Anda di halaman 1dari 14

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) GANJIL


Tahun Akademik 2022/2023

MATA KULIAH : Hukum Perikatan Islam


HARI / TANGGAL
: 12/01/2023
UJIAN
DOSEN MATA KULIAH : Rusli Subrata, SH., MH.
NAMA : Raka Amada SR
NIM/NPM : 201000295
SEMESTER / KELAS : V/07

1. a. Rukun dan syarat sahnya jual beli menurut mazhab Hanafi hanya sebatas ijab
dan qabul saja. Maka dari itu, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah
kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun jika
mempertimbangkan penjelasan dari ulama secara lebih luas, maka rukun jual
beli apa saja? Rukun jual beli ada empat, diantaranya:
1. Orang yang Berakad (Penjual dan Pembeli)
Maksud dari sini tentu sudah jelas, bahwa rukun jual beli tidak akan terjadi tanpa
adanya penjual dan pembeli. Penjual adalah pihak yang menawarkan barang
dagangannya, sementara pembeli adalah pihak yang membutuhkan barang tersebut
untuk dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

2. Sighat
Adapun sighat yaitu ijab dan qabul seperti perkataan penjual, “saya jual kepadamu
atau saya serahkan kepadamu.” Dan perkataan pembeli, “saya terima atau saya beli.”
Tidak sah serah terima sebagaimana yang bisa berlangsung dikalangan masyarakat,
karena tidak ada sighat (ijab kabul). Ibnu Syurairah berkata, “serah terima adalah
sah mengenai barang-barang dagangan yang remeh (tak berharga) dan biasa
dilakukan orang-orang. Ini adalah pendapat Ar-Ruyani dan lainnya.
Sighat tentu juga menjadi syarat sahnya proses pembelian properti dalam hukum
KPR syariah. Dalam dokumen Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah
terbitan Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan bahwa proses KPR syariah melibatkan
Sighat al-‘Aqad berupa ijab dan kabul. Syarat dalam ijab dan kabul ini meliputi:
Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga
dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.Tawafuq yaitu adanya kesesuaian
antara ijab dan kabul.
Jazmul iradataini yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak
secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

3. Ada Barang yang Dibeli


Rukun jual beli dalam Islam berikutnya adalah harus ada ma’qud ‘alaih alias barang
yang dibeli. Tidak sekedar harus adanya barang, namun juga dalam Islam diatur
kriteria bahwa barang yang diperjualbelikan harus mempunyai manfaat. Tujuannya
agar pihak yang membelinya tidak merasa dirugikan. Pengertian manfaat ini, tentu
saja bersifat relatif, karena pada dasarnya setiap barang mempunyai manfaat. Oleh
karenanya, untuk mengukur kriteria kemanfaatan ini hendaknya memakai kriteria
agama.

4. Ada Nilai Tukar Pengganti Barang


Merujuk definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah
saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Atau tukar-menukar sesuatu
yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Sehingga nilai tukar pengganti barangnya pun harus sesuai dan bisa diterima kedua
pihak yakni penjual dan pembeli.

Syarat
etelah rukun jual beli terpenuhi, maka selanjutnya adalah kedua belah pihak yakni
penjual dan pembeli melaksanakan syarat jual beli dalam Islam. Merangkum
berbagai sumber, syarat sahnya jual beli terdiri dari syarat subjek, syarat objek
dan lafadz. Berikut penjelasannya:

Syarat yang menyangut subjek jual beli

Bahwa penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus
memenuhi persyaratan yakni berakal sehat, dengan kehendaknya sendiri (bukan
dipaksa), keduanya tidak mubazir, dan terakhir adalah sudah baligh atau dewasa.

Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus
selalu didasarkan pada kesepakat antara penjual dan pembeli. Sesuai dengan
firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ Ayat 29 yaitu, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu”.

b. 1. Ba’i dari sisi obyek akad

• Menukar uang dengan barang. Misal: Menukar laptop dengan rupiah.

• Menukar barang dengan barang atau barter (muqayadhah). Misal: Menukar


handphone dengan jam tangan.

• Menukar uang dengan uang (sharf). Misal: Menukar Rupiah dengan Won.
2. Ba’i dari sisi waktu serah-terima

• Serah terima barang dan uang dengan cara tunai.

• Serah terima barang dan uang dengan cara uang dibayar di muka (akad
salam).

