Anda di halaman 1dari 24

PRAKTIK PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BMT MEKAH (MEKAR BAROKAH)

BOJONEGORO: MENGUNTUNGKAN ATAU MERUGIKAN?

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Sistem Operasional Pembiayaan Lembaga Keungan Syariah Bank dan Non Bank”

Dosen Pengampu:
Eko Arief Cahyono, M. EK.

Disusun oleh:
1. Ira Aristiasari (201955020400843)
2. Kurniasih (201955020400840)
3. M. Ahsinun Nawawi (201955020400831)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Sistem
Oprasional Pembiayaan dengan judul Praktik Pembiayaan Mudharabah di BMT MEKAH
Mekar Barokah: Menguntungkan atau Merugikan?
Makalah ini sudah selesai, kami susun secara maksimal dengan bantuan pertolongan
dari berbagai pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi di
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Akhir kata kami semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi bagi
pembaca.

Bojonegoro, 07 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan masalah..................................................................................................2
C. Tujuan penulisan....................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Terdahulu……………………………………………….…………….......3
B. Kajian Teori…………………………...………………………………………….3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Mekanisme Pembiayaan Mudharabah…………………………...………………15
B. Temuan dan Analisa……………………………………………………………...16
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................18
B. Transkip Wawancara………………………………………………..…………..19
C. Lampiran…………………………………………………………..…………….20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga keuangan syariah merupakan suatu usaha atau insitusi yang
kekayaannya terutama dalam bentuk aset-aset uang atau aset riil yang berlandaskan
konsep syariah. Dalam perkembangannya sekarang ini ada dua jenis lembaga
keuangan syariah yaitu lembaga keuangan syariah yang berupa bank dan non bank.
Lembaga berupa bank terdiri dari bank umum syariah dan unit usaha syariah
sedangkan lembaga keuangan non bank terdiri dari asuransi syariah, gadai syariah,
reksadana syariah, unit simpan pinjam syariah, dan baitul maal wa tamwill.
Baitul maal wa tamwil merupakan lembaga keuangan mikro/LKM yang
beroprasi berdasar prinsip syariah. BMT sesuai dengan namanya mempunyai dua
fungsi utama yaitu rumah pengembangan harta, melakukan kegiatan pengembangan
usaha yang produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro, dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan
ekonomi dan baitul maal. Banyak lembaga BMT yang berdiri di Bojonegoro salah
satunya adalah BMT Mekah Mekar Barokah Bojonegoro.
BMT Mekah merupakan salah satu lembaga keuangan syariah yang
diharapkan dapat memberikan manfaat baik terhadap umat islam untuk dapat
meningkatkan taraf hidupnya melalui produk yang disediakan. Secara umum BMT
memiliki fungsi yang sama seperti lembaga keuangan syariah yang lain, yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan pembiayaan kepada masyarakat
yang membutuhkan. Pada BMT Mekah terdapat dua produk yaitu produk simpanan
dan juga produk pembiayaan, produk simpanan terdiri dari simpanan syariah, Si-Adik
(Simpanan Pendidikan), Si-Raya (simpanan hari raya), Si-Qurban, dan Si-Wadu
(simpanan wadiah umat) sedangkan untuk produk pembiayaan terdiri dari
pembiayaan murabahah (jual beli barang), pembiayaan multijasa, musyarakah dan
mudharabah.
Dalam observasi kelompok kami di BMT Mekah akan mengupas mengenai
akad mudharabah, yang mana mudharabah merupakan perjanjian suatu kerjasama
antara dua pihak, pihak pertama sebagai shohibul maal menyediakan dananya kepada
pihak kedua atau mudharib yang bertanggung jawab sebagai pengelola usaha, yang
keuntungan bagi hasil dari usaha dibagikan sesuai dengan porsi nisbah yang telah
disepakati bersama sejak awal perjanjian.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembiayaan mudharabah yang ada di BMT Mekah?
2. Apakah ada kendala dalam pembiayaan mudharabah di BMT Mekah?
C. Tujuan penulisan
Mengetahui bagaimana proses-proses pembiayaan mudharabah dan mengetahui
kendala-kendala dari sistem pembiayaan mudharabah di BMT Mekah Mekar Barokah
Bojonegoro.

