MATA KULIAH
HUKUM PERIKATAN SYARIAH
Dosen pengampu:
Oleh:
KAZLIANI
NIM. 301.2021.002
Semester 5
Kelompok 6
Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai
salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perikatan Syariah. Dengan
harapan bahwa makalah ini dapat membantu serta memberikan tambahan
pengetahuan kepada pembacanya.
KAZLIANI
i
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR.........................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................1
A. Latar belakang..........................................................................1
B. Rumusan masalah.....................................................................2
C. Tujuan Masalah .......................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAH
1
M.Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 110-111
2
Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, (Jakarta: Kalam Mulia. 2013), hlm. 186
3
Adiwarman A. Karim. Bank Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 65.
1
2
A. Akad Sharf
Pengertian Jual-Beli Ash-Sharf Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa jual-beli yaitu suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela antara dua pihak, dimana yang satu
memberikan benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah ditentukan syara Sedangkan pengertian
Ash-sharf secara Bahasa memiliki beberapa arti, yaitu kelebihan, tambahan
dan menolak. Adapun secara terminologi, sharf adalah pertukaran dua jenis
barang berharga atau jual-beli uang dengan uang atau disebut juga valas, atau
jual-beli antar barang sejenis secara tunai, atau jual-beli pertukaran antara
mata uang suatu Negara dengan mata uang Negara lain. Misalnya Rupiah
dengan Dollar dan sebagainya. Jadi jual-beli Ash-sharf yaitu perjanjian jual-
beli mata uang asing (valuta asing) atau transaksi pertukaran emas dengan
perak, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau
mata uang asing lainnya yang secara tunai.4
Dalam hal ini Ulma sepakat (ijma’) bahwa akad ash-sharf
sebagaimanadijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No.28/DSN-
MUI/III/2002 Tentang JUAL-BELI MATA UANG (AL-SHARF) di-syari‟at
kan dengan ketentuan yaitu:5
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya
harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs)yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
4
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1987), hlm. 163.
5
As-Sarbini Khatib, Mughni Muhtaj Sharh al-Minhaj, (Kairo: al-Babi al-Halabi), hlm.
193.
3
4
7
Adiwarman A.Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 72.
8
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hlm. 63.
6
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak
lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
1. Bersifat simpanan
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
yang bersifat sukarela dari pihak bank
C. Akad Al-Wakalah
Pada pelaksanaannya mengenai akad Wakalah, para ulama mempunyai
beberapa pendapat berbeda, menurut ulama Hanafiyah akad Wakalah yang
dilakukan wakil secara bebas merupakan tanggung jawabnya sendiri walau
nanti setelah akad selesai antara pemberi dan penerima wakil akan melakukan
serah terima hasil akad yang dimaksud.9 Kalangan ulama syafiiyah dan
Hanabilah menyatakan bahwa segala tanggung jawab dari segala perbuatan
tersebut berada pada pemberi kuasa kepada wakil, wakil hanya berlaku
sebagai pelaksana karena itu segala tanggung jawab ada pada pemberi kuasa,
sedangkan ulama malikiyah menyebutkan bahwa persoalan tersebut
9
Ibid, hlm. 20
7
10
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Rawa Mangun, 2005),
hlm. 46.
8
kaidah tertentu, misalnya jualah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang
diinginkan.
D. Akad Al-Kafalah
Pengertian Kafalah Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung.11 Dalam pengertian lain kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan
berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Al-kafalah
menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan al-kafalah
adalah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam
tuntutan dengan benda (materi) yang sama baik utang barang maupun
pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud dengan kafalah adalah
mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut Hasbi AshShidiqi al-
kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan.
Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan
tanggungan orang yang menanggung dengan tanggungan penanggung utama
terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau
pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan adanya penanggung, penanggung
utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggungan. Penanggung atau
disebut kafil adalah orang yang berkomitmen untuk melaksanakan
tanggungan. Syarat untuk menjadi kafil adalah harus baligh, berakal sehat,
memiliki kewenangan secara leluasa dalam menggunakan hartanya dan ridha
terhadap tindak penanggungnya. Penanggung utama adalah orang yang
berhutang, yaitu pihak tertanggung. Sebagai pihak tertanggung tidak
disyaratkan harus baligh, sehat akalnya, kehadirannya, tidak pula keridhaanya
terkait penanggungan, tetapi penanggungan boleh dilakukan terhadap anak
kecil yang belum baligh, orang gila, dan orang yang sedang tidak ada berada
di tempat. Tetapi pihak penanggung tidak boleh menuntut baik siapapun yang
11
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 8.
9
14
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2006), hlm. 6
15
Ibid, hlm. 65.
12
16
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Rawa Mangun, 2005),
hlm. 56.
13
Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan
marhun bih. Rahin adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah
orang yang menerima gadai. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan
untuk menjamin utang. Marhun bih adalah utang. Menurut jumhur ulama,
14
rukun gadai ada empat, yaitu: „aqid, shighat, marhun, dan marhun bih. Ada
beberapa syarat yang terkait dengan gadai:17
1. Syarat Aqid Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin
dan murtahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah
adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.
2. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan
dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal
inikarena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek
pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti
halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan
syarat jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.
3. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama
dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjual
belikan sah pula digadaikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan
syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut :18
a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada
pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya
tidak ada maka akad gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian,
tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang
boleh diambil manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan
dapat digunakan untuk melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam
jual beli
17
Ibid, hlm. 57.
18
Ibid, hlm. 60.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata aqad berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau kewajiban,
biasa juga diartikan dengan kontak atau perjanjian. Yang dimaksudkan kata ini
adalah mengadakan ikatan untuk persetujuan. Pada saat dua kelompok
mengadakan perjanjian, disebut aqad, yakni ikatan memberi dan menerima
bersama-sama dalam satu waktu. Kewajiban yang timbul akibat aqad disebut
uqud. Terdapat jenis-jenis akad dalam islam seperti Murabahah, Mudharabah,
Salam, istisnah, ijarah akad sharf, Wadiah, Al Wakalah, Al-Kafalah, Qardhul
Hasan, Al Hiwalah, dan Rahn. Akad mengikat dua belah pihak yang saling
bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu
B. Saran
Makalah ini kami buat pasti masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi
tulisan dan kata-kata yang kurang cocok dibaca,maka dengan terbuka kami
menerima masukan dari para pembaca yang budiman dan baik berupa saran,
kritik yang bersifat konstruktif karena dengan saran dan kritik kami dapat
memperbaiki lebih baik lagi dalam penyusunan makalah kami selanjutnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
17