Anda di halaman 1dari 16

AL-JINAYAT DAN AL-DIYAT

Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Ahkam

Dosen Pengampu:

Dr. Fuad Thohari M. Ag

Disusun Oleh

1. Verliana Putri (11200480000020)


2. Sifa Alfyyah Asathin (11200480000085)
3. Dzaky Muh’arif (11200480000099)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Al-Jinayat Dan Al-
Diyat” tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah hadits ahkam, dalam program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut
memberikan konstribusinya dalam penyusunan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Fuad Thohari M. Ag selaku dosen pengampu mata kuliah hadits ahkam
yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang ditekuni.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan terdapat
kekurangan didalamnya baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian yang
digunakan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar dapat
menjadi acuan dalam membuat makalah yang lebih baik di masa mendatang.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan juga inspirasi bagi
para pembaca serta seluruh pihak lainnya.

Jakarta, 17 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar
Belakang .........................................................................................................1

B. Rumusan
Masalah ....................................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan .................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Jinayat ………………...…………………….


………...........................2

B. Dalil Tentang Jinayat .………………......................................................................4

C. Korelasi dan Relevansi Al- Jinayat Dengan Hukum Positif ………………….


…...6

D. Definis Al-Diyat ………………..…........................................................................7

E. Dalil Tentang Al-Diyat …………………………………………………………....8

F. Pendapat Para Imam Mengenai Nilai Diyat Pada Jiwa ….


………………………..10

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................11

B. Kritik Dan Saran ....................................................................................................11


DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita ketahui bahwa sumber ajaran agama Islam yang utama adalah kitab suci Al-
Qur’an, dimana didalamnya berisi tentang akidah, ibadah, peringatan, dan kisah-kisah yang
dijadikan acuan serta pedoman hidup bagi umat muslim di dunia. Selain dari Al-Qur’an,
sumber ajaran agama Islam juga bersumber dari hadits. Dimana hadits ini memiliki tiga
fungsi utama yaitu memperkuat dan merincikan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an
serta menetapkan hukum yang belum diatur oleh Al-Qur’an. Ajaran dan hukum Islam yang
tertuang dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw memiliki cakupan yang sangat luas.
Tidak hanya berbicara seputar hubungan manusia kepada Tuhan-Nya saja, tetapi juga
menjelaskan terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya.

Allah Swt memerintahkan setiap umatnya untuk selalu hidup berdampingan secara
damai dan rukun tanpa adanya pertikaian antara sesama. Perbuatan perbuatan yang bersifat
merugikan serta mengancam hidup atau harta seseorang adalah hal yang dilarang dalam
Islam. Adapun kajian yang berbicara tentang hukum Islam khususnya dalam hal kejahatan
disebut sebagai al-jinayat atau yang lebih populer disebut dengan hukum pidana Islam.
Hukuman bagi pelaku jinayat tidak hanya dosa akhirat terhadap Allah Swt tetapi juga
hukuman yang bersifat duniawi. Salah satu hukumannya adalah dengan membayar diyat. Al-
Diyat sendiri adalah harta yang diserahkan kepada keluarga korban, akibat melakukan
kejahatan baik dengan menghilangkan nyawa atau melukai seseorang. Besar diyat yang harus
dikeluarkan bersifat relative, tergantung pada seberapa besar kerugikan dan kejahatan yang
dilakukan pelaku.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari al-jinayat dan al-diyat ?