2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan upaya peneliti untuk mencari sebuah
perbandingan, dan kemudian untuk menemukan inspirasi baru guna penelitian
selanjutnya. Disamping itu, kajian ini mampu membantu dalam memposisikan
penelitian serta menunjukkan orisinalitas dari penelitian.
Pada bagian ini, peneliti mencantumkan berbagai hasil penelitian terdahulu
yang terkait dengan penelitian yang hendak dilakukan. Kemudian, membuat
ringkasannya, baik penelitian yang sudah terpublikasikan atau belum terpublikasikan.
Kajian yang mempunyai relasi atau keterkaitan dengan kajian ini antara lain:
1. Skripsi dari M. Edi Budiono yang berjudul Analisis Praktik Pembiayaan
Mudarabah dengan Memasukkan Bagi Hasil Ke Dalam Angsuran Pokok Di BMT
Bina Ummat Sejahtera Cabang Bojonegoro Menurut Tinjauan Hukum Perjanjian
Islam Tahun 2018.1 Yang membicarakan bagaimana praktik pembiayaan
mudharabah dengan memasukkan bagi hasil ke dalam angsuran saja, tidak
berkaitan dengan mutu LKS di BMT Bina Ummat Sejahtera, dengan
menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yang mana objeknya
mengenai gejala, peristiwa, dan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Serta
bersifat deskriptif analitik, yang memaparkan fakta-fakta terkait praktik
pembiayaan mudarabah. Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan, produk
pembiayaan mudarabah di BMT Bina Ummat Sejahtera belum sesuai dengan
perjanjian Islam.
B. Kajian Teori
1. Pengertian Mudharabah
Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal dan
seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong. Sebab ada
orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam
menjalankan roda perusahaan. Ada juga orang yang mempunyai modal dan
keahlian, tetapi tidak mempunyai waktu. Sebaliknya ada orang yang mempunyai
keahlian dan waktu, tetapi tidak mempunyai modal. Dengan demikian, apabila ada
1
M. Edi Budiono, Analisis Praktik Pembiayaan Mudarabah dengan Memasukkan Bagi Hasil Ke Dalam
Angsuran Pokok Di BMT Bina Ummat Sejahtera Cabang Bojonegoro Menurut Tinjauan Hukum Perjanjian
Islam, (skripsi, Fakultas Syariah IAI Sunan Giri Bojonegoro, 2018).

3
kerja sama dalam menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak
akan mendapatkan keuntungan modal dan skill (keahlian) dipadukan menjadi
satu.2
Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,
sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah
atau qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh
juga mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari
kata ad-dharb (‫( الضرب‬derivasi dari wazan fi’il ‫رب‬M‫ یضرب – ض‬- ‫ ضربا‬berarti
memukul dan berjalan.3 Selain ad-dharb ada juga qiradh (‫راض‬M‫( الق‬dari kata (‫القر‬

‫( ض‬yang berarti pinjaman atau pemberian modal untuk berdagang dengan


memperoleh laba.4 Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari
Teori Ke Praktek, menuliskan bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah
proses seseorang dalam menjalankan usaha.5 Dari sini dapat dipahami bahwa
mudharabah secara lughowi adalah proses seseorang menggerakkan kakinya
dalam menjalankan usahanya dengan berdagang untuk memperoleh laba.
Secara istilahi mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang
berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.6 Definisi mudharabah
menurut Sayyid Sabiq adalah:
“Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang
(sebagai modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan. Laba dibagi sesuai dengan
kesepakatan”.7
Adapun definisi mudharabah menurut Wahbah Az-Zuhaili adalah:
“Akad didalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada ‘amil
(pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama
sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan, kerugiannya hanya menjadi
tanggungan pemilik modal saja, ‘amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali
usaha dan kerjanya saja”.8

2
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), 169.
3
Adib Bisri dan Munawwir Al-Bisri, Kamus Arab – Indonesia Indonesia –Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1999), 432.
4
Ibid., 592.
5
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001. 95.
6
Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), 168.
7
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Darul Fath, 2004), 217.
8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 476.

4
Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 adalah:
“Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain
untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul
maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha”.9
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah
yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib untuk usaha
tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang
dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang
dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal
sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu
diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Ulama fiqih sepakat bahwa Mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan
Al-Qur’an. Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
a. Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan Mudharabah, antara lain:
Firman Allah, QS. An-Nisa: 29.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…” (QS. An-Nisa : 29).10
Firman Allah, QS. Al-Baqarah: 198.

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).11
b. As-Sunnah/Hadits
Hadits yang berkaitan dengan Mudharabah adalah:

9
Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), 107-108.
11
Ibid., 38.

