Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PIDANA : JINAYAT, HUDUD DAN HIKMAHNYA, TA’ZIR

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok

Pada Mata Kuliah

“Fikih”

Dosen Pengampu :

KHOIRUL IBAD, S.Q., M.AG

Disusun oleh Kelompok 11 :

- FUZI SITI PAUZIAH_22245731

- SITI NURFAUZIAH ARSY_22245724

- PITRIYANI_22245736

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL ITTIHAD CIANJUR

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufiq, maghfiroh serta hidayah-Nya, sehingga pada akhirnya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Pidana : Jinayat, Hudud dan Hikmahnya,
Ta’zir” dapat diselesaikan.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah
membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu
keIslaman, sehingga dapat menjadi bekal petunjuk bagi hidup dan kehidupan kita di dunia
yang selanjutnya di akhirat.

Suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagi penulis atas terselesaikannya penulisan buku
ini. Yang mana dalam buku ini akan memudahkan pembaca memahami persoalan jinayah
(hukum pidana Islam) disajikan juga kajian tentang problem kekinian yang menyangkut
dengan jinayah. Walaupun demikian, penulis menyadari buku ini jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran untuk kesempurnaan buku ini.

Sebagai penutup, penulis berharap buku ini dapat memberikan manfaat yang besar
bagi pembaca, khususnya bagi akademisi ataupun semua insan dalam rangka menambah
keilmuan dan mewujudkan cita-cita mulia untuk membentuk Negara yang menegakkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Cipatat, … Desember 2022


Penulis

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................................2

C. Tujuan Dan Manfaat...................................................................................................................2

BAB II......................................................................................................................................................3

A. Pengertian Jinayat......................................................................................................................3

B. Unsur-Unsur Dalam Jinayat........................................................................................................4

C. Macam-Macam Jinayat...............................................................................................................4

D. Perbedaan Hukum Pidana Islam (Jinayah) dengan Hukum Barat...............................................5

BAB III.....................................................................................................................................................7

A. Pengertian Hudud.......................................................................................................................7

B. Dasar Hukum Hudud..................................................................................................................7

C. Macam-Macam Hudud...............................................................................................................8

D. Sanksi Hudud............................................................................................................................10

E. Hikmah Hudud..........................................................................................................................11

BAB IV...................................................................................................................................................13

A. Pengertian Ta’zir.......................................................................................................................13

B. Dasar Hukum Ta’zir...................................................................................................................14

C. Macam-Macam Ta’zir...............................................................................................................15

D. Sanksi Perbuatan Ta’zir.............................................................................................................17

BAB IV...................................................................................................................................................19

A. Kesimpulan...............................................................................................................................19

B. Saran.........................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi berdasarkan wahyu
Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu Allah pada nabi Muhammad
sebagai nabi dan rasul terakhir.
Syari’at secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus
di ikuti oleh setiap Muslim. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma
hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan
iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun
dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari
agama islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia didunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil
(segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang
tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.Fiqh
Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari
Al-qur’an dan hadist
Tindakan kriminal adalahtindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu
ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Hukum Pidana Islam merupakan syari’at Allah
yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia maupun akhirat.
Jarimah ialah larangan-larangan Syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan
hukuman had atau ta’zir. Para Fuqoha sering memakai kata-kata “Jinayah” untuk
“jarimah”. semula pengertian “jinayah” ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya
dibatasi kepada perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang
dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta-benda
ataupun lain-lainnya. Akan tetapi kebanyakan fuqoha memakai kata-kata “Jinayah”
hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengetian tentang Hukum Pidana Jinayat, Hudud & Ta’zir?
2. Apa dasar hukum tentang hkum-hukum tersebut?

C. Tujuan Dan Manfaat

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Untuk mengetahui pengertian tentang Hukum Pidana Jinayat, Hudud & Ta’zir
2. Untuk mengetahui dasar hukum, macam-macam hukum setiap hukum-hukum tersebut