2. Berapakah pembagian Jinayah dan Al-Diyat ?
3. Bagaimana korelasi dan relevansi antara Jinayah dengan hukum positif?

C. Tujuan Pembahasan

A. Menganalisis definisi dari al-jinayat dan al-diyat.


B. Menganalisis pembagian-pembagian Jinayah dan Al-Diyat.
C. Menganalisis korelasi dan relevansi antara Jinayah dengan hukum positif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Jinayat

Secara etimologi, kata jinayah berasal dari kata jana-yajni-jinayatan yang berati
berbuat dosa.1 Dari kata kerja tersebut dapat diartikan bahwa jinayat adalah suatu nama bagi
perbuatan seseorang yang bersifat buruk dan apa yang diusahakannya. Sedangkan dilihat dari
segi terminology (istilah) kata jinayat ini merujuk pada suatu perbuatan yang dilarang oleh
syara’ (hukum Islam) baik perbuatan itu merugikan jiwa, harta benda atau hal lainnya. 2
Perbuatan perbuatan mana yang bersifat buruk atau jahat dan dapat mengancam jiwa serta
harta orang lain inilah yang disebut dengan al-jinayat baik itu dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak. Sederhananya pengertian dari jinayat ini adalah segala perbuatan yang
termasuk dalam kejahatan kriminalitas yang dilihat dari segi hukum Islam. Dalam
perkembangannya sendiri kata jinayat sekarang ini populer dengan sebutan hukum pidana
Islam.

Istilah dari kata al-jinayat memiliki beberapa makna dan konotasi yang berbeda-beda
dalam berbagai macam pendapat. Menurut para ulama fiqh (fuqaha) jinayat diartikan sebagai
ilmu tentang hukum syara’ berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang dan
hukumannya diambil dari dalil dalil terperinci.3 Sedangkan menurut Abu Muhammad
Mahmud di dalam kitabnya berjudul al-Binayah fi-Syarh al-Hidayah bahwa jinayat adalah
setiap perbuatan yang mana bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan
harta orang lain.4 Berbeda lagi menurut pandangan Sayid Sabiq, menurut definisi undang-
undang jinayat adalah kejahatan yang diancam dengan kematian atau kerja paksa atau
pengasingan.5

1
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013),
h.15.
2
Ahmad Hanafi, Asas-asa Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.1.
3
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 2.
4
Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitani al-Hanafi Badr al-Din al-Aini,
al-Binayah Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000 M.), jilid ke-12, h. 84.
5
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), juz ke-2, h. 589.
Dalam Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat, hukum jinayat ini
adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan ‘uqubat.6 Kata jarimah dalam penjelasan
Qanun diatas merupakan sinonim dari kata jinayat yang berarti serupa dalam terminologis
syara’. Kata jarimah sendiri secara bahasa adalah perbuatan yang menyimpang dari
kebenaran dan jalan agama yang lurus. Jarimah terbagi menjadi tiga kategori yaitu ada
jarimah hudud, jarimah qishash dan jarimah ta’zir.7

Dengan demikian definisi dari al-jinayat menurut penulis adalah segala bentuk
pebuatan buruk (tindak pidana) yang dapat mengancam jiwa maupun harta seseorang dan
terdapat sanksi bagi para pelaku sesuai dengan hukum syara’. Sama halnya dalam hukum
positif yang berlaku disuatu negara, adanya jinayat ini juga bertujuan untuk mengatur dan
membatasi berbagai aktivitas manusia agar dapat menciptakan tatanan hidup yang terpelihara
ketertiban dan keadailannya serta mencegah adanya kekacauan.

Al-Jinayat adalah salah satu perbuatan yang dilarang keras dalam Islam dan termasuk
kedalam salah satu dosa besar yang sangat Allah Swt murkai setelah dosa syirik. Terdapat
beberapa dalil pensyariatan yang melarang akan perbuatan jinayat ini. Salah satunya yaitu
dalam firman Allah Swt Q.s Al-Baqarah ayat 179 yang berbunyi:

ِ ‫اص حٰيوةٌ ٰيّٓ اُوىِل ااْل َلْب‬ ِ


‫اب لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُق ْو َن‬َ َ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم ىِف الْق‬
Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, agar kamu bertakwa.” Maksud dari ayat diatas bahwa sesungguhnya Allah Swt telah
menegaskan tentang ancaman hukuman bagi para pelaku jinayat yaitu qisas. Dimana jika
seseorang membunuh maka hukumannya dibunuh pula. Dan apabila seseorang menyadari hal
tersebut tentulah mereka akan memperhitungkan kembali dengan seksama ketika akan
membunuh seseorang lainnya.

