Anda di halaman 1dari 11

FIQH MUAMALAH

KONSEP HAK DALAM FIQH MUAMALAH

Dosen Pengampu: Mahmud Muhsinin, M.P.I

Disusun oleh:

1. Aflah Akbar Nashrullah (20171552008)


2. M. Azzal Al-Qossam (20171552006)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat
serta hidayah-Nya kepada saya sebagai penyusun makalah ini, sehingga saya masih dalam
keadaan sehat wal’afiat dan saya bisa menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dan
khususnya, saya (penyusun) akhirnya bisa menyelesaikan makalah dengan judul “KONSEP

HAK DALAM FIQH MUAMALAH”

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tetapi saya tentunya mempunyai tujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini sesuai dengan pengetahuan
yang saya peroleh, baik dari buku maupun dari sumber-sumber yang
lainnya. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, apabila ada kesalahan
dalam penulisan atau kata-kata di dalam makalah ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surabaya, 14 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Asal Usul Hak

B. Pengertian Hak

C. Sumber dan Sebab Hak

BAB III PENUTUP


A. Simpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kata hak secara etimologi mempunyai berbagai macam arti, yaitu: milik, ketetapan dan
kepastian (Yasin [36]:7), kewajiban yang terbatas (al-Baqarah [2]:241), kebenaran sebagai
lawan kebatilan (Yunus [10]: 35). Sedangkan secara terminologi, menurut Mustafa Ahmad az-
Zarqa adalah: ‫“ سلطة الشرع يقرربه اختصاص‬Suatu kekhususan yang padanya ditetapkan shara’
suatu kekuasaan”. Atau menurut Ibn Nujaim—tokoh fiqh Hanafi–: ‫“ حاجز اختصاص‬Suatu
kekhususan yang terlindung”. Kedua definisi ini mencakup berbagai macam hak, seperti hak
Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak
umum (hak negara, hak kehartabendaan, dan hak-hak non-materi seperti hak perwalian).
Berdasarkan definisi ini, sumber hak itu adalah shara (Allah), bukan manusia ataupun alam.

Dengan demikian, maka rukun hak ada dua, yaitu: pemilik dan obyek hak (baik yang
berupa materi maupun hutang). Pemilik hak adalah Allah. Adapun manusia—menurut shara’—
telah memiliki hak-hak pribadi sejak masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya
dengan penuh apabila janin lahir dengan selamat, dan hak pribadi yang diberikan Allah ini
akan habis dengan wafatnya pemilik hak.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Asal Usul Hak?
B. Bagaimana Pengertian Hak?
C. Apa Sumber dan Sebab Hak?

2. TUJUAN
A. Untuk mengetahui Asal Usul Hak
B. Untuk mengetahui Pengertian Hak
C. Untuk mengetahui Sumber dan Sebab Hak
BAB II
PEMBAHASAN

A. ASAL USUL HAK

Manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat dan membutuhkan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia yang beraneka
ragam sehingga manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Setiap manusia
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, oleh karena itu, timbullah pertentengan- pertentangan
kehendak diantara manusia. Maka dari itu, untuk melindungan kepentingan dan kehendak
masing- masing individu perlu ada aturan sehingga tidak merugikan dan melanggar hak orang
lain.1
Kata hak secara etimologi mempunyai berbagai macam arti, yaitu: milik, ketetapan dan
kepastian (Yasin [36]:7), kewajiban yang terbatas (al-Baqarah [2]:241), kebenaran sebagai
lawan kebatilan (Yunus [10]: 35). Sedangkan secara terminologi, menurut Mustafa Ahmad az-
Zarqa adalah: ‫“ سلطة الشرع يقرربه اختصاص‬Suatu kekhususan yang padanya ditetapkan shara’
suatu kekuasaan”. Atau menurut Ibn Nujaim—tokoh fiqh Hanafi–: ‫“ حاجز اختصاص‬Suatu
kekhususan yang terlindung”. Kedua definisi ini mencakup berbagai macam hak, seperti hak
Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak
umum (hak negara, hak kehartabendaan, dan hak-hak non-materi seperti hak perwalian).
Berdasarkan definisi ini, sumber hak itu adalah shara (Allah), bukan manusia ataupun alam.

Dengan demikian, maka rukun hak ada dua, yaitu: pemilik dan obyek hak (baik yang
berupa materi maupun hutang). Pemilik hak adalah Allah. Adapun manusia—menurut shara’—
telah memiliki hak-hak pribadi sejak masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya
dengan penuh apabila janin lahir dengan selamat, dan hak pribadi yang diberikan Allah ini
akan habis dengan wafatnya pemilik hak.

Keterangan:
Hak Allah: hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah
dan mengabdi, dan menegakkan shari’at-Nya. Atau bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat publik (tidak dikhususkan pada individu tertentu), seperti

