Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

USHUL FIQH

HAKIM (PEMBUAT HUKUM / ALLAH SWT)

Dosen Pengampu:
Drs. H. Asmaji, Ph.D

Disusun Oleh :
1. Alfina Melinda
2. Indah Auliya
3. Indah Lestari
4. Tabah Tegar M
5. Ulfa Tauvika

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


SEMESTER 2
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN SOSIAL POLITIK

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat serta karunia-Nya,
sehingga pada kesempatan kali ini kami dapat menyusun makalah Ushul Fiqh dengan judul Hakim
(Pembuat Hukum / Allah SWT) dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nantikan syafaatnya.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan bantuan baik berupa materi maupun pikiran.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun materi, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik demi kesempurnaan makalah ini.

Wonosobo, 11 Mei 2019

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuat Hukum atau Hakim

B. Perbedaan Hasan dan Qabih

C. Kemampuan Akal dalam Mengetahui Syariat

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara Bahasa, hukum adalah seperangkat peraturan yang ditetapkan, untuk menata atau
mencegah sesuatu terjadi.1 Sedangkan, menurut istilah, hukum adalah aturan-aturan yang
diajarkan oleh Allah SWT kepada umat-Nya untuk mengatur tata kehidupan, baik terkait
hubungan manusia dengan Allah SWT maupun antar manusia.
Setiap hukum pasti ada subjek, objek, maupun pembuat hukum. Dimana subjek hukum
adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT yang disebut dengan mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah
ushul fiqh, mukallaf diartikan orang yang telah dianggap mampu bertikan hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah maupun larangan-Nya. Dan objek hukum atau peristiwa hukum
adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan, dan memilih pekerjaan dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh
perintah syar’i ada objeknya yaitu perbuatan mukalllaf. Dan terkait subjek maupun objek hukum,
pasti ada pembuat hukum yang dikenal dengan sebutan hakim.
Ditinjau dari segi Bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama, hakim adalah pembuat
hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua, hakim adalah yang menemukan,
mejelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan. Dari pengertian pertama, dapat diketahui
bahwa hakim adalah Alllah SWT, Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallah. Sedangkan, dari pengertian kedua ulama ushul fiqh
membedakannya Antara sebelum Muhammad SAW diangakat sebagai Rasul dan sesudah
diangkat. Makalah ini akan membahas mengenai hakim atau pembuat hukum yaitu Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pembuat hukum?
2. Apa perbedaan tahsin dan takbih?
3. Bagaimana kemampuan akal mengetahui syari’at?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari pembuat hukum.
2. Untuk mengetahui perbedaan antar tahsin dan takbih.
3. Untuk mengetahui bagimana akal mengetahui syari’at.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuat Hukum atau Hakim

1
Drs. H. Zen Amiruddin, M.Si.Ushul Fiqih(Yogyakarta: Penerbit TERAS,2009.hal.25.
Ulama ushul fiqh membedakan pengertian pembuat hukum mejnadi dua masa,yaitu:
1. Masa sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul
Para ulama ushul fiqh, berbeda pendapat tentang siapa yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad SAW
sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul fiqh dari kalangan ahlussunnah waljamaah
berpendapat, bahwa saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak
mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT.
Sedangkan, golongan mu’tazillah berpendapat bahwa yang menjadi hakim sebelum
Nabi Muhammad SAW adalah Allah SWT. Namun, akal pun sudah mampu untuk
menemukan hukum-hukum Allah SWT.
2. Masa setelah Nabi Muhammad SAW diangakat menjadi Rasul.
Para ulama usul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syariat yang turun dari Allah
SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah di halalkan oleh Allah
hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang di haramkan-Nya hukumnya haram.
Dan juga disepakati, bahwa apa-apa yang di halalkan itu disebut hasan (baik), di
dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.sedangkan segala sesuatu yang di
haramkan Allah disebut qobih (buruk),yang didalamnya terdapat kemadaratan atau
kerusakan bagi manusia.2

B. Perbedaan Hasan dan Qabih


Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan
qobih.
1. Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat
manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka.
Sedangkan, qobih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat
manusia, misalnya menyakiti orang lain.
2. Al-Husnu,diartikan sebagai sifat baik, misalnya kemuliaan dan
pegetahuan. Sebaliknya, qobih diartikan sebagai tidak baik yakni kekurangan
dalam diri seseorang, seperti bodoh dan kikir. 3 Kedua pengertian tentang hasan
dan qobih tersebut telah di sepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bias di
capai oleh akal.
3. Al-Husnu,adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia,sedangkan
qobih,merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia.
Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bias di capai oleh akal.

2
Suyatno.Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih(Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA,2016).hal.134.

