Dalam pembahasan tentang konsep hak ibtikar penulis perlu menegaskan kembali
definisi tentang hak, supaya penjelasan tentang hak ibtikar menjadi tegas dan sesuai
dengan konsep yang diformat dalam fiqh muamalah. Hak berasal dari bahasa arab
hak ialah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi untuk menertibkan
pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun yang berkaitan dengan harta
benda[2]. Hak ialah “suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu
kekuasaan atau suatu beban hukum”[3]. Pengertian lain tentang hak dikemukakan oleh
dengan menetapkan dan menjelaskan. Sedangkan pengertian hak menurut ulama fiqh dari
golongan ulama ialah hak suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’[6]. Menurut
Syekh Ali Al-Khafifi hak ialah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’[7].
Para fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian hak. Ada ulama yang
mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sementara dipihak lain ada yang
mengaitkannya dengan hal-hak yang bersifat non-materi, seperti pada istilah hak Allah SWT
dan hak hamba. Ada pula yang mengartikan hak sebagai hak atas harta benda dan segala
sesuatu yang lahir dari suatu akad, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak
tertentu. hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai
suatu kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh dipergunakan untuk merugikan
orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan. Dalam hal inilah
para fuqaha membuat kaidah “dalam menggunakan hak, orang lain tidak boleh dirugikan
dan tidak boleh pula berhak dirugikan orang lain”. Selain itu hak tersebut tidak dibenarkan
dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak diakui syara’. Para fuqaha berbeda pendapat
tentang pengertian hak, ada yang mengatakan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi,
sedangkan di pihak lain ada yang mengkaitkannya dengan hal-hal yang bersifat non-materi,
[9]. Hak juga merupakan kewenangan atas sesuatu atau yang wajib atas seseorang untuk
orang lain.[10]
Ibnu Nujaim seorang ahli fiqh mendefinisikan hak sebagai suatu kekhususan yang
terlindungi. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang
dengan orang lain tidak dapat diganggu gugat[11]. Fathi ad-Duraini, juga mengeluarkan
sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan
tertentu[12]. Dari beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa hak ialah suatu
ketentuan dan ketetapan dari seseorang terhadap pihak lain yang ia mempunyai kuasa atas
suatu hal atau perihal, oleh karenanya jika ada pihak lain yang ingin secara sengaja
mengambil atau salah dalam menggunakan haknya, maka pihak itu dapat dianggap telah
a. Dari segi pemilik hak. Dilihat dari segi ini hak terbagi menjadi tiga macam:
1) Hak Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
mengagungkan-Nya.
2) Hak manusia, yang pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi
manusia.
3) Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dan hak manusia.[13]
b. Dari segi obyek hak. Menurut ulama fikih dari segi obyeknya hak terbagi atas:
2) Haq qhairu mali yaitu hak-hak yang tidak terkait dengan harta benda (materi).
3) Haq al-syahshi yaitu hak-hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap
orang lain.
4) Haq al-‘aini yaitu hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia
memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti
5) Haq mujarrad yaitu hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui
perdamaian atau pemaafan, dan qhairu mujarrad yaitu suatu hak yang apabila digugurkan
dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain[15]. Misalnya,
apabila harta seseorang dicuri kemudian dijual oleh pencuri kepada orang lain, maka hak
pemilik barang yang dicuri itu tetap ada dan ia berhak untuk menuntut agar harta yang
menjadi haknya itu dikembalikan. Hak seperti ini tidak berlaku dalam haq al-syakhsi.
syakhsi tidak dapat digugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali
kehakiman.
2) Haq qadhai, yaitu seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan dan Pemilik hak itu mampu
Sumber atau sebab hukum, ulama fiqh telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau
sebab hak adalah syara’[17]. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara
langsung tanpa sebab dan ada kalanya melalui suatu sebab, ulama fiqh menetapkan bahwa
yang dimaksudkan dengan sebab langung yang berasal dari syara’ atau diakui oleh syara.
Adapun akibat hukum suatu hak, ulama fiqh mengemukakan beberapa hukum terkait
1. Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak. Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu
2. Menyangkut pemeliharaan hak. Ahli fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar
setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk kesewenangan
orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta
seseorang dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara
pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan dan secara perdata menuntut agar harta
yang dicuri itu dikembalikan jika masih utuh atau diganti senilai harta yang dicuri jika harta itu habis.