1
Teungku Muhammmad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Pustaka Rizki Putra,
1999, hlm. 119.
penegakan hukuman had. Hak Allah ini tidak bisa dilanggar, digugurkan, ditolerir, diubah,
ataupun diwariskan.
Hak manusia: hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan seseorang. Bisa bersifat
umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman,
mencegah tindak criminal, menghilangkan permusuhan dll. Atau bersifat khusus, seperti
menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga, hak pembeli atas obyek transaksi dll. Hak ini
bisa dilepaskan-dimaafkan, diubah, digugurkan, dan diwariskan.
Haqq mali—al-huquq al-maliyah, adalah hak yang terkait dengan kehartabendaan dan
manfaat, seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijual dan hak penyewa terhadap
sewaannya. Sedangkan haqq ghair mali adalah hak yang tidak terkait dengan kehartabendaan,
seperti hak qisas, seluruh hak dasar manusia, hak wanita dalam talak karena suaminya tidak
memberi nafkah, hak suami mentalak istri karena mandul, hak hadanah, hak perwalian, dan
hak politik.
Haqq Shakhsi: hak yang ditetapkan shara’ untuk seorang pribadi, berupa kewajiban terhadap
orang lain, seperti hak penjual menerima harga barang dan hak pembeli menerima barang
(berkaitan dengan haqq al-intifa). Sedang haqq aini adalah hak seseorang yang ditetapkan shara’
terhadap zat sesuatu, sehingga dia memiliki kekuasaan penuh untk menggunakan dan
mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki benda, haqq al-irtifaq, dan hak terhadap
benda jaminan.
Haqq mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui
perdamaian atau pemaafan. Seperti dalam persoalan hutang, ketika si pemberi hutang
membebaskan, maka tidak ada konsekuensi apapun bagi si penghutang. Sedang haqq ghair
mujarrad jika digugurkan atau dimaafkan masih meninggalkan bekas terhadap orang yang
dimaafkan, seperti hak qisas. Apabila ahli waris korban memaafkan, maka pembunuh yang
tadinya berhak untuk dibunuh, menjadi tidak berhak lagi dibunuh.
Haqq diyani adalah hak yang tidak boleh dicampuri—diintervensi—oleh kekuasaan
pengadilan. Misalnya dalam persoalan hutang yang tidak bisa dibuktikan oleh pemberi hutang
karena tidak cukupnya alat bukti. Sekalipun tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan,
tanggung jawab yang berhutang di hadapan Allah tetap ada. Sedangkan haqq Qadha’i adalah
seluruh hak yang tunduk di bawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk
menuntut dan membuktikannya di depan hakim. Perbedaan keduanya terletak pada persoalan
zahir dan batin. Hakim hanya menangani hak-hak zahir yang tampak nyata, sedang hak diyani
menyangkut persoalan yang tersembunyi dalam hati dan tidak terungkap di depan pengadilan.
Atas dasar ini ada kaidah: ‫“ بالسرائر يتولى وهللا بالظواهر يتولى الحاكم‬Hakim hanya menangani
persoalan nyata, sedang Allah akan menangani persoalan yang tersembunyi (yang sebenarnya)
dalam hati”.
B. PENGERTIAN HAK
Hak berasal dari bahasa Arab yaitu haq yang secara etimologi mempunyai beberapa
makna,2 antara lain yaitu :
 Kepastian atau ketetapan,

sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 7 : “Sesungguhnya telah pasti Berlaku
Perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak
beriman.”3

 Kebenaran
“Katakanlah: "Apakah di antara sekutu- sekuturmu ada yang menunjuki kepada
kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". (QS. Yunus :
35).
 Menetapkan atau menjelaskan

“Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)
walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (QS. Al-
Anfal : 8).

Secara terminologi, hak mempunyai dua pengertian utama :

a) Hak merupakan sekumpulan kaidah yang mengatur hubungan antar manusia baik
yang berkaitan dengan perorangan maupun harta-benda.
b) Hak merupakan kewenangan atau kekuasaan atas sesuatu atau sesuatu yang wajib
bagi seseorang untuk orang lain.4

C. SUMBER DAN SEBAB HAK


Persoalan tentang hak dalam perspektif hukum Islam berbeda dengan perspektif hukum
modern. Islam memandang hak sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh syara‟ dan
mengandung nilai moral dalam rangka memelihara kemaslahatan kehidupan manusia di dunia

2
Ghufron Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 31-32.
3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 2002.
4
Teungku Muhammmad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm. 120.
dan akhirat. Sedangkan menurut hukum modern, hak merupakan kekuasaan yang melekat pada
setiap manusia yang dapat digunakan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan hak dan
kepentingan pihak lain.5
Dalam Islam, pada hakikatnya segala hak yang melekat pada manusia bersumber dari hak-
hak Allah. Untuk itu, setiap manusia harus menggunakan haknya sesuai dengan ketetapan
syara‟ yaitu untuk mewujudkan kemaslatahan pribadi dan kemaslahatan publik (umum).6
Menurut ulama fiqh, sebab hak itu ada lima,
yaitu:
a. Syari‟at, seperti ibadah-ibadah.
b. Akad, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan hibah.
c. Kehendak pribadi, seperti nazar atau janji.
d. Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang pihak lain.
e. Perbuatan yang merugikan pihak lain, seperti wajib membayar ganti rugi karena
kelalaian dalam menggunakan milik pihak lain.7

5
Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Lembaga Studi Sosial dan Agama, 2012, hlm. 57.
6
Ibid., hlm. 57-58.
7
M. Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 14.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Setiap manusia memiliki kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak.
Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar hak-hak orang lain, maka timbulah
hak-hak diantara sesama manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas, bahwa perbedaan hak dan pemilik
adalah tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak
penggunaan dapat memiliki. Setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas
manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan
sempurna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas
bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan
atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah
pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta
tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah
ketika mendefiniskan al-mal (harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’
hanafiyah manfaat merupakan unsur utama milkiyah (pemilikan).
DAFTAR PUSTAKA

M. Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Lembaga Studi Sosial dan Agama, 2012

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 2002

Ghufron Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

Teungku Muhammmad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Pustaka

Rizki Putra, 1999

Anda mungkin juga menyukai