FILSAFAT HUKUM
Di Susun Oleh:
Kelas :1A
NIM : 77732000024
FAKULTAS HUKUM
PASCA SARJANA
TAHUN AKADEMIK
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang selalu memberikan
Ridhallah di setiap harinya sehingga Penulis dianugerahi kemampuan dan kecerdasan untuk
terus berfikir serta berkarya dan dapat menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktunya.
Serta Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi Panutan serta tuntunan menuju Ridhallah.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Makalah ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini Penulis dengan segala hormat dan kebanggaan menyampaikan terima kasih
dan rasa hormat kepada Kedua Orang Tua yang senantiasa memberikan dukungan dan
Dalam penyusunan Makalah ini dibutuhkan adanya kritik dan saran yang
membangun untuk dapat memberikan perbaikan dan masukkan sehingga dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penelitian....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3
A Kesimpulan..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
istimewa. Keistimewaan dan kemulian tersebut diberikan kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali, sehingga setiap individu memiliki hak asasi kemanusiaan yang sama tanpa
membedakan yang kaya dan dari yang miskin, penguasa dari rakyat jelata. Di hadapan Allah,
seluruh manusia berdiri sejajar dalam suatu kemuliaan primordial, karenanya setiap manusia
Negara sebagai konsekuensi niscaya dari tujuan dan fungsinya. Hubungan dengan
Kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi hubungan antara Negara dan rakyat/warga
negara sangat luas dan beragam, salah satunya kewajiban hukum yang lahir karena klaim
HAM. Tujuan dan fungsi Negara pada hakikatnya diselenggarakan oleh pemerintah selaku
membicarakan apa hakikat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang
abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal konkret mengenai hubungan antara
hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Disini
penulis akan membahas bagaimana manusia menurut filsafat Hukum dan kemunculan dari
HAM tersebut, sehingga inilah yang menjadi alasan Penulis menyusun Makalah yang
1
Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, (Bandung: PT
Alumni, 2007), h. 25
1
berjudul ”KEDUDUKAN MANUSIA DALAM HUKUM DAN HAM DITINJAU DARI
FILSAFAT HUKUM”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
C. Tujuan
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya Hukum manusia lahir dari hukum kodrati,dan hukum kodrati lahir dari
hukum ilahi. Hukum ilahi memandang semua manusia adalah sama dan yang membedakan
manusia satu dengan yang lainnya adalah kualitas Imannya, yang mana hanya Tuhan yang
dapat menetukan kadar keimanan seseorang. Sehingga hukum manusia harus menjunjung
tinggi Asas kesetaraan dimata hukum, dimana seseorang kedudukan dimata hukum adalah
sama tanpa menilai harta dan jabatan. Karunia yang dilimpahkan oleh Maha Pencipta bebas
untuk dikelola oleh manusia sepanjang tidak dilarang dan tidak merugikan hak-hak orang lain
Lalu apa kedudukan manusia ditinjau dari Filsafat Hukum? berangkat pada
hakikatnya terdiri atas dua hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang
dalam kesadaran tentang keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia
akan tetapi pada hakikatnya Tuhan telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan
manusia yang berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda yang merupakan gambaran
keseimbangan (balance) terhadap dependensi tersebut. Tentunya, script itu diharapkan dapat
dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang variatif. Proses pewarnaan yang dilakukan
oleh manusia itulah akan menjadi gambar dan potret kehidupan setiap manusia yang dalam
2
Gunawan Nachrawi, Hukum Kontrak Komersial, (Bandung: CV Cendekia Press: 2020), h. 18
3
kondisi sesungguhnya dapat diejawantahkan sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang
Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan segala dependensinya
kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep
(survive) dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan segala otonomi
yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan
Jiwa manusia dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak akan pernah damai,
kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada hakikatnya tidak terbatas, di
mana mereka tidak pernah puaskan apa yang telah diperolehnya. Sementara di pihak lain,
manusia sangat berhasrat agar posisinya ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan
yang Maha Abadi. Oleh karena itu, sinergitas otonomi dan dependensi manusia pada Tuhan
yang secara kasat mata kontradiktif, haruslah berada dalam kesatuan yang seimbang
Pertanyaan yang kemudian muncul terkait otoritas Tuhan dan Otonomi manusia
adalah sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia dan sejauh mana delegasi Tuhan kepada
manusia? Untuk menjawab pertanyaan otoritas Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan
(approach). Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya mengikuti seluruh
ketentuan Tuhan yang telah digariskan. Dalam hal ini, manusia dipandang seperti “robot”
yang dikendalikan dengan sebuah remote control. Kedua, manusia digambarkan sebagai
makhluk otonom penuh, di mana otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan dan
keterbatasan.