3. Menyangkut penggunaan hak. Ulama fiqh berpendapat bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal
yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila
merugikan atau memberi mudarat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat, baik
memindahkan haknya kepada orang lain, dengan ketentuan harus sesuai dengan cara yang
disyariatkan dalam Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan, seperti jual beli dan
lain-lain. Adapun sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu sangat banyak,
seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan utang (hiwalah), dan disebabkan
wafatnya seseorang. Yang penting pemindahan hak ini menurut para ulama fiqh dilakukan
sesuai dengan cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara’. Suatu hak hanya akan
berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’ dan hal ini bisa berbeda pada setiap
Dengan demikian, dari beberapa penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa
mencurahkan segenap tenaga dan ilmunya untuk menghasilkan suatu karya yang luar biasa
yang bisa membawa manfaat buat orang banyak, dan ia mempunyai hak untuk bertindak
fiqh Islam dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama
sistematik tentang haq al-ibtikar, karenanya juga sulit dketahui definisinya dari tokoh-tokoh
fiqh klasik.
kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi
Dari segi hak, definisi ibtikar ini mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk,
hasil pemikiran ini terletak pada materil yang berdiri sendiri yang dapat diraba dengan alat
indera manusia, tetapi pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah
dituangkan kedalam tulisan seperti buku atau media lainnya. Kemudian hasil pemikiran ini
bukan jiplakan atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya dan bukan pula
berbentuk saduran. Akan tetapi, ibtikar ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali,
tetapi juga boleh berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan
sebelumnya, termasuk didalamnya terjemahan hasil pemikiran orang lain ke dalam bahasa
asing. Dimasukannya terjemahan kedalam ibtikar adalah disebabkan adanya usaha dan
1. Empat sebab yang disebutkan dalam konsep milk belum dapat mengakomodir sebab
4. Nass, menisbatkan usaha kepada pemiliknya. Allah swt berfirman dalam surat al-
Baqarah 134.
Artinya: Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu
usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (QS. Al-Baqarah:134)
5. Ciptaan langit dan bumi semuanya dinisbatkan kepada pemiliknya yakni Allah.
Selain kelima sebab di atas, Fauzi juga menyebutkan beberapa sebab lainnya,
namun sebab tersebut bukanlah hal yang primer, namun ia merupakan sebab sekunder.[24]
1. Adanya pasal 3 ayat 2 UUHC no. 19/2002. dalam pasal ini menguraikan tentang
bentuk pemindahan kepemilikan kepada pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
Dalam hukum Islam, pemindahan hak seperti itu dibolehkan kecuali warisan.
yang mengganti pencipta dalam segala tindakan hukum berkenaan dengan haq ibtikar
yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta dibidang seni, sastra dan ilmu
hak cipta, yaitu: (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. (2) hak cipta dapat beralih
atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat,
perjanjian tertulis; atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak-hak atas
kekayaan intelektual (HAKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan
dinamakan Hukum HAKI. Yang dinamakan Hukum HAKI ini, meliputi suatu bidang hukum
yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker
Menurut Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta tersebut, hal yang
essensial dalam undang-undang ini adalah bahwa “Hak cipta dapat beralih atau dialihkan,
baik seluruhnya maupun sebagian”, antara lain karena pewarisan, hibah, atau perjanjian
tertulis. Salah satu makna penting dari ketentuan ini adalah kedudukan hak cipta yang
dianggap sebagai benda bergerak. Sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan, maka
sifat hak cipta yang dapat dialihkan ini menjadi sangat relevan dalam transaksi bisnis sehari-
hari. Itulah sebabnya, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta menggunakan istilah
“pemegang hak cipta” yang berdampingan dengan istilah pencipta. Begitu juga mengenai
malikiyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi
seseorang termasuk harta, karena, menurut mereka, harta tidaknya bersifat materi, tetapi
juga bersifat manfaat. Oleh karena itu, menurut mereka, pemikiran hak citpa atau kreasi
yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan sama dengan nilai hasil suatu
tanaman, sewa rumah, susu dan bulu hewan, dan lain sebagainya.[27]
Imam asy- Syafi’i mengatakan bahwa yang dikatakan harta itu adalah yang boleh
dimanfaatkan oleh manusia, baik berupa benda maupun bersifat manfaat dari suatu benda.
