Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MATA KULIAH
HUKUM PERIKATAN SYARIAH

JENIS-JENIS AKAD DALAM EKONOMI SYARIAH

Dosen pengampu:

Assoc. Prof. Dr. Zarul Arifin., MSI

Oleh:
KAZLIANI
NIM. 301.2021.002
Semester 5
Kelompok 6

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2023 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan


rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berisikan tentang Jenis-jenis Akad dalam Ekonomi Syariah.

Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai
salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perikatan Syariah. Dengan
harapan bahwa makalah ini dapat membantu serta memberikan tambahan
pengetahuan kepada pembacanya.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka


masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan serta menghargai berbagai saran
dan kritik dari pembaca untuk menambah ilmu serta memperbagus makalah-
makalah penulis selanjutnya.

Sambas, 5 November 2023

KAZLIANI

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.........................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................1

A. Latar belakang..........................................................................1
B. Rumusan masalah.....................................................................2
C. Tujuan Masalah .......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................3

A. Pengertian Akad Sharf .............................................................3


B. Pengertian Akad Wadiah ..........................................................5
C. Pengertian Akad Al-Wakalah ...................................................6
D. Pengertian Akad Al-Kafalah ....................................................8
E. Pengertian Qardhul Hasan .......................................................10
F. Pengertian Akad Al-Hiwalah ...................................................11
G. Pengertian Akad Rahn .............................................................12
BAB III PENUTUP.............................................................................16
A. Kesimpulan...............................................................................16
B. Saran.........................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAH

A. Latar Belakang Masalah


Kata aqad berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau kewajiban,
biasa juga diartikan dengan kontak atau perjanjian. Yang dimaksudkan kata ini
adalah mengadakan ikatan untuk persetujuan. Pada saat dua kelompok
mengadakan perjanjian, disebut aqad, yakni ikatan memberi dan menerima
bersama-sama dalam satu waktu. Kewajiban yang timbul akibat aqad disebut
uqud.1
Definisi lain akad menurut istilah adalah: pertalian ijab dan qabul
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.Yang
dimaksud “sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan
yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara’, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi riba,
menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sementara yang
dilakukan “berpengaruh pada objek perikatan” adalah terjadinya perpindahan
pemilikan suatu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang
menyatakan qabul).2
Fikih mu’amalah Islam membedakan antara wa’ad dengan akad.Wa’ad
adalah janji (promise) antara satu pihak dengan pihak lainnya, sementara akad
adalah kontrak antara dua belah pihak.3 Wa’ad hanya mengikat satu pihak
yaitu yang berjanji saja berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap
pihak lainnya. Dalam wa’ad, tremsand condition-nya belum ditetapkan secara
rinci dan spesifik (belum well define). Apabila pihak yang berjanji tidak
memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterima lebih merupakan sanksi moral.

1
M.Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 110-111
2
Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, (Jakarta: Kalam Mulia. 2013), hlm. 186
3
Adiwarman A. Karim. Bank Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 65.

