepakatan itu harus masing-masing mujtahid memulai penyampaian
pendapatnya dengan jelas pada suatu waktu. Bahwa kesepakatan itu dalam
pendapat yang bulat yang sempurna dalam pleno lengkap.

4. Qiyas.
Qiyas adalah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya
dengan hukuman peristiwa yang sudah ada ketentuannya, karena antara kedua
peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan. Para fuqaha’ memperselisihkan
kebolehan memakai Qiyas untuk semua hukum-hukum syara’ ada yang
memperbolehkannya dengan alasan, bahwa semua hukum-hukum syara’ masih
termasuk dalam satu jenis juga, yaitu hukum syara’.[7]
Dan apabila salah satunya di tetapkan dengan Qiyas, maka terhadap yang lain
juga bisa ditetapkan dengan Qiyas. Menurut fuqaha’ lainnya Qiyas tidak bisa di pakai
untuk semua hukum-hukum syara’, sebab meskipun termasuk dalam satu jenis
namun sebenarnya terdapat perbedaan satu sama lain. Apa yang terdapat pada
sebagaiannya bukan berarti boleh di terapkan pada lainnya sebab, boleh jadi masing-
masing mempunyai ciri khas tersendiri.

8
5. Tujuan Hukum Pidana Islam

Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari’at Islam adalah untuk:

• Pencegahan (al radd wa al jazr)


• Perbaikan (al ‘ishlah)
• Pendidikan (al ta’dib)

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman dalam syari’at Islam
adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga mereka dari kerusakan, mengeluarkan
mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat
maksiat dan mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta’at. Syariat Islam sama
pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak pidana dan
hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif
keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta
menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara
keduanya, yaitu: Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat memperhatikan
pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya setiap perbuatan yang
bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman.

Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan. Menurut hukum pidana positif ada beberapa
perbuatan yang meskipun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap
sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi
perseorangan atau ketentraman masyarakat.

Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana Islam bersumber
dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak
pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud
dan qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan kepada penguasa
(ulil ‘amri) yaitu jarimah ta’zir.

Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku kejahatan. Hukum pidana
Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat yang begitu ketat sehingga tidak akan

9
memungkinkan permainan peradilan. Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus
pembunuhan dan penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau
memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak anak kehilangan
suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat dengan asumsi diyat itu dapat
menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan
korban (keluarga korban) untuk diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana
positif hanya fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan penderitaan
korban atau keluarga korban. Hukum pidana Islam telah memiliki landasan yang kuat dan tidak
dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya
untuk mengubah aturan, menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak
hukum yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui dengan
mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang bagi penegak hukum untuk
berbuat sewenang-wenang. Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum
tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak lengkap dan tidak
sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna dan terbatas kemampuannya. Itulah
sebabnya undang-undang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, hukum Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau
diganti.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fikih Jinayah adalah ilmu tentang hokum syara' yang berkaitan dengan masalah
perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil
yang detil.Hukum pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam, jadi sumber-sumber
hukumnya di ambil dari al-Qur’an, as-Sunnah/al-Hadits, Ijma’ da Qiyas. Tapi dalam
hukum material Qias masih di perselisihan, bahkan ada satu pendapat bahwa Qias tidak di
masukkan dalam sumber-sumber hukum Islam.

Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan
beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Diantaranya
kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah,
dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk
lainnya.

Al-Sunnah atau al-Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari nabi saw selain al-
Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir. Yang mana al-sunnah merupakan
dalil penguat dari Al-qur’an apabila dalam Al-qur’an tidak ditemukan dalilnya.

Ijma’ merupakan kesepakatan atau kebulatan para Mujtahid Islam dalam suatu masa.
Setelah wafatnya nabi saw tentang suatu hukum syara’ yang amali. Qiyas juga sebagai
sumber pidana Islam. Yang mana secara pengertian Qiyas adalah mempersamakan hukum
peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan hukuman peristiwa yang sudah ada
ketentuannya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan.

B. Saran
Saran dari penulisan makalah ini semoga makalah ini berguna bagi pembaca
terkhusus untuk penulis sendiri. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan guna perbaikan makalah di masa yang akan datang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Audah, Abdul Qadir. 2007. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jakarta: Kharisma Ilmu

Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet-5. Jakarta: Bulan Bintang

Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fiqih kinayah. Jakarta:
Sinar Grafika

Zainuddin, Ali. 2009. Hukum pidana islam, Jakarta: PT.Sinar Grafika

Nur, Muhammad. 2020. Pengantar Dan Asas- Asas Hukum Pidana Islam. Banda Aceh :
Yayasan Pena Aceh.

Irfan, Nurul dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah.

Haq, Islamul. 2020 . Fiqh Jinayah. Sulawesi Selatan: IAIN Prepare Nusantara Pres.

Marsaid. 2020. Al-fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)Memahami Tindak Pidana Dalam
Hukum Islam. Palembang: Rafah Press.

12

Anda mungkin juga menyukai