Pemikiran seseorang yang telah dituangkan dalam buku, ciptaan atau kreasi seorang
ilmuwan atau seniman, menurut mereka, juga bernilai bermanfaat yang dapat nilai dengan
harta, dapat diperjual belikan, dan orang yang sewenang-wenang terhadap haq ibtikar dan
kreasi orang lain boleh dituntut di muka pengadilan. Oleh sebab itu, dalam ijtihad para ulama
landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan haq ibtikar itu sendiri
merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian secara implisit
perlindungan terhadap haq ibtikar ditemukan dalan sistim hukum Islam. Hal ini dikarenakan
konsep hak itu sendiri dalam hukum Islam tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan
. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa landasan haq ibtikar atau kreasi dalam
fiqh Islam adalah u’rf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat) dan a-
menetapkan hukum dalam fiqh Islam, selama tidak bertentangan dengan teks ayat dan atau
[30]
Menurut Fauzi Shaleh, pada dasarnya dasar hukum hak dalam Islam adalah syara’,
baik itu al-haq al-Syakhsyi yakni suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ untuk seseorang
terhadap orang lain seperti hak pembeli mendapatkan barang, maupun al-haq al-’aini yakni
hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia memiliki kekuasaan
komoditi baru, yaitu memaparkan hasil pemikiran mereka dalam sebuah media serta
memperjualbelikannya pada masyarakat luas. Disamping itu, hasil pemikiran, ciptaan atau
manusia sejalan dengan tujuan syari’at. Oleh sebab itu, keberadaan hak sebagai salah satu
Oleh karena itu, diperlukan seperangkat hukum yang menjadi landasan pengaturan
hal tersebut telah dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sebagai mana yang telah
1997.No.29, dan terakhir telah diubah dengan lahirnya UU.No.19 Tahun 2002, untuk
demikian segala sesuatu yang bersifat merugikan atau menzalimi pemilik hak cipta tersebut
pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dari pemegang hak cipta tersebut. Alasan ini
perbuatan yang melanggar etika bisnis atau perdagangan dalam Islam terutama yang
dan pelanggaran hak cipta. Tindakan inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surat
Adapun hadits yang menjelaskan tentang larangan menjual suatu barang yang
الHHق ه ؟HH قلت يارسول هللا الرجل يسأ لني البيع وليس عندي أفأ بيع: عن حكيم بن حزام قال
) التبع ماليس عندك ( رواه ابن مجة
Artinya: Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata: Aku berkata,”Ya Rasulullah, ada seseorang akan
membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki, bolehkah saya menjawabnya,”maka jawab
beliau,”jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu. (H.R. Ibnu Majah) [34]
Dari hadis diatas, dapat dipahami bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang
mau berusaha dan mencari rezki yang halal lagi baik, bukan harta yang didapatkan dengan
cara yang sangat dilarang oleh Allah. Adapun ketentuan atau anjuran diatas dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan terhadap karya orang lain, sehingga dapat mendorong
mereka untuk berkarya dalam rangka menggali sumber daya alam. Pelanggaran hak cipta
tentang perlindungan hak kekayaan intelektual yang memutuskan bahwa dalam hal ini hak
kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil pikir yang menghasilkan
sebuah produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan.yang dalam hal ini hak cipta sebagai hak
ekslusif bagi seorang pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan memperbanyak
hasil ciptaannya atau memberikan izin kepada pihak lain melalui lisensi dengan adanya
pembayaran royalty.
milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milik juga merupakan hubungan seseorang
dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan
khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta itu,
kecuali adanya halangan syara’. Kata “milik” dalam bahasa Indonesia merupakan kata
para fuqaha, sekalipun secara esensial seluruh definisi itu adalah sama. Al-milk ialah
hukum terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.