2
BAB II

HUKUM JINAYAT

A. Pengertian Jinayat

Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah.
Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana
berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau
perbuatan salah. Seperti dalam kalimat jana'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah
melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata Jana juga berarti "memetik", seperti dalam
kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat
jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih. Demikian pula
menurut Imam al-San'any bahwa al- jinayah itu jamak dari kata "jinayah" masdar dari
"jana" (dia mengerjakan kejahatan/kriminal). Kata jinayah dalam istilah hukum sering
disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai
beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda,
atau lainnya. Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah
menurut tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat
melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat
dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap
agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan
jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain
sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana. Sebagian
fuqaha lain memberikan Pengertian “jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama
dengan istilah “jarimah, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang
diberikan Allah yang pelanggarnya dikenakan hukum baik berupa hal atau ta‟zir.
Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa
pidana, delik atau tindak pidana. Para fuqaha sering pula menggunakan istilah jinayah
dan jarimah. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah,
baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata
jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah
mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi istilah, al-Mawardi mendefinisikan jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara, yang diancam oleh Allah SWT
dengan hukuman had atau ta'zir.
3
Sejalan dengan menurut TM Hasbi ash Shiddieqy, jarimah adalah perbuatan-perbuatan
yang dilarang syara diancam allah dengan hukuman had atau hukuman ta'zir.

B. Unsur-Unsur Dalam Jinayat

Di dalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika terpenuhi
semua unsur-unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Unsur-unsur umum
tersebut ialah :
1. Rukun syar‟I (yang berdasarkan Syara‟) atau disebut juga unsur formal, yaitu
adanya nas Syara‟ yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan
akan dikenai hukuman. Nas Syara‟ ini menempati posisi yang sangat penting
sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana Islam, sehingga dikenal suatu prinsip
la hukma li af‟al al-uqala‟ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan
orang yang berakal sebelum datangnya nas).
2. Rukun maddi atau disebut juga unsure material, yaitu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan.
3. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat
diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang
terpaksa, tidak dapat dihukum.

Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan tindak
pidananya. Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan unsur yang
terkandung di dalam perzinahan.

C. Macam-Macam Jinayat

Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi, secara garis
besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau dari segi berat
ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara lain: jarimah
qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
1. Jarimah qisâs dan diyat
Jarimah qisâs dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisâs atau
diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan
oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak
Allah (hak masyarakat), sedangkan qisâs dan diyat adalah hak manusia (individu).
2. Jarimah Hudud

4
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian
hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak
Allah (hak masyarakat).
3. Jarimah Ta'zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian
ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Ta'zir juga diartikan ar
rad wa al man'u, artinya menolak dan mencegah.
Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Mawardi. Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas
yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda,
sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta'zir ini sejalan
dengan hukum had; yakni ia adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki
perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan
yang sama seperti itu.

D. Perbedaan Hukum Pidana Islam (Jinayah) dengan Hukum Barat

Hakikat dan etos hukum Islam sangat berbeda dengan konsep- konsep hukum barat.
Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan pertama yang mendasar dan
yang paling jelas, yaitu hukum barat pada dasarnya bersifat sekular sedangkan hukum
Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Hukum sipil yang diwarisi oleh negaranegara di
dunia sekarang ini bersumber pada hukum Romawi yang merupakan hukum buatan
manusia dan sewaktu-waktu dapat dirubah bila suasana menghendaki demikian,
sebagaimana ketika hukum tersebut disusun sebelumnya.
Berbeda dengan hukum Islam yang secara fundamental dianggap sebagai hukum
Tuhan yang pada pokoknya tidak dapat dirubah. Bagi setiap muslim berlaku nilai etik
terhadap semua perbuatan yang dilakukannya yang disebut qubh (keburukan, ketidak
sopanan) di satu pihak dan husn (keindahan, kesopanan) di lain pihak. Akan tetapi nilai
etik ini tidak semuanya dapat dinilai dengan nalar manusia, bahkan dalam hubungan ini
manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan. Karena itu semua perbuatan manusia
tercakup, menurut klasifikasi yang secara merata diakui, dalam 5 macam kategori: wajib,
sunnah , mubah, makruh dan haram sesuai dengan ketetapan Allah.
Tetapi kenyataan ini secara langsung menjurus pada perbedaan pokok yang kedua di
antara kedua sistem hukum tersebut, yakni bahwa hukum Islam jauh lebih luas
cakupannya dibandingkan dengan hukum Barat. Menurut pemikiran para ahli hukum
barat bahwasanya hukum Barat adalah hukun yang dinyatakan, atau setidak-tidaknya

5
dapat dinyatakan dan berlaku pada badan-badan peradilan. Sebaliknya hukum Islam
memasukkan segala perbuatan manusia dalam cakupannya karena hukum Islam
mencakup segala lapangan hukum baik hukum publik, hukum privat, hukum nasional dan
hukum internasional sekaligus, bahkan hukum Islam mengenal adanya rakp balasan
artinya; manusia yang melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak terdeteksi oleh
aparat atau orang lain sehingga lepas dari jeratan hukum dunia maka orang tersebut
dalam hukum Islam tetap akan mendapatkan balasan di akheratnya (kecuali orang
tersebut bertaubat dan taubatnya diterima oleh Allah SWT).