3
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA.Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,PTAIS(Bandung:CV PUSTAKA SETIA,
2010).hal.349.
4. Al-Husnu,diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan
mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak di akhirat. Sebaliknya
qobih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila di
kerjakan,seperti maksiat,mencuri,dll.

Pengertian yang di perselisihkan oleh para ulama adalah nomor 3 dan 4,yakni tentang
mungkin tidaknya dicapai oleh akal, menurut Asy-‘aryah pengertian nomor 3 dan 4 hanya bias di
tentukan oleh syarak. Baik dan buruknya bukanlah terdapat pada zatnya,tetapi pada sifatnya yang
nisbi (relative).

Pendapat diatas bertentangan dengan golongan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa


hasan dan qobih dapat diketahui dan ditentukan oleh akal, tanpa memerlukan pemberitahuan dari
syarak. Menurut mereka sebagian yang baik atau yang buruk itu terletak pada zatnya dan
sebagian lainnya terdapat diantara manfaat, mudarat, baik dan buruk.

C. Kemampuan Akal dalam Mengetahui Syariat

Ada tida golongan yang berpendapat mengenai bagaimana kemampuan akal dalam
memahami syariat, tiga golongan tersebut, yaitu:

1. Menurut para ahli sunah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk
menentukan hukum sebelum turunnya syariat. Akal hanya bias menetapkan baik dan
buruk melalui perantaraan Al-Qur’an dan Rasul,serta kitab-kitab samawi lainnya.
2. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya
suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi
dan Rasul. Menurut kaum mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan
sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara. Dengan demikian,
sebelum datangnya Rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan
perbuatan yang menurut akal mereka baik. Selain itu, mereka pun dituntut untuk
meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka. Golongan mu’tazilah juga
berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan kepada manusia merupakan sesuatu yang
dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa didalamya ada unsur manfaat atau
mudaratnya. Dengan demikian,sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut
syara’ dan manusia dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek
menurut akal adalah jelek menurut syara dan manusia dilarang mengerjakannya.
3. Golongan maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat diatas. Mereka
berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalnya baik atau buruk. Syara’
menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan baik dan melarang
melaksanakan perbuatan yang jelek. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang
kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk
menetapkannya. Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu
perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau
penerangan dari Rasul menentapkan keharusan untuk mengerjakan atau
meninggalkannya. Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal
tersebut, berkaitan pula denga posisi akal dalam ijtidah, apakah akal bisa menjadi
salah satu sumber hukum islam? menurut ahli sunnah waljamah dan maturidayah
akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber islam, namun diakui bahwa
akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara’ untuk menetapkan
suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Setiap hukum pasti ada subjek, objek, maupun pembuat hukum. Dimana subjek hukum
adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT. Sedangkan, objek hukum
adalah perbuatan mukallaf. Dan terkait subjek maupun objek hukum, ada pembuat hukum
yang dikenal dengan hakim. Ulama ushul fiqh membedakan pengertian hakim menjadi dua
masa,yaitu sebelum dan sesudah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Pada
masa sebelum Nabi menjadi Rasul, ada dua pendapat, pertama dari kalangan ahlussunnah
waljamaah berpendapat, bahwa saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal
tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT. Sedangkan, golongan
mu’tazillah berpendapat bahwa yang menjadi hakim sebelum Nabi Muhammad SAW
adalah Allah SWT. Namun, akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah
SWT.
2. Ada beberapa pendapat mengenai hasan dan qabih, dapat disimpulkan bahwa hasan adalah
segala perbuatan atau perkataan yang sesuai dengan fitrah manusia, dapat diterima oleh
manusia lain, dan akan mendapat balasan pahala. Sedangkan, qabih adalah segala
perkataan atau perbuatan yang bertentangan dengan fitrah manusia yang akan
menimbulkan cercaan dari manusia lain, dan akan mendapat balasan dosa.
3. Ada tiga golongan yang berpendapat mengenai bagaimana akal menerima syariat,
perbedaan pendapat antara golongan ahli sunah wal jamaah dan mu’tazillah ini ditengahi
oleh golongan maturidiyah yang berpendapat, bahwa perkataan atau perbuatan itu
adakalnya baik atau buruk. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan
baik dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek dan memiliki wewenang untuk
menetapkannya. Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu
perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau
penerangan dari Rasul menentapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

4. Saran

Penulis menyadari, bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dalam segi penyusunan kata maupun materi, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan sarannya demi perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syafe’i, Rachmat.Ilmu.Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS.2010.Bandung:CV PUSTAKA


SETIA.

2. Amiruddin Zen.Ushul Fiqih.2009.Yogyakarta:Penerbit TERAS.

3. Suyatno.Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.2016.Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA.

Anda mungkin juga menyukai