[36]
Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan
suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
umum yang ditetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu
dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hak kepemilikan pemilik
dan pencipta sautu kreasi (mubtakir) terhadap hasil pemikiran dan ciptaannya adalah hak
milik yang bersifat material. Oleh sebab itu, haq ibtikar apabila dikaitkan dengan harta dapat
ditransaksikan, dapat diwarisi jika pemiliknya meninggal dunia, dan dapat dijadikan wasiat
jika seseoarang ingin berwasiat. Dengan demikian haq ibtikar memenuhi segala persyaratan
dari suatu harta dalam fiqh Islam, serta mempunyai kedudukan yang sama dengan harta-
harta lainnya yang halal. Oleh sebab itu, para ulama fiqh, menyatakan bahwa haq
lainnya.[38]
hak bagi pemikirnya, tetapi hak ini tidak bersifat harta, bahkan tidak terkait sama sekali
dengan harta, oleh sebab itu, haq ibtikar tidak boleh diwariskan, tidak boleh diwasiatkan,
dan tidak boleh ditransaksikan dengan traksaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Alasannya adalah karena yang menjadi sumber hak ini adalah akal dan hasil akal yang
berbentuk pemikiran tidak bersifat material yang boleh diwariskan, diwasiatkan dan
ditransaksikan.
Akan tetapi, pendapat tersebut mendapat tantangan dari mayoritas ulama Malikiyah
lainnya, seperti Ibn ’Urfah, karena menurut Ibn ’Urfah, sekalipun asalnya adalah akal
manusia, namun haq ibtikar setelah dituangkan dalam sebuah media memiliki nilai harta
yang besar, bahkan melebihi nilai sebagian harta benda material lain. Menurut Ibn ’Urfah,
seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa semata-mata pemikiran yang asalnya
adalah akal seseorang tidak boleh dipindahtangankan. Akan tetapi, setelah hasil pemikiran
itu dituangkan di atas suatu media, seperti kertas, sehingga ia menjadi buku, maka hasil
pemikiran itu telah bersifat material dan bernilai harta. Kertas itu sendiri, menurutnya,
sekalipun bernilai, tetapi nilainya amat kecil. Akan tetapi, setelah kertas itu isi dengan hasil
pemikiran sesorang pemikir, maka ia bernilai berlipat ganda. Dari sisi inilah, menurut
Ibn’Urfah, harus dilihat nilai harta dari suatu pemikiran seseorang; bukan dari pemikiran
yang belum tertuang dalam buku dan bukan pula sumber pemikiran itu.[39]
Oleh karena itu, terkait dengan haq ibtikar, dalam konsep hukum positif dikenal dua
hak yang integral di dalamnya. Kedua hak terebut adalah hak moral dan hak ekonomi.
bagi sipencipta atau ahli warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak pribadi yang
dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya
ciptanya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut.
Hak moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara si
pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun sipenciptanya telah kehilangan atau telah
memindahkan haq ibtikarnya kepada orang lain, sehingga apabila pemegang hak
menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut
[41]
sifat haq ibtikar itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir
manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk
kepuasan. Tetapi dari segi yang lain, karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki arti
ekonomi. Hal ini perlu dipahami, dan tidak sekedar menganggapnya semata-mata sebagai
karya yang memberi kepuasan batiniah, bersifat universal dan dapat dinikmati oleh
siapapun, dimanapun dan kapanpun juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hal itu
dapat diperoleh secara Cuma-cuma. Sikap seperti itu terasa kurang adil, sekalipun
sejenis dengan itu. Seandainya sang pencipta selaku pemilik hak atas karya cipta dengan
sadar dan sengaja membiarkan dan memberikan karyanya dipakai atau ditiru masyarakat
dengan cuma-cuma, hal itu pun tetap tidak mengurangi kewajiban setiap orang untuk
a. Pengertian Royalti
Royalti adalah bayaran berasaskan penggunaan yang dibayar oleh suatu pihak
( pemegang lisensi) kepada pihak lain ( pemberi lisensi) untuk suatu aset yang sedang
Menurut kamus bahasa indonesia royalti adalah uang jasa yang dibayar Soleh
penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan, atau uang jasa yang dibayar
oleh orang (perusahaan) atas barang yang diproduksinya kepada orang (perusahaan) yang
Royalti merupakan suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :
atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;
atau ilmiah;
komersial;
musik yang diciptakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Musik merupakan
kesenian yang berkaitan dengan kombinasi suara yang dihubungkan dengan keindahan
Musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu melodi, syair atau lirik dan
sekarang telah ada maupun yang dibuat kemudian termasuk didalamnya melodi dengan
Karya musik terdiri dari 4 (empat) macam unsur ciptaan, yaitu: melodi dasar, lirik
lagu, aransemen, dan notasi. Keempat unsur tersebut merupakan ciptaan satu orang
saja, selain itu juga masing-masing unsur dapat merupakan ciptaan sendiri-sendiri. Jadi
bisa saja satu karya cipta dimiliki oleh beberapa orang pemegang hak cipta.
