Anda di halaman 1dari 17

HAQ IBTIKAR 

DALAM PERSPEKTIF FIQH MU’AMALAH

1.1. Tinjauan Umum Tentang Hak Ibtikar

1.1.1. Pengertian Haq Ibtikar

Dalam pembahasan tentang konsep hak ibtikar penulis perlu menegaskan kembali

definisi tentang hak, supaya penjelasan tentang hak ibtikar menjadi tegas dan sesuai

dengan konsep yang diformat dalam fiqh muamalah. Hak berasal dari bahasa arab

haq, secara harfiyah berarti “kepastian” atau “ketetapan”, al-haq juga berarti “menetapkan”

atau “menjelaskan”, dan al-haq  juga berarti “kebenaran”[1]. Secara terminologis pengertian

hak ialah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi untuk menertibkan

pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun yang berkaitan dengan harta

benda[2]. Hak ialah “suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu

kekuasaan atau suatu beban hukum”[3]. Pengertian lain tentang hak dikemukakan oleh

pelaku-pelaku hukum (manusia, badan hukum) adalah “kekuasaan mengenai sesuatu atau

sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang pihak lain”.[4]

Secara etimologis al-haq berarti milik ketetapan dan kepastian[5]. Hak diartikan pula

dengan menetapkan dan menjelaskan. Sedangkan pengertian hak menurut ulama fiqh dari

golongan ulama ialah hak suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’[6]. Menurut

Syekh Ali Al-Khafifi hak ialah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’[7].

Para fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian hak. Ada ulama yang

mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sementara dipihak lain ada yang

mengaitkannya dengan hal-hak yang bersifat non-materi, seperti pada istilah hak Allah SWT

dan hak hamba. Ada pula yang mengartikan hak sebagai hak atas harta benda dan segala

sesuatu yang lahir dari suatu akad, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak

pribadi atau hak-hak secara hukum[8].


Menurut fungsinya, hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan

tertentu. hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai

suatu kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh dipergunakan untuk merugikan

orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan. Dalam hal inilah

para fuqaha membuat kaidah “dalam menggunakan hak, orang lain tidak boleh dirugikan

dan tidak boleh pula berhak dirugikan orang lain”. Selain itu hak tersebut tidak dibenarkan

dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak diakui syara’. Para fuqaha berbeda pendapat

tentang pengertian hak, ada yang mengatakan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi,

sedangkan di pihak lain ada yang mengkaitkannya dengan hal-hal yang bersifat non-materi,

[9].  Hak juga merupakan kewenangan atas sesuatu atau yang wajib atas seseorang untuk

orang lain.[10]

Ibnu Nujaim seorang ahli fiqh mendefinisikan hak sebagai suatu kekhususan yang

terlindungi. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang

dengan orang lain tidak dapat diganggu gugat[11]. Fathi ad-Duraini, juga mengeluarkan

pendapatnya tentang pengertian hak merupakan suatu kekhususan kekuasaan terhadap

sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan

tertentu[12]. Dari beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa hak ialah suatu

ketentuan dan ketetapan dari seseorang terhadap pihak lain yang ia mempunyai kuasa atas

suatu hal atau perihal, oleh karenanya jika ada pihak lain yang ingin secara sengaja

mengambil atau salah dalam menggunakan haknya, maka pihak itu dapat dianggap telah

melanggar hak orang lain. 

 Ulama fiqih mengemukakan macam-macam hak dari berbagai segi, yaitu :

a.         Dari segi pemilik hak. Dilihat dari segi ini hak terbagi menjadi tiga  macam:

1)   Hak Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah

mengagungkan-Nya.

2)   Hak manusia, yang pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi

manusia.
3)   Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dan hak manusia.[13]

b.        Dari segi obyek hak. Menurut ulama fikih dari segi obyeknya hak terbagi atas:

1)   Haq mali yaitu hak yang berhubungan dengan harta.

2)   Haq qhairu mali yaitu hak-hak yang tidak terkait dengan harta benda (materi).