1
2

Sedangkan akad mengikatdua belah pihak yang saling bersepakat, yakni


masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-
masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and
condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-define).
Apabila salah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang
telah disepakati dalam akad.
Dari beberapa definisi tentang akad tersebut, penulis akan membahas
dan menguraikan pengertian dan pemabhasan tetang akad-akad yang di
gunakan dalam ekonomi islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Akad Sharf ?
2. Apa Pengertian Akad Wadiah ?
3. Apa Pengertian Akad Al-Wakalah ?
4. Apa Pengertian Akad Al-Kafalah ?
5. Apa Pengertian Qardhul Hasan?
6. Apa Pengertian Akad Al-Hiwalah ?
7. Apa Pengertian Akad Rahn ?
C. Tujuan Masalah
Mengatahui Pengertian dari akad sharf, Wadiah, Al Wakalah, Al-
Kafalah,Qardhul Hasan, Al Hiwalah, Rahn
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akad Sharf
Pengertian Jual-Beli Ash-Sharf Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa jual-beli yaitu suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela antara dua pihak, dimana yang satu
memberikan benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah ditentukan syara Sedangkan pengertian
Ash-sharf secara Bahasa memiliki beberapa arti, yaitu kelebihan, tambahan
dan menolak. Adapun secara terminologi, sharf adalah pertukaran dua jenis
barang berharga atau jual-beli uang dengan uang atau disebut juga valas, atau
jual-beli antar barang sejenis secara tunai, atau jual-beli pertukaran antara
mata uang suatu Negara dengan mata uang Negara lain. Misalnya Rupiah
dengan Dollar dan sebagainya. Jadi jual-beli Ash-sharf yaitu perjanjian jual-
beli mata uang asing (valuta asing) atau transaksi pertukaran emas dengan
perak, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau
mata uang asing lainnya yang secara tunai.4
Dalam hal ini Ulma sepakat (ijma’) bahwa akad ash-sharf
sebagaimanadijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.28/DSN-
MUI/III/2002 Tentang JUAL-BELI MATA UANG (AL-SHARF) di-syari‟at
kan dengan ketentuan yaitu:5
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya
harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs)yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

4
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1987), hlm. 163.
5
As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), hlm.
193.

3
4

Sebagaimana dalam hadist Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i,


Abu Daud,Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w.
bersabda:

“(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan)


secara tunai.”
Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara‟ bin Azib dan Zaid bin Arqam:
“Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara
piutang (tidaktunai).”
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu akad
sharf harusmemenuhi persyaratan sebagai berikut:6
1. Harus tunai
2. Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontrak dan
3. Bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah
kuantitasyang sama.
Jenis-jenis Sharfa) yaitu:
1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing
(valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau
penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Hukumnya adalah “boleh” karena dianggap tunai, sedangkan waktu
dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa
dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas
yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk
waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.
Transaksi ini hukumnya “haram” karena harga yang digunakan adalah
harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan
dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam
bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari
(lil hajah).
6
Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), 254.
5

3. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas


dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara
penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya “haram”
karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas
sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal
akhir tertentu. Hukumnya “haram”, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi).
B. Akad Wadiah
Pengertian Wadiah Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan
dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dalam
tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-
wadi’ah. Al wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.7 Dalam bahasa Indonesia
wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat
tolong menolong antara sesame manusia.
Fatwa MUI ini berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000:
TabunganPertama:
1. Tabungan ada dua jenis: Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah,
yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’ah.

Kedua: ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah:8

7
Adiwarman A.Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 72.
8
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hlm. 63.
6

1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak
lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.

Ketiga: ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:

1. Bersifat simpanan
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
yang bersifat sukarela dari pihak bank
C. Akad Al-Wakalah
Pada pelaksanaannya mengenai akad Wakalah, para ulama mempunyai
beberapa pendapat berbeda, menurut ulama Hanafiyah akad Wakalah yang
dilakukan wakil secara bebas merupakan tanggung jawabnya sendiri walau
nanti setelah akad selesai antara pemberi dan penerima wakil akan melakukan
serah terima hasil akad yang dimaksud.9 Kalangan ulama syafiiyah dan
Hanabilah menyatakan bahwa segala tanggung jawab dari segala perbuatan
tersebut berada pada pemberi kuasa kepada wakil, wakil hanya berlaku
sebagai pelaksana karena itu segala tanggung jawab ada pada pemberi kuasa,
sedangkan ulama malikiyah menyebutkan bahwa persoalan tersebut

9
Ibid, hlm. 20
7

tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat. Kegiatan Wakalah bisa juga