Kedua pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai ke dalam dua
konsep yang menyatakan hubungan Tuhan dengan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan
mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha
4
Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Perbuatan manusia sebenarnya adalah
perbuatan Tuhan. Konsep ini dalam literatur Arab disebut dengan Jabariah, yang berasal-dari
bahasa Arab yang artinya Jabara kata ini kemudian menjadi paham jabariah. Dalam bahasa
Manusia dalam aliran ini dapat dianalogikan seperti mobil balap yang bergerak jika
digerakkan dengan remote control yang dikendalikan oleh seseorang yang memegang remote
control tersebut. Ditinjau dari kekuasaan mutlak Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan
dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun, dari segi kebebasan manusia
paham ini menimbulkan persoalan yang cukup rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalam
agama kalau perbuatan manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah perbuatan Tuhan
Konsep kedua, perbuatan manusia adalah hakiki bukan kiasan. Manusia mempunyai
kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat daya
kebebasan itu pada manusia. Penggunaan daya kebebasan itu sendiri diserahkan kepada
manusia. Paham ini yang dalam bahasa Arab disebut Oadariah. Konsep kedua ini, dalam
bahasa Inggris biasa dikenal free will. Ketika dihadapkan pada paham kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan
tidak bebas lagi berbuat bebas karena Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan
kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan yang telah diberikan
kepada manusia atau mengubah pemberian pahala kepada orang jahat dan menyiksa orang
baik.
menentukan bahwa oleh karena setiap individu manusia (orang) memiliki HAM, maka setiap
individu manusia memiliki kedudukan yang sederajat atau setara dengan individu manusia
lainnya. Asas ini juga melahirkan ekualitas (equality principle). Artinya setiap orang harus
5
diperlakukan sama (diperlukan setara orang/manusia lainnya) pada situasi yang sama dan
diperlakukan berbeda pada situasi berbeda. Pernyataan terssebut adalah pendapat penulis
sendiri yang dibuat berdasarkan postulasi, bahwa stiap manusia adalah sederajat atau setara
dan sama-sama memiliki HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
“kesetaraan” dan “ekualitas”. Ini berarti pula HAM memiliki sifat universal dan eternal
Hak asasi manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan
bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia.
Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya
universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat
dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya
dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban
untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan
mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi
modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan
berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang
publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak
atas perumahan).
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak
tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu,
mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia
6
merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang
menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat
yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan
menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan
membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia
sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya
harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu
masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan
darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum mencukupi
Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun,
Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara
mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan
kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya.
Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan
kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak
dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak
bergerak untuk merubahnya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi
harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan
bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam
3
“Hak Asasi Manusia” https://id.wikipedia.org/wiki/ diakses pada 09 April 2021, pukul 11.37 WIB.
7
undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada
para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung
bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan
hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang
1. HAM bersifat hakiki, dimiliki setiap orang. Ada sejak manusia lahir.
2. Bersifat universal, berlaku di manapun, untuk siapapun dan tidak melihat wilayah, ras
serta agama.
4. Bersifat utuh tidak dapat dipisah-pisahkan atau dikelompokkan hanya untuk golongan
tertentu.4
reformasi saat ini, HAM telah menjadi salah satu isu nasional dan mempunyai dampak serta
pemikiran yang luas di Indonesia pada khususnya. HAM saat ini telah menjadi tuntutan dan
sangat perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah, sehingga dapat memberikan jaminan
kepada masyarakat untuk menghormati, melindungi dan membela serta menjamin hak asasi
Menurut Miriam Budiardjo, hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar
4
“Pengertian HAM Menurut Para Ahli, Ciri-ciri dan Contohnya” https://www.brilio.net/ diakses pada
08 April 2021, pukul 15.25 WIB.
8
Negara, ras, agama, dan kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar ini dari
semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 6
Dalam suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan
penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu
asasi manusia tersebut, sebagian telah secara eksplisit dan implisit dimuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yang kemudian dikonkretkan lagi dalam berbagai peraturan
perundangundangan. Perhatian terhadap HAM ini, tentunya tidak boleh berhenti sampai
5
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 120.
6
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
9
pada rumusan aturan-aturan tertulis. Rumusan tersebut masih perlu diuji dengan peristiwa-
peristiwa konkret. Pandangan keliru bahwa HAM identik dengan pandangan dunia Barat,
tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan HAM. HAM merupakan persoalan
yang universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Konsep tuntutan hak yang salah memiliki
kapasitas untuk menghasilkan tindakan, sehingga akan menemukan suatu bentuk respon
dalam diri pendukung HAM yang cemas untuk memfokuskan perhatian publik pada
ketidakadilan berbagai penyelewengan HAM. Oleh sebab itu, kemerdekaan perlu dilindungi
dari intervensi eksternal yang harus diberikan sebagai status istimewa. Dengan cara
ataupun mengkritik sebuah kebijakan pemerintah, dapat berakibat fatal, seperti ditangkap
atau dipenjara. Unjuk rasa yang dipersepsikan sebagai bentuk lain dari protes terbuka
terhadap pemerintah, biasanya dihadapi dengan brutal, dipukuli dan ditembak. Para
hadapan sidang pengadilan. Tulisan kritis yang mencoba menuliskan keadaan negara sesuai
fakta-fakta empiris diberedel dan dilarang keras beredar di masyarakat. Bagi siapa saja yang
mencoba untuk mengedarkan buku maupun tulisan yang telah dilarang oleh aparat negara,
dapat dikualifikasikan ke dalam perbuatan subversif. Hal ini tentunya sangat ironis, karena
sikap kritik disetiap tindakan yang kritis seharusnya sangat berperan dalam mengevaluasi
suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Walaupun melakukan tindakan pembatasan
atas HAM dari rakyat yang bertentangan dengan demokrasi, namun rezim otoriter selalu
demokrasi.
Pada saat ini, perlindungan terhadap pelaksanaan dari HAM akan selalu ditampilkan
sebagai tindakan pertama dalam tataran pemerintah yang demokratis. HAM merupakan suatu
10
bentuk pembicaraan yang akan menjadi sorotan dalam pelaksanaan demokratisasi negara.
Perlidungan HAM warga negara merupakan parameter pertama yang menentukan kadar
demokrasi suatu negara. Terhadap negara-negara baru, tentu tema identitas budaya memiliki
memungkinkan negara yang dijajah untuk menonjolkan perbedaan budaya mereka sebagai
konsep dasar HAM. Adalah sangat logis bahwa sebagian negara baru ingin menjadikan
tradisi budaya mereka sendiri menjadi bagian kehidupan bangsa untuk mengikat
individuindividu kedalam integritas dan kohesi semangat kesatuan sosial. Menanggapi hal
semacam itu, filsafat moral universal menegaskan prinsip-prinsip yang melindungi hak-hak
asasi kemerdekaan manusia secara universal dan individual, kebebasan, persamaan hak dan
pengkondisian budaya yang dianggap mencerminkan sejumlah keinginan dan kebaikan yang
dibutuhkan para anggotanya dari suatu kelompok budaya. Alasan atau argumen relativisme
budaya ini dipakai untuk membenarkan pembatasan-pembatasan dalam tataran hak-hak asasi
manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implikasi posisi relativisme terhadap HAM
sebenarnya membingungkan bagi banyak teori yang ingin melihat HAM berperan dalam
persoalan riil. Oleh sebab itu, kaum relativis mencari justifikasi selain dari pada teoriteori
universalisme untuk menegaskan HAM secara nyata sebagai landasan relativisme. Dengan
demikian, sekiranya dapat dipahami bahwa membicarakan definisi HAM dapat menghasilkan
suatu kesimpulan yang berbeda pula. Hal ini tergantung pada dari mana kita memandang
mencerminkan kombinasi antara hak bawaan dengan hak perjuangan dan bukan hak triman.
Artinya hak-hak yang hendak diwujudkan bukanlah direbut demi kepentingan pribadi,
11
melainkan demi terwujudnya keluhuran budi, harkat dan martabat manusia yang ditandai oleh
jiwa merdeka dan saling menghargai dalam tataran pergaulan masyarakat nasional maupun
internasional. Hak-hak tersebut sudah pasti merupakan suatu bentuk dari hukum alami bagi
umat manusia.Agar ide ataupun gagasan HAM menjadi suatu kebutuhan dan realitas sosial
yang umum, perlu terjadi perubahan mendasar pada anggapan dan praktik-paktik masyarakat.
Merupakan observasi yang biasa bahwa manusia dimanamana menuntut realisasi dari
bentuk-bentuk perampasan lainnya. Mengakar dari pengamatan ini merupakan awal dari apa
yang disebut dengan hakhak asasi manusia dan proses hukum suatu negara.7
BAB III
7
Jurnal Hukum Progresif: Volume XII/ No.2/ Desember 2018
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas dari adanya
pengakuan terhadap adanya hukum alam (natural law) yang merupakan cikal bakal
munculnya Hukum HAM. Menurut G. Singer sebagaimana yang dikutip oleh Dede Rosyada
menyatakan, bahwa “hukum alam merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral
dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia”. Munculnya Hukum HAM
yang bersumber dari hukum alam bahwa hukum alam bersumber pada hukum Ilahi
(Ketuhanan), universal dan tidak berubah dalam ruang dan waktu. Hukum alam muncul ke
permukaan dan bertumpu pada akal manusia, terlepas dari setiap pandangan keagamaan.
Hukum alam kaum awam adalah suatu hukum nasional yang mengendalikan semua
hubungan antara manusia-manusia, apapun ras atau status sosial mereka. Bahkan raja-raja
harus tunduk pada undang-undang atau hukum alam yang fundamental, universal, langgeng,
lestari dan tidak berubah-ubah yang mengalir dari sifat-sifat kodrat alam manusia itu sendiri.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Aprita, Serlika, dan Adhitya, Rio, Filsafat Hukum, Depok: PT. RajaGrafindo Persada,
2020.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama:
1999.
Kurnia, Titon Slamet, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2007.
Nachrawi, Gunawan, Hukum Kontrak Komersial, Bandung: CV. Cendekia Press: 2020.
B. Sumber Jurnal
C. Sumber Undang-Undang
D. Sumber Internet
https://www.brilio.net/wow/pengertian-ham-menurut-para-ahli-ciri-ciri-dan-contohnya-
2004205.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia
iv