Anda di halaman 1dari 15

TAWARRUQ AL-MASHRAFI DAN TAWARRUQ AL-FIQHI DALAM KONTEKS

FIKIH MUAMALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fikih Muamalah

Dosen pengampu:

Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A.

Disusun oleh:

Ira Aristiasari (201955020400843)

Fitriatul Mubarakah (201955020400832)

Ulfa Safitri (201955020400825)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO

2021
ABSTRAK

Ibnu Taimiyah dan tokoh ulama mazhab Hambali merupakan orang yang pertama kali
mengatakan istilah bai’ al-tawarruq. Dahulu sejak zaman mujtahid empat mazhab,
sebenarnya sudah ada praktik akad bai’ al-tawarruq. Namun, munculnya istilah tersebut baru
ada saat abad pertengahan. Istilah bai’ al-tawarruq mengalami perkembangan seiring
berjalannya waktu. Pada zaman modern, istilah ini terbagi menjadi bai’ al-tawarruq al-
mashrafi sebab adanya praktik di dalam bank syariah dan bai’ al-tawarruq al-fiqhi sebab
adanya praktik di luar bank syariah. Sekilas antara dua macam akad bai’ al-tawarruq dan
bai’ al-‘innah, mungkin praktiknya terlihat sama. Namun, hal tersebut memiliki perbedaan
yang terletak pada bai’ al-tawarruq yang melibatkan pihak ketiga, sementara pada bai’
al-‘innah itu tidak ada. Sejak dahulu, bai’ al-tawarruq memang sudah menimbulkan pro dan
kontra oleh para ulama. Adapun ulama yang melarang praktik bai’ al-tawarruq yakni ulama
mazhab Hanafi, madzab Maliki, dan mazhab Syafi’i. Alasannya, karena hailah dan
menjerumus ke arah riba. Sedangkan ulama yang memperbolehkan akad ini adalah ulama
mazhab Hambali. Alasannya, karena akad bai’ al-tawarruq ini jelas berbeda dibandingkan
dengan akad bai’ al-‘innah yang dilarang. Sementara itu, hukum bai’ al-tawarruq dalam
pandangan ulama kontemporer memiliki perbedaan pendapat. Berdasarkan hasil keputusan
muktamar, serta konferensi di Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab pada 1423 H, dalam
perumusan hukum bai’ al-tawarruq al-mashrafi, terdapat dua kelompok yang bertolak
belakang. Kelompok pertama, yang melarang penggunaan akad tersebut dalam perbankan
syariah adalah ulama dari madzab mayoritas. Dengan alasan termasuk dari bentuk bai’
al-‘innah, dan terdapat unsur riba, serta hailah. Sedangkan, kelompok kedua yang
memperbolehkan akad ini adalah dari madzhab minoritas, yang disebabkan karena kebutuhan
yang mendesak atau darurat, dan untuk memenuhi likuiditas.
Kata kunci: Tawarruq al-Mashrafi, Tawarruq al-Fiqhi, Fikih Muamalah
A. Pendahuluan
Perubahan arah gerak orbit pembangunan dari hari ke hari, selaras dengan
perubahan serta perkembangan transaksi-transaksi keuangan dalam setiap zamannya.
Antara transaksi-transaksi modern dan elastisitas fiqh muamalah memiliki
perbandingan yang lurus dalam perubahan serta perkembangannya. Pada proses
transaksi timbullah beberapa modifikasi yang mengakibatkan investasi semakin
meningkat dan bervariasi. Namun, beberapa lembaga keuangan syariah seperti, Bank
Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
dan lain-lain, dalam pengembangan sumber daya manusia terlebih di bidang hukum
transaksi modern yang sesuai dengan fiqh muamalah, dirasa belum begitu disiapkan.
Saat ini, tawarruq merupakan salah satu metode cepat yang sering digunakan
untuk meraih aliran dana segar dalam produk bank syariah. Beberapa orang yang
belum mengetahui terkait perbedaan antara tawarruq al-mashrafi dan tawarruq al-
fiqhi, menimbulkan pro dan kontra semakin memuncak. Padahal dua macam
tawarruq tersebut jelas berbeda dalam implikasi hukumnya.
Salah satu transaksi yang awet dalam perbincangan para ulama atau mujtahid
mengenai perdebatan hukum yang memperbolehkan atau tidaknya akad praktik ini
adalah tawarruq yang lebih sering disebut dengan bai’ al-tawarruq.
Pengimplementasian bai’ al-tawarruq sebenarnya sudah dilakukan oleh negara-
negara Islam, serta negara-negara yang mayoritas penduduknya bernafaskan Islam,
sebagai salah satu produk dalam perbankan syariah. Akan tetapi, di negara Indonesia
ini, tidak semua bank syariah menjadikan akad tawarruq sebagai salah satu
produknya. Hal tersebut karena praktik akad yang dilakukan lebih condong ke arah
hailah atau rekayasa, yang bertujuan untuk memperoleh dana segar atau likuiditas,
dan pendapat beberapa ulama yang mengatakan makruh ataupun haram terhadap akad
bai’ al-tawarruq.
Berdasarkan pengesahan fatwa DSN-MUI No:82/DSN-MUI/VIII/2011
tentang Perdagangan Komoditi oleh Dewan Syariah Nasional,1 dijelaskan bahwa
segala transaksi yang berkaitan dengan perdagangan komoditi itu diperbolehkan, atas
dasar prinsip syariah dalam bursa komoditi. Dari hal ini, sesuai dengan prinsip
syariah, bai’ al-tawarruq dikategorikan menjadi bagian dari perdagangan komoditi,
oleh beberapa para ulama. Sehingga dalam pengaplikasian produk lembaga keuangan

