Anda di halaman 1dari 19

AL-SHARF, SUKUK, dan BANCASSURANCE

“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Mu’amalah II”

Dosen Pengampu: Dr. Fakhruddin,M.HI

KELOMPOK 11:
Musho Khikhatul Khasanah 19220079
Diah Ayu Atika Rahmah 19220080
Muhammad haris 19220149

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Persoalan perdagangan valuta asing atau jual beli mata uang telah menjadi sesuatu yang
sangat populer, umum dan  hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang
dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan
tanpa berhubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan
valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan dibidang ekonomi dan bermanfaat.
Transaksi didalam Islam tidak boleh adanya tujuan untuk spekulasi, tetapi jika perdagangan mata
uang (ash-sharf) tersebut dilakukan dengan tujuan spekulasi dan merusak sistem perekonomian
suatu negara, maka hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang seharusnya
jual beli terbebas dari gharar, riba dan maysir. Seelain itu terdapat sukuk dan bancasurrance
didalam bank syariah. Berdasarkan penjelasan dari masalah diatas, penulis dalam makalah ini
akan membahas tentang konsep dasar mata uang dan jual beli mata uang pada lembaga keuangan
syariah perspektif fikih, sukuk, dan bank assurance
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana Konsep Dasar Jual Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah?
2. Bagaimaana konsep dasar sukuk pada lembaga keuangan syariah?
3. Bagaumana konsep dasar bancassurance pada bank syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Ash-Sharf
 Definisi Ash-Sharf
Secara harfiah sharf adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau jual
beli. Adapun secara istilah sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
Transaksi jual beli valuta asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan mata uang yang
sejenis(misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan
dolar atau sebaliknya) 1
.

Pendapat lain mengatakan bahwa sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan


perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang dipertukarkan dengan mata uang domestik
atau mata uang asing lainnya.
 Landasan Hukum Akad Sharf sebagai Produk Perbankan Syariah
a.       Landasan Syariah
Mengenai Sharf  sebagai salah satu kegiatan usaha bank disektor jasa memiliki landasan
syariah yang terdapat dalam hadis nabi, yang artinya : 2

“ jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) sama ( kualitas dan kuantitasnya
dan dilakukan) secara tunai. Apabila jenis berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu
dengan syarat secara tunai’.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar juga menjadi dasar hukum dari kebolehan
akad sharf, yang artinya :
“Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali
sejenis, dan jangan pula kamu perjualbelikan perak dengan emas yang salah satunya ghaib
(tidak ada ditempat) dan yang lainnya ada.  (H.R. Jamaah).
1 Heri sudarsono, Bank dan Lwmbaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: EKONISIA Yogyakarta,
2013), h. 87.
2 Abdul Ghofar Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press, 2009), h. 179.
b.      Landasan Hukum Positif
Dalam pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa selain melakukan kegiatan usaha sebagaimna dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula melakukan kegiatan valuta asing
berdasarkan Prinsip Syariah.3

Keberadaan sharf sebagai produk dibidang jasa telah mendapatkan landasan hukumnya
melalui fatwa No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (Al-Sharf). Substansi fatwa
tersebut adalah sebagai berikut ini :4
1)      Ketentuan umum
Transasaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b)      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c)      Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilainya harus sama dan secara tunai
(at-taqabudh).
d)     Apabila berlainan jenis, harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat
transaksi dan secara tunai.
2)      Jenis-jenis transaksi valuta asing
a)      Transaksi SPOT, yakni traksaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada
saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Hukumnya adalah boleh karena dianggap tunai. Sedangkan dalam waktu dua hari dianggap
sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
b)      Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 X 24 jam sampai
dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram karena harga yang digunakan adalah harga yang
dijanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal pada waktu