6
BAB III

JARIMAH HUDUD DAN HIKMAHNYA

A. Pengertian Hudud

Jarimah ḥudūd adalah suatu jarimah yang bentuknya telah dientukan syara sehingga
terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan
hukumannya secara jelas, baik melalui Alqur’an maupun hadis. Lebih dari itu, jarimah ini
termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak
Tuhan, pada prinsipnya adalah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk
memelihara kepentingan, ketentramana, dan keamanan masyarakat.
Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan bagi setiap jarimah. Karena hanya
ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah
ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya
hukuman yang lain. Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang telah nyata-nyata
berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok ḥudūd tentu dengan segala macam
pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah ditentukan syara’. Jadi,
fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad
dalam memilih hukuman.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jarimah ḥudūd adalah jarimah yang
diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah artinya bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya).
Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh
syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

B. Dasar Hukum Hudud

Adapun dasar hukum ḥudūd antar lain yaitu berupa perbuatan zina dera atau cambuk
seratus kali adalah firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 2 yang berbunyi:
”Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah
merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan
hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah
dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-
orang yang beriman.”
Begitu bahayanya tindak kejahatan zina ini, sampai-sampai Alqur’an
memperhatikannya secara khusus, sebab perbuatan ini sangat populer dikalangan
7
jahiliyah, sebagaimana halnya minum khamr, sehingga pelarangannya pun dilakukan
secara bertahap. Menurut kebanyakan ulama fiqh, penetapan hukuman zina itu secara
bertahap, Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi yang berbunyi :
“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada
mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama
satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam”.
Dari definisi tersebut dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan yang
setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban
akibat perbuatannya. Adapun dasar penjatuhan hukuman tersebut antaranya Q.S. Shad
ayat 26 :
“…Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adildan jangalah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamudari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dalam Hukum Islam, sejak abad ketujuh masehi, perbuatanperbuatan tersebut sudah
dilarang secara tegas, karena teramat jelas pula kemadaratannya. Kenyataan-kenyataan
ini sebenarnya jelas memperkuat andangan syari’at Islam, bahwa zina bukan hanya
urusan pribadi yang menyinggung hubungan individu semata-mata, melainkan pula
mempunyai dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu, sungguh tepatlah apabila
syariat Islam melarang semua bentuk perbuatan zina, baik yang dilakukan oleh gadis
dengan jejaka secara sukarela, maupun oleh orang-orang yang sudah bersuami atau
beristeri.

C. Macam-Macam Hudud

1. Khamar
Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian bijibijian atau buah-buahan dan
mengubah sari patinya menjadi alkohol dan menggunakan katalisator (enzim) yang
mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur tentu yang berubah melalui
proses peragian atau khamr adalah minuman yang memabukkan. Orang yang minum
khamr diberi sangsi dengan dicambuk 40 kali. Khamr diharamkan dan diberi sangsi
yang berat karena mengganggu kesehatan akal pikiran yang berakibat akan
melakukan berbagai tindakan dan perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan
menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungannya.
2. Zina

8
Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik
dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan
perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi pezina
mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan
hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi
pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum
pernah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
3. Qadzaf
Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu atau dengan
yang lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan zina. Sangsi
hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu
dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga
diri dari perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan. Namun ia akan
terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan 4 orang saksi dan atau
bukti yang jelas. Suami yang menuduh isterinya berzina juga dapat terbebas dari
sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan saksi dan bukti atau meli’an isterinya
yang berakibat putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.
4. Riddah
Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang di maksud
dengan riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal
dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari oraing
lain : baik yang kembali itu laki-laki maupun perempuan.
5. Mencuri
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia
dari tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki.
Pengambilan harta milik orang lain secara terang-terangan tidak termasuk pencurian
tetapi Muharobah (perampokan) yang hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan
Pengambilan harta orang lain tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk
pencurian tetapi Ghosab (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin). Pelaku
pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati
sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat,
karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran
kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum
sebagai tindakan defensif (pencegahan).
6. Muharabah (membuat kekacauan)

9
Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk
menciptakan kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda,
ladang pertanian dan peternakan serta menentang aturan perundang-undangan. Latar
belakang aksi ini bisa bermotif ekonomi yang berbentuk perampokan, penodongan
baik di dalam maupun diluar rumah atau bermotif politik yang berbentuk perlawanan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melakukan gerakan
yang mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum.

