1. Pengertian muamalah
Muamalah adalah hubungan antarmanusia, hubungan sosial atau
hablumminannas. Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur
hubungan antara seseorang dan orang lain.
Muamalah berasal dari kata amala, yang artinya bekerja. Muamalah adalah kata
sifat dari kata “amala” yang berarti suatu praktik pekerjaan. Muamalah secara bahasa
berarti saling melakukan atau saling menukar. Artinya perbuatan muamalah adalah
perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang yang berakibat timbulnya hak dan
kewajiban.
Para ulama menjabarkan kata muamalah ini menjadi suatu praktik berkaitan
dengan hukum jual-beli, hukum akad (perjanjian), hukum pinjam meminjam dan yang
berkaitan dengan masalah sosial-ekonomi lainnya.
Para fuqaha’ telah menjelaskan bahwa mu’amalah, baik jual beli, sewa menyewa,
dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam
mu’amalah juga adalah halal dan diperbolehkan.
3. Prinsip-prinsip muamalah
a. Muamalah adalah Urusan Duniawi, maksudnya adalah urusan muamalah berbeda
dengan ibadah di mana dalam ibadah semua perbuatan dilarang kecuali yang
diperintahkan sedangkan dalam muamalah semua boleh dilakukan kecuali yang
dilarang, oleh karena itu semua bentuk transaksi dan akad muamalah boleh dilakukan
oleh manusia asal tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.
b. Mumalah harus didasarkan kepada persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak,
artinya dasar dari bermuamalah adalah kerelaan dari kedua belah pihak bagaimana
pun bentuk akad dan transaksi muamalah selama kedua belah pihak rela dan sepakat
serta tidak melanggar ketentuaan syara’ itu diperbolehkan.
c. Adat kebiasaan dijadikan dasar hukum, maksudnya dalam bermuamalah setiap daerah
atau kelompok mempunyai kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan
bertahun-tahun yang selanjutnya menjadi adat kebiasaan dalam bermuamalah jika
adat dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan syara’ dan diakui oleh masyarakat
maka hal itu sah dijadikan sebagai dasar hukum.
d. Tidak boleh merugikan orang lain dan diri sendiri, maksudnya tujuan bermuamalah
adalah mencari keuntungan yang tidak merugikan orang lain, maka dari itu dalam
bermuamalah haruslah sama-sama menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat.
e. Mendatangkan manfaat, menghindari mudharat, hal ini mengarahkan para pihak yang
bermuamalah unutk menghindari perbuatan yang sia-sia dan mubazir. Serta
mewaspadai potensi risiko yang akan terjadi.
f. Memelihara nilai keadilan, muamalah yang dilakukan adalah perbuatan yang
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan penindasan. Dan juga mengambil
kesempatan dalam kesulitan orang lain.
b. Mudharabah
Adalah akad untuk mengikat kerjasama antara dua pihak yaitu pemodal
(shahib al-mal) dan pelaksana usaha (mudharib), akad mudharabah juga disebut bagi
hasil bagi sebagian orang. Caranya dengan menentukan berapa persen bagian
keuntungan yang akan diterima oleh kedua pihak.
Mudharib wajib mengembalikan modal yang dipinjamkan dan membayarkan
bagian keuntungan yang telah ditentukan dengan tenggat waktu atau masa kontrak
yang disetujui atau tanpa masa kontrak. Mudharib wajib mengikuti aturan yang telah
disepakati kedua belah pihak, semisal apabila pemodal menghendaki mudharib untuk
tidak menjual komoditas tertentu misalnya, akan tetapi tetap menjualnya maka
mudharib menanggung resiko penuh atas modal yang dipinjamnya.
Bagi pemodal atau shahib al-mal, ia menanggung resiko kehilangan modal
yang ditanamnya, aset yang dibeli menggunakan uangnya merupakan milik pemodal.
Apabila mudharib melanggar kontrak maka mudharib wajib menanggung resiko
penuh untuk mengganti modal yang ia pinjam.
Dalam akad mudharabah besaran nominal keuntungan tidak ditentukan di
awal perjanjian, akan tetapi porsi keuntungan atau persentase yang didapat yang di
tentukan di awal.
Rukun jual-beli:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli);
2. Sighat (ijab dan kabul), yaitu transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak;
3. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang), yaitu sesuatu yang menjadi objek jual;
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Syarat jual-beli:
1. Syarat orang yang berakad
Berakal dan yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,
seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual
sekaligus sabagai pembeli.
2. Syarat shighah
a. Maksud shighah harus jelas dan bisa dipahami. Spesifikasi objek jual-beli
manfaat yang dimaksud harus jelas, rinci, bisa dimengerti oleh pelaku akad.
b. Ada kesesuaian antara ijab dan kabul. Ijab dan kabul harus sesuai dengan
maksud dan tujuan akad. Hal ini untuk menghindari transaksi jual-beli yang
gharar.
c. Ijab dan kabul dilakukan berturut-turut, sehingga langsung bisa diketahui
maksud dan tujuan akad.
d. Keinginan melakukan akad pada saat itu. Pihak-pihak yang berakad memang
memiliki keinginan berakad pada saat transaksi terjadi. Pihak yang
bertransaksi tidak boleh dalam kondisi terpaksa atau tidak sadar.
3. Syarat ma’qud ‘alaih
a. Barang itu ada atau tidak ada di tempat tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat.
c. Barang yang dijual harus milik penjual.
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati
bersama ketika transaksi berlangsung.
e. Barang dapat diketahui oleh penjual dan pembeli.
4. Syarat nilai tukar (harga)
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti
pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar
dikemudian (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas.
c. Apabila jual-beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka
barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’,
seperti babi dan khamr, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut
syara’. Begitu juga dengan objek jual-beli jasa, jasa yang diperjualbelikan
juga tidak boleh jasa-jasa yang diharamkan syariat Islam, seperti jasa
pelacuran, jasa kurir narkoba, dan sejenisnya.
e. Titipan (wadi’ah)
Adalah akad dimana seseorang menitipkan barang berharganya kepada
seseorang yang ia percaya dan memberikan biaya atas jasa simpanan yang ia lakukan,
pada akad ini kita dapati juga pada ekonomi konvensional semisal deposit box.
Landasan hukum :
a. Adanya pengakuan terhadap hak individu, namun dibatasi agar tidak terjadi monopoli
yang merugikan masyarakat umum.
b. Adanya pengakuan akan hak umat atau umum, dimana hak umat lebih diutamakan
dibanding hak lainnya.
c. Adanya keyakinan bahwa manusia hanya memegang amanah dari yang Mahakuasa,
segala kelimpahan harta yang dimiliki manusia ialah berasal dari Allah sang Maha
Segalanya.
d. Adanya konsep halal dan haram, dimana semua produk “barang dan jasa” harus bebas
dari unsur haram yang dilarang dalam islam.
e. Adanya sistem sedekah, yaitu distribusi kekayaan secara merata dari yang kaya
kepada yang kurang mampu.
f. Tidak memperbolehkan adanya bunga atau tambahan dari suatu pinjaman, sehingga
hutang-piutang hanya memperbolehkan konsep bagi hasil.
g. Adanya larangan menimbun harta kepada umat Islam, hal ini dianggap menghambat
aliran harta dari yang kaya kepada yang miskin dan dianggap sebagai kejahatan besar.
2. Bunga bank
Bunga bank adalah ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki tenggang
waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari
pinjaman sejumlah tambahan tetap.
Dilihat dari sistem pengelolahannya, bank dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu bank konvensional dan bank syariah.
a. Bank konvensional
Bank konvensional adalah bank yang menggunakan sistem bunga dalam
bertransaksi dengan nasabah. Bank jenis ini ada dua macam, yaitu bank umum dan
bank perkreditan.
Pokok persoalannya sekarang ialah bagaimana perdagangan hukum Islam
terhadap umat Islam yang menggunakan jasa bank konvensional. Pertanyaan ini
mendapatkan jawaban yang berbeda dari para ulama. Dengan mengambil dasar:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” (Q.S. Ali ‘Imran:130), ada ulama yang mengatakan haram, mubah,
dan mutasyabihat (tidak jelas halal haramnya).
b. Bank syariah
Bank syariah adalah bank yang dirancang sesuai dengan ajaran atau syariat
Islam. Perbankan Islam yang beroperasi atas prinsip syirkah (mitra usaha) telah
diakui di seluruh dunia. Artinya, seluruh bagian sistem perbankan yakni pemegang
saham, depositor, investor, dan peminjam turut berperan serta atas dasar mitra usaha.
Perbedaan pokok antara bank konvensional dan bank syariah adalah
operasionalnya. Pada bank konvensional, sistem operasionalnya didasarkan pada
bunga, sedangkan pada bank syariah dalam menjalankan usahanya minimal
mempunyai lima prinsip operasional yang terdiri dari: sistem simpanan, sistem bagi
hasil, margin keuntungan, sewa, dan fee.
Akan tetapi banyaknya pelayanan dan transaksi, sering dijumpai praktik
menyimpang dari perbankan syariah. Misalnya dalam akad musyawarah, penentuan
margin sepenuhnya dilakukan oleh Bank Syariah. Penentuan sepihak tidak
diperbolehkan karena dalam akad harus ada keterbukaan dari pihak bank.
Kebanyakan Bank syariah tidak menyerahkan barang kepada nasabah, tetapi memberi
uang kepada nasabah sebagai wakil untuk membeli barang yang dibutukan. Hal ini
menyimpang dari aturan fikih, karena ada dua transaksi dalam satu akad yaitu
wakalah dan murabahah.
Selain itu, dalam praktik masih ada bank syariah yang hanya mau memberikan
pembiayaan pada usaha yang sudah berjalan selama kurun waktu tertentu, artinya
bank memilih calon nasabah (mudharib). Pembagian return pembiayaan tidak
berdasarkan pada sistem bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing). Sistem ini
dipilih karena bank syariah belum sepenuhnya berani berbagi resiko secara penuh.
Jika keadaannya seperti ini maka dapat dikatakan bahwa kegiatan bank syariah belum
secara sempurna mengacu pada tujuan Ekonomi Islam.
1. Pengertian etos
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian,
watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan,
pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dalam etos terkandung gairah atau
semangat yang amat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
2. Pengertian kerja
Bekerja bagi seorang muslim merupakan “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa
syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang
terbaik.
“Bekerjalah hai keluarga (Raja dan Nabi) Daud sebagai ungkapan syukur (kepada
Allah). Sayangnya sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Qs.
Saba’: 13)
f. Memiliki kedisiplinan
Kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun
dalam situasi yang sangat menekan. Pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati
dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggungjawab memenuhi kewajibannya.
g. Konsekuen dan berani menghadapi tantangan
Kemampuan untuk melakukan pengendalian dan mengelola emosinya
menjadi daya penggerak positif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya.
h. Memiliki sikap percaya diri
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian dan tegas dalam bersikap.
Berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi
berupa tantangan dan penolakan.
i. Memiliki kreatifitas
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru
dan asli, sehingga hasil kinerja dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif.
Seorang yang kreatif pun bekerja dengan informasi, data, dan mengolahnya
sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar.
j. Memiliki tanggungjawab
Sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah;
dengan penuh rasa cinta, ia ingin menunaikannya dengan bentuk pilihan-pilihan yang
melahirkan amal prestatif.
k. Memiliki rasa bahagia karena melayani
Melayani dengan cinta, bukan karena tugas atau pengaruh dari luar, melainkan
benar-benar sebuah obsesi yang sangat mendalam bahwa aku bahagia karena
melayani. Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan
kepedulian terhadap nilai kemanusiaan.
f. Struktur ekonomi
Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota
masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan
penuh.
g. Motivasi intrinsik individu
Individu yang akan memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang
bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan atau sikap yang didasari
oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu
motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang yang bukan
bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam dalam diri sendiri, yang sering disebut
dengan motivasi instrinsik.
b. Faktor eksternal penghambat etos kerja, seperti: pemimpin yang tidak dapat
mengorganisir sistem kerja dengan baik dan tidak mampu menjadi teladan bagi
bawahannya; hubungan dengan atasan dan dengan sesama rekan kerja yang buruk;
tidak ada kesempatan untuk maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan, jaminan
sosial yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan; kondisi lingkungan fisik,
seperti penerangan dan sirkulasi udara yang buruk, fasilitas yang tidak memadai,
penataan ruang kerja yang buruk atau tidak tepat, dan sebagainya.
e. Paham jabariyah
Ciri orang yang berpaham jabariyah di masa kini antara lain tidak rasional,
negatif, dan pesimis terhadap dunia. Paham ini juga berimplikasi pada kekeliruan
dalam memaknai tawakal. Tawakal sering disalahartikan sebagai menyerah dan
pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib. Padahal, arti tawakal yang sebenarnya
ialah berusaha dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh setelah itu baru menyerahkan
hasilnya kepada Allah Swt, bukan bermakna meninggalkan ikhtiar dan usaha,
kemudian hanya berpasrah pada nasib atau dapat diistilahkan kalah sebelum
berperang.