• Serah terima barang dan uang dengan cara barang diterima di muka dan
uang menyusul (jual beli kredit/tidak tunai/ba’i ajal).

• Serah terima barang dan uang tidak tunai atau jual beli hutang dengan
hutang (ba’i dain bi dain). Misal: Jual-beli buku dengan saling
menyepakati harga namun penjual tidak memiliki produk dan pembeli
tidak memiliki uang tunai. Setelah produk ada, produk dikirim kemudian
dan uang diserahkan kemudian.

3. Ba’i dari sisi penetapan harga

• Ba’i musawamah yaitu jual beli dengan cara tawar menawar. Misal: Suatu
barang yang dijual dengan ditetapkan harga tertentu oleh penjual tanpa
menyebutkan harga pokok dan pembeli diberi kesempatan untuk menawar
harga barang tersebut (bentuk asal ba’i).

• Ba’i amanah yaitu jual beli dengan cara penjual menyebutkan baik harga
pokok barang dan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini dibagi lagi
menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Ba’i murabahah, yakni penjual menyebutkan harga pokok barang dan


keuntungan yang didapatkannya dari menjual barang tersebut. Misal:
“Saya membeli barang ini seharga Rp 5.000 dan saya jual Rp 6.000 atau
dengan keuntungan 20% dari modal.”

2. Ba’i wadh’iyyah, yakni penjual menjual barang dagangannya dengan harga


jual di bawah harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini dengan harga
Rp 75.000 dan akan saya jual dengan harga Rp 50.000.”

3. Ba’i tauliyah, yakni penjual menjual barang dagangannya dengan harga


jual sama dengan harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini dengan
harga Rp 50.000 dan akan saya jual dengan harga yang sama.”

2. a. Akad kafalah merupakan salah satu contoh dari akad tabarru. Akad
kafalah ialah jaminan yang diberikan oleh seorang kafil kepada pihak
ketiga (yang menghutangi) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (yang
berhutang).

b. Menurut Suhendi (2002), rukun kafalah adalah sighat kafalah (ijab


qabul), makful bih (objek tanggungan), kafil (penjamin), makful'anhu
(tertanggung), dan makful lahu (penerima hak tanggungan). Adapun
penjelasan atas rukun kafalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sighat kafalah (ijab qabul). Sighat atau ijab qabul bisa diekspresikan
dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk
menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban.
Seperti ungkapan "aku akan menjadi penjagamu" atau "saya akan menjadi
penjamin atas kewajibanmu atas seseorang" atau ungkapan lain yang
sejenis. Ulama tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diungkapkan
dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya,
ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah
kewajiban.

2. Makful Bihi (objek tanggungan). Objek pertanggungan harus bersifat


mengikat terhadap diri tertanggung, dan tidak bias dibatalkan tanpa adanya
sebab syar'i. Selain itu objek tersebut harus merupakan tanggung jawab
penuh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak transaksi
barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat
mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu, nominal objek tertanggung
harus jelas, tidak diperbolehkan menanggung sesuatu yang tidak jelas
(majhul).

3. Kafil (penjamin). Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang


yang berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi
kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang baligh dan berakal.
Akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih
ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat
charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh
kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh guna
menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil tidak memiliki
hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

4. Makful'Anhu (tertanggung). Syarat utama yang harus melekat pada diri


tertanggung (makful'anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek
pertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang
mewakilinya. Selain itu makful'anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.

5. Makful lahu (penerima hak tanggungan). Ulama mensyaratkan makful


lahu harus dikenali oleh kafil, guna meyakinkan pertanggungan yang
menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga
disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan
berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal.

Kafalah bin nafs adalah perjanjian yang menjadikan diri seseorang


sebagai jaminan. Pada umumnya, contoh kafalah bin nafs adalah nama
baik seseorang ataupun kredibilitas yang dimiliki orang tersebut.

Kafalah bil mal adalah menjadikan seseorang sebagai penjamin orang


tersebut dengan syarat orang tersebut membayar nominal uang
tertentu kepada si penjamin dalam akad kafalahnya.

c. Rukun-rukun Rahn (gadai)

1. Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini
dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai
mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-
kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai
(murtabin). Adapun sarat yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu
membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan gadai.

3. Barang yang diajadikan jaminan, sarat pada benda yang dijadikan jaminan
ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar.
Rasul bersabda:

“Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg gadai”.

Syarat Rahn

1. Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al


ahliyah yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan
mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak
kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari
walinya dibolehkan melakukan rahn.

2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn
jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap
sah.

3. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn.
Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang
harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.

3. Akad musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak yang saling memberikan
kontribusi berupa dana untuk membangun sebuah usaha, dengan keuntungan dan
resiko yang akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

Selain rukun, Anda juga perlu memperhatikan ketentuan musyarakah sebagai


berikut:
• Perikatan dapat diwakilkan sesuai izin masing-masing pihak

• Persentase pembagian keuntungan diketahui para pihak ketika


melangsungkan akad.

• Keuntungan ditentukan dalam bentuk persentase, bukan dalam jumlah


pasti.

Akad jenis ini banyak terjadi di sekitar kita. Sebagian besar akad tersebut
dilakukan dalam praktik perbankan, seperti contoh berikut ini:

Pembiayaan Modal Kerja Bank

Bank akan berperan sebagai pihak pemberi modal (shahibul maal) yang akan
melihat kelayakan suatu bisnis sebelum diberi pembiayaan. Selanjutnya bank
akan meneliti perkembangan bisnis itu secara berkala agar keuntungan yang
diperoleh murni berasal dari bisnis nasabahnya.

Proses peminjaman, pemberian modal, atau proses pembiayaan adalah salah satu
pelayanan yang ditawarkan oleh bank syariah dan sangat berguna untuk para
nasabahnya. Salah satu yang menarik adalah pembiayaan melalui skema
mudharabah. Pengertian mudharabah bisa dilihat dari asal kata “dhard” yang
berarti “hit” atau “berjalan”. Dalam ekonomi Islam, memukul adalah proses
memukul kaki seseorang dalam menjalankan bisnis.

Pengertian mudharabah dapat dimaknai sebagai perjanjian kerjasama bisnis


antara kedua belah pihak. Para pihak, sebagai pemilik dana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh dana (100%), sedangkan pengelola dana
sebagai pihak kedua, yang berfungsi sebagai pengelola. Dalam konsep
Mudharabah, kepentingan bisnis sesuai dengan semua kesepakatan para pihak
yang tercantum dalam perjanjian akan dibagikan.

ketentuan pembiayaan dalam mudharabah.

1. Disalurkan dari shahibul maal pada pihak lain untuk melakukan usaha yang
produktif. Contohnya shahibul maal Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
2. LKS akan membiayai 100% kebutuhan bisnis, kemudian pengelola atau
mudharib akan mengelola bisnis tersebut dari pembiayaan tersebut.

3. Ketentuan tentang jangka waktu, cara pengembalian dana dan pembagian


keuntungan dalam mudharabah harus ditentukan dalam perjanjian antara
kedua belah pihak dengan jelas dan transparan.

4. LKS tidak ikut campur dalam manajemen perusahaan atau pengelolaan


keuangan pihak mudharib, tetapi bisa melakukan pengawasan terhadapnya.

5. Ketentuan tentang modal dan keuntungan mudharabah harus memenuhi


semua rukun mudharabah.

6. LKS menanggung semua kerugian dalam aktivitas mudharabah, kecuali


bentuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, kesengajaan, atau
wanprestasi dari mudharib. Dari sebab tersebut, maka mudharib akan
menanggung semua biaya operasional usahanya.

7. Pembiayaan mudharib tidak memerlukan jaminan, tetapi jaminan ini bisa


ada untuk mencegah mudharib tidak wanprestasi.

8. Prosedur dalam pembiayaan, kriteria pihak yang terlibat, dan sebagainya


telah diatur oleh LKS sesuai dengan fatwa DSN yang berlaku.

9. Jika LKS tidak menjalankan kewajibannya sesuai dalam kontrak, maka


mudharib bisa meminta ganti rugi atas biaya yang dikeluarkannya.

Contoh Mudharabah

Misalnya, dalam dua pihak saja shahibul maal bermitra terhadap usaha untuk
usaha percetakan yang berjalan selama sembilan bulan. Shahibul maal
memberikan uang sebagai modal usaha sebesar Rp20 juta, sehingga bagi hasil
yang terjadi adalah 40:70.