3)   Haq al-syahshi yaitu hak-hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap

orang lain.

4)   Haq al-‘aini yaitu hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia

memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti

hak memiliki sesuatu benda. Misalnya, hak ibtikar.

5)   Haq mujarrad yaitu hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui

perdamaian atau pemaafan, dan qhairu mujarrad yaitu suatu hak yang apabila digugurkan

atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan.[14]

Menyangkut antara haq al-syakhsi dan haq al-‘aini. Ulama fiqh menyatakan

beberapa keistimewaan diantara kedua hak tersebut. Pertama, haq al’aini bersifat permanen

dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain[15]. Misalnya,

apabila harta seseorang dicuri kemudian dijual oleh pencuri kepada orang lain, maka hak

pemilik barang yang dicuri itu tetap ada dan ia berhak untuk menuntut agar harta yang

menjadi haknya itu dikembalikan. Hak seperti ini tidak berlaku dalam haq al-syakhsi.

Perbedaan diantara kedua hak tersebut adalah hak seseorang dalam haq

al-‘aini terkait langsung dengan materi, sedangkan hak dalam haq al-syakhsi merupakan

hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang telah mukallaf. Materi dalam haq

al-‘aini bisa berpindah tangan, sedangkan pada haq al-syakhsi tidak bisa berpindah tangan

pemiliknya. Kedua, haq al-‘aini gugur apabila materinya hancur (punah), sedangkan haq al-

syakhsi tidak dapat digugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali

pemilik hak itu wafat.


c.    Dari segi kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut. Para ulama membaginya kepada
dua macam yaitu:
1)   Haq diyani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan

kehakiman.

2)   Haq qadhai, yaitu seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan dan Pemilik hak itu mampu

membuktikan haknya di depan hakim.[16]

Sumber atau sebab hukum, ulama fiqh telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau

sebab hak adalah syara’[17]. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara

langsung tanpa sebab dan ada kalanya melalui suatu sebab, ulama fiqh menetapkan bahwa

yang dimaksudkan dengan sebab langung yang berasal dari syara’ atau diakui oleh syara.

Adapun akibat hukum suatu hak, ulama fiqh mengemukakan beberapa hukum terkait

dengan hak tersebut, di antaranya:[18]

1.        Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak. Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu

dengan cara-cara yang disyariatkan.

2.        Menyangkut pemeliharaan hak. Ahli fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar

setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk kesewenangan

orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta

seseorang dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara

pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan dan secara perdata menuntut agar harta

yang dicuri itu dikembalikan jika masih utuh atau diganti senilai harta yang dicuri jika harta itu habis.

3.        Menyangkut penggunaan hak. Ulama fiqh berpendapat bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal

yang disyariatkan oleh Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila

merugikan atau memberi mudarat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat, baik

dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Menurut para fuqaha, bahwa seseorang sebagai pemilik hak, dibenarkan

memindahkan haknya kepada orang lain, dengan ketentuan harus sesuai dengan cara yang

disyariatkan dalam Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan, seperti jual beli dan

lain-lain. Adapun sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu sangat banyak,

seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan utang (hiwalah), dan disebabkan
wafatnya seseorang. Yang penting pemindahan hak ini menurut para ulama fiqh dilakukan

sesuai dengan cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara’. Suatu hak hanya akan

berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’ dan  hal ini bisa berbeda pada setiap

jenis hak yang dimiliki seseorang.[19]

Dengan demikian, dari beberapa penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa

hak ibtikar itu dikatagorikan kedalam haq al-‘aini, karena didalam hak ibtikar, seseorang

mencurahkan segenap tenaga dan ilmunya untuk menghasilkan suatu karya yang luar biasa

yang bisa membawa manfaat buat orang banyak, dan ia mempunyai hak untuk bertindak

sesuai keinginannya terhadap hasil karya itu.[20]

Secara etimologi, ibtikar berarti awal sesuatu atau permulaannya.[21] Ibtikar dalam

fiqh Islam dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama

kali, didalam dunia ilmu pengetahuan al-ibtikar disebut dengan hak cipta. Pengertian

terminologi haq al-ibtikar tidak dijumpai dalam literatur fiqh klasik pembahasan yang

sistematik tentang haq al-ibtikar, karenanya juga sulit dketahui definisinya dari tokoh-tokoh

fiqh klasik.