1
Indah ‘Arifatul Ulfiyah, Skripsi: “Bai’ At Tawarruq dalam Fikih Muamalat (Perspektif Hermeneutika
Hukum)”, (Yogyakarta: UINSUKA, 2017), 1.
syariah, bai’ al-tawarruq ini diperbolehkan. Tetapi, tetap berpegang teguh terhadap
keputusan tambahan ketika terjadi transaksi tersebut, serta untuk menghilangkan
keraguan-keraguan, suatu hal yang makruh maupun yang haram perlu dilakukan
pendampingan terkait ketentuan-ketentuan yang membatasinya.
Dalam literatur fiqh muamalah, bai’ al-tawarruq sudah ada sejak dahulu
ketika fuqaha mengkajinya. Jadi, bukan merupakan suatu hal yang baru. Hanya saja,
bai’ al-tawarruq lebih sering dibahas dalam buku-buku fiqh mazhab Hambali, seperti
kitab Majmu’ Fatawa li Ibn Taimiyah karangan Ibnu Taimiyah, dan kitab I’lamu al-
Muwaqqi’in karangan seorang murid dari Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. 2 Pengertian
sederhana terhadap bai’ al-tawarruq seperti yang dijelaskan, di lembaga keuangan
syariah terjadi pergeseran dalam aplikasinya. Penyebabnya ialah perubahan transaksi
serta tuntutan kebutuhan di era modern, sehingga makna bai’ al-tawarruq sedikit
berbelok dari makna yang asli.
Bai’ al-tawarruq dalam implementasinya, mayoritas sering terjadi dalam
bank-bank syariah, dengan cara yang telah dimodifikasi yakni meminta pada pihak
bank syariah untuk membelikan barang di supplier, jika ada nasabah yang
menginginkan dana segar. Pada umumnya, pihak bank syariah yang membelikan
barang yang diinginkan di supplier kepada nasabah. Apabila telah dibeli, barang
tersebut menjadi milik pihak bank syariah secara resmi. Setelah itu, pihak bank
syariah menjualnya dengan cara menaikkan harga dari harga aslinya dalam bentuk
kredit. Kemudian, nasabah yang telah membelinya secara kredit itu menjualnya dalam
bentuk kontan kepada pembeli yang lainnya. Sebab tujuan yang utama dari nasabah
ialah memperoleh uang tunai ataupun uang modal, sehingga jelas bahwa harga jual
barang itu jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pasar pada umumnya, karena
dilakukan dengan cara tunai.

B. Pembahasan

2
Shofa Robbani, Diferensiasi Al-Tawarruq Al-Mashrafi dan Al-Tawarruq Al-Fiqhi Menurut Hukum Ekonomi
Syariah, At-Tuhfah: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 10, No. 1, 2021, 78.
1. Definisi al-Tawarruq
Kata tawarruq dalam Bahasa Arab adalah “wariq” yang berarti
karakter/simbol dari perak. Tawarruq dapat pula diartikan secara luas sebagai
mencari uang, harta, ataupun perak.3
Tawarruq secara etimologi, dalam Bahasa Arab “al-waraq”, artinya adalah
daun. Pengertian al-waraq menurut Ibnu Faris adalah harta, diqiyaskan pada daun
dalam sebatang pohon, sebab sebatang pohon tersebut akan nampak usang serta
menderita, apabila daunnya berguguran.4
Tawarruq secara terminologi, banyak dijumpai dalam buku-buku fiqh
Hambali, yang didefinisikan dengan “Seseorang membeli barang dengan cara
mengangsur, kemudian menjual barang tersebut kepada pihak ketiga (selain
penjual pertama), secara tunai dengan harga yang lebih murah, untuk memperoleh
uang tunai ataupun likuiditas.5
Tawarruq dalam hukum Islam, yaitu seorang mustawriq/mutawarriq yang
membutuhkan likuditas. saat seseorang membeli barang secara kredit, dan
menjualnya kembali barang tersebut secara tunai, kepada pihak ketiga (bukan
pihak pertama), dengan harga yang lebih murah, adalah pengertian dari transaksi
tawarruq.
Tawarruq merupakan akad jual beli yang melibatkan tiga pihak. Ketika pihak
pertama (pemilik barang) menjual barangnya secara kredit kepada pihak kedua
(pembeli pertama), kemudian pihak kedua (pembeli pertama), menjualnya
Kembali secara cash kepada pihak ketiga (pembeli akhir). Harga kredit tentu lebih
tinggi daripada harga cash, sehingga pihak kedua (pembeli pertama) seperti
memperoleh pinjaman uang dengan cara pembayaran kredit.

2. Dasar Hukum al-Tawarruq

3
Sa’ad bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Riyadh : Darul Shoma’i, 2012),
Cet., II, 114.
4
Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria, Mu'jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Darul Fikr, 1979), jilid 6, 101.
5
Abu Hasan, Alaudin Ali bin Sulaiman al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifati ar-Rajih minal Khilaf, (Kairo:
Maktabah Ibnu Taimiyah, 1347 H), Cet., I, jilid 11, 195
Hukum tawarruq itu mubah, haram, dan makruh. Ulama yang berpendapat
bahwa hukum tawarruq itu mubah, dengan alasan tawarruq ini berbeda dengan
bai' al-‘innah, sebab barang tidak kembali kepada pihak pertama. 6 Adapaun ulama
yang membolehkan tawarruq atas dasar kaidah umum, bahwa hukum asal dalam
jual beli adalah halal. Firman Allah SWT:
a. Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah (2) : 275
ۗ ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ الر ِّٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَخَ بَّطُهُ ال َّشي ْٰط ُن ِمنَ ْالم‬
ِّ‫س‬ َ َ
‫وا‬ۗ ‫وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب‬
ۘ ‫ذلِكَ بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الرِّ ٰب‬ ٰ
Artinya: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”7
QS. An Nisa (4) :29

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن‬
‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ٍ ‫تَ َر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”8
QS. Al Maidah (5) : 1

‫ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَوْ فُوْ ا بِ ْال ُعقُوْ ۗ ِد‬ 
Artinya: “Hai orang-orang beriman! Penuhilah akad-akad itu...”9
QS. Al-Baqarah (2) : 280

‫واِ ْن َكانَ ُذوْ ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة‬ 


َ
Artinya: “Dan jika (Orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai ia berkelapangan...”10
Dari ayat-ayat Al-Qur’an diatas, tidak ada ayat yang melarang
tawarruq, justru bisa dijadikkan hujjah untuk membolehkannya. Pada
umumnya, tawarruq adalah suatu transaksi jual beli yang dilakukan secara

6
Yusuf Al Subaily, Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi
Modern, (Mahasiswa S3 Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad Saud).
7
Depertemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1990), 69.
8
Ibid., 122.
9
Ibid., 106.
10
Ibid., 47.
cash dan secara kredit, serta sebagaimana secara jelas bahwa ayat-ayat
tersebut diatas itu menghalalkan jual beli, baik secara cash maupun kredit.
b. Al-Hadits
Tawarruq merupakan salah satu transaksi al-bay’û yang bersifat
universal dari seluruh transaksi al-bay’û, serta dianggap halal meskipun tidak
ada dalam al-Qur’an ataupun al-Hadits, dan tidak juga dari tindakan sahabat
Rasulullah SAW, yang mengatakan bahwa tawarruq itu dilarang. Ada salah
satu al-Hadits dari al-Bukhari dan Muslim, yakni:
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al- Khudri dan Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah SAW mengangkat seseorang sebagai pejabat di Khaibar kemudian
ia datang menghadap Rasulullah SAW dengan membawa kurma yang
berkualitas tinggi. Rasulullah SAW bertanya: ”Apakah semua kurma Khaibar
kualitasnya seperti ini?” ia menjawab: ”Demi Allah, tidak ya Rasulullah, satu
sha’ kurma seperti ini, dapat kami tukarkan dengan dua sha’ kurma jenis lain
dan dua sha’ (kurma seperti ini) dengan tiga sha’kurma jenis lain.” Rasulullah
SAW bersabda: ”Jangan lakukan itu, tetapi juallah semuanya dengan uang
dirham lalu dengan uang itu kamu dapat membeli kualitas kurma bagus.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)11
Dari al-Hadits diatas, menerangkan diperbolehkannya sebuah metode
untuk menghindari riba. Segala media jual beli dan syarat-syaratnya, serta
terpenuhinya kondisi dari transaksi jual beli, terbebas dari unsur-unsur yang
dilarang. Niat untuk memperoleh kurma yang lebih berkualitas, tidak
membatalkan strukturnya. Maka, hal tersebut mencerminkan legalitas dari
transaksi jual beli, di mana niat dan tujuan yang berbeda menggunakan media,
dapat dilakukan juga diterima, serta secara eksplisit dan implisit terbebas dari
riba. Sehingga, untuk memperoleh likuiditas dari tawarruq ini, sudah
sepatutnya diperbolehkan, bila memang dibutuhkan.

Ada pula hadits yang melarang tawarruq, adalah sebagai berikut:


Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud, yang artinya:

11
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, Penerjemah Abu Ihsan al- Atsari,(Bandung:
Pustaka AT-TIBYAN, 2013), 385.
“Rasulullah SAW bersabda: Jika kalian berjual beli dengan inah, berpegang
pada ekor sapi, puas dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Allah
SWT akan melimpahkan kehinaan kepada kalian yang tidak mungkin dicabut
sehingga kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Abu Daud)12
Dalam al-Hadits diatas, dijelaskan bahwa orang-orang yang melakukan
transaksi al-înnah, akan Allah limpahkan kehinaan hingga mereka kembali
pada agama mereka. Beliau pun bersabda: “Dan kalian berpegang pada ekor
sapi serta rela untuk bertani”, yang dimaksud adalah menyibukkan diri dengan
mengelola ladang.13
3. Pendapat Para Ulama Terkait Bai’ al-Tawarruq
Pandangan terkait transaksi tawarruq, sebagian ulama memiliki pandangan
yang berbeda mengenai hukumnya, termasuk para ulama dalam satu mazhab.
 Mazhab Maliki dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bin Hanbal,
memandang tawarruq adalah makruh.14
 Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani, memandang tawarruq sebagai
suatu hal makruh yang mendekati haram.15
Berikut ini adalah argumen tawarruq menurut beberapa madzhab fikih:
a. Madzhab Hanabilah
Ada tiga riwayat pendapat mengenai tawarruq menurut Al-Imam
Ahmad, yakni: boleh, makruh dan haram. Dalam penjelasan Al-Mardawi,
beliau berkata: “Apabila seseorang membutuhkan uang tunai, kemudian ia
membeli barang yang nilainya setara antara seratus (rupiah) dengan harga
seratus lima puluh (rupiah), maka bukan menjadi masalah. Sudah ditegaskan
secara langsung oleh Al-Imam Ahmad, dan hal tersebut yang menjadi acuan
para mujtahid madzhab Hambali, yakni perkara tawarruq. Diriwayatkan dari
Ahmad, hukum tawarruq ialah makruh. Dan diriwayatkan oleh beliau,
tawarruq ialah haram”. Tetapi, ada diantara pengikut madzhab Hambali, yang
melarang tawarruq. Suatu ketika Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab,
pernah ditanya mengenai hal ini, dan beliau menjawab, “Jual beli dengan cara
kredit, apabila tujuan pembeli tersebut ialah untuk dijual kembali ataupun

12
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Bairut : al- Kitab al- Arobi, tt), 291.
13
Syaikh Ahmad Bin ‘Abdurrazzaq ad- Duwaisy, Fatwa-Fatwa Jual Beli, Penerjemah M. Abdul Ghaffar,
(Bogor : Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005), 141-142.
14
Muhammad al- Ruki, Qawa’id al- Fiqh al- Islami, (Beirut: Dar al- Qalam, t.th), Cet.,1, 267.
15
Djazuli, Kaidah- kaidah Fikih, (Jakarta : Kencana, 2010), 17.
mengambil nilai manfaat barang, maka hal ini diperbolehkan selama
formulanya juga dibolehkan. Sedangkan apabila tujuan pembeli ialah dirham
(uang tunai), kemudian ia membelinya dengan harga seratus (rupiah) secara
kredit, dan menjualnya dengan harga tujuh puluh (rupiah) secara tunai di
pasar, maka hal tersebut merupakan bentuk jual beli yang tercela, serta
dilarang menurut pendapat diantara para ulama: “Tetapi, Muhammad bin
Utsmain memperbolehkan tawarruq dengan tanda kutip dalam kondisi
“terpaksa”, beliau mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat terkait masalah
kehalalan tawarruq. Namun, ketika seseorang melakukan praktik tersebut
karena terpaksa, sementara ia tidak memperoleh orang yang memberikannya
pinjaman, atau tidak memperoleh orang yang memberikannya utang, sehingga
ia terpaksa melakukan, maka bukan menjadi masalah baginya.
b. Madzhab Maliki
Tawarruq termasuk dalam jenis bai’ al-innah, menurut para mujtahid
madzhab Maliki. Pendapat mereka tidak jauh berbeda, dengan muatan yang
dikatakan oleh para mujtahid madzhab Hambali. pembahasan praktek jual beli
kategori al-‘innah dalam Mukhtashar Khalil dijelaskan, “Pernyataan membeli
dengan harga seratus (rupiah), barang yang nilainya sama dengan delapan
puluh (rupiah)’, maka ialah makruh”. Para pembahas menerangkan, “Ketika
A mendatangi B, lalu berkata ‘Utangilah saya uang sebesar delapan puluh
(rupiah), dan akan saya kembalikan sebesar seratus (rupiah) kepadamu.
Kemudian A mengatakan: ‘praktik seperti ini tidak diperbolehkan, tapi akan
aku jual barang yang nilainya sama dengan delapan puluh (rupiah), seharga
seratus (rupiah) kepadamu’. Hal ini merupakan bentuk al-înnah yang
dimakruhkan”. Dari penjelasan tersebut, sudah jelas bahwa tujuan dari
pembelian barang ialah uang tunai, sebab sejak dari awal akad ia mengatakan:
“Aku membutuhkan uang tunai sebesar delapan puluh (rupiah).” Tujuannya
tidak untuk menjual kembali barang kepada penjual tersebut, sebab hal ini
termasuk jual beli dengan cara pembayaran tunda (kredit), bukan bai’ al-
innah. Sehingga, sudah tidak diragukan lagi bahwa hukum tawarruq adalah
makruh, menurut madzhab ini.