4. a. Multi akad adalah penggabungan dua akad atau lebih dalam satu
transaksi, yang dalam istilah fiqhi dikenal dengan sebutan al-uqud al-
murakkabah. Permasalahan multi akad masih menjadi polemik di kalangan
para ahli fiqhi dikarenakan adanya larangan mengenai hal tersebut.

Ada dua bentuk multi akad ini, yaitu: 1) Ahmad meminjamkan uang
kepada Basyir dengan syarat Ahmad meminjamkan uang lagi kepada
Basyir di waktu lain; 2) Ahmad meminjamkan uang kepada Basyir
dengan syarat Basyir meminjamkan uang kepada Ahmad.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan


diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan
bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya.

b. 1. Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd al-mutaqâbilah)

al-mutaqâbila menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan


berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-’uqûd al-Mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk
akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama
bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan
kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.

2. Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)

Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad.
Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh "Saya jual
rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu
bulan dengan harga lima ratus ribu".

Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek
dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua
objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas
satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang
berbeda.

3. Akad berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-


mutanâfiyah)

Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki


kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi
ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda.

Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang


berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama.
Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah.
Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan.
Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling
mendukung, melainkan mematahkan.

4. Akad berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)

Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya


dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua
akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli
dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam
jual beli sebaliknya. Contoh lain,
akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat
akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan
pada saat akad.

Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang mutanâqidhah,


mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing.
Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang
lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan
menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung
adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya.Dari
pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad
yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang tidak
boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap
tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.

5. a. Dalam Islam ada tiga system dalam menyelesaikan sengketa atau


perselisihan; yaitu: secara damai (as-shulh), arbitrase (at- tahkim), dan
peradilan (al- qadha).

a.Secara Damai (as-shulh)

Islam mengajarkan agar para pihak yang terjadi sengketa, harus melakukan
perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah oleh pihak-
pihak yang bersengketa.

b. Secara Arbitrase (at- tahkim)

Dalam cara arbitrase (tahkim), para pihak yang bersengketa menunjuk


perwakilan mereka masing (hakam), untuk menyelesaikan sengketa
mereka. Pada tanggal 21 Oktober 1993 MUI membentuk Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). Kemudian pada tanggal 24 Desember 2003
berdiri Badan Arbitrase Syariah Nasional (basyarnas) sebagai ganti
BAMUI. Yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata secara Islam.

c. Melalui Lembaga Peradilan (al- qadha)

Apabila para pihak bersengketa, tidak berhasil melakukan as-shulh atau at-
tahkim, atau para pihak tidak mau melakukan kedua cara tersebut, maka
salah satu pihak bisa mengajukan masalahnya ke pengadilan agama.

b. 1. Al Quran

Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.

Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad
SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia
serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan
kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.

Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan


atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai
tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar.

Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:

َ ‫ض‬
‫ظ ِهي ًْرا‬ ُ ‫ع ٰلٰٓى اَ ْن يَّأْت ُ ْوا ِب ِمثْ ِل ٰهذَا ْالقُ ْر ٰا ِن َْل يَأْت ُ ْونَ ِب ِمثْ ِل ٖه َولَ ْو َكانَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم ِلبَ ْع‬ َ ‫س َو ْال ِج ُّن‬ ِْ ‫ت‬
ُ ‫اْل ْن‬ ِ ‫قُ ْل لَّ ِٕى ِن اجْ تَ َم َع‬

Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat


yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."

2. Hadits

Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda,
perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber
hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran
yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT
dalam Q.S Ali Imran ayat 32:

٣٢ - َ‫ّٰللاَ َْل ي ُِحبُّ ْال ٰك ِف ِريْن‬


‫س ْو َل ۚ فَا ِْن ت ََولَّ ْوا فَا َِّن ه‬ ‫قُ ْل اَ ِط ْيعُوا ه‬
ُ ‫ّٰللاَ َوال َّر‬

Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai
pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru
yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah
SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

3. Ijma

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk
Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam
dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty
Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas
segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi
dan teknologi modern.

Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf,
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.

Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma
sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat
maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat
langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan
tidak dalam forum pun sulit dilakukan.

Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara
seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu
masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui
orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang
menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah
meneliti pendapat itu.

4. Qiyas

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk
sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang
amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas
menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada
ijma.

Anda mungkin juga menyukai