Pembahasan haq al-ibtikar banyak dijumpai dalam pembahasan ulama kontemporer.

Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, Syria, menyatakan

bahwa ibtikar adalah, gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan melalui

kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi

pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya.[22]

Dari segi hak, definisi ibtikar ini mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk,

hasil pemikiran ini terletak pada materil yang berdiri sendiri yang dapat diraba dengan alat

indera manusia, tetapi pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah

dituangkan kedalam tulisan seperti buku atau media lainnya. Kemudian hasil pemikiran ini

bukan jiplakan atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya dan bukan pula

berbentuk saduran. Akan tetapi, ibtikar ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali,

tetapi juga boleh berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan

sebelumnya, termasuk didalamnya terjemahan hasil pemikiran orang lain ke dalam bahasa
asing. Dimasukannya terjemahan kedalam ibtikar adalah disebabkan adanya usaha dan

kemampuan bahasa penerjemah untuk menyebarluaskan suatu karya ilmiah, sekalipun

pemikiran asalnya bukan muncul dari penerjemah.

Menurut Fauzi, ada beberapa pertimbangan kenapa ibtikar lebih cocok dimunculkan

sebagai istilah untuk haq ibtikar, yakni:[23]

1. Empat sebab yang disebutkan dalam konsep milk belum dapat mengakomodir sebab

kepemilikan sebuah ciptaan.

2. Ibtikar perlu dimunculkan sebab perkembangan zaman dan teknologi yang telah

melahirkan banyak temuan-temuan baru.

3. Ibtikar merupakan bentuk usaha sungguh-sunguh dengan segala pengorbanan.

4. Nass, menisbatkan usaha kepada pemiliknya. Allah swt berfirman dalam surat al-

Baqarah 134.

Artinya: Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu

usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka

kerjakan. (QS. Al-Baqarah:134)

5. Ciptaan langit dan bumi semuanya dinisbatkan kepada pemiliknya yakni Allah.

Selain kelima sebab di atas, Fauzi juga menyebutkan beberapa sebab lainnya,

namun sebab tersebut bukanlah hal yang primer, namun ia merupakan sebab sekunder.[24]

1. Adanya pasal 3 ayat 2 UUHC no. 19/2002. dalam pasal ini menguraikan tentang

bentuk pemindahan kepemilikan kepada pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang.

Dalam hukum Islam, pemindahan hak seperti itu dibolehkan kecuali warisan.

2. Al-khalafiah. Dikecualikan pewarisan. Bukan berarti bahwa warisan tidak menjadi

sebab kepemilikian, hanya dalam konsep milk dikatagorikan dalam al-khalafiah yakni orang

yang mengganti pencipta dalam segala tindakan hukum berkenaan dengan haq ibtikar

dalam hal ini adalah ahli waris.


3. Sesuatu yang dihasilkan dari harta sebelumnya dan pemiliknya adalah orang yang

memiliki harta yang pertama itu (pencipta).

Pada dasarnya, haq ibtikar adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan

yang berupa perwujudan dari suatu ide pencipta dibidang seni, sastra dan ilmu

pengetahuan.[25] Sifat haq ibtikar ditegaskan dalam Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang

hak cipta, yaitu: (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. (2) hak cipta dapat beralih

atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat,

perjanjian tertulis; atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan hak-hak atas

kekayaan intelektual (HAKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan

dinamakan Hukum HAKI. Yang dinamakan Hukum HAKI ini, meliputi suatu bidang hukum

yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah piker

manusia bertautan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.[26]

Menurut Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta tersebut, hal yang

essensial dalam undang-undang ini adalah bahwa “Hak cipta dapat beralih atau dialihkan,

baik seluruhnya maupun sebagian”, antara lain karena pewarisan, hibah, atau perjanjian

tertulis. Salah satu makna penting dari ketentuan ini adalah kedudukan hak cipta yang

dianggap sebagai benda bergerak. Sebagai benda bergerak yang dapat dialihkan, maka

sifat hak cipta yang dapat dialihkan ini menjadi sangat relevan dalam transaksi bisnis sehari-

hari. Itulah sebabnya, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta menggunakan istilah

“pemegang hak cipta” yang berdampingan dengan istilah pencipta. Begitu juga mengenai

dapat diwariskannya hak cipta.