terjadi apabila pekerjaan yang diwakilkan itu amat banyak sehingga tak dapat
dikerjakan sendiri, maka dia boleh berwakil untuk mengerjakan pekerjaan
yang tidak dapat dia kerjakan, wakil tidak boleh berwakil pula kepada orang
lain, kecuali dengan izin yang berwakil atau karena terpaksa.
Wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk
mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang
mewakilkan masih hidup. Pelaksanaan akad Wakalah pada dasarnya
dibenarkan untuk disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat, tetapi
yang terpenting adalah pihak yang memberi kuasa adalah pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap kegiatan tersebut, pihak yang mewakilkan
hanya perantara, atau wakil atas kegiatan yang dilakukan, artinya kegiatan
tersebut dapat dikategorikan sah apabila pihak yang memberikan kuasa ada,
atau hidup dan karenanya wakil dianggap sah pula apabila terdapat
persetujuan atau pengesahan akan pekerjaan mewakilkan tersebut. 10 Wakalah
dapat dibedakan menjadi: Al-Wakalah Al-Ammah dan Al-Wakalah Al-
Khosshoh, Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh.
1. Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk
menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
spesifikasinya pun telah jalas, seperti halnya membeli Honda tipe X,
menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
2. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat
umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja
yang kamu temui.
3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh. Adalah akad
dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan
dan150 juta jika kredit. Sedangkan Al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad
wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau

10
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Rawa Mangun, 2005),
hlm. 46.
8

kaidah tertentu, misalnya jualah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang
diinginkan.
D. Akad Al-Kafalah
Pengertian Kafalah Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung.11 Dalam pengertian lain kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan
berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Al-kafalah
menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan al-kafalah
adalah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam
tuntutan dengan benda (materi) yang sama baik utang barang maupun
pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud dengan kafalah adalah
mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut Hasbi AshShidiqi al-
kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan.
Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan
tanggungan orang yang menanggung dengan tanggungan penanggung utama
terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau
pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan adanya penanggung, penanggung
utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggungan. Penanggung atau
disebut kafil adalah orang yang berkomitmen untuk melaksanakan
tanggungan. Syarat untuk menjadi kafil adalah harus baligh, berakal sehat,
memiliki kewenangan secara leluasa dalam menggunakan hartanya dan ridha
terhadap tindak penanggungnya. Penanggung utama adalah orang yang
berhutang, yaitu pihak tertanggung. Sebagai pihak tertanggung tidak
disyaratkan harus baligh, sehat akalnya, kehadirannya, tidak pula keridhaanya
terkait penanggungan, tetapi penanggungan boleh dilakukan terhadap anak
kecil yang belum baligh, orang gila, dan orang yang sedang tidak ada berada
di tempat. Tetapi pihak penanggung tidak boleh menuntut baik siapapun yang

11
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 8.
9

ditanggungnya, jika dia telah menunaikan tanggunganya tapi tindakannya itu


dianggap sebagai perbuatan sukarela, kecuali dalam kasus jika penanggungan
dilakukan terhadap anak kecil yang diperlakukan untuk melakukan
perdagangan, dan perdagangannya itu atas perintahnya.
Jenis-jenis Kafalah sebagai berikut:12
1. Kafalah bi an-Nafs Adalah jaminan si penjamin. Keterangan: Bank
sebagai juridical personality dapat memberikan jaminan untuk maksud-
maksud tertentu.
2. Kafalah bi al-Mal Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan
hutang. Keterangan: Bentuk kafalah ini merupakan medan yang paling
luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya
dengan imbalan fee tertentu.
3. Kafalah bit Taslim Jenis kafalah ini bisa dilakukan untuk menjamin
dikembalikannya barang sewaan pada akhir masa kontrak. Keterangan:
halini dapat dilakukan dengan leasing company terkait atas nama nasbah
dengan mempergunakan depositnya di bank dan mengambil fee atasnya.
4. Kafalah al-Mujazah Adalah jaminan untuk tidak dibatasi oleh kurun
waktu tertentu atau dihubungkan dengan maksud-maksud tertentu.
5. Kafalah al-Mualah Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari
kafalah al-Munjazah dimana, jaminan dibatasi oleh kurun waktu dan
tujuan-tujuan tertentu. Keterangan: dalam dunia perbankan modern
jaminan jenis ini biasa disebut performance bonds (jaminan prestasi).
E. Qardhul Hasan
Qardhul Hasan adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada
pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang
sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada
Muqtaridh.13 Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran
ataupun sekaligus. Qardhul Hasan adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan
12
Ibid, hlm. 9-10.
13
Abdul Ghofur Ansori. Payung Hukum Perbankan Syari’ah, (Yogyakarta: IKAPI,
2007), hlm. 4.
10

tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh


dikategorikan dalam aqad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan
transaksi komersial. Pembiayaan Qardhul Hasan untuk perjanjian
pembiayaan antara BMT dengan nasabah yang dianggap layak menerima
yang diprioritaskan bagi pengusaha kecil pemula yang potensial akan tetapi
tidak mempunyai modal apapun selain kemampuan berusaha, serta
perorangan lainnya yang berada dalam keadaan mendesak, dimana hanya
diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman pada waktu jatuh tempo dan
BMT hanya membebani nasabah atas biaya administrasi.
Transaksi Qardh dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat
yang telah ditentukan. Berikut beberapa rukun dan syarat agar Qardh dapat
dilaksanakan dengan baik diantaranya:
1. Rukun
a. Muqridh (pemberi pinjaman). Pemberi hutang harus seorang Ahliyat
at-Tabarru’ (layak bersosial), maksudnya orang yang mempunyai
kecakapan dalam menggunakan hartanya secaramutlak menurut
pandangan syariat.
b. Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam). Orang yang
berhutang haruslah orang yang Ahliyah mu’amalah, artinya orang
tersebut harus baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang
yang oleh syariat tidak diperkenankan mengatur sendiri hartanya
karena factor-faktor tertentu)
c. Ijab qobul. Ucapan serah terima harus jelas dan bisa dimengerti oleh
kedua belah pihak, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman
dikemudian hari
d. Qardh (barang yang dipinjamkan). Barang yang dihutang harus
sesuatu yang bisa diakad salam. Segala sesuatu yang bisa diakad
salam, juga sah dihutangkan, begitu juga sebaliknya.
2. Syarat sah Al-Qardhul Hasan
Agar perjanjian Al-Qardhul Hasan mendatangkan manfaat, maka
harus memenuhi beberapa syarat diantaranya:
11

a. Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang


memilikimanfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan
karena qardh adalah akad terhadap harta.
b. Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul
seperti halnya dalam jual beli.
F. Akad Al-Hiwalah
Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal (pindah), diucapkan,
Hāla, anil, ahdi, (berpindah, berpaling, berbalik dari janji), Sedangkan secara
istilah, definisi al-Hiwalah menurut ulama Hanafiyyah adalah memindah (al-
Naqlu) penuntutanatau penagihan dari tanggungan pihak yang berutang (al-
Madin) kepada tanggungan pihak al-Multazim (yang harus membayar utang,
dalam hal ini adalah al-Muhal, alaihi).14 Berbeda dengan al-Kafalah yang
artinya adalah al-Dham-mu (menggabungkan tanggungan) di dalam
penuntutan atau penagihan, bukan al- Naqlu (memindah). Maka oleh karena
itu, dengan adanya al-hiwalah, menurut kesepakatan ulama, pihak yang
berutang (dalam hal ini maksudnya adalah al-Muhil) tidak di tagih lagi.
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau
dari segi objek akad, maka hiwalah dapat dibagi dua, apabila yang
dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu
disebut hiwalah alhaqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dipindahkan
itu berkewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan itu disebut
hiwalah ad-dain (pemindahan utang). Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi
dua pula, yaitu :15
1. Hiwalah Al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) Yaitu pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
Contoh : Jika A berpiutang kepada B sebesar satu jutarupiah. Sedangkan
B berpiutang kepada C juga sebesar satu juta rupiah. B kemudian
memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang
terdapat pada C kepada A sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.

