Anda di halaman 1dari 23

Amrul Mutaqin

 Secara etimologi istishna’ berarti : “minta


dibuatkan”.

 Secara terminologi berarti :


“Suatu kontrak jual beli antara
pembeli/pemesan (mustasni’) dan
penjual/produsen (shani’) di mana pembeli
memesan barang (mashnu’) dengan kriteria
yang jelas dan harganya dapat diserahkan
secara bertahap”.
 Menurut ulama fiqh, istishna’ sama dengan
salam dari segi obyek pesanannya yaitu
sama- sama harus dipesan terlebih dahulu
dengan ciri-ciri/kriteria khusus •

 Perbedaannya ; pembayaran salam di awal


sekaligus, sedangkan pembayaran istisna’
dapat di awal, di tengah maupun di akhir.
 Bai’ Istishna’ ialah kontrak penjualan antara
mustashni’ (pembeli) dan shani’(supplier),
dengan cara pemesanan pembuatan barang,
seperti bangunan, jalan raya, pakaian,
furniture, sepatu, dsb.

 Kedua belah pihak sepakat atas harga serta


sistim pembayaran. Apakah pembayaran
dilakukan di muka, melalui cicilan atau
ditangguhkan pada masa yang akan datang.
 Menurut rumusan fatwa DSN MUI
Istisna’ ialah ”akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan/pembeli
(mustashni’) dan penjual/pembuat (shani’).
 Al Qur’an
“Hai orang –orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…. ….” (Al Baqarah:282).

 Al Hadits
Dari Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda
”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan :
jual beli secara tangguh, muqarradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual.” (hr Ibnu Majah).
 Hadits Nabi Muhammad Saw :

“Pendapatan yang paling afdhal adalah hasil


karya tangan seseorang dan jual beli yang
mambrur”. (H.R.Ahmad, Abu Zar dan
Thabrani).
 Menurut mazhab Hanafi, Bai’ al-istishna’
dibenarkan atas dasar/ dalil istihsan dan dalil
‘urf.
 Mazhab Hanafi menyetujui kontrak Istishna’ atas
dasar Istihsan karena alasan berikut :
1. Masyarakat telah mempraktekkan Bai’ Al -
Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
keberatan sama sekali. Hal ini menjadikan al-
istishna’ sebagai kasus Ijma atau konsensus
secara umum.
2. Dalam syariah dimungkinkan adanya
penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan
ijma’ ulama
3. Keberadaan Bai’ Al Istishna’ didasarkan atas
kebutuhan masyarakat. Banyak orang
membutuhkan barang yang tidak ada
dipasar sehingga mereka cenderung
melakukan kontrak agar orang lain
membuatkan barang untuk mereka
4. Bai’ Al Istishna’ sah sesuai dengan aturan
umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan nash aturan
syariah
 Rukun Bai’ Al-Istishna’ :

1. Mustashni’ (pembeli/pemesan)
2. Shani’(Penjual/produsen)
3. Mashnu’ (Barang pesanan)
4. Tsaman (Harga)
5. Shighat (Ijab Kabul)
 Syarat Bai’Al-Istishna’ :
1. Kedua belah pihak yang bertransaksi
berakal, cakap hukum dan mempunyai
kekuasaan untuk melakukan jual beli.
2. Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak
ingkar janji.
3. Shani’ menyatakan kesanggupan untuk
membuat barang itu.
4. Apabila bahan baku berasal dari Mushtasni’,
maka akad ini bukan lagi Istishna’, tetapi
berubah menjadi Ijarah.
5. Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya
bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi
Istishna’,tetapi berubah menjadi Ijarah.
6. Manshnu’ (barang yang dipesan)
mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis,
ukuran(tipe), mutu dan jumlahnya.
7. Barang yang dipesan tidak termasuk
kategori yang dilarang syara’ (najis, haram
/tidak jelas) atau menimbulkan
kemudharatan (menimbulkan maksiat)
 Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan
kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang (ibra’).
 Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui
sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang
harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli (pembeli, mustashni’) tidak boleh
menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang
tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
 Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai
dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang
tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual
beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan
Agama setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Namun para pihak dapat
memilih Badan Arbitrasi Syari’ah.
 Dasar Hukum

Fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002


Tentang Jual Beli Istishna’ Pararel.
Ketentuan Umum :

1. Jika LKS melakukan transaksi istishna’,


untuk memenuhi kewajibannya kepada
nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi
dengan pihak lain pada obyek yang sama,
dengan syarat istishna’ pertama tidak
tergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
2. LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan
untuk memungut MDC (margin during
construction) dari nasabah (shani’) karena
hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.

3. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam


akad istishna’ (Fatwa DSN Nomor 06/DSN-
MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna’
pararel.
Ketentuan Lain :

Jika salah satu pihak tidak menunaikan


kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan
Agama setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. Namun para pihak dapat
memilih Badan Arbitrasi Syari’ah.
 Dalam istishna’, pada awalnya bahan baku
yang dipesan berasal dari si pembuat barang.

 Jika bahan baku berasal dari pihak pemesan


atau pihak lain, maka tidak disebut sebagai
pemesanan, tetapi disebut menyewa tukang
(Ijarah).
 Namun perkembangan yang terjadi
kemudian, bisa saja pembeli/pemesan
mengizinkan Shani (bank) menggunakan sub
kontraktor untuk melaksanakan kontrak
tersebut.
 Dengan demikian bank dapat membuat
kontrak Bai’ Al Istishna’ kedua untuk
memenuhi kewajibannya kepada pihak
kontrak pertama. Kontrak baru ini disebut
Bai’ Al Istishna’Paralel.
 Bai’ Al Istishna Paralel merupakan salah satu
model pembiayaan dalam transaksi
perbankan syariah

Anda mungkin juga menyukai