c. Madzhab Abu Hanifah


Para mujtahid madzhab Hanafiah, mengatakan bahwa transaksi
tawarruq tergolong dalam kategori bai’ al-înnah. Penjelasan tentang al-înnah
dalam Al-Thalabah Ath-Thalabah karangan An-Nasafi (w. 537) mengatakan
bahwa: “Menurut sebuah riwayat, bentuk al-înnah merupakan pembelian
barang, dimana seseorang menjual barang tersebut dengan harga yang lebih
murah dari harga yang ia beli, sebelum menyerahkan uang secara tunai.
Sedangkan, dalam riwayat lain menyebutkan yang shahih, al-înnah. Misalnya,
A membeli kain dari B, dengan harga sepuluh dirham secara kredit selama
satu bulan. Sementara harga kain yang sesunggunya yakni, delapan dirham.
Lalu, A menjual barang tersebut kepada C, dengan harga delapan dirham
secara tunai. Maka, A memperoleh uang tunai sebesar delapan dirham, dan
mempunyai kewajiban membayar uang sebesar sepuluh dirham secara kredit.
Hal ini disebut al-înnah, sebab ia mengalihkan praktik utang ke praktik
penjualan barang”.
d. Madzhab Asy-Syafi'i
Telah ditegaskan oleh Para mujtahid madzhab Asy-Syafi'I,
bahwasannya hukum bai’ al-înnah adalah makruh, dan segala bentuk jual beli
yang syariatnya masih diperdebatkan, dihukumi makruh. Ibnu Hajar Al
Haitami menyebutkan dalam karyanya, Tuhfatul Muhtâj bahwa, “Praktik jual
beli terkadang dihukumi makruh seperti bai’ al-înnah, dan segala bentuk jual
beli yang kehalalannya masih diperselisihkan, sama dengan rekayasa guna
menghindari praktik riba.”16 Menurut pendapat yang rajih (terkuat), praktik
tawarruq bertentangan dengan maqashid al-syarî’ah (hifz âl-mâl), serta
kaidah dalam tukar - menukar barang. Haramnya praktik tersebut dan tidak
diperbolehkannya seorang muslim yang mengadakan kontrak perjanjian
antara ia dengan Allah dengan bentuk kontrak seperti ini, secara gamblang
telah dijelaskan dalam dalil-dalil syara’.
Ibnu Taimiyah, ulama dari Mazhab Hambali, merupakan salah satu ulama
yang menentang praktik tawarruq. Beliau pun berkata bahwa: “Tawarruq hampir
sama dengan al-înnah yang bertujuan hanya untuk memperoleh dana segar atau
likuditas”. Pemilik modal (pihak pertama) menjual barangnya kepada pembeli
(pihak kedua). Tidak memberikannnya uang untuk meraih keuntungan lebih
nantinya, ketika (pihak kedua) menjual kembali barang tersebut kepada (pihak
16
Djazuli, Kaidah- kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), 17.
pertama), ini disebut al-înnah. Namun, jika dijual kepada orang lain (pihak ketiga)
itu disebut tawarruq.
Penjualan barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga di pasaran, jika
dilakukan dengan mengambil keuntungan pinjaman, itu termasuk riba, yang tidak
disetujui oleh para ulama mazhab Maliki. Beberapa ulama mazhab Maliki,
mengatakan bahwa, tidak menyetujui, jika penjual mempraktikkan al-înnah.
Tampaknya, hal ini membuat praktik tawarruq menjadi praktik yang tidak
diperbolehkan oleh Mazhab Maliki.
Sementara itu, ulama kontemporer Dr. Rafik Yunus al-Misri, berpendapat
bahwa, hukum tawarruq itu bervariasi tergantung dari kondisinya, yakni:
1) Apabila ketiga pihak yang terlibat dalam transaksi tawarruq mengetahui,
bahwa tujuan utama dari pembeli ialah memperoleh uang tunai, maka
mereka semua berdosa.
2) Apabila kedua pihak yang terlibat transaksi tawarruq mengetahui bahwa,
tujuan penjual ialah untuk mendapatkan uang tunai, maka mereka berdua
berdosa. Tetapi, apabila mereka tidak mengetahui tujuan yang
sesungguhnya dari penjual, maka mereka tidak berdosa.
3) Tawarruq hanya boleh dilakukan, ketika seseorang dalam kondisi
mendesak atau sangat membutuhkan.
Dari poin 1 dan 2 di atas, dapat disimpulkan bahwa, tawarruq itu
diperbolehkan, apabila pihak-pihak yang terlibat tidak mengkondisikannya.
Sementara poin 3, menegaskan bahwa, tawarruq diperbolehkan hanya ketika
keadaan mendesak yang mengharuskan terpenuhinya kebutuhan, seperti guna
membayar hutang, berobat, ataupun lainnya.17
Karakteristik tawarruq telah ditegaskan oleh Wahbah al-Zuhaili, bahwa pada
dasarnya tawarruq dan al-‘innah sama dengan praktik riba, karena tujuan
utamanya bukan untuk mendapatkan komoditi, namun untuk menutupi niat dalam
mendapatkan dana segar atau likuiditas.18
Wahbah al-Zuhaili pun mengungkapkan bahwa, transaksi tersebut dilarang,
apabila tanda-tanda tujuan untuk melakukan riba sudah tampak, tapi mereka

17
Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah Al-Maqdisy, Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhi,
(Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cet., 1, 1416 H).
18
Wahbah Al-Zuhaili, “Tawarruq, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarruq and Organized Tawarruq”.
(www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf).
berselisih pendapat, bila tidak ada tanda-tanda tujuan untuk melakukan riba, dan
hal ini telah disepakati oleh para ulama.19
4. Perbedaan Bai’ al-Tawarruq dengan Bai’ al-‘Innah
Tawarruq dan al-‘Innah adalah dua hal yang berbeda. Pada transaksi
al-‘innah, seseorang yang memerlukan dana, membeli barang secara kredit,
kemudian menjual kembali barang tersebut, secara tunai dengan harga yang lebih
murah dari harga kreditnya, kepada penjual atau pemilik barang. Akar kata dari
al-‘innah ialah ayn (barang yang sudah dibeli), dapat kembali menemukan
jalannya pada pemilik asal. Mayoritas dari pakar hukum Islam, mengatakan
bahwa barang yang digunakan merupakan suatu alat guna melakukan hailah,
yakni rekayasa untuk menghindari sesuatu yang dilarang, seperti riba.
Sedangkan, tawarruq ialah ketika seseorang memerlukan uang tunai atau dana
segar, membeli barang dengan secara kredit, kemudian menjual kembali secara
tunai dengan harga yang lebih murah, kepada pembeli lain (pihak ketiga). Indikasi
dari praktik ini bukan hailah (rekayasa untuk melakukan riba), sebab barang
tersebut tidak kembali pada pemilik asal (pihak pertama). Dengan demikian, para
pakar hukum Islam berpendapat bahwa, tawarruq merupakan transaksi yang sah
dan dapat diterima.
5. Implementasi Bai’ al-Tawarruq
Secara umum, penerapan transaksi tawarruq terdapat dalam konsep bursa
komoditi syariah. Bank yang surplus (pemasukan yang melebihi pengeluaran),
memperoleh pesanan dari bank defisit (pengeluaran yang melebihi pemasukan),
untuk membeli barang.20 Sehingga, bank surplus akan membeli komoditas dari
pasar, secara tunai dengan akad jual beli. Lalu menjualnya dengan cara
murabahah secara kredit kepada bank defisit. Setelah itu, bank defisit menjualnya
dengan tujuan memperoleh uang tunai, kepada pasar komoditas. Pada umumnya,
tawarruq dalam dunia industri di perbankan Timur Tengah, bukan hanya
mengelola likuiditas, namun juga memenuhi kebutuhan individu yang bersifat
konsumtif.
Konsep pertama dalam bank syari’ah ialah menentukan broker (perantara
pedagang) pembelian, dan kepada siapa barang tersebut dijual oleh pembeli. Hal
19
Iqbal Zamir, dan Abbas, Mirakhor.An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice, (Singapore :
John Wiley & Sons (Asia), 2007), Pte Ltd , 91.
20
M Wahyudi Pranata, https://kseiprpgres.com/bai-tawarruq-dasar-hukum-implementasi-dan-kritik-syariah/.
(Diakses pada 28 September 2021, pukul 10.32 WIB).
tersebut hampir sama dengan transaksi al-‘innah, dengan penambahan pihak
ketiga, sehingga dilarang dalam syari’ah. Untuk konsep tawarruq yang kedua,
yaitu bank syari’ah (surplus) memang benar membeli barang tersebut dari pasar,
dan hanya menjualnya pada konsumen saja, tanpa menjual kembali pada pihak
yang lain.
Apabila ditelaah dalam laporan keuangan bank syariah di Malaysia, tawarruq
mempunyai pembiayaan dan pendanaan yang lebih besar daripada mudharabah
deposit. Sebanyak 14 dari 16 bank syariah di Malaysia, tidak lebih dari 3% dari
jumlah keseluruhan DPK, yang hanya memiliki mudharabah deposit. Surat
berharga komersial (sukuk) yang diterbitkan oleh bank, akhir-akhir ini pun
menggunakan praktik tawarruq. Pada tahun 2014, Bank Islam dan Maybank
Islamic melakukan penerbitan sukuk dengan transaksi tawarruq.21
Penerapam tawarruq dapat juga dilakukan dengan cara, customer menemukan
agen atau pembeli, tanpa melibatkan bank syariah. Pertama, bank dapat menjual
barang kepada pelanggan, dalam jangka waktu yang ditangguhkan, dan telah
disepakati oleh syari’ah. Bank harus tetap memberikan informasi secara detail
terkait pengiriman barang ke pelanggan, meskipun barang tersebut tidak berada di
tangan bank. Setelah barang tersebut dikirim, customer dapat menjuanya kepada
agen atau pembeli pilihannya, (Kuwait Finance House, 2011b).22
Selain itu, terdapat beberapa pendapat dari penulis yang juga seorang
akademisi terkait transaksi ini. Dalam sebagian kondisi, tingkat likuidasi yang
tepat itu penting, guna memastikan bahwa kewajiban Lembaga Keuangan Islam
dapat terpenuhi. Walaupun masih terdapat banyak isu, diperlukan kerja sama serta
kerja keras seluruh pemangku kepentingan dalam keuangan syariah, guna
menciptakan manajemen likuiditas yang baik.
Beragamnya pandangan terkait halal dan haramnya transaksi tawarruq ini,
seseorang praktisi tentunya harus berhati-hati dalam melakukannya. Sehingga
ketika berinovasi dalam suatu produk di lembaga keuangan, tidak melalaikan
dasar syari;at dari akad tersebut. Dan tetap dalam pengawasan DSN, sebab DSN
dituntut untuk teliti serta berhati-hati, dalam menerbitkan fatwa terhadap sebuah
persoalan. Sehingga persoalan keuangan syariah ini tidak memiliki resiko yang
besar.

21
Ibid.
22
Ibid.
Hal ini disebabkan, praktik tawarruq yang bersifat dharuriyat. Oleh karena
itu, sebagai lembaga keuangan lebih baik mengakhirkan penggunaan dari
transaksi ini. Sebab, Perbankan Syariah tentu mempunyai instrumen untuk
likuiditas tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan perbaikan yang lebih lanjut
untuk kerangka hukum, yang mampu mengakomodasi dan menyelesaikan segala
persoalan terkait ekonomi ataupun keuangan syariah.
C. Kesimpulan
Dalam hukum Islam, tawarruq ialah seorang mustawriq/mutawarriq yang
membutuhkan likuditas. saat seseorang membeli barang secara kredit, dan menjualnya
kembali barang tersebut secara tunai, kepada pihak ketiga (bukan pihak pertama),
dengan harga yang lebih murah.
Saat ini, tawarruq merupakan salah satu metode cepat yang sering digunakan
untuk meraih aliran dana segar dalam produk bank syariah. Sebagian orang yang
belum mengetahui perbedaan antara tawarruq al-mashrafi dan tawarruq al-fiqhi,
menimbulkan pro dan kontra. padahal kedua tawarruq tersebut jelas berbeda dalam
implikasi hukumnya.
Pengimplementasian bai’ al-tawarruq sebenarnya sudah dilakukan oleh
negara- negara Islam sebagai salah satu produk dalam perbankan syariah. Tetapi, di
Indonesia, tidak semua bank syariah menjadikan akad tawarruq sebagai salah satu
produknya. Karena praktik ini lebih condong ke arah hailah atau rekayasa, dan
pendapat beberapa ulama yang mengatakan makruh ataupun haram.
Fatwa DSN-MUI No:82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi
oleh Dewan Syariah Nasional, menerangkan bahwa segala transaksi yang berkaitan
dengan perdagangan komoditi itu diperbolehkan, atas dasar prinsip syariah dalam
bursa komoditi. Dari hal ini, bai’ al-tawarruq dikategorikan menjadi bagian dari
perdagangan komoditi oleh beberapa para ulama.

DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria. Mu'jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Darul Fikr,
1979.
Abu Hasan, Alaudin Ali bin Sulaiman al-Mardawi. Al-Inshaf fi Ma'rifati ar-Rajih minal
Khilaf. Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1347 H.
Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah Al-Maqdisy. Raudhah al-Nazhir wa
Jannah al-Munazhi. Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cet., 1, 1416 H.
Al- Ruki, Muhammad. Qawa’id al- Fiqh al- Islami. Beirut: Dar al- Qalam, t.th, Cet.,1.
Al Subaily, Yusuf. Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya
Dalam Ekonomi Modern, (Mahasiswa S3 Fakultas Syariah Universitas Islam Imam
Muhammad Saud).
Al-‘Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram, Penerjemah Abu Ihsan al-
Atsari. Bandung: Pustaka AT-TIBYAN, 2013.
Al-Zuhaili, Wahbah. Tawarruq, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarruq and
Organized Tawarruq. (www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf).
Daud, Abu. Sunan Abu Daud, Beirut: al- Kitab al- Arobi, tt.
Depertemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra, 1990.
Djazuli. Kaidah- kaidah Fikih. Jakarta: Kencana, 2010.
Iqbal Zamir, dan Abbas. Mirakhor.An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice.
Singapore: John Wiley & Sons (Asia), 2007, Pte Ltd.
Pranata, M Wahyudi. https://kseiprpgres.com/bai-tawarruq-dasar-hukum-implementasi-dan-
kritik-syariah/. (Diakses pada 28 September 2021 pukul 10.32 WIB).
Robbani, Shofa. Diferensiasi Al-Tawarruq Al-Mashrafi dan Al-Tawarruq Al-Fiqhi Menurut
Hukum Ekonomi Syariah. At-Tuhfah: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 10, No. 1, 2021.
Sa’ad bin Turki al-Khatslan. Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah. Riyadh: Darul
Shoma’i, 2012, Cet., II.
Syaikh Ahmad Bin ‘Abdurrazzaq ad- Duwaisy. Fatwa-Fatwa Jual Beli, Penerjemah M.
Abdul Ghaffar. Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005.
Ulfiyah, Indah ‘Arifatul. Skripsi: “Bai’ At Tawarruq dalam Fikih Muamalat (Perspektif
Hermeneutika Hukum)”. Yogyakarta: UINSUKA, 2017.

Anda mungkin juga menyukai