Lagu atau musik sendiri dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta
diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi,
syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah
bahwa lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta.[46] Karya lagu
atau musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu atau melodi, syair atau lirik
dan aransemen, termasuk notasinya, dalam arti bahwa lagu atau musik tersebut
Dalam UU Hak cipta, pengertian lagu dan musik merupakan satu kesatuan.
Berbeda dengan pengertian tentang lagu dan musik berdasarkan kamus bahasa
Indonesia dimana dalam pengertian tersebut dipisahkan antara pengertian lagu dengan
musik. Lagu merupakan suatu syair atau lirik yang mempunyai irama . Sedangkan musik
adalah suatu komposisi yang terdiri dari notasi-notasi yang mempunyai melodi berirama .
1.2.2. Pemilik dan Pemegang Hak Cipta Lagu dan Musik
Sebuah lagu yang telah tercipta pada dasarnya adalah sebuah karya intelektual
pencipta sebagai perwujudan kualitas rasa, karsa, dan kemampuan pencipta. Keahlian
mencipta bagi seorang pencipta, bukan saja kelebihan/ anugerah yang diberikan Tuhan
belaka, tetapi mempunyai nilai-nilai moral dan ekonomi sehingga hasil ciptaannya
Musik yang terlahir dari sebuah kekuatan cipta, karsa dan karya serta
harus dihormati sebagai bentuk pengakuan terhadap hasil jerih payah penciptanya.
Yang dimaksud dengan pemilik dan pemegang hak cipta lagu adalah:
a) Pemilik hak cipta adalah pencipta, yaitu seseorang atau beberapa orang yang dengan
kemampuan bakat dan pikiran serta melalui inspirasi dan imajinasi yang
pribadi.
b) Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang
menerima hak tersebut dari pencipta sesuai dari batasan yang tercantum dalam UU Hak
cipta.
Pemegang hak cipta karya musik substansinya sama dengan pemegang hak cipta
karya sastra, hanya saja dalam prakteknya agak berbeda. Di dalam hak cipta karya musik
biasanya terjadi pemisahan antara pemilik hak cipta (pencipta), Pemegang hak
Di dalam karya musik dapat disimpulkan bahwa seorang pencipta lagu memiliki hak
sepenuhnya untuk melakukan eksploitasi atas lagu ciptaannya. Hal ini berarti bahwa pihak-
pihak yang ingin memanfaatkan karya tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada
Untuk melahirkan suatu karya cipta musik atau lagu diperlukan pengorbanan tenaga,
waktu, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga kepada pencipta atau
composer diberikan hak eksklusif untuk suatu jangka waktu tertentu mengeksploitasi karya
ciptanya. Dengan demikian, segala biaya dan tenaga untuk melahirkan ciptaan tersebut
dapat diperoleh kembali. Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Hak Cipta,
namun masalah mengenai royalti, belum banyak dipahami. Royalti adalah bentuk
pembayaran yang dilakukan kepada pemilik hak cipta atau pelaku (performers), karena
disepakati dari pendapatan yang timbul dari penggunaan kepemilikan atau dengan cara
lainnya.
Undang-Undang Haq ibtikar No. 19 Tahun 2002 tidak memberi definisi mengenai
royalti. Namun, dalam Pasal 45 ayat (3), mengatur tentang kewajiban pembayaran royalti
kepada pemegang hak cipta pleh penerima lisensi, dan ayat (4) mengatur besarnya atau
jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi
berdasarkan pada kesepakatan dari kedua belah pihak dengan berpedoman pada
Pencipta telah memperkaya masyarakat pemakai (user) melalui karya ciptanya. Oleh
karenanya pencipta mempunyai hak fundamental untuk memperoleh imbalan yang sepadan
dengan nilai kontribusinya. Hukum hak cipta yang memberikan hak eksklusif pada suatu
karya cipta pencipta, mendukung hak individu untuk mengontrol karya-karyanya, dan secara