14
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2006), hlm. 6
15
Ibid, hlm. 65.
12

Dengan demikian, hiwalah al-muqayyadah, pada satu sisi merupakan


hiwalah al-haqq, karena B mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C
kepada A. Sedangkan pada posisi lain, sekaligus merupakan hiwalah
addain, karena B mengalihkan kewajibannya membayar utang kepada A
menjadi kewajiban C kepada A.
2. Hiwalah Al-Mutlaqah (pemindahan mutlak)yaitu pemindahan utang yang
tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama
kepada pihak kedua. Contoh : Jika A berutang kepada B sebesar satu juta
rupiah. C berutang kepada A juga sebesar satu juta rupiah. A mengalihkan
utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada
B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti
dari pembayaran utang C kepada A.
G. Akad Al-Rahn
Definisi Akad Rahn Secara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama,
sedangkan al-habs berarti menahan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. 16 Makna
gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai
barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Akad rahn dalam istilah terminologi
positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam
rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa
adanya imbalan. Sedangkan menurut istilah syara‟, yang dimaksud dengan
rahn adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syara‟ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk
mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Selain
Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian gadai
(rahn) yang diberikan oleh para ahli yaitu sebagai berikut:
1. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn) adalah
menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan

16
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Rawa Mangun, 2005),
hlm. 56.
13

pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar


utangnya itu.
2. Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu (barang)
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
3. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikat) atau menjadi tetap.
4. Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn) menurut istilah ialah
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai
tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
5. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio ar-rahn adalah menahan salah satu
harta salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan
(marhun) atas pinjaman yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai
(murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutang.

Berdasarkan pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa


ahli diatas, dapat diketahui bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang
jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai
ekonomi sehingga pihakyang menahan (murtahin) memperoleh jaminan
untuk mengambi kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai
dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada
waktu yang ditentukan.

Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan
marhun bih. Rahin adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah
orang yang menerima gadai. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan
untuk menjamin utang. Marhun bih adalah utang. Menurut jumhur ulama,
14

rukun gadai ada empat, yaitu: „aqid, shighat, marhun, dan marhun bih. Ada
beberapa syarat yang terkait dengan gadai:17

1. Syarat Aqid Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin
dan murtahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah
adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.
2. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan
dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal
inikarena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek
pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti
halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan
syarat jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.
3. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama
dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjual
belikan sah pula digadaikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan
syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut :18
a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada
pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya
tidak ada maka akad gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian,
tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang
boleh diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan
dapat digunakan untuk melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam
jual beli

17
Ibid, hlm. 57.
18
Ibid, hlm. 60.
15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata aqad berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau kewajiban,
biasa juga diartikan dengan kontak atau perjanjian. Yang dimaksudkan kata ini
adalah mengadakan ikatan untuk persetujuan. Pada saat dua kelompok
mengadakan perjanjian, disebut aqad, yakni ikatan memberi dan menerima
bersama-sama dalam satu waktu. Kewajiban yang timbul akibat aqad disebut
uqud. Terdapat jenis-jenis akad dalam islam seperti Murabahah, Mudharabah,
Salam, istisnah, ijarah akad sharf, Wadiah, Al Wakalah, Al-Kafalah, Qardhul
Hasan, Al Hiwalah, dan Rahn. Akad mengikat dua belah pihak yang saling
bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu
B. Saran
Makalah ini kami buat pasti masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi
tulisan dan kata-kata yang kurang cocok dibaca,maka dengan terbuka kami
menerima masukan dari para pembaca yang budiman dan baik berupa saran,
kritik yang bersifat konstruktif karena dengan saran dan kritik kami dapat
memperbaiki lebih baik lagi dalam penyusunan makalah kami selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rawa Mangun,


2005).
Anshori, Abdul Ghofur. Payung Hukum Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:
Anggota IKAPI, 2007.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah dan Teori dan Praktik, Jakarta:
Gema Insani, 2007.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998.
Misbahuddn, E-Commerce dan hukum islam (Makassar: alauddin university
Press, 2012)
Muhammad Firdaus. Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah, (Jakarta,
Renaisan, 2005)
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2006)
Hasan, Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, Jakarta: Kalam Mulia, 2013
Karim, Adimarwan A., Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002
Naja, H. R. Daeng, Akad Bank Syariah, Yogyakarta: Yustisia, 2011
Rachmadi, Usman. Produk dan Akad Perbankan Syari’ah, Implementasi dan
Aspek Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009

17

Anda mungkin juga menyukai