3 Anshori, perbankan syariah di Indonesia, h.180.


4 Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah, (Jakarta:PT. GELORA AKSARA PRATAMA,
2010), h. 40.
penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam
bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil-hajah).
c)      Transaksi SWAP, yaitu suatu kontrak pembelian dan penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.
Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
d)     Transaksi OPTION, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk
menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu
atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
3)      Penetapan
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli
mata uang (Al-Sharf) diatas, dapat disimpulkan bahwa dari beberapa tipe jenis transaksi hanya
tipe transaksi spot yang diperbolehkan, sedangkan untuk tipe transaksi forward, swap, dan option
tidak diperbolehkan karena tidak dilakukan secara tunai dan mengandung unsur maysir
(spekulasi).
3.      Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun transaksi sharf terdiri atas :5
a.       Pelaku, terdiri dari pembeli dan penjual.
b.      Objek akad berupa mata uang.
c.       Ijab qobul/serah terima.
Ketentuan syariah, yaitu :6
a.       Pelaku, harus cakap hukum dan baliq
b.      Objek akad
1)      Nilai tukar atau kurs mata uang telah di ketahui oleh kedua belah pihak, misalnya $1= Rp9.000
2)      Valuta yang diperjualbelikan telah dikuasai, baik oleh pembeli maupun penjual,
sebelum keduanya terpisah. Penguasaan bisa berbentuk material maupun hukum. Penguasaan
secara material misalnya pembeli langsung menerima dolar Amerika Serikat yang dibeli dan

5 M. Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung : ALFABETA, 2012), h. 228.
6 Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah, h. 229.
penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun penguasaan secara hukum, misalnya
pembayaran dengan menggunakan cek.
Apabila kedua nya berpisah sebelum menguasai masing-masing uang penukaran
berdasarkan nilai tukar yang diperjualbelikan, maka akadnya batal karena syarat penguasaan
terhadap objek transaksi sharf itu tidak terpenuhi.
3)      Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis uang yang sama, maka jual
beli mata uang itu harus dilakukan dalam kuantitas yang sama, sekalipun model dari mata uang
itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran Rp 50.000 di tukar dengan mata uang
rupiah lembaran Rp 5.000 sebanyak 10 lembar
4)      Dalam akad sharf tidak boleh ada hak khiyar syarat bagi pembeli. Hak yang dimaksud khiyar
syarat adalah hak pilih bagi pembeli untuk dapat melanjutkan atau tidak mlanjutkan jual beli
mata uang tersebut setelah akadnya selesai dan syarat tersebut diperjanjikan ketika transaksi jual
beli berlangsung. Alasan tidak di perbolehkannya khiyar syarat adalah untuk menghindari
adanya ketidakpastian/gharar
5)      Dalam akad sharf tidak boleh terdapat tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling
dipertukarkan, karena sharf dikatakan sah apabila penguasaan objek akad dilakukan secara tunai
atau dalam kurun waktu 2 x 24 jam (harus dilakukan seketika itu juga dan tidak ada boleh
diutang) dan perbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah
pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah.
c.       Ijab kabul: pernyataan ekpresi dan saling ridha/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang
dilakukan secara verbal, tertulis melalui korespodensi atau menggunakan cara-cara komunikasi
modern.
    Jual Beli Mata Uang (Ash-Sharf) pada Lembaga Keuangan Syariah
            Akad sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam produk jasa berupa tukar menukar mata
uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan
mendapatkan imbalan berupa selisih antara kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan
biaya-biaya administrasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Bank syariah memberikan jasa untuk melakukan transaksi jual beli mata uang
sesuai dengan prinsip-prinsip yang dibenarkan secara syariah.
            Teknis penerapan akad sharf  sebagai produk perbankan syariah di bidang jasa dapat
berpedoman pada SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008. Di dalam SEBI disebutkan
bahwa kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pertukaran mata uang atas dasar
akad sharf, berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a.       Bank dapat bertindak baik sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang
menukarkan uang dari atau kepada nasabah;
b.      Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilakukan
dalam bentuk transaksi spot; dan
c.       Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap matauang berlainan jenis dalam
kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar (kurs)
yang berlaku pada saat transaksi dilakukan.
Perbankan syariah, sebagai lembaga keuangan yang mengfasilitasi perdagangan
internasional, tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatan pada pasar valuta
asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional bagi dirinya agar juga
mempunyai akses yang luas ke pasar valuta asing. Disamping itu, transaksi valuta asing
merupakan produk jasa bank kepada nasabahnya untuk memenuhi kebutuhan valuta asing
nasabah, prinsip sharf dapat diterapkan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang
dibolehkan tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah. 7

Dengan memperhatikan prinsip sharf tersebut, dalam pelaksanaannya bank syariah harus


memenuhi beberapa ketentuan, antara lain sebagai berikut:
a.    Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (bai’ naqd), artinya masing-masing pihak harus
menerima dan menyerahkan masing- masing mata uang pada saat yang bersamaan atau dua hari
kemudian (dalam transaksi spot).