Hukuman qisas yang tertuang dalam ayat berikut merupakan salah satu dari empat
hukuman perbuatan al-jinayat. Selain dari qisas ada juga hukuman lainnya yaitu:

 Hukuman hudud8, hukuman ini ditetapkan atas jarimah hudud dan sanksinya telah
tertuang dalam ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti hukuman
zina yang tertuang dalam Qs. An-Nur ayat 2
6
Pemda Aceh, Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, Pasal 1 angka (34).
7
Fuad Thohari, Hadits Ahkam, cet. I, h. 10.
8
M.Nurul Irfan, Fiqih Jinayah, cet. III, h. 38
 Hukuman qishah dan diyat. Dalam hukum positif, qishah ini berprinsip layaknya
hukum pembalasan yaitu jika seseorang membunuh maka pelaku dibunuh kembali
begitupun jika melukai atau membuat seseorang cacat
 Hukuman diyat, yaitu harta yang harus dibayarkan pelaku kepada keluarga korban
atas perbuatan jinayatnya
 Hukuman ta’zir9, dimana sanksinya itu tidak dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an
maupun hadits maka dari itu hukumannya pun diserahkan kepada hakim atau
penguasa. Salah satu contohnya yaitu dilakukan oleh sahabat Nabi Saw, Umar bin
Khattab ketika menjadi seorang khalifah (penguasa). Dimana beliau tidak memotong
tangan pencuri karena mengetahui bahwa Ia dalam keadaan lapar dan mencuri untuk
bertahan hidup. Selain itu jumlah barang yang dicuri pun tidak banyak dan orang kaya
(korban) tidak mengetahui bahwa Ia telah menimbun harta di tengah masyarakat yang
sedang kelaparan.10

Hukuman – hukuman terhadap perbuatan jinayat ini tidak semata mata dapat ditetapkan
begitu saja kepada para pelaku setiap perbuatan jinayat. Terdapat beberapa kategori atau
unsur yang harus terpenuhi agar tindakan jinayat tersebut benar benar sah dan memenuhi
bentuk ketentuan dalam tindakan jinayat. Ketentuan tersebut antara lain yaitu:

 Adanya Nash, yaitu yang menjelaskan tentang larangan suatu perbuatan dan
ancaman hukumannya. Ketentuan ini biasa dikenal dengan rukun syar’i atau
unsur formil.
 Hukuman atau sanksi atas perbuatan tersebut haruslah bersifat pribadi
 Hukuman atau sanski atas perbuatan tersebut harus pula bersifat umum. Artinya,
sanksi yang ditetapkan terhadap suatu perbuatan itu berlaku untuk semua orang
tanpa terkecuali.

Adapun secara umum jinayat dikategorikan menjadi dua bagian diantaranya yaitu:

 Jinayat terhadap jiwa, adalah suatu perbuatan buruk/ pelanggaran yang dilakukan
seseorang dengan menghilangkan nyawa seseorang yang lain baik dengan sengaja
maupun tidak sengaja
 Jinayat terhadap organ, dimana ketika seseorang melakukan suatu perbuatan buruk/
pelanggaran yang dilakukan terhadap orang lain hingga merusak salah satu organ

9
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta, Prenada Media, 2003), cet. I h. 321
10
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Loc. cit., h. 161-162.
tubuhnya atau melukai salah satu bagian dari badannya, baik disengaja maupun
tidak.11

B. Dalil Tentang Jinayat

Keberadaan al- jinayat sebagai suatu perbuatan yang dilarang syariat Islam telah Allah
Saw nyatakan dengan tegas dalam beberapa dalil baik itu dalam hadits Rasulullah Saw
maupun dalam kitab suci Al-Qur’an. Dalil yang membicarakan terkait dengan jinayat ini
salah satunya yaitu dalam hadits riwayat Muttafaq’Alaih yang berbunyi:

‫ ال يحل دم امرىء‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن عبد هللا ابن مسعود رضي هللا عنه قال‬
‫ الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك‬: ‫مسلم يشهد أن ال إله إال هللا وأني رسول هللا إال بإحدى ثالث‬
) ‫ ( متفق عليه‬.‫لدينه المفارق للجماعة‬.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, katanya : “Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali salah satu di antara tiga kelompok orang
ini, yaitu seorang janda ( orang yang telah menikah ) yang berzina, seseorang yang
membunuh orang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya, yakni orang yang
memisahkan dirinya dari jama’ah.” ( HR. Muttafaq ‘Alaih )

Hadits diatas menegaskan bahwasannya Allah Swt melarang keras dan haram
hukumnya membunuh sesama, khususnya disini adalah kaum muslimin. Bahkan seseorang
yang kafir pun tidak diperbolehkan dibunuh hanya karena berbeda keyakinan. Pembunuhan
sebagai tindakan pidana yang paling besar dimana dampaknya bukan hanya kepada si korban
melainkan juga akan menyengsarakan orang orang yang berada dalam tanggungan orang
yang terbunuh. Namun terdapat pengecualian yang tertuang dalam hadits diatas.
Sebagaimana bentuk hukuman qishah, terdapat tiga golongan yang halal untuk dibunuh yaitu
seseorang yang telah menikah lalu berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang
yang meninggalkan agamanya.

Sanad dari hadits diatas terletak pada awal hadits yaitu pada kalimat “Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud r.a, katanya: “Rasulullah SAW bersabda.” Pengertian sanad sendiri
adalah tempat bersandarnya suatu hadits. Sedangkan matan secara istilah diartikan sebagai
kalimat tempat berakhirnya sanad atau biasa dikenal dengan isi dari sebuah hadits. Adapun
yang termasuk matan hadits diatas adalah dimulai dari awal kalimat “Tidak dihalalkan darah

11
Asadullah al-Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 45.
seorang muslim” hingga pada akhir kalimat “yakni orang yang memisahkan dirinya dari
jama’ah.” Adapaun yang disebut dengan rawi adalah seseorang yang telah meriwayatkan
suatu hadits. Perawi dari hadits diatas adalah Muttafaq’Alaih yang terletak pada bagian akhir
hadits.

Selanjutnya terdapat beberapa kosakata dari hadits diatas yang dirasa penulis
memiliki arti yang sulit dimengerti. Bersandarkan pada kamus bahasa arab kosakata tersebut
antara lain:

Tidak Dihalalkan ‫ال يحل‬ Seseorang yang Membunuh Orang Lain ‫النفس بالنفس‬
Darah ‫دم‬ Orang Yang Meninggalkan ‫التارك‬
Kelompok ‫بإحدى‬ Orang Yang Memisahkan Diri ‫المفارق‬
Seorang Janda ‫الثيب‬
Dalam syariat Islam membunuh merupakan kejahatan yang termasuk pada kategori
tingkat tinggi, apalagi jika pembunuhan tersebut dilakukan secara sengaja bukan hanya dosa
dan murka Allah Swt saja yang di dapatinya tetapi juga dapat dihukum dengan hukuman
qishah di dunia. Terdapat perumpamaan yang tertuang dalam Qs. Al-Maidah ayat 32 terhadap
pelaku pembunuhan dimana seseorang yang membunuh satu jiwa bukan karena ia membunuh
orang lain atau membuat kerusakan maka seakan akan membunuh manusia seluruhnya.
Adapun terdapat ayat al-Qur’an yang memiliki makna serupa dengan hadits diatas yaitu:

‫صاصُ فِى ْالقَ ْت ٰلىۗ اَ ْلحُرُّ ِب ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد ِب ْال َع ْب ِد َوااْل ُ ْن ٰثى ِبااْل ُ ْن ٰث ۗى َف َمنْ ُعف َِي لَ ٗه‬ َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
‫ك َت ْخفِيْفٌ مِّنْ رَّ ِّب ُك ْم َو َرحْ َم ٌة ۗ َف َم ِن اعْ َت ٰدى َبعْ دَ ٰذل َِك‬ َ ِ‫ان ۗ ٰذل‬ ٍ ‫مِنْ اَ ِخ ْي ِه َشيْ ٌء َفا ِّت َبا ٌع ِۢب ْال َمعْ ر ُْوفِ َواَد َۤا ٌء ِالَ ْي ِه ِباِحْ َس‬
‫َفلَ ٗه َع َذابٌ اَلِيْم‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas
berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa
memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar
diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan
rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab
yang sangat pedih.” (Qs. Al-Baqarah ayat 178).

Relevansi diantara kedua dalil diatas baik dalam hadits riwayat muttafaq’alaih
maupun Q.S. Al-Baqarah ayat 179 kedunya memiliki sudut pandang yang serupa dalam
kaitannya dengan hukuman bagi para pelaku pembunuhan yaitu melalui qishah. Kedua dalil
diatas juga menegaskan akan larangan membunuh bagi umat muslim dimana perbuatan
tersebut sangat dibenci oleh Allah Swt dan merupakan dosa besar. Dalam Qs. Al-Baqarah
ayat 178 dijelaskan pula bahwa jika keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan maka
pelaku dapat membayat diyat yang merupakan bentuk keringan dan rahmat yang diberikan
Allah Swt.

C. Korelasi dan Relevansi Al- Jinayat Dengan Hukum Positif

Dalam hukum positif, (hukum konvensional) istilah al-jinayat lebih dikenal dan
dikualifikasikan kedalam bentuk perbuatan pidana, strafbaar feit, atau suatu delik. Pengertian
akan tindak pidana dalam al-jianyat dan hukum positif memiliki makna yang tidak jauh
berbeda yaitu suatu perbuatan yang melanggar larangan dimana telah diatur sebelumnya
dengan aturan hukum dan terdapat sanksi apabila melanggar. Selain itu, al-jinyat dan hukum
positif juga memiliki tujuan yang sama dimana kedunya hadir untuk mengatur ketertiban
hidup bermaysarakat demi menjaga keadilan, keamanan, menghindari terjadinya kekacauan
serta menggapai kemaslahatan hidup dunia. Namun bedanya dalam al-jinayat bukan hanya
tujuan dari kemaslahatan dunia saja tetapi juga demi mencapai keselamatan dunia serta
akhirat.

Al-Jinayat sebagai hukum pidana Islam tentu saja disandarkan pada syariat Islam
yang dalam hal ini yaitu Al-Qur’an dan Hadits12. Selain itu ada juga ketentuan hukum yang
diserahkan kepada hakim atau pengausa dimana disebut dengan jarimah ta’zir. Sedangkan
dalam hukum positif sebagai hukum yang berlaku disuatu tempat dan waktu tertentu
merupakan suatu produk hasil nalar manusia contohnya seperti undang-undang. Selanjutnya
jinayat Islam juga lebih mengarah pada pembetukan akhlak dan budi pekerti umatnya.
Sehingga setiap perbuatan apapun yang bertentangan dengan akhlak akan selalu mendapatkan
hukuman. Berbeda lagi dalam hukum positif yang lebih memfokuskan pada apa yang dapat
menyebabkan kerugian secara langsung bagi individu atupun pada ketentraman masyarakat.
13

Di Indonesia sendiri, hukum pidana Islam berpeluang untuk menjadi insipirasi dan
bisa disandingkan dengan hukum positif selama tidak menyimpang dengan dasar dan filosofi
negara (pancasila). Namun dalam hal ini, hanya jarimah ta’zir lah yang dirasa sepadan
dengan tindak pidan dalam hukum positif, karena kita ketahui bahwa jarimah hudud dan

12
Daud Ali, M. 1996. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 42.
13
Fuad Thohari, Loc. cit., h. 13.
qisahah lebih bersifat dogmatif serta merupakan hak preogrative Allah Swt dan rasul-Nya.14
Adapun konsep hukum pidana Islam yang dijadikan inspirasi dalam hukum postif salah
satunya yaitu terkait pada sanksi pembunuhan. Dalam hukum pidana Islam pelaku
pembunuhan akan mendapat hukuman qishah ataupun diyat dan dalam hukum positif pelaku
pembunuhan juga akan mendapatkan konsep hukuman yang serupa sesuai dalam pasal 340
dan 338 KUHP

D. Definisi Al-Diyat
Diyat (ٌ‫ ) ِديَة‬secara etimologi berasal dari kata ”wada-yadi-wadyan wa diyatan” (‫َودَى‬
ً‫ي َو ِديَة‬
ً ‫ )يَ ِدى َو ْد‬yang berarti denda berbentuk harta. Secara terminologi, diyat adalah harta yang
diserahkan kepada keluarga (ahli waris) kurban, akibat melakukan kejahatan kepada orang lain
dengan menghilangkan nyawa atau melukai orang 15. Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan
karena melakukan tindak jinayat kepada orang yang merdeka, baik pada jiwanya atau
selain jiwa16.
Diyat telah lama bermula sejak zaman Arab Jahiliyyah lagi. Ia adalah suatu hukuman
kesiksaan yang menjadi amalan turun temurun Bangsa Arab dan kemudian diterima dan
dipakai oleh undang-undang Islam dengan beberapa pengubahsuaian terhadap
pelaksanaan, penetapan kadar yang lebih spesifik dan sebagainya.

E. Dalil Tentang Al-Diyat


Q.S An-Nisa/4:92

14
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
h. 158.

15
Fuad Thohari, Hadits Ahkam, cet. I, h. 15
16
Syaikh Abdul Rahman Al-Jazairi. Fiqh 4 Mazhab (Juz 4 & 5). 2011. (Johor Baru:Perniagaan Jahabersa) h. 762.
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Hadis Sunan Ibnu Majah No. 2614 yaitu Rasulullah shallallahu ‗alaihi wa sallam bersabda, sbb.:

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Ad-Dimasyqi, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kmai Al-‘Auza’i telah
menceritakan kepadaku Yahya bin Abu Katsir dari Abu Abu Salamah dari Abu Hurairah,
ia berkata : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa memiliki saudara yang dibunuh, maka
hendaklah memilih yang terbaik diantara dua pilihan, membunuh (Qishash) atau
menerima diyat”
Dari hadits diatas, dapat dilihat bahwa sanad terletak pada awal hadits yaitu pada
kalimat “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Ad-Dimasyqi, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kmai Al-‘Auza’i telah
menceritakan kepadaku Yahya bin Abu Katsir dari Abu Abu Salamah dari Abu Hurairah,
ia berkata : Rasulullah bersabda”. Adapun matan dari hadits diatas ialah dari awal kalimat
“Barangsiapa memiliki saudara yang dibunuh, maka hendaklah memilih yang terbaik
diantara dua pilihan, membunuh (Qishash) atau menerima diyat”
F. Pendapat Para Imam Mengenai Nilai Diyat Pada Jiwa
Adapun sunah, sangat banyak sekali hadis. yang menielaskan hal ini. sedangkan iima
adalah kesepakatan para ulama tentang wajibnya diyat dilakukan. Menurut ulama
Hanafiah dan Syafiiyah serta Hanabilah, bahawa diyat dalam pembunuhan sengaJa
dibahagi tiga, baik dilaksanakan padanya Qisas atau dimaafkan atau tidak sama sekali.
Contohnya seperti pembunuhan yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya.yang
dimaksudkan dengan dibagi tiga adalah menjadikan diyat tersebut kepada tiga bahagian,
meskipun sebagian lebih banyak jumlahnya dari bagian lainnya. yaitu 30 ekor unta
berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5tahun (yang
sedang hamil). Dalilnya adalah khabar imam Tirmizi. |adi keberadaan diyat tersebut
sebagai diyat yang berat adalah dilihat dari tiga sisi yaitu keberadaan diyat untuk pelaku
jinayah keberadaannya yang dilaksanakan langsung atau tunai dan keberadaannya dari sisi
usia. Keberadaan diyat dalam pembunuhan sengaja atas pelaku jinayat, terbagi kepada tiga
bagian yang disegerakan, dan pada pembunuhan mirip sengaja dibahagian tiga untuk
'Aqilah namun ditunda atau secara berangsur.
Alasan mereka menyatakan bahwa diyat dalam pembunuhan sengaja dibayar segera
atau tunai, adalah karena untuk mengangungkan kesucian seorang muslim yang menjadi
korban tindak jinayat dan untuk menghilangkan kedengkian wali korban17.

G. Pembagian Diyat
Adapun dilihat dari dari kuantitas denda yang harus dibayarkan, digolongkan menjadi
dua macam, yaitu :
1. Diyat Mughalladzah (denda berat), yaitu membayar denda 100 ekor unta terdiri
dari: 30 hiqqatan (unta betina berumur 3 masuk 4 tahun), 30 ekor jadza‘atan (unta
betina umur 4 masuk 5 tahun), dan 40 ekor khalifatan (unta betina yang bunting).
2. Diyat Mukhaffafah (denda ringan), dengan membayar 100 ekor unta, terdiri dari:
20 ekor hiqqah, 20 ekor jadza‘ah, 20 ekor binta labun (unta betina lebih dari dua
tahun), dan 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari satu tahun),
dan 20 ekor unta binta makhad (unta betina berumur lebih dari satu tahun). Denda
ini wajib dibayarkan keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap
akhir tahun dibayar sepertiganya.
Diyat mukhafaffah (denda ringan) ini dijatuhkan kepada:

17
Syaikh Abdul Rahman Al-Jazairi. Fiqh 4 Mazhab (Juz 4 & 5). 2011. (Johor Baru:Perniagaan Jahabersa) h. 763.
1) Orang yang membunuh tidak disengaja (al-qatlu khata‘an) selain di tanah
Haram, bulan Haram dan, bukan kepada sesama Muslim. Masa
pembayarannya boleh diangsur selama tiga tahun.
2) Orang yang sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota
badan seseorang.
BAB III

PENUTUP

H. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan materi diatas, pendapat penulis mengenai JInayah adalah


suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum, dan itu merupakan perbuatan yang buruk juga
tercela. Sedangkan Al-Diyat adalah denda yang dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga
korban. Secara singkat Jinayah itu terbagi menjadi dua, yaitu Jinayah dengan jiwa dan
JInayah dengan organ. Sedangkan dilihat dari kuantitatif, Al-Diyat terbagi menjadi dua, yaitu
Diyat Mughalladzah (denda berat) dan Diyat Mukhaffafah (denda ringan). Menurut para
Imam, yaitu Imam Hanafiah, Syafiiyah serta Hanbal, bahwa diyat dalam pembunuhan
sengaja dibagi tiga, yaitu dilaksanakan padanya Qishas , dimaafkan, atau tidak sama sekali.

I. Kritik dan Saran

J. Daftar Pustaka

Al-Jazairi, S. A. (2011). FIQH 4 MAZHAB (Juzuk 4 & 5) (I ed.). (H. A. H.M. YUSUF Sinaga Lc.
MA, Ed.) Johor Baru: BIN HALABI PRESS.

Muhammad Najib, d. (2012). Diyat Dalam Perundangan Islam. Malaysia: MAJLIS


PENERBITAN ILMIAH MALAYSIA. Retrieved 2012

Thohari, F. (2016). Hadis Ahkam Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam. Yogyakarta, DIY
Yogyakarta, Indonesia: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai