Anda di halaman 1dari 22

AKAD SALAM

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu: Taufiq Hidayat Nazar, Lc., M.H

Disusun Oleh:
Dea Selviana 2002012004

Gita Elsa Safitri 2002011010

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM (AHWAL SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH

INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

SEMESTER GENAP TA. 2021/2022


DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Salam.........................................................................................3

B. Dasar Hukum Akad Salam....................................................................................4

C. Rukun Dan Syarat Akad Salam............................................................................5

D. Penerapan Akad Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah...........................9

E. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa...............................13

F. Etika dalam Jual Beli Salam..................................................................................13

G. Keuntungan dan Manfaat Akad Salam..............................................................14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................15

B. Saran........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Akad Salam merupakan salah satu jenis akad jual beli, dimana pembeli
membayar terlebih dahulu atas suatu barang yang spesifikasi dan kuantitasnya jelas,
sedangkan barangnya baru akan diserahkan pada saat tertentu dikemudian hari.
Dengan demikian, akad salam dapat membantu produsen dalam penyediaan modal
sehingga ia dapat menyerahkan produk sesuai dengan yang telah dipesan
sebelumnya. Sebaliknya, pembeli mendapat jaminan memperoleh barang tertentu,
pada saat ia membutuhkan dengan harga yang disepakatinya di awal. Akad salam
biasanya digunakan untuk pemesanan barang tertentu.1 Manfaat akad salam bagi
pembeli adalah jaminan memperoleh barang dalam jumlah dan kualitas tertentu
pada saat ia membutuhkan dengan harga yang telah disepakatinya diawal.
Sementara manfaat bagi penjual adalah diperolehnya dana untuk melakukan
aktifitas produksi dan memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya.2

Jual beli salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan. Hal ini
berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an. Rukun salam adalah
penjual dan pembeli, ada barang dan uang, ada sighat. Sedangkan syarat jual beli
salam menurut kesepakatan para ulama ada lima, yaitu jenis obyek jual beli salam
harus jelas, sifat obyek jual beli salam harus jelas, kadar atau ukuran obyek jual beli
salam harus jelas, jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas, asumsi
modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.3 Dengan
menggunakan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau gharar.4

1
Sri Sofiana Amni, Ani Faujiah, “Manajemen Akad Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah,” Jurnal Ekonomi
Syariah No.1/Maret 2020, 20.
2
Ibid.
3
Saprida, “Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli,” Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah 2016, 121.
4
Ibid., 122.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dalam hal ini penulis akan

menetapkan beberapa rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:

1. Pengertian Akad Salam

2. Dasar Hukum Akad Salam

3. Syarat dan Rukun Akad Salam

4. Penerapan Akad Salam di Lembaga Keuangan Syariah

5. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa

6. Etika dalam Jual Beli Salam

7. Keuntungan dan Manfaat Akad Salam

C. Tujuan Penulisan

Adapun sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah diatas

dalam penulisan dengan ini penulis memiliki tujuan dari penulisan

makalah, diantaranya sebagai berikut:

1. Memahami terkait apa itu Akad Salam

2. Mengetahui dasar Hukum Akad Salam

3. Mengetahui Syarat dan Rukun Akad Salam

4. Memahami Penerapan Akad Salam di Lembaga Keuangan Syariah

5. Mengetahui Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa

6. Memahami Etika dalam Jual Beli Salam

7. Mengetahui Keuntungan dan Manfaat Akad Salam

2
BAB II

AKAD SALAM

A. Pengertian Akad Salam

As-salam (‫ )السالم‬dalam istilah fikih disebut juga as-salaf. Secara etimologis


kedua kata memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaran dan
mengakhirkan barang. Penggunaan kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-
orang Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-
orang Irak. Secara terminologis, salam adalah menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan
dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan di kemudian hari.

Menurut Sayyid Sabiq, as-salam adalah penjualan sesuatu dengan kriteria


tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran segera atau
disegerakan. Selain definisi tersebut, terdapat beberapa definisi lain mengenai salam
yang berkembang di kalangan fukaha, antara lain:

Syafi’iyah dan Hambali mendefinisikan jual beli salam dengan : ” Akad yang
disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad.”

Sedangkan Malikiyah mendefinisikan jual beli salam sebagai : “Jual beli yang
modalnya dibayar dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang
disepakati.”

Dari berbagai definisi di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud jual beli
salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannya dilaksanakan ketika akad
berlangsung dan penyerahan barang dilaksanakan di akhir sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalam menggunakan akad salam,
hendaknya menyebutkan sifat-sifat dari objek jual beli salam yang mungkin bisa
dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang bisa ditakar, ditimbang, maupun
diukur. Disebutkan juga jenisnya dan semua identitas yang melekat pada barang
yang dipertukarkan yang menyangkut kualitas barang tersebut. Jual beli salam juga
dapat berlaku untuk mengimpor barang-barang dari luar negeri dengan
menyebutkan sifat-sifatnya, kualitas, dan kuantitas. Penyerahan uang muka dan
penyerahan barangnya dapat dibicarakan bersama dan biasanya dibuat dalam suatu
perjanjian. Untuk zaman modern ini jual beli pesanan lebih terlihat dalam
pembelian alat-alat furnitur, seperti kursi tamu, tempat tidur, lemari pakaian.
Barang seperti ini, biasanya dipesan sesuai dengan selera konsumen. Oleh sebab itu,

3
dalam jual beli pesanan, hal ini boleh dilakukan dengan syarat harga barang harus
dibayar terlebih dahulu.5

B. Dasar Hukum Akad Salam

1. Adapun dasar hukum Akad Salam terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 282.
ٰٓ
َ ‫يٰٓاَيُّ َهاُۗالَّ ِذيْنَ ُۗا َمن ْٰٓواُۗاِذَاُۗت َ َدا َي ْنت ْمُُِۗۗب َدي ٍْنُۗاِلىُۗا َ َج ٍلُۗ ُّم‬
ُۗ‫س ًّمىُۗفَا ْكتب ْوُۗه‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah: 282)

2. Adapun dasar hukum Akad Salam terdapat dalam hadis sebagai berikut:

“Dari ibn abbas ra. Beliau berkata: ketika nabi Muhammad SAW tiba dikota Madinah,
sedangkan penduduk Madinah terbiasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun
adan tiga tahun, maka beliau bersabda, barangsiapa yang memesan sesuatu maka hendaklah
ia memesan dengan jumlah takaran yang telah diketahui oleh kedua belah pihak dan dalam
timbangan yang telah diketahui oleh kedua belah pihak serta tempo yang telah diketahui oleh
kedua belah pihak”. (H.R. Bukhari)6

3. Adapun dasar hukum Akad Salam yang terakhir terdapat dalam Ijma’

Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan
Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual
beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk
memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun
perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga
siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir
kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik
pembiayaan atau jual beli salam.7

5
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori & Implementasi (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,2019), hlm 133-135.
6
H. Syaikhu dan Ariyadi dan Norwili, Fikih Muamalah Memahami Konsep & Dialektika Kontemporer
(Yogyakarta: K-Media,2020), hlm 121-122.
7
Ibid., 124.

4
C. Syarat dan Rukun Akad Salam

Ulama hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual beli salam ini hanya ijab (ungkapan
dari pihak pemesan dalam memesan barang) dan kabul (ungkapan pihak produsen
untuk mengerjakan barang pesanan). Lafadz yang dipakai dalam jual beli pesanan
menurut Ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah adalah lafadz as-salam, as-
salaf, atau al-bay’ (jual beli).

Adapun menurut Ulama Syafi’iyah, lafadz yang boleh dipergunakan dalam jual beli
pesanan ini hanya as-salam dan as-salaf. Alasan Ulama Syafi’iyah adalah hanya
menurut kaidah umum, jual beli seperti ini tidak dibolehkan karena barang yang
dibeli belum kelihatan ketika akad. Akan tetapi, syara’ membolehkan jual beli ini
dengan mempergunakan lafadz as-salam dan as-salaf. Oleh sebab itu, perlu
pembatasan dalam pemakaian kata itu sesuai dengan pemakaian syara’.

1. Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiah, terdiri
atas:

a. Al-‘Aqid.

Al-‘Aqid adalah orang yang melakukan akad. Dalam perjanjian salam, pihak penjual
disebut dengan al-muslam ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut al-
muslam atau pemilik as-salam (yang menyerahkan). Keberadaan ‘aqid sangatlah
penting, sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada ‘aqid, begitu pula tidak
akan terjadi Ijab dan kabul tanpa adanya ‘aqid.

b. Objek jual beli salam.

Objek jual beli salam, yaitu harga dan barang yang dipesan. Barang yang dijadikan
sebagai objek jual beli disebut Al-Muslam Fih. Barang yang dipesan harus jelas ciri-
cirinya dan waktu penyerahannya. Harga dalam jual beli salam harus jelas serta
diserahkan waktu akad.

c. Sighat (Ijab dan Kabul).

Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Yang dimaksud dengan
“sesuai kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih tidak boleh, apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’.
Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh
pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari
satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).

5
2. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli salam adalah sebagai
berikut:

a. Syarat orang yang berakad (Al-Aqid).

Ulama malikiyah dan Hanafiah mensyaratkan ‘aqid harus berakal, yakni sudah
mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraan dan jawaban yang dilontarkan
dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, anak kecil, orang
gila dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa’ ayat 5:

‫ار ُزقُ ْو ُه ْم فِ ْي َها َوا ْكسُ ْوهُ ْم َوقُ ْولُ ْوا لَ ُه ْم قَ ْو ًَل َّم ْع ُر ْوفًا‬
ْ ‫ّٰللاُ لَكُ ْم قِ ٰي ًما َّو‬ ْ ِ‫سفَ َه ۤا َء ا َ ْم َوالَكُ ُم الَّت‬
‫ي َج َع َل ه‬ ُّ ‫َو ََل تُؤْ تُوا ال‬

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik."

Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan ‘aqid harus balig, berakal,
telah mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, ulama Hanabilah
membolehkan seorang anak kecil membeli barang yang sederhana atas seizin
walinya. Kecakapan sempurna yang dimiliki oleh orang yang telah balig itu
dititikberatkan pada adanya pertimbangan akal yang sempurna, bukan pada
bilangan umur atau bilangan tahun yang dilaluinya. Kualitas kekuatan akal pikiran
juga dapat memengaruhi secara signifikan kecakapan seseorang untuk melakukan
perbuatan hukum atau hal-hal yang membawa dampak akan tanggung jawab yang
dipikulnya nanti dikemudian hari, seiring dengan pengambilan posisi sebagai
personal yang melakukan perbuatan itu.

b. Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga, diantaranya sebagai berikut:

1)Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya oleh pihak yang
terlibat dalam transaksi. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan
ketidakjelasan dalam transaksi yang akhirnya dikhawatirkan dapat menimbulkan
perselisihan dikemudian hari.

2) Pembayaran harus dilakukan seluruhnya ketika akad telah disepakati. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga maksud utama jual beli salam, yaitu membantu pihak
yang butuh modal untuk biaya produksi.

6
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

c. Syarat yang terkait dengan barang, diantaranya:

1) Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual. Dengan demikian,


barang pesanan yang telah menjadi tanggungan pihak penjual, keberadaannya tidak
boleh diserahkan kepada pihak lain.

2) Komoditinya harus dengan sifat-sifat yang jelas, misalnya dengan disebutkan


jenis,warna, ciri-ciri, macam dan ukurannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
konflik antara seorang Muslim dengan saudaranya yang menyebabkan dendam dan
permusuhan diantara keduanya. Pada era modern seperti sekarang, untuk
menambah kejelasan spesifikasi pengetahuan tentang macam komoditi yang akan
dijadikan al-muslam fih dapat ditambah dengan menghadirkan bentuk visual dari al-
muslam fih.

3) Barang yang dipesan harus selalu tersedia dipasaran sejak akad berlangsung
sampai tiba waktu penyerahan. Aturan ini ditetapkan guna menjamin sebuah
kepastian dapat diserahkannya barang tersebut tepat pada waktunya. Karena
kesanggupan penjual untuk penyerahan barang didasarkan pada upayanya untuk
menyediakan barang tersebut.

4) Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari. Barangnya dapat diberikan


sesuai dengan waktu yang dijanjikan (pendapat Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah). Akan tetapi, Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa dalam jual beli
pesanan boleh saja barang diserahkan waktu akad, sebagaimana dibolehkan
penyerahannya pada waktu yang disepakati bersama sehingga memperkecil
kemungkinan terjadi penipuan.

5) Disebutkan tempat penyerahan barang.

d. Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang

1) Syarat tentang waktu penyerahan barang

Mengenai tenggang waktu penyerahan barang dapat saja ditentukan tanggal dan
harinya, tetapi tidak semua jenis barang dapat ditentukan demikian. Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan satu bulan, sedangkan Ulama Malikiyah
memberi tenggang waktu setengah bulan.

2) Syarat tentang tempat penyerahan barang

Pihak-pihak yang bertransaksi harus menunjuk tempat untuk penyerahan barang


yang dipesan. Ketentuan ini ditetapkan apabila untuk membawa barang pesanan
diperlukan biaya pengiriman atau tempat terjadinya transaksi tidak layak dijadikan

7
tempat penyerahan barang pesanan, seperti di tengah gurun. Namun, apabila
tempat terjadinya transaksi itu layak dijadikan tempat penyerahan atau untuk
membawanya tidak diperlukan biaya pengiriman, maka tidak harus menunjuk
tempat penyerahan barang. Jika kedua belah pihak yang berakad tidak
mencantumkan penentuan tempat serah terima, jual beli salam tetap dinyatakan sah,
dan tempat penyerahan bisa ditentukan kemudian. Hal ini dikarenakan tidak ada
hadis yang menjelaskan. Apabila penyerahan barang merupakan syarat sah jual beli
salam, maka Rasulullah akan menyebutkannya seperti beliau menyebutkan takaran,
timbangan dan waktu.Yang perlu diperhatikan adalah dalam melakukan akad
salam syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang bergantung pada
kesepakatan di antara kedua belah pihak, agar lebih memberikan rasa aman dan
lebih menjaga agar tidak terjadi perselisihan.Apabila barang yang dipesan telah
diterima dan kemudian terdapat cacat pada barang itu atau tidak sesuai dengan
sifat-sifat, ciri-ciri, kualitas, kuantitas barang yang dipesan, maka pihak pemesan
atau konsumen boleh minta ganti rugi atau menyatakan apakah ia menerima atau
tidak, sekalipun dalam jual beli pesanan ini tidak ada hak khiyar.

Dalam fikih Islam juga disebutkan bahwa apabila pada barang yang dibeli terdapat
cacat, kerusakan dan ketidaksesuaian dengan apa yang dipesan, maka barang yang
dibeli dapat dikembalikan kepada penjualnya.

Ketentuan ini sebenarnya untuk menjamin hak-hak pembeli atau konsumen agar
mendapatkan barang yang sesuai dengan yang dipesan.

e. Syarat Ijab dan Kabul (Sighat)

Sighat adalah pernyataan ijab dan kabul, ijab merupakan pernyataan yang keluar
lebih dahulu dari salah seorang yang melakukan transaksi yang menunjukkan atas
keinginan melakukan transaksi. Adapun kabul adalah pernyataan yang terakhir dari
pihak kedua yang menunjukkan atas kerelaannya menerima pernyataan pertama.
Unsur penting dari jual beli salam adalah kerelaan kedua belah pihak sama halnya
dengan jual beli lainnya. Sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Allah Swt. Dalam
surah An-Nisaa’ ayat 29:

َ ‫ُۗو ََل ُۗتَ ْقتل ْٰٓواُۗا َ ْنف‬


ُُُۗۗۗ‫سك ْم‬ َ ُۗ‫ُۗم ْنك ْم‬
ِ ‫اض‬ٍ ‫ع ْن ُۗت ََر‬ َ ‫َِل ُۗا َ ْن ُۗتَك ْونَ ُۗتِ َج‬
َ ًُۗ ‫ارة‬ ِ َ‫اَُۗل ُۗت َأْكل ْٰٓواُۗا َ ْم َوالَك ْم ُۗبَ ْينَك ْم ُۗبِ ْالب‬
ٰٓ َّ ‫اط ِل ُۗا‬ َ ‫يٰٓاَيُّ َهاُۗالَّ ِذيْنَ ُۗا َمن ْو‬
َ ‫ُّٰۗللاُۗ َكانَ ُۗ ِبك ْم‬
‫ُۗر ِحي ًْما‬ َ ‫ا َِّن ه‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu."

8
Adapun syarat-syarat ijab kabul yang harus dipenuhi dalam jual beli salam adalah
sebagai berikut:

1) Tujuan yang terkandung di dalam pernyataan ijab dan kabul harus jelas dan
terdapat kesesuaian sehingga dapat dipahami oleh masing-masing pihak.

2) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berhubungan langsung dalam satu majelis.
Apabila kedua belah pihak hadir dan saling bertemu dalam satu tempat untuk
melaksanakan transaksi, maka tempat tersebut adalah majelis akad. Adapun jika
masing-masing pihak saling berjauhan, maka majelis akad tempat terjadinya kabul.
Pernyataan ijab dan kabul dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau surat
menyurat, atau isyarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya
ijab dan kabul, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam
ijab kabul.

3) Menggunakan kata as-salam atau as-salaf Bila menggunakan kata-kata jual beli (al-
bay’), maka tidak sah, menurut pendapat yang lebih kuat. Alasan yang dikemukakan
adalah karena jual beli pesanan termasuk jual beli yang secara qiyas tidak
diperbolehkan, akan tetapi pelarangan ini telah dihapuskan dengan pertimbangan
kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam sehingga para ulama berpendapat
perlu adanya sebuah pembatasan terhadap penggunaan kata yang hanya sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Oleh karena itu, syara’ membolehkan akad ini
hanya menggunakan kata-kata salam dan salaf. Namun, ada pula pendapat yang
membolehkan akad ini dengan menggunakan kata jual beli (albay’) biasa dan tetap
sah sebagai transaksi jual beli.8

D. Penerapan Akad Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Dalam dunia perbankan syariah, salam merupakan suatu akad jual beli
layaknya murabahah. Perbedaan mendasar hanya terletak pada pembayaran serta
penyerahan objek yang diperjualbelikan. Dalam akad salam, pembeli wajib
menyerahkan uang muka yang dibelinya, lalu barang diserahterimakan dalam
kurun waktu tertentu. Salam dapat diaplikasikan sebagai bagian dari pembiayaan
yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan modal
guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat memperoleh hasil dari usaha
nasabah lalu menjualnya kepada yang berkepentingan.

Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank,


maka bank akan menjualnya kepada rekan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri
secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga
beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal ini, bank menjualnya

8
Ibid.,139-146.

9
secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan
dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga
jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli
dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selamanya berlakunya akad.
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada
seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.

Fatwa Jual Beli Salam diatur dalam Ketentuan fatwa DSN MUI Nomor
05/DSN MUI/IV/2000 menetapkan enam hal:

1. Ketentuan Pembayaran

Adapun ketentuan pembayaran adalah sebagai berikut:

a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.

b. Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance).

c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang).

2. Ketentuan Barang

Adapun ketentuan barang adalah sebagai berikut:

a. Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang.

b. Penyerahan dilakukan kemudian.

c. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

d. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya


(qabadh).

e. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

3. Ketentuan tentang Salam Paralel

Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat akad kedua terpisah dari, dan
tidak berkaitan dengan akad pertama.

4. Penyerahan Barang

Adapun ketentuan penyerahan barang adalah sebagai berikut:

a. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan
kuantitas sesuai kesepakatan.

10
b. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, maka penjual
tidak boleh meminta tambahan harga sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.

c. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, pembeli


mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya, apabila pembeli rela
menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon).
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkan
muslam fiih yang berbeda dari yang telah disepakati.

d. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan
beberapa syarat:

1. Kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan kesepakatan, tidak boleh lebih tinggi
ataupun lebih rendah.

2. Tidak boleh menuntut tambahan harga.

e. Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli
memiliki dua pilihan:

1) Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang. Pembatalan kontrak dengan


pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam
kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai
ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan.

2) Menunggu sampai barang tersedia.

5. Pembatalan Kontrak.

Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua
belah pihak.

6. Perselisihan.

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, persoalannya diselesaikan


melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.9

Bai’ as-salam biasanya digunakan pada pembiayaan bagi petani dengan


jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank
adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan bank tidak berniat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan dilakukanlah akad bai’ as-
salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau

9
Ibid., 126-127.

11
grosir. Bai’ as-salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan industri, misalnya
produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum.
Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank
mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan
dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak.

Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan
yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah
selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan
kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. Sejauh
ini, skema pembiayaan salam masih belum banyak disentuh khususnya oleh
perbankan syariah. Produk yang ditawarkan masih berkisar pada musyarakah,
mudharabah, murabahah, dan ijarah. Presentasi dari pembiayaan istisna’ pun masih
sedikit dibandingkan jenis pembiayaan di perbankan syariah lainnya. Pembiayaan
salam pun jelas tidak perlu diamati bahwa salah satu strategi pengembangan
perbankan syariah adalah dengan melakukan inovasi produk, baik pembiayaan
maupun pendanaan sehingga produk perbankan syariah tidak terkesan monoton
dan menarik. Dari sini kemudian perlu langkah-langkah solutif guna menjawab
permasalahan itu. Pihak perbankan syariah pun mesti bertindak tanggap
menghadapi kebutuhan masyarakat, sebab jika tidak maka bank syariah hanya akan
tersaing dibawah nama besar syariah nya.10

10
Iwan Wahyuddin S, “Akad Salam Dalam Analisis Fiqh dan Praktek di Lembaga Keuangan Syariah,”
Makalah dipresentasikan dalam diskusi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah-Jakarta pada
tahun 2018

12
E. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa

Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada
jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :

a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam
jual beli biasa tidak perlu.

b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual
yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.

c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan
kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas
yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al-Quran dan hadits.

d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak yang
dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika
pengiriman barang berlangsung.

F. Etika dalam Jual Beli Salam

Diantara etika dalam jual beli salam, ialah:

1. Masing-masing hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah
dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.

2. Penjual hendaklah berusaha memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu.

3. Pembeli janganlah coba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan
membuat berbagai-bagai alasan palsu.

4. Sekiranya barang yang dibawa itu terkurang edikit dari pada syarat-syarat yang
telah dibuat, masing-masing hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang
sebaik-baiknya.11

11
Ibid.,125-126.

13
G. Keuntungan dan Manfaat Akad Salam

Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan
manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak
bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan
pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan
menggunakan akad salam. Pembeli biasanya mendapatkan keuntungan berupa:

1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga
yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan
kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli.

2. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang


halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus
membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat
menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.

3. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena


biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak
cukup lama.12

12
Ibid.,128- 129.

14
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penulisan dalam makalah dengan ini penulis menyimpulkan

dari beberapa pokok bahasan dalam rumusan masalah diantaranya sebagai

berikut :

1. Pengertian Akad Salam

Akad salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannya dilaksanakan

ketika akad berlangsung dan penyerahan barang dilaksanakan di akhir sesuai

dengan perjanjian yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli.

2. Dasar Hukum Akad Salam

Adapun dasar hukum Akad Salam terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah

ayat 282.
ٰٓ
َ ‫يٰٓاَيُّ َهاُۗالَّ ِذيْنَ ُۗا َمن ْٰٓواُۗاِذَاُۗت َ َدا َي ْنت ْمُۗبِ َدي ٍْنُۗاِلىُۗا َ َج ٍلُۗ ُّم‬
ُۗ‫س ًّمىُۗفَا ْكتب ْوه‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah:

282)

3. Syarat dan Rukun Akad Salam

Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiah,

terdiri atas :

a. Al-‘Aqid.

b. Objek jual beli salam.

c. Sighat (Ijab dan Kabul)

15
Adapun syarat-syarat Ijab dan Kabul yang harus dipenuhi dalam jual beli

salam adalah sebagai berikut :

a. Syarat orang yang berakad (Al-aqid)

Adapun syarat-syarat orang yang berakad adalah sebagai berikut :

1.) Baligh

2.) Berakal

3.) Telah mampu memelihara agama dan hartanya

b. Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga diantaranya sebagai

berikut :

1.) Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya oleh pihak

yang terlibat transaksi.

2.) Pembayaran harus dilakukan seluruhnya ketika akad telah disepakati.

3.) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

c. Syarat yang terkait dengan barang diantaranya :

1.) Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual.

2.) Komoditinya harus dengan sifat-sifat yang jelas.

3.) Barang yang dipesan harus tetap tersedia dipasaran sejak akad

Berlangsung sampai tiba waktu penyerahan.

4.) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.

5.) Disebutkan tempat penyerahan barang.

d. Syarat tentang waktu penyerahan barang

Mengenai tenggang waktu penyerahan barang dapat saja ditentukan

tanggal dan harinya, tetapi tidak semua jenis barang dapat ditentukan

demikian. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan satu bulan,

sedangkan Ulama Malikiyah memberi tenggang waktu setengah bulan.

16
e. Syarat tentang tempat penyerahan barang

Pihak-pihak yang bertransaksi harus menunjuk tempat untuk penyerahan

barang yang dipesan. Ketentuan ini ditetapkan apabila untuk membawa

barang pesanan diperlukan biaya pengiriman atau tempat terjadinya

transaksi tidak layak dijadikan tempat penyerahan barang pesanan, seperti

di tengah gurun. Namun, apabila tempat terjadinya transaksi itu layak

dijadikan tempat penyerahan atau untuk membawanya tidak diperlukan

biaya pengiriman, maka tidak harus menunjuk tempat penyerahan barang.

f. Syarat Ijab dan Kabul (Sighat)

Adapun syarat-syarat ijab kabul yang harus dipenuhi dalam jual beli salam

adalah sebagai berikut:

1) Tujuan yang terkandung di dalam pernyataan ijab dan kabul harus jelas dan

terdapat kesesuaian sehingga dapat dipahami oleh masing-masing pihak.

2) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berhubungan langsung dalam satu majelis.

3) Menggunakan kata as-salam atau as-salaf .

4. Penerapan Akad Salam dalam Lembaga Keuangan Syariah

Dalam dunia perbankan syariah, salam merupakan suatu akad jual beli

layaknya murabahah. Perbedaan mendasar hanya terletak pada pembayaran

serta penyerahan objek yang diperjualbelikan. Dalam akad salam, pembeli wajib

menyerahkan uang muka yang dibelinya, lalu barang diserahterimakan dalam

kurun waktu tertentu. Salam dapat diaplikasikan sebagai bagian dari

pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah debitur yang

membutuhkan modal guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat

memperoleh hasil dari usahnasabah lalu menjualnya kepada

yang berkepentingan.

17
5. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa

Adapun perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa adalah

Sebagai berikut :

a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang

dalam jual beli biasa tidak perlu.

b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat

dijual yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.

c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan

kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala

komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al-

Quran dan hadits.

d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat

kontrak yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat

dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.

6. Etika dalam Jual Beli Salam

Adapun etika dalam jual beli salam adalah :

a. Masing-masing hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah

amanah dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.

b. Penjual hendaklah berusaha memenuhkan syarat-syarat yang telah

ditetapkan itu.

c. Pembeli janganlah coba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu

dengan membuat berbagai-bagai alasan palsu.

d. Sekiranya barang yang dibawa itu terkurang edikit dari pada syarat-syarat

yang telah dibuat, masing-masing hendaklah bertolak ansur dan mencari

keputusan yang sebaik-baiknya.

7. Keuntungan dan Manfaat Akad Salam

a. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan

pada waktu yang ia inginkan.

18
b. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara

yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya

tanpa harus membayar bunga.

c. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena

biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan

berjarak cukup lama.

B.Saran

Adapun hasil dari penulisan makalah tersebut, penulis dapat memberikan saran

bahwa akad salam sebenarnya kurang diminati dibank syariah, karena pelaku

usaha yang kurang paham akan keuangan syariah, risiko yang besar, dan

keuntungan yang sedikit jika dibandingkan dengan akad-akad yang lain. Oleh

karena itu penulis berharap untuk kedepannya baik lembaga keuangan syariah

maupun pelaku usaha, agar lebih memahami keuangan syariah serta resiko yang

besar dalam melakukan akad salam.

19
DAFTAR PUSTAKA

Amni,Sri Sofiana , Faujiah , Ani. “Manajemen Akad Salam Dalam Lembaga


Keuangan Syariah : Jurnal Ekonomi Syariah No.1/Maret 2020, 20.

Saprida, “Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli : Jurnal Ilmu Syariah” Sekolah
Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah 2016.

Siregar,Hariman Surya, dan Khoerudin, Koko, Fikih Muamalah Teori & Implementasi
Bandung: (PT Remaja Rosdakarya,2019).

Syaikhu, dan Ariyadi dan Norwili. Fikih Muamalah Memahami Konsep & Dialektika
Kontemporer (Yogyakarta: K-Media,2020).

S, Iwan Wahyuddin .“Akad Salam Dalam Analisis Fiqh dan Praktek di Lembaga Keuangan
Syariah,”Makalah dipresentasikan dalam diskusi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah-Jakarta pada tahun 2018.

20

Anda mungkin juga menyukai