5
“Shuhaib RA mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga macam yang
dapat berkah Allah SWT, yaitu: (1) jual beli dengan masa temponya, (2)
memodali orang, dan (3) mencampurkan gandum kasardan gandum halus di
rumah, tetapi bukan untuk jualan”. (Riwayat Ibnu Majah).12

“Hakim bin Hizam RA bahwa ia pernah membuat syarat terhadap laki-laki


yang dimodalinya agar tidak diperdagangkan modalku pada hewan yang
bernyawa, jangan masuk laut, dan menempuh banjir. Jika dilakukan juga
tentang itu, maka ia harus menjamin modalku”.13
c. Ijma’
Diantara ijma’ dalam Mudharabah adanya riwayat yang menyatakan
bahwa jama’ah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk
Mudharabah.Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.14
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada
pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau
bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya Mudharabah
ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas,
yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka.
3. Rukun dan Syarat Mudharabah
a. Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh
ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda
pendapat tentang rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafadz yang
menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah,
muamalah, atau kata-kata searti dengannya.

12
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram 1(terjemah Kahar Masyhur), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992),
505.
13
Ibid., 508-509.
14
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta: Erlangga, 2014), 80.

6
Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut
ulama Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari: Ra’sul mal (modal),
al-‘amal (bentuk usaha), keuntungan, ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun
menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan
lafal yang menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah rukun mudharabah ada enam yaitu:
1) Pemilik dana (shahibul mal)
2) Pengelola (mudharib)
3) Ijab qabul (sighat)
4) Modal (ra’sul mal)
5) Pekeraan (amal)
6) Keuntungan atau nisbah15
Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada
tiga, yaitu:
1) Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
2) Modal (ma’qud alaih)
3) Shighat (ijab dan qabul)16
Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad
mudharabah pada dasarnya adalah:
1) Pelaku (shahibul mal dan mudharib)
Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang
bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal) dan yang lainnya menjadi
pelaksana usaha (mudharib).
2) Obyek mudharabah (modal dan kerja)
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya sebagai
obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya
sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk uang atau
barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang
diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management
skill, dan lain-lain.

15
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 139.
16
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 226.

7
Para fuqaha sebenarnya tidak memperbolehkan modal mudharabah
berbentuk barang. Modal harus uang tunai karena barang tidak dapat
dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar)
besarnya modal mudharabah.17 Namun para ulama mazhab Hanafi
membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang,
tanpa adanya setoran modal berarti shahibul mal tidak memberikan
kontribusi apa pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan
Maliki melarang itu karena merusak sahnya akad.
3) Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul)
Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip
an-taraddin minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara
rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik
dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si
pelaksana usaha pun setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan
kerja.
4) Nisbah keuntungan
Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah.
Nisbah ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul mal
ataupun mudharib. Shahibul mal mendapatkan imbalan dari penyertaan
modalnya, sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.
b. Syarat Mudharabah
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun
mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut:
1) Shahibul mal dan mudharib
Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai
majikan dan wakil. Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari
pemilik modal dan itu mengandung unsur wakalah yang mengandung arti
mewakilkan. Syarat bagi keduanya juga harus orang yang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, dan tidak ada unsur yang menggangu

17
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafino Persada, 2014),
205.

8
kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain itu, jumhur ulama juga
tidak mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam, karena itu
akad mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-muslim.
2) Sighat ijab dan qabul
Sighat harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan
mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah
kontrak.18 Lafadz-lafadz ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata dan
derivasi mudharabah, muqaradhah dan muamalah serta lafadz-lafadz yang
menunjukkan makna-makna lafadz tersebut. Sedangkan lafadz-lafadz
qabul adalah dengan perkataan ‘amil (pengelola), “saya setuju,” atau,
“saya terima,” dan sebagainya. Apabila telah terpenuhi ijab dan qabul,
maka akad mudharabah-nya telag sah.
3) Modal
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul mal kepada
mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Syarat yang
berkaitan dengan modal, yaitu:
a) Modal harus berupa uang
b) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
c) Modal harus tunai bukan utang
d) Modal harus diserahkan kepada mitra kerja19
Sebagaimana dikutip dari M. Ali Hasan bahwa menurut Mazhab
Hanafi, Maliki dan Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh
pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad itu tidak
dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali, boleh saja sebagian modal
itu berada ditangan pemilik modal, asal saja tidak menganggu kelancaran
jalan perusahaan tersebut.
4) Nisbah keuntungan
Keuntungan atau nisbah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan
dari modal. Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua
belah pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu
melakukan kontrak. Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan
dalam bentuk prosentase seperti 50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1
18
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan sosial),
(Bogor: Ghalia Indonesia), 2012, 143.
19
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), 62.