D. Sanksi Hudud

Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina,
menuduh zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/ perampok dan pemberontak (bughah),
murtad dan sebagainya.
1) Hukuman karena zina Apabila terjadi perzinaan, maka bagi pelakunya dijatuhkan
hukum jilid atau rajam dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh syara’. Apabila terjadi perzinaan yang telah memenuhi
syarat maka hukumnya sebagai berikut:
a) Kalau orang yang berzina itu baik laki-laki ataupun perempuannya memang
merdeka, sudah baligh, maka hukumnya dengan jilid/dipukul 100 kali dan
diasingkan selama setahun bagi orang yang merdeka, dewasa, berakal, tetapi
belum pernah berjimak dengan istri yang syah.
b) Kalau orang yang berzina itu sudah merasai berjimak dengan istri yang sah,
disebut zina muhson, maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga
mati.
2) Hukuman (had) karena menuduh zina (qodhaf)
Termasuk tujuh dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf).
Tuduhan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan. Di dalam menuduh zina
(qodhaf) terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a) Bagi orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya.
Kalau yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila
orang yang dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang
menuduhkan dan orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang
saksi.
b) Kalau seorang suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat
zina, maka bagi suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri
dengan menutup rahasianya.

10
3) Hukum pencurian (sirqah)
Pengertian sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi.
Adapun menurut istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang
lain secara sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas. Pelaksanaan
hukum potong tangan memerlukan beberapa syarat, yaitu:
a. Orang yang mencurinya
a) Sudah baligh, berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.
b) Terikat oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk.
b. Barang yang dicurinya mencapai nizab, yaitu minimal ¼ dinar=3 dirham=3.36 gr
emas. Dinar (hitungan emas)=12 dirham, 1 dirham=1,12 gr emas. Maka 1
dinar=12x1,12 gr emas=13,44 gr emas.
c. Barang curian itu benar-benar milik orang lain, baik semuanya atau sebagiannya
dan bukan milik orang tuanya atau anaknya.
d. Mengambilnya barang itu dengan sengaja.
e. Barangnya berada di tempat penyimpanan, seperti lemari untuk menyimpan
pakaian atau perhiasan
4) Hukuman Pembegal dan Perampok
Pengertian pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa
dan menakut-nakuti, sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik
barang tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh
(qisos). Tetapi merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka
hukumnya nya adalah dibunuh atau di salib jika perampok itu mengambil harta orang
yang dirampok saja maka hukumannya adalah dipotong tangan seperti keputusan
kepada pencuri. Dan jika ia menakut-nakuti orang maka ia ditahan dan di ta’zīr.

E. Hikmah Hudud

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan ta’at kepada-Nya,


melaksanakan apa yang Dia perintah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, Dia telah
menetapkan beberapa hukum demi untuk maslahat hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia
menjanjikan surga bagi orang yang beriltizam terhadap syari’atnya dan neraka bagi
mereka yang menyelisihinya. Apabila seorang hamba terlalu terburu-buru dan melakukan
sebuah dosa, Allah buka baginya pintu taubat dan istighfar.
Akan tetapi jika seseorang bersikeras untuk melakukan maksiat kepada Allah dan
menolak kecuali ingin menembus penghalang-Nya, melampaui batasan-Nya, seperti
menjarah harta serta kehormatan orang lain, maka dia harus ditarik tali pelananya dengan

