1. a. Rukun dan syarat sahnya jual beli menurut mazhab Hanafi hanya sebatas ijab
dan qabul saja. Maka dari itu, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah
kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun jika
mempertimbangkan penjelasan dari ulama secara lebih luas, maka rukun jual
beli apa saja? Rukun jual beli ada empat, diantaranya:
1. Orang yang Berakad (Penjual dan Pembeli)
Maksud dari sini tentu sudah jelas, bahwa rukun jual beli tidak akan terjadi tanpa
adanya penjual dan pembeli. Penjual adalah pihak yang menawarkan barang
dagangannya, sementara pembeli adalah pihak yang membutuhkan barang tersebut
untuk dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
2. Sighat
Adapun sighat yaitu ijab dan qabul seperti perkataan penjual, “saya jual kepadamu
atau saya serahkan kepadamu.” Dan perkataan pembeli, “saya terima atau saya beli.”
Tidak sah serah terima sebagaimana yang bisa berlangsung dikalangan masyarakat,
karena tidak ada sighat (ijab kabul). Ibnu Syurairah berkata, “serah terima adalah
sah mengenai barang-barang dagangan yang remeh (tak berharga) dan biasa
dilakukan orang-orang. Ini adalah pendapat Ar-Ruyani dan lainnya.
Sighat tentu juga menjadi syarat sahnya proses pembelian properti dalam hukum
KPR syariah. Dalam dokumen Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah
terbitan Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan bahwa proses KPR syariah melibatkan
Sighat al-‘Aqad berupa ijab dan kabul. Syarat dalam ijab dan kabul ini meliputi:
Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga
dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.Tawafuq yaitu adanya kesesuaian
antara ijab dan kabul.
Jazmul iradataini yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak
secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Syarat
etelah rukun jual beli terpenuhi, maka selanjutnya adalah kedua belah pihak yakni
penjual dan pembeli melaksanakan syarat jual beli dalam Islam. Merangkum
berbagai sumber, syarat sahnya jual beli terdiri dari syarat subjek, syarat objek
dan lafadz. Berikut penjelasannya:
Bahwa penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus
memenuhi persyaratan yakni berakal sehat, dengan kehendaknya sendiri (bukan
dipaksa), keduanya tidak mubazir, dan terakhir adalah sudah baligh atau dewasa.
Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus
selalu didasarkan pada kesepakat antara penjual dan pembeli. Sesuai dengan
firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ Ayat 29 yaitu, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu”.
• Menukar uang dengan uang (sharf). Misal: Menukar Rupiah dengan Won.
2. Ba’i dari sisi waktu serah-terima
• Serah terima barang dan uang dengan cara uang dibayar di muka (akad
salam).
• Serah terima barang dan uang dengan cara barang diterima di muka dan
uang menyusul (jual beli kredit/tidak tunai/ba’i ajal).
• Serah terima barang dan uang tidak tunai atau jual beli hutang dengan
hutang (ba’i dain bi dain). Misal: Jual-beli buku dengan saling
menyepakati harga namun penjual tidak memiliki produk dan pembeli
tidak memiliki uang tunai. Setelah produk ada, produk dikirim kemudian
dan uang diserahkan kemudian.
• Ba’i musawamah yaitu jual beli dengan cara tawar menawar. Misal: Suatu
barang yang dijual dengan ditetapkan harga tertentu oleh penjual tanpa
menyebutkan harga pokok dan pembeli diberi kesempatan untuk menawar
harga barang tersebut (bentuk asal ba’i).
• Ba’i amanah yaitu jual beli dengan cara penjual menyebutkan baik harga
pokok barang dan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini dibagi lagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
2. a. Akad kafalah merupakan salah satu contoh dari akad tabarru. Akad
kafalah ialah jaminan yang diberikan oleh seorang kafil kepada pihak
ketiga (yang menghutangi) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (yang
berhutang).
1. Sighat kafalah (ijab qabul). Sighat atau ijab qabul bisa diekspresikan
dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk
menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban.
Seperti ungkapan "aku akan menjadi penjagamu" atau "saya akan menjadi
penjamin atas kewajibanmu atas seseorang" atau ungkapan lain yang
sejenis. Ulama tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diungkapkan
dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya,
ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuah
kewajiban.
1. Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini
dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai
mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-
kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai
(murtabin). Adapun sarat yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu
membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang diajadikan jaminan, sarat pada benda yang dijadikan jaminan
ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar.
Rasul bersabda:
“Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg gadai”.
Syarat Rahn
2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn
jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap
sah.
3. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn.
Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang
harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.
3. Akad musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak yang saling memberikan
kontribusi berupa dana untuk membangun sebuah usaha, dengan keuntungan dan
resiko yang akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Akad jenis ini banyak terjadi di sekitar kita. Sebagian besar akad tersebut
dilakukan dalam praktik perbankan, seperti contoh berikut ini:
Bank akan berperan sebagai pihak pemberi modal (shahibul maal) yang akan
melihat kelayakan suatu bisnis sebelum diberi pembiayaan. Selanjutnya bank
akan meneliti perkembangan bisnis itu secara berkala agar keuntungan yang
diperoleh murni berasal dari bisnis nasabahnya.
Proses peminjaman, pemberian modal, atau proses pembiayaan adalah salah satu
pelayanan yang ditawarkan oleh bank syariah dan sangat berguna untuk para
nasabahnya. Salah satu yang menarik adalah pembiayaan melalui skema
mudharabah. Pengertian mudharabah bisa dilihat dari asal kata “dhard” yang
berarti “hit” atau “berjalan”. Dalam ekonomi Islam, memukul adalah proses
memukul kaki seseorang dalam menjalankan bisnis.
1. Disalurkan dari shahibul maal pada pihak lain untuk melakukan usaha yang
produktif. Contohnya shahibul maal Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
2. LKS akan membiayai 100% kebutuhan bisnis, kemudian pengelola atau
mudharib akan mengelola bisnis tersebut dari pembiayaan tersebut.
Contoh Mudharabah
Misalnya, dalam dua pihak saja shahibul maal bermitra terhadap usaha untuk
usaha percetakan yang berjalan selama sembilan bulan. Shahibul maal
memberikan uang sebagai modal usaha sebesar Rp20 juta, sehingga bagi hasil
yang terjadi adalah 40:70.
4. a. Multi akad adalah penggabungan dua akad atau lebih dalam satu
transaksi, yang dalam istilah fiqhi dikenal dengan sebutan al-uqud al-
murakkabah. Permasalahan multi akad masih menjadi polemik di kalangan
para ahli fiqhi dikarenakan adanya larangan mengenai hal tersebut.
Ada dua bentuk multi akad ini, yaitu: 1) Ahmad meminjamkan uang
kepada Basyir dengan syarat Ahmad meminjamkan uang lagi kepada
Basyir di waktu lain; 2) Ahmad meminjamkan uang kepada Basyir
dengan syarat Basyir meminjamkan uang kepada Ahmad.
Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad.
Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh "Saya jual
rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu
bulan dengan harga lima ratus ribu".
Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek
dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua
objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas
satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang
berbeda.
Islam mengajarkan agar para pihak yang terjadi sengketa, harus melakukan
perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah oleh pihak-
pihak yang bersengketa.
Apabila para pihak bersengketa, tidak berhasil melakukan as-shulh atau at-
tahkim, atau para pihak tidak mau melakukan kedua cara tersebut, maka
salah satu pihak bisa mengajukan masalahnya ke pengadilan agama.
b. 1. Al Quran
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad
SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia
serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan
kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
َ ض
ظ ِهي ًْرا ُ ع ٰلٰٓى اَ ْن يَّأْت ُ ْوا ِب ِمثْ ِل ٰهذَا ْالقُ ْر ٰا ِن َْل يَأْت ُ ْونَ ِب ِمثْ ِل ٖه َولَ ْو َكانَ بَ ْع
ٍ ض ُه ْم ِلبَ ْع َ س َو ْال ِج ُّن ِْ ت
ُ اْل ْن ِ قُ ْل لَّ ِٕى ِن اجْ تَ َم َع
2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda,
perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber
hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran
yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT
dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
3. Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk
Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam
dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty
Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas
segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi
dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf,
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma
sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat
maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat
langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan
tidak dalam forum pun sulit dilakukan.
Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara
seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu
masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui
orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang
menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah
meneliti pendapat itu.
4. Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk
sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang
amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas
menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada
ijma.