7 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
h. 196.
b.    Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
c.    Harus dihindari dari jual beli khiyar atau bersyarat. Misalnya, C setuju membeli barang dari D
hari ini, dengan syarat D harus membelinya kembali pada tanggal tertentu pada masa yang akan
datang.
d.   Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan.
e.    Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan (bai’
fudhuli).
Dengan memperhatikan beberapa ketentuan di atas, maka beberapa perilaku perdagangan
valuta asing yang berlangsung dewasa ini di pasar valuta asing konvensional harus dihindari,
seperti forward, swap, dan option trading yang di dalamnya mengandung unsur gharar, maisir,
dan riba. Oleh karena itu, transaksi valuta asing yang diperkenankan untuk dijalankan di bank
syariah adalah transaksi valuta asing dengan tunai atau penyerahan dua hari kemudian dalam hal
transaksi spot.
Penukaran valuta asing merupakan jasa yang diberikan bank syariah untuk membeli atau
menjual valuta asing yang sama (single currency) maupun berbeda (multi currency), yang
hendak ditukarkan atau dihendaki oleh  nasabah.
Tujuan dan manfaat penukaran valuta asing (sharf) bagi bank adalah menyediakan mata
uang (valuta asing) yang dibutuhkan nasabah, mendapatkan keuntungan dari selisih kurs dalam
hal penukaran mata uang yang beredar. Dan bagi nasabah adalah nasabah memperoleh mata
uang yang diperlukan untuk bertransaksi.

 Jual Beli Mata Uang (Ash-Sharf) Lembaga Keuangan Syariah Prespektif Fikih
            Menurut Istilah Syara‟, al-Sharf adalah jual beli satu mata uang dengan mata uang yang
lain baik mata uang tersebut satu jenis atau berlainan jenis. Jual beli mata uang berdasarkan pada
QS. 2: 275 tentang kebolehan jual beli; Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba,
dan hadits tentang jual-beli mata uang (al-Sharf) di antaranya mendasarkan pada hadits riwayat
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa‟i dan Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit tentang tukar
menukar emas dan perak.
            Syarat-syarat jual beli mata uang (al-Sharf ) adalah sebagai berikut:
1.    Serah terima dalam majlis kontrak
2.    Jika dengan mata uang yg sama, jumlahnya harus sama
3.    Tidak boleh ada khiyar syarat
4.    Tidak boleh ditangguhkan, masing masing pihak yang bertransaksi tidak boleh menangguhkan
penyerahan barang untuk jangka waktu tertentu  karena barang tersebut harus diterima dan jatuh
sebagai hak milik masing masing pembeli sebelum mereka berpisah.
Imam Hanafi dan Imam Syafi‟I berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara
tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimaannya itu segera atau lambat. Jadi
penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu. Berbeda dengan Imam Malik yang
berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis terlambat, maka jual beli itu batal, meski kedua
belah pihak belum berpisah. Karena Ia tidak menyukai janji-janji didalamnya.
Sementara itu ulama kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi, dalam hal
memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, mengatakan tidak
diperbolehkan. Selanjutnya beliau mengatakan tidak sah jual beli uang dengan sistem
penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi
kriteria tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini menurut Yusuf al-
Qaradhawi, syara‟ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di
suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang
diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa
yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan
yang berlaku.8
Berdasarkan uraian diatas, bahwa semua pendapat sepakat dibolehkannya jual beli mata
uang dengan syarat-syarat khusus, yaitu: tunai dan kadarnya sama. Perbedaannya hanya terletak
8 Syaparuddin, ”Telaah Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)”
dalam AL-BAYYINAH Jurnal Hukum dan Kesyari’ahan, (Sulawesi:STAIN Watampone), Vol.IV Tahun 2011,
h. 13 dalam e-jurnal.stainwatampone.ac.id.
pada interpretasi batasan istilah tunai dalam transaksi. Syafi‟I dan Hanafi berpendapat bahwa
tenggang waktu bisa diundur selama kedua belah pihak belum meninggalkan majlis, sedangkan
Malik tidak ada tenggang waktu antara terjadinya akad dengan terjadinya serah terima
barang. Dan pada prinsipnya praktek jual beli mata uang di lembaga keuagan syariah seperti al-
sharf diperbolehkan dalam Islam. Dari beberapa hadist dapat dijelaskan sebenarnya praktek as-
sharf diperbolehkan jika dilakukan atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak dan secara tunai,
serta tidak boleh adanya penambahan antara suatau barang yang sejenis karena kelebihan
tersebut dinamakan riba.
B. Surat Berharga Syariah (sukuk)