9
menurut kesepakatan bersama. Biasanya, dicantumkan dalam surat
perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian, apabila terjadi
persengketaan, maka penyelesaiannya tidak begitu rumit.
Karakteristik dari akad mudharabah adalah pembagian untung dan bagi
rugi atau profit and loss sharring (PLS), dalam akad ini return dan timing
cash flow tergantung kepada kinerja riilnya. Apabila laba dari usahanya
besar maka kedua belah pihak akan mendapatkan bagian yang besar pula.
Tapi apabila labanya kecil maka keduanya akan mendapatkan bagian yang
kecil pula. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-
masing pihak yang melakukan kontrak, jadi angka besaran nisbah ini
muncul dari hasil tawar menawar antara shahibul mal dengan mudharib,
dengan demikian angka nisbah ini bervariasi seperti yang sudah
disebutkan diatas, namun para fuqaha sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak
diperbolehkan.
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama
mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila
pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama,
maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap
ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu mazhab Hanafi
menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah
shahihah dan mudharabah faasidah. Jika mudharabah itu fasid, maka para
pekerja (pelaksana) hanya menerima upah kerja saja sesuai dengan upah
yang berlaku dikalangan pedagang didaerah tersebut. Sedangkan
keuntungan menjadi milik pemilik modal (mazhab Hanafi, Syafi’i dan
Hambali). Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam
mudharabah faasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah
shahihah yaitu tetap mendapat bagian keuntungan yang telah disepakati
bersama.
5) Pekerjaan atau usaha
Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola
(mudharib) dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik
modal. Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan manajemen

10
kontrak mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
kedua belah pihak dalam transaksi.20
4. Macam-Macam Akad Mudharabah
Secara umum, berdasarkan kewenangan yang diberikan pada mudharib, akad
mudharabah yang dilakukan oleh pemilik modal (shahibul mal) dengan pekerja
(mudharib), mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah yaitu mudharabah tanpa syarat, pekerja bebas
mengolah modal itu dengan usaha apa saja yang menurut perhitungannya akan
mendatangkan keuntungan dari arah mana saja yang diinginkan. Misalnya
jenis barang apa saja, didaerah mana saja, dengan siapa saja, asal saja apa
yang dilakukan itu diperkirakan akan mendapatkan keuntungan. Mudharib
diberikan otoritas oleh shahibul mal untuk menginvestasikan modal ke dalam
usaha yang dirasa cocok dan tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-
syarat tertentu, pekerja mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam
perjanjian yang dikemukanan oleh pemilik modal. Misalnya harus
memperdagangkan barang-barang tertentu, di daerah tertentu, dan membeli
barang pada toko (pabrik) tertentu. Shahibul mal boleh melakukan hal ini guna
menyelamatkan modalnya reisiko kerugian. Apabila mudharib melanggar
syarat-syarat/batasan maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul.
Dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk
mudharabah muqayyadah yaitu:
1) Mudharabah muqayyadah on balance sheet
Mudharabah muqayyadah on balance sheet (investasi terikat) yaitu
aliran dana dari shahibul mal kepada mudharib dan shahibul mal mungkin
mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor
tertentu, misalnya pertanian, pertambangan.
2) Mudharabah muqayyadah of balance sheet Mudharabah muqayyadah of
balance sheet ini merupakan jenis mudharabah di mana penyaluran dana

20
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan sosial),
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 143.