11
menegakkan hukuman Allah Ta’ala; demi untuk merealisasikan keamanan serta
ketenangan terhadap umat ini, dan seluruh hukuman merupakan Rahmat dari Allah dan
kenikmatan bagi seluruhnya.
Kehidupan manusia akan berdiri tegak dengan memelihara lima hal yang darurat.
Pelaksanaan hudud akan melindungi serta menjaga hal tersebut, dengan qishas jiwa
manusia menjadi terjaga, dengan pendirian had terhadap pencuri harta akan terjaga,
dengan pelaksanaan had zina serta qodzaf kehormatan akan terjaga, dengan pelaksanaan
had bagi pemabuk, akal akan terjaga, dengan pelaksanaan had, penjarahan keamanan
serta harta dan jiwa akan terjaga, dan dengan pelaksanaan seluruh had seluruh agama
akan terjaga olehnya.
Hudud merupakan pembenteng bagi maksiat dan sebagai pembatas bagi orang yang
menerimanya, karena yang demikian itu akan mensucikannya dari kotornya kejahatan
serta dari dosa-dosanya, dan juga sebagai peringatan bagi selainnya untuk tidak
terjerumus kedalam perbuatan tersebut.

12
BAB IV

JARIMAH TA’ZIR

A. Pengertian Ta’zir

Hukuman ta’zīr merupakan salah satu dari pidana Islam yaitu berupa tindak pidana
islam yang meliputi fiqh jinayah. Maka dari itu pengertian fiqh jinayah adalah
mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas dalil yang terperinci. Fiqh jinayah terdiri
dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah. Pengertian fiqh secara bahasa (etimologi) berasal
dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan
pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fiqh adalah ilmu tentang hukumhukum syara’
praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci.
Menurut bahasa lafaz ta’zīr berasal dari kata a’zzara yang sinonimnya yang artinya
mencegah dan menolak. yang artinya mendidik. Pengertian tersebut di atas sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Azzuhaily, bahwa Ta’zīr
diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Sedangkan ta’zīr diartikan mendidik karena ta’zīr dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar Ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya.
Istilah jarimah ta’zīr menurut hukum pidana Islam adalah tindakan yang berupa
pengajaran terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi had dan kifaratnya, atau
dengan kata lain, ta’zīr adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh
hakim. Jadi ta’zīr merupakan hukuman terhadap perbuatan pidana/delik yang tidak ada
ketetapan dalam nash tentang hukumannya. Hukuman hukuman ta’zīr tidak mempunyai
batas-batas hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman,
mulai dari yang seringan-ringannya sampai hukuman yang seberat beratnya. Dengan kata
lain, hakimlah yang berhak menentukan macam tindak pidana beserta hukumannya,
karena kepastian hukumnya belum ditentukan oleh syara’.
Di samping itu juga, hukuman ta’zīr merupakan hukuman atas tindakan pelanggaran
dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-
beda, sesuai dengan perbedaan tindak pidana dan pelakunya. Dalam bukunya Mahmoud
Syaltut ( al-Islam Aqidah wa Syari’ah) sebagaimana yang dikutip oleh Abdullahi Ahmed
an-Na’im dikatakan bahwa, yurisprudensi Islam historis memberikan penguasa negara
Islam atau hakimhakimnya kekuasaan dan kebijaksanaan yang tersisa, apakah

13
mempidanakan dan bagaimana menghukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku
tercela yang belum tercakup dalam kategori-kategori khusus ḥudūd dan jinayat.
Ta’zīr sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zīr terdiri atas perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zīr
tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan
tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, sya’riah
mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada
pelaku jarimah.

B. Dasar Hukum Ta’zir

Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran dan
hadis antara lain adalah dapat dipaparkan dibawah ini, Firman Allah dalam surah At-
Taubah ayat 118 :
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira
tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima
taubat mereka agar mereka bertaubat” (Q.S. At-Taubah: 118)
Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh
dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zīr ). Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10
dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim. Orang yang dikenakan hukum oleh
hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan
dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zīr . Hukuman ta’zīr ini dapat
dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain,
menghina orang, menipu dan sebagainya.
Dengan demikian hukuman ta’zīr ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang
memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras.
Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zīr (yaitu dipukul
yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum
syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu
dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah
termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan ḥudūd (Hukum Allah).
Adapun yang lebih ringan disebut ta’zīr yang dilakukan menurut pertimbangan hakim
muslim.

14
Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah
ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk
perbuatan yang diharamkan. Semua ḥudūd Allah adalah haram, maka pelakunya harus
dita’zīr sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.

C. Macam-Macam Ta’zir

Ta’zīr juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Di sebut dengan ta’zīr ,
karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali
kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha
mengartikan ta’zīr dengan hukuman yang tidak detentukan oleh Al quran dan hadis yang
berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi
untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi
kejahatan serupa. Ta’zīr sering juga disamakan oleh fuqoha dengan hukuman terhadap
setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.
Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zīr adalah suatu jarimah yang diancam dengan
hukuman ta’zīr (selain had dan qishash), pelaksanaan hukuman ta’zīr , baik yang jenis
larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah
atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman
dalam jarimah ta’zīr tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya, artinya untuk
menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zīr menjadi tiga, yaitu sebagaimana dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Jarimah ḥudūd dan qisash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak
memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti
pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang
bukan harta benda.
b. Jarimah ta’zīr yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh
syariah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi
timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
c. Jarimah ta’z ir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang
penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak
menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

15
Ahmad hanafi menyatakan bahwa hukuman-hukuman ta’zīr banyak jumlahnya dari
mulai yang paling ringan hingga yang paling berat, yaitu hukuman yang dilihat dari
keadan jarimah serta diri pelaku hukumanhukuman ta’zīr tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Hukuman mati
Kebolehan menjatuhkan hukuman mati pada ta’zīr terhadap pelaku kejahatan jika
kepentingan umum menghendaki demikian, atau pemeberantasan tidak dapat
dilakukan kecuali dengan jalan membunuhnya. Hukuman mati ini hanya
diberlakuakn pada jarimah zina, murtad, pemberontakan, pembunuhan sengaja dan
gangguan kemanan masyarakat luas (teroris).
2. Hukuman jilid
Jilid merupakan hukuman pokok dalam syari’at islam. Bedanya dengan jarimah
ḥudūd sudah tertentu jumlahnya sedangkan jarimah ta’zīr tidak tertentu jumlahnya.
3. Hukuman penjara
Hukuman penjara dimulai batas terendah yaitu satu hari sampai batas hukuman
seumur hidup. Syafiiyah mengatakan bahwa batas tertinggi adalah satu tahun, dan
ulama lainnya menyerahkan kepada penguasa sampai batas mana lama
kurungannya.
4. Hukuman pengasingan
Untuk hukuman pengasingan imam ahmad dan syafi’i berpendapat bahwa masa
pengasingan tidak lebih dari satu tahun, sedangkan imam hanafi berpendapat
bahwa hukuman pengasingan boleh melebihi satu tahun, hukuman ini untuk
pelaku kejahtan yang merugukan masyarakat dan khawatir akan menjalar luas.
5. Hukuman salib
Hukuman salib dalam jarimah ta’zīr tidak dibarengi atau disertai dengan kematian,
melainkan si tersalib disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum,
tidak dilarang melakukan wudhu, tetapi dalam melakukan shalat cukup dengan
menggunakan isyarat. Para fukaha menyebutkan masa penyaliban tidak lebih dari
tiga hari.
6. Hukuman denda
Hukuman denda antara lain dikenakan pada pelaku pencurian buah yang masih
belum masak, maka dikenakan denda dua kali lipat dari harga buah tersebut.
Hukuman denda juga dikenkan untuk orang yang menyembunyikan barang yang
hilang.
7. Hukuman pengucilan

16
Pada masa rasulullah pernah rasul menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga
orang yang tidak mengikuti perang tabuk selam 50 hari tanpa diajak bicara.
Mereka adalah: Ka’ab Bin Malik, Miroh Bin Rubai’ah, dan Hilal Bin Umayyah.
8. Hukuman ancaman, teguran , dan peringatan
Ancaman merupakan hukuman yang diharaokan akan membawa hasil dan bukan
hanya ancaman kosong. Teguran pernah dilakukan oleh rasulullah kepada Abu
Dzar yang yang memaki-maki orang lain, dengan menghinakan ibunya. Peringatan
juga merupakan bentuk hukuman yang diharapkan orang tidak menjalankan
kejahatan atau paling tidak mengulanginya lagi.
Dilihat dari haknya hukuman ta’zīr sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab
hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu
salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zīr adalah pengausa
atau imam namun diperkenankan pula untuk :
a. Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zīr kepada anaknya yang masih
kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk
memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
b. Majikan; seorang majikan boleh menta’zīr hambanya baik yang berkaitan dengan
hak dirinya maupun hak Allah.
c. Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zīr kepada istrinya. Apbila
istrinya melakukan nusyuz.