Pengertian sukuk secara bahasa Arab shukuk yaitu bentuk jamak dari kata yang memiliki
arti sama dengan sertifikay atau note, dan dalam istilah ekonomi syariah berarti legal instrument,
deed, atau check. Sedangan secara istilah sukuk adalah sebagai surat berharga yang berisi
kontrak (akad) pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Sukuk dikeluarkan oleh lembaga baik
swasta maupun pemerintah kepada investor.9 Penerbit sukuk wajib membayar pendapatan
kepada investor yang berupa bagi hasil atau marjin atau fee selama masa akad. Dan Emitmen
wajib membayar kembaliu dana investasi kepada investor pada saat jatuh tempo.

Sementara saat ini sukuk disamakan dengan obligasi syariah yang menurut Dewan
Syariah Nasional No. 32/DSNMUI/IX/2002 bahwa sukuk adalah surat berharga jangka panjang
yang berdasarkan prinsip syariah dan dikeluarkan Emitmen kepada pemegang obligasi syariah
yang mewajibkan Emitmen membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa
bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi ketika sudah jatuh tempo.10

Fatwa DSN menggunakan istilah obligasi syariah adalah untuk mengikuti opini dipasar
modal konvensional. Obligasi syariah dengan obligasi konvensional sangat berbeda. Sistem
pengembalian dalam obligasi syariah yaitu bagi hasil, margin, dan fee. Sedangkan pada obligasi
konvensional system pengembaliannya yaitu menggunakan system bunga.

Dapat disimpulkan bahwa sukuk atau surat berharga syariah adalah sertifikat yang
bernilai sama dan merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas asset, hak manfaat,

9 Adrian Sutedi, “Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 95.
10 Muhammad Nafik. “Bursa efek dan Investasi Syariah”. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2009), hal. 246.
maupun jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu yang mendasari
diterbitkannya sukuk. Sukuk merupakan bagian dari pernyataan kepemilikan atas manfaat suatu
asset dan bukan merupakan surat hutang seperti obligasi.

A. Jenis-jenis Sukuk

Berdasarkan Jenis Akad sukuk dibagi menjadi enam11, yaitu;

1. Sukuk Murobahah
Murabahah adalah menjual dengan marjin keuntungan tertentu. Pada sistem
murabahah, penjual membeli barang yang diinginkan oleh pembeli lalu menjual dengan
tambahan harga (marjin keuntungan) yang disepakati. Pembayaran dicicil dalam jangka
waktu yang disepakati antara penjual dan pembeli, maupun dibayar kontan. Selama barang
belum terkirim dan diterima pembeli, apabila terjadi resiko maka resiko tersebut menjadi
tanggung jawab penjual.
2. Sukuk Mudhorobah
Pada sistem mudharabah, salah satu pihak bertindak sebagai pemberi dana (shahib al
mal) atau financer, sedangkan pihak lain bertindak sebagai pengelola dana. Tujuan akad ini
adalah memperoleh keuntungan. Pembagian pendapatan menggunakan sistem bagi hasil
atau profit and loss sharing. Besar kecilnya nisbah ditentukan di awal akad.
3. Sukuk Musyarokah
Musyarakah adalah akad pembiayaan dengan prinsip joint venture. Pihak-pihak yang
terlibat dalam akad memberikan kontribusi berupa dana atau sumber daya (resources).
Sistem pembagiannya adalah bagi hasil atau profit and loss sharing.
4. Sukuk Salam

Salam adalah sistem jual beli atas barang tertentu yang pembayarannya dilakukan di
muka sedangkan penyerahan barang dilakukan kemudian. Sukuk salam adalah surat
berharga yang berisi akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
perusahaan (emiten), pemerintah, atau institusi lainnya, yang mewajibkan penerbit sukuk
untuk membayar pendapatan kepada pemegang sukuk berupa bagi hasil dari marjin
keuntungan serta membayar kembali dana pokok sukuk pada saat jatuh tempo .12

11 Muhammad Nafik. Bursa efek dan Investasi Syariah. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2009), hal. 252
12 Nazarudin Wahid, Sukuk: Memahami & membedah obligasi pada perbankan syariah (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), 143.
5. Sukuk Istishna’
Dalam sistem istishna’, produsen setuju membuat barang dan akan mengirimkan atau
menyerahkannya dengan harga tertentu. Penyerahan barang dilakukan pada waktu tertentu
di masa kemudian. Pembayarannya dapat dilakukan secara mencicil atau sekaligus sesuai
kesepakatan pihakpihak yang berakad.
6. Sukuk Ijarah
Ijarah adalah akad sewa menyewa barang dengan pembayaran tertentu dan untuk
jangka waktu tertentu. Dalam istilah ekonomi konvensional, ijarah dikenal dengan istilah
leasing. Dalam sistem ijarah, kontrak dapat berakhir dengan perpindahan kepemilikan dan
bisa juga tanpa perpindahan kepemilikan.

Berdasarkan pembagian atau pendapatan hasil sukuk dibagi menjadi tiga13, yaitu;

1. Sukuk marjin adalah sukuk yang pembayaran pendapatannya bersumber dari marjin
keuntungan akad jual beli, sukuk ini terdiri dari sukuk murabahah, sukuk salam, sukuk
istishna’.
2. Sukuk fee yaitu sukuk yang pembayaran pendapatannya bersifat tetap karena
bersumber dari pendapatan tetap dari sewa atau fee yaitu sukuk ijarah.
3. Sukuk bagi hasil, yaitu sukuk yang pembayaran pendapatannya berdasarkan bagi hasil
dari hasil yang diperoleh dalam menjalankan uasaha yang dibiayai, yaitu sukuk
mudharabah dan sukuk musyarakah.
B. Keuntungan dan resiko sukuk
Keuntungan sukuk, yaitu;14
a. Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nasabah bagi hasil yang kompetitif
dibandingkan dengan instrument lain.
b. Pembayaran imbalan sampai dengan jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
c. Dapat diperjual belikan dipasar skunder.
d. Bebas dari riba, gharar, dan maysir.
e. Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.

Resiko sukuk, yaitu;15

13 Muhammad Nafik. “Bursa efek dan Investasi Syariah”, hal. 246-256.


14 Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, “Investasi pada Pasar Modal Syariah” (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 131.
15 Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, “Investasi pada Pasar Modal Syariah” (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 132
a. Credit risk atau default risk : risiko yang disebabkan penerbit tidak mampu membayar
fee dan pokok sukuk.
b. Liquidity risk : risiko yang disebabkan karena tidak likuidnya sukuk di pasar sekunder.
Risiko ini perlu diperhatikan bagi investor yang tidak merencanakan untuk memegang
sukuk hingga saat jatuh tempo.
c. Reinvestment risk : risiko yang muncul akibat fee yang diterima investor hanya dapat
diinvestasikan kembali pada tingkat yang lebih rendah dari pada tingkat pengembalian
yang diharapkan.
d. Call risk : risiko yang muncul akibat penerbit sukuk menarik kembali seluruh atau
sebagian sukuk sebelum jatuh tempo.
e. Foreign exchange rate risk : risiko yang muncul akibat perubahan dalam nilai tukar,
khususnya untuk sertifikat yang diterbitkan dalam mata uang asing.
C. Contoh Sukuk
1. Investor A membeli sukuk ritel di pasar perdana sebesar 70 juta, dengan tingkat
imbalan 7% per tahu. Jika sukuk ritel tersebut tidak dijual sampai dengan jatuh
tempo, maka hasil yang diperoleh adalah:
- Imbalan = (RP 70.000.000 × 7% × 1/12)= RP 408.333 (diterima setiap bulan
sampai jatu tempo.
- Nilai nominal = pada saat jatuh tempo, investor A menerima kembali nilai
nominal sukuk ritel sebesar 70 juta.
2. Investor B membeli sukuk ritel di pasar perdana sebesar RP 70 juta, dengan tingkat
imbalan 7% per tahun. Jika sukuk ritel dijual dipasar skunder dengan harga 102%,
maka hasil yang diperoleh adalah:
- Imbalan = (Rp70.000.000 × 7% x 1/12)= Rp408.333 (diterima setiap bulan
sampai dengan saat jual)
- Keuntungan / capital gain = (Rp 70.000.000 x (102-100)%) = Rp 1.4000.000
- Total hasil yang diterima adalah Rp 71.400.000 (nilai nominal sukuk ritel + capital
again)
3. Investor C membeli sukuk ritel di pasar perdana sebesar Rp 70 juta, dengan tingkat
imbalan 7% per tahun. Jika sukuk ritel dijual dipasar skunder dengan harga 98%
maka hasil yang diperoleh adalah:
- Imbalan = (7Rp 70.000.000 x 7% x 1/12) = Rp 408.333 (diterima setiap bulan
sampai jatuh tempo)
- Kerugian / capital loss = Rp 70.000.000 x (98-100)% = - Rp 1.400.000
- Total hasil yang diterima adalah Rp 68.600.000 (nilai nominal sukuk ritel – capital
loss)
C. Bancassurance

Bancassurance merupakan sistem yang lebih tepat untuk memberikan Jaminan kepada
nasabah yang melakukan pembiayaan di Bank Aceh Syariah. Kegiatan operasional yang
dilakukan oleh Bank Aceh Syariah dapat dibagi Menjadi tiga bagian besar, yaitu : penghimpunan
dana, penyaluran dana, dan jasa-Jasa perbankan. Dalam hal bancassurance maka pihak asuransi
menggunakan jasa perbankan dalam menyebarluaskan produknya yang mana dalam fiqh
muamalah disebut dengan kafālah (pertanggungan). kafālah adalah akad jaminan utang yang
diberikan oleh pihak lain atau tanggung jawab untuk melunasi utang yang dilakukan oleh pihak
lainnya. Dasar hukum praktek kafālah pada perbankan syariah adalah Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000. Dalam akad kafālah melibat pihak yang berutang (makful
anhu), pihak yang memberikan utang, pihak yang menjamin pelunasan utang (kafiil).16 Ketiga
pihak harus memenuhi syarat hukum dalam bertindak. Dalam praktek perbankan kafālah adalah
suatu model jaminan yang diberikan kepada pihak ketiga untuk mengerjakan suatu pekerjaan
tanpa harus ragu untuk menyelesaikan. Karena kafālah dalam perbankan dapat dibagi ke dalam
dua bentuk, seperti Letter of Credit dan Bank Garansi. Kedua bentuk tersebut merupakan sebuah
penjaminan yang dilakukan bank terhadap nasabah yang berkeinginan menggunakannya.

Perkembangan produk pada bank bervariasi, dimana bank semakin mampu menawarkan
banyak ragam produk. Setiap bank tentunya bekerjasama dengan proteksi asuransi yang berbeda.
Akan tetapi masing-masing memiliki kesamaan, yaitu adanya pertanggungan oleh sekolompok
orang untuk menolong orang lain yang berada dalam kesulitan.3 Dalam hal ini bukan hanya bank
yang membutuhkan asuransi, tetapi juga perusahaan asuransi yang menggunakan jasa bank
dalam menginvestasikan dana premi yang diperoleh dari nasabah.Perusahaan asuransi
merupakan lembaga non bank yang bergerak di Bidang pertanggungan risiko.Perusahaan
asuransi yang ada di Indonesia terbagi Menjadi dua, yaitu asuransi konvensional dan asuransi
syariah. Adapun pengertian Asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan ayat
246 adalah Sebagai berikut: “Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu persetujuan Antara
dua pihak yaitu pihak penanggung (assurandeur) akan mengganti kerugian Pada tertanggung bila
16 (sIsmail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 112.
terjadi suatu peristiwa tertentu, sebaliknya pihak Tertanggung akan membayar suatu jumlah yang
dinamakan premi kepada pihak Penanggungan

 Kasus Bancassurance

Salah satu perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan Bank Aceh Syariah adalah
Asuransi Askrida Syariah dengan Bank Aceh syariah. Kerjasama Antara bank dan perusahaan
asuransi dalam bancassurance berbagai variasi, Sesuai dengan kebutuhan peserta. Tentunya
prinsip kebutuhan ini menjadi salah Satu dasar kebolehan asuransi asalkan pada transaksinya
17
tidak mengandung gharar (ketidakjelasan). Secara umum terdapat tiga kelompok, yakni
perjanjian Pemasaran, pola kerja yang sama dan kelompok jasa keuangan. Dimana kerjasama
Mengintegrasikan operasi antar bank di depan dan asuransi di belakang dalam Rangka
menawarkan berbagai produk asuransi kepada nasabah bank.Dalam Pembahasan ini Asuransi
Askrida Syariah memberikan penjaminan asuransi jiwa Terhadap nasabah debitur Bank Aceh
Syariah. Asuransi jiwa yaitu perjanjian Asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko yang dikaitkan Dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan Dalam
hal bancassurance jaminan diberikan terhadap nasabah yang melakukan pembiayaan di Bank
Aceh Syariah dengan penjaminan asuransi jiwa oleh asuransi askrida syariah. Pertanggungan
akan dilakukan oleh asuransi askrida syariah terhadap Bank Aceh Syariah apabila nasabah
meninggal dunia sebelum masa pelunasan pembiayaan dengan bank selesai. Apabila nasabah
debitur meninggal dunia, maka pihak asuransi yang akan membayar dan melunaskan

Pembiayaan nasabah dengan bank. Pembayaran premi kepada asuransi dilakukan Oleh
nasabah debitur hanya sekali pada awalnya saja, jumlah premi yang Dibayarkan sesuai dengan
ketentuan jumlah dana pembiayaan yang diberikan oleh Bank kepada nasabah. Pertanggungan
yang dilakukan oleh asuransi askrida Syariah kepada bank aceh syariah bersumber dari dana
premi nasabah. Pertanggungan tersebut muncul karena adanya kesepakatan kedua belah pihak
Antara Bank aceh syariah dan Asuransi askrida syariah, Bank Aceh Syariah Menyediakan
pembiayaan terhadap nasabah debitur dan asuransi memberikan Pertanggungan jiwa terhadap
nasabah debitur yang meninggal18. Apabila nasabah Debitur meninggal dunia maka bank
mengajukan klaim ke asuransi kemudian Asuransi membayar fee atau melunaskan kredit

17 Ridwan Nurdin, Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia (sejarah, Konsep dan perkembangannya),
(Banda Aceh: Penerbit Pena, Agustus 2010), hlm. 99-101.
18 Wirdayaningsih Dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 177-180.
nasabah ke bank. Pada praktik Sekarang fee yang dibayar oleh asuransi ke bank sangat sedikit
sehingga pihak Bank tidak mempunyai keuntungan yang sama besarnya dengan asuransi,
Sedangkan fee terbesar diperoleh oleh pihak asuransi. Maka oleh karena itu, Jumlah keuntungan
pihak asuransi dan pihak bank tidak sama jumlahnya Disebabkan karena minimnya jumlah fee
yang dibayar oleh pihak asuransi ke Pihak bank. Seharusnya Bank dan asuransi apabila
mendapatkan keuntungan Maka jumlah keuntungannya harus sama antara keduanya. Bentuk
pertanggungan Yang diberikan oleh Askrida syariah kepada Bank Aceh Syariah masih belum
ada Kejelasan tentang pertanggungan yang dilakukan tersebut sudah memenuhi Kriteria syariah
atau masih banyak kerancuan dalam praktiknya mengenai konsep Syariah.

 Bagi hasil atau imbalan

Dengan adanya perjanjian kerja sama antara bank dengan perusahaan Asuransi dalam
bentuk sistem bancassurance pihak bank mengalihkan sebagian Risiko yang akan muncul kepada
pihak asuransi. Misalnya pihak bank Menanggung risiko kemacetan pembiayaan nasabah debitur
disebabkan Meninggal dunia, maka risiko yang ditanggung oleh bank ini dialihkan kepada
Perusahaan asuransi dengan pertanggungan asuransi jiwa19. Misalnya bank Mengalami masalah
tunggakan nasabah debitur disebabkan meninggal nasabah Debiturnya, maka pihak bank hanya
menunggu proses klaim yang telah diajukan Oleh bank Muamalah Indonesia (BMI) untuk
pencairan dana yang macet Disebabkan meninggal dunia tersebut kepada perusahaan asuransi
yang telah Diajak bekerja sama oleh bank syariah.

19 Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 18-19.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada makalah ini, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa jual beli mata uang (ash-sharf) adalah pertukaran antara mata uang
dengan uang atau disebut juga valas. Pertukaran ini dapat berupa uang yang sejenis maupun
dengan mata uang yang lain, namun harus dengan jumlah atau nilai yang sama serta harus
sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Keberadaan sharf sebagai produk
dibidang jasa telah mendapatkan landasan hukumnya melalui fatwa No. 28/DSN-
MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (Al-Sharf). Jenis-jenis transaksi valuta asing ini
adalah transaksi spot, transaksi forward, transaksi swap, dan transaksi option.
sukuk atau surat berharga syariah adalah sertifikat yang bernilai sama dan merupakan
bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas asset, hak manfaat, maupun jasa atau
kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu yang mendasari diterbitkannya
sukuk. Jenis-jenis sukuk ada 6 yaitu sukuk murobahah, sukuk mudhorobah, sukuk
musyarokah, sukuk salam, sukuk istishna', sukuk ijarah.
Bancassurance merupakan sistem yang lebih tepat untuk memberikan Jaminan kepada
nasabah yang melakukan pembiayaan di Bank Aceh Syariah. Kegiatan operasional yang
dilakukan oleh Bank Aceh Syariah dapat dibagi Menjadi tiga bagian besar, yaitu :
penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa-Jasa perbankan. Dalam hal bancassurance
maka pihak asuransi menggunakan jasa perbankan dalam menyebarluaskan produknya yang
mana dalam fiqh muamalah disebut dengan kafālah (pertanggungan). kafālah adalah akad
jaminan utang yang diberikan oleh pihak lain atau tanggung jawab untuk melunasi utang
yang dilakukan oleh pihak lainnya. Dasar hukum praktek kafālah pada perbankan syariah
adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000. Dalam akad kafālah
melibat pihak yang berutang (makful anhu), pihak yang memberikan utang, pihak yang
menjamin pelunasan utang (kafiil). Ketiga pihak harus memenuhi syarat hukum dalam
bertindak. Dalam praktek perbankan kafālah adalah suatu model jaminan yang diberikan
kepada pihak ketiga untuk mengerjakan suatu pekerjaan tanpa harus ragu untuk
menyelesaikan. Karena kafālah dalam perbankan dapat dibagi ke dalam dua bentuk, seperti
Letter of Credit dan Bank Garansi. Kedua bentuk tersebut merupakan sebuah penjaminan
yang dilakukan bank terhadap nasabah yang berkeinginan menggunakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Thamrin. Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Al Arif, M. Nur Rianto. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung:ALFABETA,
2012.
Anshori, Abdul Ghofar. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani,
2001.
Huda, Nurul. Nasution, Mustafa Edwin. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta:
Kencana, 2007.
Ismail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, Jakarta: Kencana, 2010.
Wirdayaningsih Dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Machmud , Amir . Rukmana. Bank Syariah. Jakarta: PT. GELORA AKSARA PRATAMA,
2010.
Nafik Muhammad.. Bursa efek dan Investasi Syariah, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2009.
Nurdin, Ridwan. Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia (sejarah, Konsep
dan perkembangannya), Banda Aceh: Penerbit Pena, Agustus 2010.
Sudarsono Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: EKONISIA
Yogyakarta, 2013.
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Syaparuddin, ”Telaah Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-
Sharf)” dalam AL-BAYYINAH Jurnal Hukum dan Kesyari’ahan, (Sulawesi,
STAIN Watampone), Vol.IV Tahun 2011, h. 13 dalam e-
jurnal.stainwatampone.ac.id.
Wahid, Nazarudin. Sukuk: Memahami & membedah obligasi pada perbankan syariah.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Anda mungkin juga menyukai