11
mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak
sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat
tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang
akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.
Jumhur ulama’ menetapkan bahwa pengelola usaha tidak boleh melakukan
akad mudharabah lagi dengan orang lain dengan uang tersebut, karena modal
(uang) yang diberikan kepadanya merupakan amanah. Sementara penyerahan
modal oleh pengelola kepada pihak (orang) lain merupakan bentuk
pengkhianatan yang nantinya akan merugikan pemberi modal yang
sebenarnya, karena apabila akad mudharabah telah terjadi dan pekerja telah
menerima modalnya, maka usaha yang dilakukan adalah amanat yang harus
dijaga sebaik-baiknya. Apabila dia tidak mengusahakan dengan baik, maka dia
harus menanggung resiko yang ada, termasuk mengganti modal tersebut jika
mengalami kerugian.21
Hikmah disyariatkannya mudharabah adalah untuk memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan hartanya dan sikap
tolong menolong di antara mereka, selain itu, guna menggabungkan
pengalaman dan kepandaian dengan modal untuk memperoleh hasil yang
terbaik.
5. Pembatalan Mudharabah
Mudharabah dianggap batal pada hal berikut:
a. Salah seorang aqid meninggal dunia
Jumhur Ulama berpendapat bahwa Mudharabah batal, jika salah
seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini
karena Mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan
meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang
sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau
tidak. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa Mudharabah tidak batal dengan
meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat diserahkan
kepada ahli warisnya, jika dapat dipercayai.
b. Salah seorang aqid gila

21
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), 116-117.

12
Jumhur Ulama berpendapat bahwa gila membatalkan Mudharabah,
sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam Mudharabah.
c. Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh dalam
keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh
hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan
Mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal itu
menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta
orang murtad dibagikan di antar para ahli warisnya.
d. Modal rusak di tangan pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, Mudharabah menjadi batal. Hal
ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak,
Mudharabah batal. Begitu pula, Mudharabah dianggap rusak jika modal
diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk
diusahakan.
e. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat Mudharabah
Jika salah satu syarat Mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal
sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola
mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas
izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima upah. Jika
terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut menjadi tanggung jawab
pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak
menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas
kelalaiannya.
f. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola
modal
Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola
modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang pengelola modal
bertanggungjawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

13
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kulitatif deskriptif.
Jenis penelitian deskritif kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang
memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan secara deskriptif, dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Mekanisme Pembiayaan Mudharabah
1. Syarat Khusus
a. Permohonan Pembiayaan
b. Data identitas diri/pribadi
c. Data identitas usaha
d. Garansi/jaminan
2. Modal / Harta
a. Modal hanya diberikan untuk tujuan usaha yang sudah jelas dan disepakati
Bersama
b. Modal harus berupa unag tunai, jelas jenis mata uangnya, dan jelas jumlahnya
c. Modal diserahkan kepada mudharib seluruhnya (100%) lumpsum
d. Jika modal diserahkan secara bertahap maka harus jelas tahapannya dan harus
disepakati Bersama
e. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk study kelayakan (feasibility study) atau
sejenisnya tidak termasuk dalam bagian dari modal. Pembayaran biaya-biaya
tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Pekerjaan dan Biaya
a. BMT berhak melakukan pengawasan namun tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha mudharib.
b. Bank sebagai penyedia dana tidak boleh membatasi usaha/tindakan
mudharib dalam menjalankan usahanya, kecuali sebatas perjanjian (usaha
yang telah ditetapkan) atau yang menyimpang dari aturan syariah.
4. Bagi Hasil
a. Keuntungan yang diperoleh merupakan hasil dari pengelolaaan dana
pembiayaan mudharabah yang diberikan
b. Besaran pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati
14
c. Mudharib harus membayar bagian keuntungan yang menjadi hak bank secara
berkala sesuai dengan periode yang disepakati
d. BMT tidak akan menerima pembagian keuntungan, bila terjadi kegagalan atau
wanprestasi yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib
e. Bila terjadi kegagalan usaha yang mengakibatkan kerugian yang disebabkan
oleh kelalaian mudharib, maka kerugian tersebut harus ditanggung
oleh mudharib (menjadi piutang BMT)
B. Temuan dan Analisa
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan pada Kamis, 14 Oktober 2021 di
BMT MEKAH Mekar Barokah, terdapat beberapa produk pembiayaan. Salah satunya
yaitu pembiayaan mudharabah. Pada dasarnya, akad mudharabah dapat mendatangkan
keuntungkan. Tak dapat dipungkiri juga dapat membawa kerugian. Dalam hal ini,
BMT MEKAH tentu tidak menginginkan kerugian. Sehingga BMT MEKAH ini
jarang menggunakan akad mudharabah tersebut. Dan bahkan hampir tidak pernah.
Yang menjadi permasalahan, jika BMT MEKAH tidak berkenan melayani nasabah
dengan akad mudharabah, lantas mengapa di dalam brosurnya tersedia produk
pembiayaan mudharabah? Berikut ini adalah brosurnya:

Sebaiknya, BMT MEKAH tidak perlu mencantumkan produk pembiayaan


mudharabah di dalam brosur, jika memang BMT MEKAH enggan menggunakan

15
akad mudharabah. Dengan begitu, BMT MEKAH pun tidak perlu bersusah payah
membujuk nasabah untuk mengalihkannya ke akad yang lain. Sehingga bisa lebih
mudah memberikan pengertian kepada nasabah.
Kami sebagai orang awam pun tidak begitu paham tentang hal ini. Begitu juga
dengan masyarakat, yang mungkin saja dalam pembiayaannya pun sebenarnya tidak
memahami akad apa yang digunakan. Berdasarkan penjelasan Pak Edi, ketika ditanya
terkait hal ini, beliau mengatakan bahwa masyarakat itu susah memahami. Sudah
dijelaskan berkali-kali tetap saja tidak paham.
Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Dari sudut pandang nasabah, bisa
jadi karena faktor SDM. Rata-rata nasabah disini merupakan warga biasa yang
tergolong ekonominya pas-pasan. Jadi, SDMnya tidak terlalu tinggi. Selanjutnya
karena faktor bodo amat (tidak begitu mempedulikan). Jadi nasabah tidak terlalu
mempermasalahkan soal akad pembiayaan tersebut. Yang terpenting bagi nasabah
produk pembiayaan tersebut dapat memberikan keuntungan. Sehingga tidak ambil
pusing, apakah akadnya itu sesuai atau tidak.
Dari sudut pandang pihak BMT, bisa jadi karena faktor bahasa. Mungkin
pihak BMT menggunakan bahasa yang tidak mudah dipahami. Sehingga nasabah
susah untuk mencerna kata-kata penjelasan dari pihak BMT.
Pembiayaan mudharabah tersebut jarang dipraktikkan. Bahkan hampir tidak
pernah digunakan. Kalaupun ada nasabah yang menginginkan akad mudharabah ini,
maka pihak BMT MEKAH justru mengalihkan ke akad murabahah. Hal tersebut
bukan tanpa alasan. Melainkan karena akad mudharabah ini tidak menjamin
keuntungan pada pihak BMT, tetapi justru berpotensi merugikan. Disebabkan, apabila
mudharib tidak jujur mengenai hasil keuntungan yang diperoleh, maka pihak BMT
tentu mendapatkan bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal
perjanjian.
Misalnya, Bu Devi adalah seorang pengusaha roti. Ia ingin melakukan akad
pembiayaan mudharabah di BMT MEKAH, dengan modal sebesar Rp 10.000.000.
Dan dengan presentase bagi hasil 50% : 50%, yang diangsur selama lima bulan sesuai
kesepakatan bersama. Apabila pada bulan pertama, Bu Devi mendapatkan keuntungan
sebesar Rp 1.000.000-, maka ia wajib membagi hasil keuntungan tersebut sebesar Rp
500.000-, kepada pihak BMT. Kemudian, apabila bulan berikutnya keuntungan
tersebut meningkat menjadi Rp 2.000.000-, namun ia mengatakan hanya mendapatkan
keuntungan sebesar Rp 1.000.000-, maka pihak BMT otomatis dirugikan. Karena ia
16
tidak jujur dan tidak sesuai kesepakatan di awal perjanjian. Belum lagi, apabila ia
mengaku tidak mendapatkan keuntungan, maka BMT pun tidak mendapatkan
keuntungan bagi hasil sama sekali. Dan pihak BMT hanya mendapatkan
pengembalian modal, itu pun diperoleh dengan cara berangsur. Maka, disini pihak
BMT merasa sangat dirugikan.
Oleh karena itu, pihak BMT MEKAH tidak mau menanggung risiko tersebut.
Dan tentunya BMT tidak menginginkan kerugian. Sehingga, inilah yang menjadi
alasan BMT Mekah tidak menerapkan pembiayaan mudharabah. Dan lebih memilih
mengalihkan nasabah pada pembiayaan murabahah. Karena pembiayaan murabahah
lebih cenderung menguntungkan dan minim risiko dibandingkan dengan pembiayaan
mudharabah.
Dengan demikian, tidak dipraktikkannya pembiayaan mudharabah dalam
BMT tersebut, bukanlah suatu hal yang buruk. Justru membawa banyak keuntungan
yang berdampak terhadap kesejahteraan BMT MEKAH.