D. Sanksi Perbuatan Ta’zir

Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum
ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar
hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang
mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
Dalam menetapkan jarimah ta’zīr , prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zīr harus sesuai dengan
prinsip syar'i.
Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa
dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman
penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang,

17
hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman,
pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zīr juga dapat dibagi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah ta’zīr yang berasal dari jarimah-jarimah ḥudūd atau qishash, tetapi syarat-
syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai
nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2. Jarimah ta’zīr yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya
belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3. Jarimah ta’zīr yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’
jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran
disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu
lintas.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya: 1. Batas usia
pertanggungjawaban anak dalam perpektif hukum positif didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia secara resmi menetapkan
bahwa usia pertanggungjawaban pidana anak adalah yang telah berumur 12 tahun dan
belum berumur 18 tahun. Sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 3
UU No. 11 Tahun 2012. Selain itu di tetapkan dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU No.
11 Tahun 2012 bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai sanksi
tindakan. Dalam perspektif hukum pidana Islam, batas pertanggungjwaban tidak
ditentukan berdasarkan kepastian usia seperti layaknya hukum positif, melainkan dilihat
dari aspek kematangan pola pikir dan mental anak. Dalam konteks pertanggungjawaban
pidana, Islam mensyaratkan kebalighan (dewasa). Usia baligh adalah usia yang
dipandang tepat sebagai batas dimulainya kewajiban-kewajiban agama. 2. Jenis sanksi
yang diberikan pada anak pelaku tindak pidana dalam persepektif hukum positif merujuk
pada ketentuan Pasal 71 dan 82 UUNo. 11 Tahun 2012. Sanksi pidana penjara yang
dikenakan pada anak adalah ½ dari orang dewasa. Selain itu untuk pidana yang diancam
hukuman mati dan penjara seumur hidup, maka sanksi maksimal yang diberikan adalah
10 tahun penjara. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 81 ayat (2) dan (6) UU No. 11
Tahun 2012. Dalam persepektif hukum Islam sanksi yang diberikan pada anak yang
melakukan tindak pidana tidak ditentukan secara pasti seperti halnya dalam undang-
undang positif baik dari segi jenis maupun bentuknya. Dalam hukum pidana Islam sanksi
yang dapat diberikan pada anak berupa ta’zir yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh
hakim. Sanksi dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam yang diberikan pada
anak pelaku tindak pidana memiliki tujuan yang sama yaitu pendidikan dan pengajaran
untuk merubah tingkah laku seorang anak menjadi lebih baik.

19
B. Saran

Dalam tulisan ini, penulis menyarankan hal-hal yang berkaitan dengan tesis ini yaitu:
1. Dalam pidana ta’zir yang bertujuan untuk mendidik dan mengajar serta prinsip
inovasi yang dikembangkan dalam pidana ta’zir dapat dijadikan rujukan bagi
hukum positif dalam menentukan sanski yang diterapkan khususnya pada anak
yang lebih menyesuaikan diri pada tuntutan kebutuhan masyarakat baik mengenai
kadar berat-ringannya maupun mengenai bentuk pidananya itu sendiri. Artinya
untuk kebutuhan yang bersifat lokal dan aktual dalam masyarakat Indonesia dewasa
ini, bentuk-bentuk pidana ta’zir dapat dikembangkan lebih lanjut dengan melihat
gagasan dasar yang dikandungnya dengan mempertimbangkan sifatsifat kebutuhan
masyarakat Indonesia secara nasional.
2. Diharapkan peran serta keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar dalam upaya
pencegahan terjadinya tindak pidana oleh anak. Upaya dapat dilakukan dengan
bebagai cara diantaranya penanaman nilai-nilai keagamaan sejak dini pada anak,
memberikan pendidikan yang baik serta memberikan contoh teladan yang baik
yang dimulai dari ruang lingkup yang kecil yaitu keluarga, dan diteruskan pada
lingkungan sekitar dan masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://mahad.uin-suska.ac.id/2016/10/25/ringkasan-fikih-islam-hudud-dan-hikmah-
disyariatkannya/
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/31/rumusan-hukum-tentang-hukum-jinayat-
berdasarkan-sema-nomor-3-tahun-2018/
https://simpus.mkri.id/opac/detail-opac?id=6709
http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Jinayat_108262_dharmaandigha_p2k-unkris.html
http://opac.iainkediri.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=22942

21

Anda mungkin juga menyukai