            Apabila haq ibtikar dikaitkan dengan pengertian harta dalam Islam, ulama syafi’iyah,

malikiyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi

seseorang termasuk harta, karena, menurut mereka, harta tidaknya bersifat materi, tetapi

juga bersifat manfaat. Oleh karena itu, menurut mereka, pemikiran hak citpa atau kreasi
yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan sama dengan nilai hasil suatu

tanaman, sewa rumah, susu dan bulu hewan, dan lain sebagainya.[27]

Imam asy- Syafi’i mengatakan bahwa yang dikatakan harta itu adalah yang boleh

dimanfaatkan oleh manusia, baik berupa benda maupun bersifat manfaat dari suatu benda.

Pemikiran seseorang yang telah dituangkan dalam buku, ciptaan atau kreasi seorang

ilmuwan atau seniman, menurut mereka, juga bernilai bermanfaat yang dapat nilai dengan

harta, dapat diperjual belikan, dan orang yang sewenang-wenang terhadap haq ibtikar dan

kreasi orang lain boleh dituntut di muka pengadilan. Oleh sebab itu, dalam ijtihad para ulama

Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan sebagai ulama Hanafiyah, haq ibtikar dan kreasi

ilmuwan atau seniman termasuk ke dalam pengertian harta (mal) yang bermanfaat, setelah

hasil pemikiran itu dituangkan ke dalam buku atau media lainnya.[28]

1.1.2. Dasar Hukum Hak Ibtiqar

Dalam al-Qur’an maupun hadits masalah haq ibtikar belum mempunyai dalil atau

landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan haq ibtikar itu sendiri

merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian secara implisit

perlindungan terhadap haq ibtikar ditemukan dalan sistim hukum Islam. Hal ini dikarenakan

konsep hak itu sendiri dalam hukum Islam tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan

implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.

. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa landasan haq ibtikar atau kreasi dalam

fiqh Islam adalah u’rf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat) dan a-

maslahah al-mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak didukung oleh ayat atau hadits,

tetapi juga tidak ditiolak)[29]. Urf dan al-maslahah almursalah dapat dijadikan dasar dalam

menetapkan hukum dalam fiqh Islam, selama tidak bertentangan dengan teks ayat dan atau

hadits, dan hukum yang ditetapkan itu merupakan persoalan-persoalan kemasyarakatan.

[30]

Menurut Fauzi Shaleh, pada dasarnya dasar hukum hak dalam Islam adalah syara’,

baik itu al-haq al-Syakhsyi yakni suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ untuk seseorang
terhadap orang lain seperti hak pembeli mendapatkan barang, maupun al-haq al-’aini yakni

hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat sehingga ia memiliki kekuasaan

penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu.[31]

Sejak dikenalnya dunia cetak mencetak, umat manusia  telah melakukan suatu

komoditi baru, yaitu memaparkan hasil pemikiran mereka dalam sebuah media serta

memperjualbelikannya pada masyarakat luas. Disamping itu, hasil pemikiran, ciptaan atau

kreasi seseorang mempunyai pengaruh besar dalam mendukung kemaslahatan umat

manusia sejalan dengan tujuan syari’at. Oleh sebab itu, keberadaan hak sebagai salah satu

materi yang bernilai harta tidak diragukan lagi.[32]

Oleh karena itu, diperlukan seperangkat hukum yang menjadi landasan pengaturan

yang didasarkan pada ’urf dan al-maslahah al-mursalah. Dalam konteks negara Indonesia,

hal tersebut telah dituangkan dalam bentuk undang-undang. Sebagai mana yang telah

diketahui, sebelum kemerdekaan Indonesia masalah hak cipta diatur

berdasarkan Aurteurswet stb 1912 Nomor 600. setelah kemerdekaan Indonesia hak

cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 LN.TH.1982:No.15. kemudian

Undang-Undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 LN

1997.No.29, dan terakhir telah diubah dengan lahirnya UU.No.19 Tahun 2002, untuk

selanjutnya disingkat dengan UUHC.[33]

Haq ibtikar (hak cipta) merupakan harta yang dilindungi oleh syara’, dengan

demikian segala sesuatu yang bersifat merugikan atau menzalimi pemilik hak cipta tersebut

dilarang dalam islam. pembajakan terhadap hak cipta dilarang kerana termasuk dalam

pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dari pemegang hak cipta tersebut. Alasan ini

dipertegas oleh firman Allah dalam surat (al-Baqarah 2:188) berikut:


Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
bathil, janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa padahal kamu
mengetahui” (QS. Al-Baqarah 2:188)
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa, pelanggaran hak cipta termasuk

perbuatan yang melanggar etika bisnis atau perdagangan dalam Islam terutama yang

berkaitan dengan jenis pelanggaran memperbanyak dan memperjualbelikan ciptaan hasil

dan pelanggaran hak cipta. Tindakan inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surat

an-Nisa’ (4): 29.


Artinya: Hai orung-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan (tijarah) dengan suka sama suka di antara
kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu,. (Q.S An-nisa 4:29)

Adapun hadits yang menjelaskan tentang larangan menjual suatu barang yang

bukan milik dirinya yaitu,

‫ال‬HH‫ق‬ ‫ه ؟‬HH‫ قلت يارسول هللا الرجل يسأ لني البيع وليس عندي أفأ بيع‬: ‫عن حكيم بن حزام قال‬
) ‫التبع ماليس عندك ( رواه ابن مجة‬

Artinya: Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata: Aku berkata,”Ya Rasulullah, ada seseorang akan

membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki, bolehkah saya menjawabnya,”maka jawab

beliau,”jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu. (H.R. Ibnu Majah) [34]

Dari hadis diatas, dapat dipahami bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang

mau berusaha dan mencari rezki yang halal lagi baik, bukan harta yang didapatkan dengan

cara yang sangat dilarang oleh Allah. Adapun ketentuan atau anjuran diatas dimaksudkan

untuk memberikan perlindungan terhadap karya orang lain, sehingga dapat mendorong

mereka untuk berkarya dalam rangka menggali sumber daya alam. Pelanggaran hak cipta

juga menimbulkan kerugian terhadap pemegang hak cipta maupun negara

Mejelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No.1/Munas /VII/MUI/15/2005

tentang perlindungan hak kekayaan intelektual yang memutuskan bahwa dalam hal ini hak

kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil pikir yang menghasilkan

sebuah produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan.yang dalam hal ini hak cipta sebagai hak

ekslusif bagi seorang pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan memperbanyak

hasil ciptaannya atau memberikan izin kepada pihak lain melalui lisensi dengan adanya

pembayaran royalty.

1.1.3. Hak Kepemilikan dalam Hak Ibtikar

            Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang berarti

penguasaan terhadap sesuatu dan kewenangan bertindak secara bebas atasnya.[35] Al-

milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milik juga merupakan hubungan seseorang

dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan

khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta itu,

kecuali adanya halangan syara’. Kata “milik” dalam bahasa Indonesia merupakan kata

serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.

                Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi al-milk yang dikemukakan

para fuqaha, sekalipun secara esensial seluruh definisi itu adalah sama. Al-milk ialah

pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak

hukum terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.

[36]

            Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan

suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan

kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan

umum yang ditetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu

dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum

berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.[37]

Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hak kepemilikan pemilik

dan pencipta sautu kreasi (mubtakir) terhadap hasil pemikiran dan ciptaannya adalah hak

milik yang bersifat material. Oleh sebab itu, haq ibtikar apabila dikaitkan dengan harta dapat

ditransaksikan, dapat diwarisi jika pemiliknya meninggal dunia, dan dapat dijadikan wasiat
jika seseoarang ingin berwasiat. Dengan demikian haq ibtikar memenuhi segala persyaratan

dari suatu harta dalam fiqh Islam, serta mempunyai kedudukan yang sama dengan harta-

harta lainnya yang halal. Oleh sebab itu, para ulama fiqh, menyatakan bahwa haq

ibtikar seseoarang harus mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan hak-hak

lainnya.[38]

            Akan tetapi pakar fiqh Malikiah, berpendapat bahwa sekalipun haq ibtikar merupakan

hak bagi pemikirnya, tetapi hak ini tidak bersifat harta, bahkan tidak terkait sama sekali

dengan harta, oleh sebab itu, haq ibtikar tidak boleh diwariskan, tidak boleh diwasiatkan,

dan tidak boleh ditransaksikan dengan traksaksi yang bersifat pemindahan hak milik.

Alasannya adalah karena yang menjadi sumber hak ini adalah akal dan hasil akal yang

berbentuk pemikiran tidak bersifat material yang boleh diwariskan, diwasiatkan dan

ditransaksikan.

            Akan tetapi, pendapat tersebut mendapat tantangan dari mayoritas ulama Malikiyah

lainnya, seperti Ibn ’Urfah, karena menurut Ibn ’Urfah, sekalipun asalnya adalah akal

manusia, namun haq ibtikar setelah dituangkan dalam sebuah media memiliki nilai harta

yang besar, bahkan melebihi nilai sebagian harta benda material lain. Menurut Ibn ’Urfah,

seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa semata-mata pemikiran yang asalnya

adalah akal seseorang tidak boleh dipindahtangankan. Akan tetapi, setelah hasil pemikiran

itu dituangkan di atas suatu media, seperti kertas, sehingga ia menjadi buku, maka hasil

pemikiran itu telah bersifat material dan bernilai harta. Kertas itu sendiri, menurutnya,

sekalipun bernilai, tetapi nilainya amat kecil. Akan tetapi, setelah kertas itu isi dengan hasil

pemikiran sesorang pemikir, maka ia bernilai berlipat ganda. Dari sisi inilah, menurut

Ibn’Urfah, harus dilihat nilai harta dari suatu pemikiran seseorang; bukan dari pemikiran

yang belum tertuang dalam buku dan bukan pula sumber pemikiran itu.[39]

Oleh karena itu, terkait dengan haq ibtikar, dalam konsep hukum positif dikenal dua

hak yang integral di dalamnya. Kedua hak terebut adalah hak moral dan hak ekonomi.

Konsep dasar lahirnya haq ibtikar akan memberikan perlindungan hukum terhadap suatu


karya cipta yang memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan

seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi.[40]

Sifat pribadi yang terkandung didalam haq ibtikar melahirkan konsepsi hak moral

bagi sipencipta atau ahli warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak pribadi yang

dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya

ciptanya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut.

Hak moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara si

pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun sipenciptanya telah kehilangan atau telah

memindahkan haq ibtikarnya kepada orang lain, sehingga apabila pemegang hak

menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut

kepada pemegang haq ibtikar supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.

[41]

Disamping hak moral, haq ibtikar juga berhubungan dengan kepentingan-

kepentingan yang bersifat ekonomi (Economic Rights). Adanya kepentingan-kepentingan

yang bersifat ekonomi didalam haq ibtikar tersebut, merupakan suatu perwujudan dari

sifat haq ibtikar itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir

manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk

kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible).[42]

Bagi manusia yang menghasilkannya, karya cipta tersebut memang memberikan

kepuasan. Tetapi dari segi yang lain, karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki arti

ekonomi. Hal ini perlu dipahami, dan tidak sekedar menganggapnya semata-mata sebagai

karya yang memberi kepuasan batiniah, bersifat universal dan dapat dinikmati oleh

siapapun, dimanapun dan kapanpun juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hal itu

dapat diperoleh secara Cuma-cuma. Sikap seperti itu terasa kurang adil, sekalipun

seringkali mengatasnamakan paham kekeluargaan, kegotongroyongan dan lain-lain yang

sejenis dengan itu. Seandainya sang pencipta selaku pemilik hak atas karya cipta dengan

sadar dan sengaja membiarkan dan memberikan karyanya dipakai atau ditiru masyarakat
dengan cuma-cuma, hal itu pun tetap tidak mengurangi kewajiban setiap orang untuk

menghargai dan mengakui hak tersebut.

1.2.Royalti dalam Penciptaan Lagu dan Musik


1.2.1. Pengertian Royalti, Lagu dan Musik

a.    Pengertian Royalti

Royalti adalah bayaran berasaskan penggunaan yang dibayar oleh suatu pihak

( pemegang lisensi) kepada pihak lain ( pemberi lisensi) untuk suatu aset yang sedang

digunakan sebagai hak intelek.[43]

Menurut kamus bahasa indonesia royalti adalah uang jasa yang dibayar Soleh

penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan, atau uang jasa yang dibayar

oleh orang (perusahaan) atas barang yang diproduksinya kepada orang (perusahaan) yang

mempunyai hak paten atas barang tersebut[44]

Royalti merupakan suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau

perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :

1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian

atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek

dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;

2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial

atau ilmiah;

3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah, teknikal, industrial atau

komersial;

4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan

atau hak menggunakan hak-hak tersebut.

b.    Pengertian Lagu dan Musik


Seiring dengan laju perkembangan teknologi di bidang musik, maka kreatifitas para
seniman-seniman semakin terasah. Para seniman-seniman tersebut banyak melakukan inovasi-
inovasi yakni penciptaan lagu atau musik dengan peralatan penunjang yang semakin canggih.
Lagu dan musik dalam masyarakat merupakan sarana komunikasi,

pengungkapan gagasan-gagasan maupun perasaan tertentu. Setiap orang masyarakat

mempunyai gagasan-gagasan mengenai keindahan yang antara lain terungkap dalam

musik yang diciptakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Musik merupakan

kesenian yang berkaitan dengan kombinasi suara yang dihubungkan dengan keindahan

serta ekspresi pikiran dan perasaan.

Musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu melodi, syair atau lirik dan

aransemen, termasuk notasinya. Karya musik merupakan tiap ciptaan baik yang

sekarang telah ada maupun yang dibuat kemudian termasuk didalamnya melodi dengan

maupun tanpa lirik, gubahan aransemen atau adaptasi.[45]

Karya musik terdiri dari 4 (empat) macam unsur ciptaan, yaitu: melodi dasar, lirik

lagu, aransemen, dan notasi. Keempat unsur tersebut merupakan ciptaan satu orang

saja, selain itu juga masing-masing unsur dapat merupakan ciptaan sendiri-sendiri. Jadi

bisa saja satu karya cipta dimiliki oleh beberapa orang pemegang hak cipta.

Lagu atau musik sendiri dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak cipta

diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi,

syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah

bahwa lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta.[46] Karya lagu

atau musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu atau melodi, syair atau lirik

dan aransemen, termasuk notasinya, dalam arti bahwa lagu atau musik tersebut

merupakan suatu kesatuan karya cipta.

Dalam UU Hak cipta, pengertian lagu dan musik merupakan satu kesatuan.

Berbeda dengan pengertian tentang lagu dan musik berdasarkan kamus bahasa

Indonesia dimana dalam pengertian tersebut dipisahkan antara pengertian lagu dengan

musik. Lagu merupakan suatu syair atau lirik yang mempunyai irama . Sedangkan musik

adalah suatu komposisi yang terdiri dari notasi-notasi yang mempunyai melodi berirama .
1.2.2. Pemilik dan Pemegang Hak Cipta Lagu dan Musik

Sebuah lagu yang telah tercipta pada dasarnya adalah sebuah karya intelektual

pencipta sebagai perwujudan kualitas rasa, karsa, dan kemampuan pencipta. Keahlian

mencipta bagi seorang pencipta, bukan saja kelebihan/ anugerah yang diberikan Tuhan

yang dimanfaatkan hanya sekedar penyaluran ungkapan kandungan cita rasanya

belaka, tetapi mempunyai nilai-nilai moral dan ekonomi sehingga hasil ciptaannya

menjadi sumber penghidupannya.

Musik yang terlahir dari sebuah kekuatan cipta, karsa dan karya serta

pengorbanan pikiran tenaga dan waktu penciptanya. juga merupakan cerminan

peradaban dan martabat manusia. Di dalamnya terdapat norma-norma moral yang

harus dihormati sebagai bentuk pengakuan terhadap hasil jerih payah penciptanya.

Juga bagi manusia disekitarnya.[47]

Yang dimaksud dengan pemilik dan pemegang hak cipta lagu adalah:

a) Pemilik hak cipta adalah pencipta, yaitu seseorang atau beberapa orang yang dengan

kemampuan bakat dan pikiran serta melalui inspirasi dan imajinasi yang

dikembangkannya sehingga dapat menghasilkan karya yang spesifik dan bersifat

pribadi.

b) Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang

menerima hak tersebut dari pencipta sesuai dari batasan yang tercantum dalam UU Hak

cipta.

Pemegang hak cipta karya musik substansinya sama dengan pemegang hak cipta

karya sastra, hanya saja dalam prakteknya agak berbeda. Di dalam hak cipta karya musik

biasanya terjadi pemisahan antara pemilik hak cipta (pencipta), Pemegang hak

cipta (Publisher, dll), dan Pengguna hak cipta (users).[48]

Di dalam karya musik dapat disimpulkan bahwa seorang pencipta lagu memiliki hak

sepenuhnya untuk melakukan eksploitasi atas lagu ciptaannya. Hal ini berarti bahwa pihak-
pihak yang ingin memanfaatkan karya tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada

penciptanya sebagai pemilik dan pemegang hak cipta.


1.2.3. Royalti dalam Hak Cipta Lagu dan Musik

Untuk melahirkan suatu karya cipta musik atau lagu diperlukan pengorbanan tenaga,

waktu, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga kepada pencipta atau

composer diberikan hak eksklusif untuk suatu jangka waktu tertentu mengeksploitasi karya

ciptanya. Dengan demikian, segala biaya dan tenaga untuk melahirkan ciptaan tersebut

dapat diperoleh kembali. Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Hak Cipta,

namun masalah mengenai royalti, belum banyak dipahami. Royalti adalah bentuk

pembayaran yang dilakukan kepada pemilik hak cipta atau pelaku (performers), karena

menggunakan kepemilikannya. Royalti yang dibayarkan didasarkan pada prosentase yang

disepakati dari pendapatan yang timbul dari penggunaan kepemilikan atau dengan cara

lainnya.

Undang-Undang Haq ibtikar No. 19 Tahun 2002 tidak memberi definisi mengenai

royalti. Namun, dalam Pasal 45 ayat (3), mengatur tentang kewajiban pembayaran royalti

kepada pemegang hak cipta pleh penerima lisensi, dan ayat (4) mengatur besarnya atau

jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi

berdasarkan pada kesepakatan dari kedua belah pihak dengan berpedoman pada

kesepakatan organisasi profesi.

Pencipta telah memperkaya masyarakat pemakai (user) melalui karya ciptanya. Oleh

karenanya pencipta mempunyai hak fundamental untuk memperoleh imbalan yang sepadan

dengan nilai kontribusinya. Hukum hak cipta yang memberikan hak eksklusif pada suatu

karya cipta pencipta, mendukung hak individu untuk mengontrol karya-karyanya, dan secara

wajar diberi kompensasi atas kontribusinya kepada masyarakat.[49]

Anda mungkin juga menyukai