BAB V
PENUTUP
17
A. Kesimpulan
Mudharabah merupakan akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib
untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang
dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian
itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian
mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Didalam akad
mudharabah akad dikatakan sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi.
Berdasarkan observasi yang kami lakukan pada tanggal 14 oktober 2021 di BMT
mekah terdapat beberapa produk pembiayaan. Salah satunya yaitu pembiayaan
mudharabah. Namun, pembiayaan mudharabah tersebut jarang dipraktikkan. Bahkan
hampir tidak pernah digunakan. Kalaupun ada nasabah yang menginginkan akad
mudharabah ini, maka pihak BMT MEKAH justru mengalihkan ke akad murabahah.
Hal tersebut dikarenakan akad mudharabah dipandang tidak menjamin keuntungan
pada pihak BMT, tetapi justru berpotensi merugikan. Hal ini disebabkan, apabila mudharib
tidak jujur mengenai hasil keuntungan yang diperoleh, maka pihak BMT tentu
mendapatkan bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal perjanjian. Jadi
dengan demikian di BMT mekah jika ada nasabah yang ingin melakukan pembiayaan
mudharabah lebih dialihkan ke pembiayaan murabahah.

B. Transkip Wawancara
Jenis Data : Wawancara
18
Perihal : Sistem pembiayaan dengan akad mudharabah di BMT MEKAH
Hari/Tanggal : Kamis, 12 Oktober 2021
Tempat : Jl. Pemuda No. 70 Bojonegoro

Peneliti : Sebelum masuk kepertanyaan inti kami mau betanya awal berdirinya
BMT MEKAH sendiri ini tahun berapa ya? Dan struktur organisasinya
apakah sudah terbentuk?

AO BMT : BMT mekah ini berdiri sah pada tahun 2018. Dulu ketua pengurus dari
BMT mekah adalah Bpk. Shofa Rabbani, Lc, MA. dan manajer awal Bpk.
Eko Arief Cahyono, M.Ek. masa pengurusannya dari tahun 2018-2019.
Setelah itu ada pergantian pengurus lagi yaitu, bapak Beni sebagai manajer
kedua di BMT mekah sampai tahun 2020. Dan untuk struktur kepengurusan
saat ini ketua pengurus BMT mekah dipegang oleh Dr. H. M Ridlwan
Hambali, Lc. M.A.

Peneliti : Mengenai produk pembiayaan di BMT mekah ini kira-kira ada produk apa
saja ya?

AO BMT : Untuk produk pembiayaan disini ada mudharabah & musyarakah untuk
modal usaha, pembiayaan multijasa, dan juga pembiayaan murabahah
untuk jual beli barang.

Peneliti : Untuk konsep dari pembiayaan mudharabah sendiri itu bagaimana?


AO BMT : Nah, untuk akan pembiayaan mudharabah konsepnya juga sama seperti
ketentuan dan prinsip syariah, tetapi di BMT mekah sendiri jarang bahkan
tidak pernah menggunkaan akad mudharabah sebagai akad pembiayaan
dan misalkan ada nasabah yang ingin melakukan akad pembiayaan
mudharabah lebih dialihkan ke akad murabahah. Karena akad murabahah
dinilai lebih aman untuk pihak BMT dalam melakukan pembiayaan.

C. Lampiran

19
DAFTAR PUSTAKA

20
A. Karim, Adiwarwan. Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 2014.

Al-Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq, 2004.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram 1 (Terjemahan Kahar Masyhur). Jakarta: PT


Rinekaa Cipta, 1992.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5. Jakarta: Gema Insani, 2011

Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2014.

Bisri, Adib dan Al-Bisri, Munawwir. Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab. Surabaya:


Pustaka Progressif, 1999.

Budiono, M. Edi. “Analisis Praktik Pembiayaan Mudarabah dengan Memasukkan Bagi Hasil
Ke Dalam Angsuran Pokok Di BMT Bina Ummat Sejahtera Cabang Bojonegoro
Menurut Tinjauan Hukum Perjanjian Islam”. skripsi Fakultas Syariah IAI Sunan Giri
Bojonegoro, 2018.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.

Dewan Syariah Nasional MUI. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Erlangga, 2014.

Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000. Tentang Pembiayaan Mudharabah

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (fiqh Muamalat). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis dan Sosial). Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.

Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke praktek. Jakarta: Gema Insani,
2021.

Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunah Jilid 4. Jakarta: Darul Fath, 2004.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai