Anda di halaman 1dari 17

KEDUDUKAN MANUSIA DALAM HUKUM DAN HAM DITINJAU DARI

FILSAFAT HUKUM

Dosen : Prof. Dr. Dra. Hj. Faridatul Fauziah S.H., M.Hum.

Di Susun Oleh:

Nama : Resti Komalawati

Kelas :1A

NIM : 77732000024

Mata Kuliah : Filsafat Hukum

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

FAKULTAS HUKUM

PASCA SARJANA

TAHUN AKADEMIK

2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang selalu memberikan

Ridhallah di setiap harinya sehingga Penulis dianugerahi kemampuan dan kecerdasan untuk

terus berfikir serta berkarya dan dapat menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktunya.

Serta Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi Panutan serta tuntunan menuju Ridhallah.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Makalah ini tidak akan terwujud

tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini Penulis dengan segala hormat dan kebanggaan menyampaikan terima kasih

dan rasa hormat kepada Kedua Orang Tua yang senantiasa memberikan dukungan dan

bantuan, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan.

Dalam penyusunan Makalah ini dibutuhkan adanya kritik dan saran yang

membangun untuk dapat memberikan perbaikan dan masukkan sehingga dapat dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Serang, 09 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang ......................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................2

C. Tujuan Penelitian....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3

A. Kedudukan Manusia dalam Hukum dan HAM.......................................3

B. HAM ditinjau dari Filsafat Hukum..........................................................8

BAB III PENUTUP........................................................................................13

A Kesimpulan..............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dibandingkan makhluk-makhluk yang lain, kedudukan manusia sangatlah unik dan

istimewa. Keistimewaan dan kemulian tersebut diberikan kepada seluruh manusia tanpa

terkecuali, sehingga setiap individu memiliki hak asasi kemanusiaan yang sama tanpa

membedakan yang kaya dan dari yang miskin, penguasa dari rakyat jelata. Di hadapan Allah,

seluruh manusia berdiri sejajar dalam suatu kemuliaan primordial, karenanya setiap manusia

behak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum.

Sudah menjadi kewajiban Negara untuk melindungi dan melayani rakyat/warga

Negara sebagai konsekuensi niscaya dari tujuan dan fungsinya. Hubungan dengan

rakyat/warga Negara melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi Negara.

Kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi hubungan antara Negara dan rakyat/warga

negara sangat luas dan beragam, salah satunya kewajiban hukum yang lahir karena klaim

HAM. Tujuan dan fungsi Negara pada hakikatnya diselenggarakan oleh pemerintah selaku

entitas personifikasi Negara.1 Filsafat Hukum sendiri suatu cabang filsafat yang

membicarakan apa hakikat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang

harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum

abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal konkret mengenai hubungan antara

hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Disini

penulis akan membahas bagaimana manusia menurut filsafat Hukum dan kemunculan dari

HAM tersebut, sehingga inilah yang menjadi alasan Penulis menyusun Makalah yang

1
Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, (Bandung: PT
Alumni, 2007), h. 25

1
berjudul ”KEDUDUKAN MANUSIA DALAM HUKUM DAN HAM DITINJAU DARI

FILSAFAT HUKUM”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan manusia dalam Hukum dan HAM?

2. Bagaimana HAM ditinjau dari Filsafat Hukum?

C. Tujuan

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan manusia dalam Hukum dan HAM?

2. Untuk mengetahui HAM ditinjau dari Filsafat Hukum?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Manusia dalam Hukum dan HAM

Pada dasarnya Hukum manusia lahir dari hukum kodrati,dan hukum kodrati lahir dari

hukum ilahi. Hukum ilahi memandang semua manusia adalah sama dan yang membedakan

manusia satu dengan yang lainnya adalah kualitas Imannya, yang mana hanya Tuhan yang

dapat menetukan kadar keimanan seseorang. Sehingga hukum manusia harus menjunjung

tinggi Asas kesetaraan dimata hukum, dimana seseorang kedudukan dimata hukum adalah

sama tanpa menilai harta dan jabatan. Karunia yang dilimpahkan oleh Maha Pencipta bebas

untuk dikelola oleh manusia sepanjang tidak dilarang dan tidak merugikan hak-hak orang lain

sebagaimana telah diatur dalam UUD.2

Lalu apa kedudukan manusia ditinjau dari Filsafat Hukum? berangkat pada

konstruksi filsafat perenial mengenai kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia pada

hakikatnya terdiri atas dua hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang

dalam kesadaran tentang keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia

bebas dari keterbatasannya.

Manusia pada prinsipnya adalah makhluk lemah. Lemah dalam ketergantungan

manusia (dependensi) terhadap penciptanya. Walaupun manusia memiliki ketergantungan,

akan tetapi pada hakikatnya Tuhan telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan

manusia yang berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda yang merupakan gambaran

keseimbangan (balance) terhadap dependensi tersebut. Tentunya, script itu diharapkan dapat

dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang variatif. Proses pewarnaan yang dilakukan

oleh manusia itulah akan menjadi gambar dan potret kehidupan setiap manusia yang dalam

2
Gunawan Nachrawi, Hukum Kontrak Komersial, (Bandung: CV Cendekia Press: 2020), h. 18

3
kondisi sesungguhnya dapat diejawantahkan sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang

misteri hidup dan kehidupan manusia.

Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan segala dependensinya

kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep

otonomi, independensi, dan kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri

(survive) dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan segala otonomi

yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan

sebagai wujud penghambaannya (dependensi) kepada Tuhan penciptanya(mutual interest).

Jiwa manusia dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak akan pernah damai,

kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada hakikatnya tidak terbatas, di

mana mereka tidak pernah puaskan apa yang telah diperolehnya. Sementara di pihak lain,

manusia sangat berhasrat agar posisinya ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan

yang Maha Abadi. Oleh karena itu, sinergitas otonomi dan dependensi manusia pada Tuhan

yang secara kasat mata kontradiktif, haruslah berada dalam kesatuan yang seimbang

Pertanyaan yang kemudian muncul terkait otoritas Tuhan dan Otonomi manusia

adalah sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia dan sejauh mana delegasi Tuhan kepada

manusia? Untuk menjawab pertanyaan otoritas Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan

(approach). Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya mengikuti seluruh

ketentuan Tuhan yang telah digariskan. Dalam hal ini, manusia dipandang seperti “robot”

yang dikendalikan dengan sebuah remote control. Kedua, manusia digambarkan sebagai

makhluk otonom penuh, di mana otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan dan

keterbatasan.

Kedua pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai ke dalam dua

konsep yang menyatakan hubungan Tuhan dengan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan

mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha

4
Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Perbuatan manusia sebenarnya adalah

perbuatan Tuhan. Konsep ini dalam literatur Arab disebut dengan Jabariah, yang berasal-dari

bahasa Arab yang artinya Jabara kata ini kemudian menjadi paham jabariah. Dalam bahasa

Inggris disebut predestination (fatalisme).

Manusia dalam aliran ini dapat dianalogikan seperti mobil balap yang bergerak jika

digerakkan dengan remote control yang dikendalikan oleh seseorang yang memegang remote

control tersebut. Ditinjau dari kekuasaan mutlak Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan

dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun, dari segi kebebasan manusia

paham ini menimbulkan persoalan yang cukup rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalam

agama kalau perbuatan manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah perbuatan Tuhan

lagi dia tidak bebas berkehendak dan bebuat?

Konsep kedua, perbuatan manusia adalah hakiki bukan kiasan. Manusia mempunyai

kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat daya

kebebasan itu pada manusia. Penggunaan daya kebebasan itu sendiri diserahkan kepada

manusia. Paham ini yang dalam bahasa Arab disebut Oadariah. Konsep kedua ini, dalam

bahasa Inggris biasa dikenal free will. Ketika dihadapkan pada paham kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan

tidak bebas lagi berbuat bebas karena Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan

kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan yang telah diberikan

kepada manusia atau mengubah pemberian pahala kepada orang jahat dan menyiksa orang

baik.

Asas kesetaraan/kesederajatan (equality principle). Suatu prinsip dasar yang

menentukan bahwa oleh karena setiap individu manusia (orang) memiliki HAM, maka setiap

individu manusia memiliki kedudukan yang sederajat atau setara dengan individu manusia

lainnya. Asas ini juga melahirkan ekualitas (equality principle). Artinya setiap orang harus

5
diperlakukan sama (diperlukan setara orang/manusia lainnya) pada situasi yang sama dan

diperlakukan berbeda pada situasi berbeda. Pernyataan terssebut adalah pendapat penulis

sendiri yang dibuat berdasarkan postulasi, bahwa stiap manusia adalah sederajat atau setara

dan sama-sama memiliki HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri

setiap invidu manusia, konsekuensinya setiap individu manusia memiliki “kesederajatan”,

“kesetaraan” dan “ekualitas”. Ini berarti pula HAM memiliki sifat universal dan eternal

(langgeng/abadi) tanpa memandang apapun rasanya, warna kulitnya, jenis kelaminnya,

Bahasa, agamanya atau kepercayaannya, pendapat politiknya, kebangsaan atau

nasionalitasnya dan suku bangsanya.

Hak asasi manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan

bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia.

Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya

universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat

dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya

dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban

untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan

mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi

modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan

dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan

berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang

publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak

atas perumahan).

Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak

tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu,

mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia

6
merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang

menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat

yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan

menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan

membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia

sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya

harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu

masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan

darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum mencukupi

syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis.

Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun,

seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.3

Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara

mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan

kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya.

Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan

kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak

dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak

bergerak untuk merubahnya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi

harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak

dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan

bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam
3
“Hak Asasi Manusia” https://id.wikipedia.org/wiki/ diakses pada 09 April 2021, pukul 11.37 WIB.

7
undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada

para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung

bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan

hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang

selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.

Dirangkum dari buku Pendidikan Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan karangan

Gianto, Hak Asasi Manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. HAM bersifat hakiki, dimiliki setiap orang. Ada sejak manusia lahir.

2. Bersifat universal, berlaku di manapun, untuk siapapun dan tidak melihat wilayah, ras

serta agama.

3. Bersifat tetap, tidak dapat dicabut

4. Bersifat utuh tidak dapat dipisah-pisahkan atau dikelompokkan hanya untuk golongan

tertentu.4

B. HAM ditinjau dari Filsafat Hukum

Pemahaman terhadap HAM harus dilakukan dengan pemahaman filosofis. Era

reformasi saat ini, HAM telah menjadi salah satu isu nasional dan mempunyai dampak serta

pemikiran yang luas di Indonesia pada khususnya. HAM saat ini telah menjadi tuntutan dan

sangat perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah, sehingga dapat memberikan jaminan

kepada masyarakat untuk menghormati, melindungi dan membela serta menjamin hak asasi

dari setiap warga negara.

Menurut Miriam Budiardjo, hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang

diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan

masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar

4
“Pengertian HAM Menurut Para Ahli, Ciri-ciri dan Contohnya” https://www.brilio.net/ diakses pada
08 April 2021, pukul 15.25 WIB.

8
Negara, ras, agama, dan kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar ini dari

semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang

sesuai dengan bakat dan cita-cita.5

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat

pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh

Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau

kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau

kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-

undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian

hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 6

Dalam suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, diaturlah masalah fungsi negara dengan

penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu

pihak melindungi hak-hak asasi warga negaranya, sedangkan di pihak lain,

menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum itu berupa kesejahteraan

masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hak-hak

asasi manusia tersebut, sebagian telah secara eksplisit dan implisit dimuat dalam Undang-

Undang Dasar 1945 yang kemudian dikonkretkan lagi dalam berbagai peraturan

perundangundangan. Perhatian terhadap HAM ini, tentunya tidak boleh berhenti sampai

5
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 120.
6
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

9
pada rumusan aturan-aturan tertulis. Rumusan tersebut masih perlu diuji dengan peristiwa-

peristiwa konkret. Pandangan keliru bahwa HAM identik dengan pandangan dunia Barat,

tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan HAM. HAM merupakan persoalan

yang universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Konsep tuntutan hak yang salah memiliki

kapasitas untuk menghasilkan tindakan, sehingga akan menemukan suatu bentuk respon

dalam diri pendukung HAM yang cemas untuk memfokuskan perhatian publik pada

ketidakadilan berbagai penyelewengan HAM. Oleh sebab itu, kemerdekaan perlu dilindungi

dari intervensi eksternal yang harus diberikan sebagai status istimewa. Dengan cara

demikian, hak-hak fundmental warga negara dapat dilindungi.

Di negara-negara yang menjalankan sistem yang otoriter, berpendapat secara bebas

ataupun mengkritik sebuah kebijakan pemerintah, dapat berakibat fatal, seperti ditangkap

atau dipenjara. Unjuk rasa yang dipersepsikan sebagai bentuk lain dari protes terbuka

terhadap pemerintah, biasanya dihadapi dengan brutal, dipukuli dan ditembak. Para

pemimpin dari aksi unjuk rasa harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di

hadapan sidang pengadilan. Tulisan kritis yang mencoba menuliskan keadaan negara sesuai

fakta-fakta empiris diberedel dan dilarang keras beredar di masyarakat. Bagi siapa saja yang

mencoba untuk mengedarkan buku maupun tulisan yang telah dilarang oleh aparat negara,

dapat dikualifikasikan ke dalam perbuatan subversif. Hal ini tentunya sangat ironis, karena

sikap kritik disetiap tindakan yang kritis seharusnya sangat berperan dalam mengevaluasi

suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Walaupun melakukan tindakan pembatasan

atas HAM dari rakyat yang bertentangan dengan demokrasi, namun rezim otoriter selalu

mengaku sebagai rezim yang menjalankan sistem pemerintahan yang berlandaskan

demokrasi.

Pada saat ini, perlindungan terhadap pelaksanaan dari HAM akan selalu ditampilkan

sebagai tindakan pertama dalam tataran pemerintah yang demokratis. HAM merupakan suatu

10
bentuk pembicaraan yang akan menjadi sorotan dalam pelaksanaan demokratisasi negara.

Perlidungan HAM warga negara merupakan parameter pertama yang menentukan kadar

demokrasi suatu negara. Terhadap negara-negara baru, tentu tema identitas budaya memiliki

ketertarikan tersendiri. Tema ini membantu mendobrak imperialisme Barat dan

memungkinkan negara yang dijajah untuk menonjolkan perbedaan budaya mereka sebagai

konsep dasar HAM. Adalah sangat logis bahwa sebagian negara baru ingin menjadikan

tradisi budaya mereka sendiri menjadi bagian kehidupan bangsa untuk mengikat

individuindividu kedalam integritas dan kohesi semangat kesatuan sosial. Menanggapi hal

semacam itu, filsafat moral universal menegaskan prinsip-prinsip yang melindungi hak-hak

asasi kemerdekaan manusia secara universal dan individual, kebebasan, persamaan hak dan

keadilan dengan memberikan landasan non-legal kepada mereka.

Lalu bagaimana HAM dalam Perspektif Filsafat Hukum? Relativisme membela

pengkondisian budaya yang dianggap mencerminkan sejumlah keinginan dan kebaikan yang

dibutuhkan para anggotanya dari suatu kelompok budaya. Alasan atau argumen relativisme

budaya ini dipakai untuk membenarkan pembatasan-pembatasan dalam tataran hak-hak asasi

manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa implikasi posisi relativisme terhadap HAM

sebenarnya membingungkan bagi banyak teori yang ingin melihat HAM berperan dalam

persoalan riil. Oleh sebab itu, kaum relativis mencari justifikasi selain dari pada teoriteori

universalisme untuk menegaskan HAM secara nyata sebagai landasan relativisme. Dengan

demikian, sekiranya dapat dipahami bahwa membicarakan definisi HAM dapat menghasilkan

suatu kesimpulan yang berbeda pula. Hal ini tergantung pada dari mana kita memandang

konsep HAM itu sendiri.

Konsep HAM sebagai manifestasi dari kehidupan budaya bangsa, umumnya

mencerminkan kombinasi antara hak bawaan dengan hak perjuangan dan bukan hak triman.

Artinya hak-hak yang hendak diwujudkan bukanlah direbut demi kepentingan pribadi,

11
melainkan demi terwujudnya keluhuran budi, harkat dan martabat manusia yang ditandai oleh

jiwa merdeka dan saling menghargai dalam tataran pergaulan masyarakat nasional maupun

internasional. Hak-hak tersebut sudah pasti merupakan suatu bentuk dari hukum alami bagi

umat manusia.Agar ide ataupun gagasan HAM menjadi suatu kebutuhan dan realitas sosial

yang umum, perlu terjadi perubahan mendasar pada anggapan dan praktik-paktik masyarakat.

Merupakan observasi yang biasa bahwa manusia dimanamana menuntut realisasi dari

bermacam-macam nilai guna untuk memastikan kesejahteraan individu maupun kolektif.

Tuntutan-tuntutan ini seringkali dikecewakan sehingga menyakitkan oleh kekuatan sosial

maupun alam, yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi, penindasan, penganiayaan dan

bentuk-bentuk perampasan lainnya. Mengakar dari pengamatan ini merupakan awal dari apa

yang disebut dengan hakhak asasi manusia dan proses hukum suatu negara.7

BAB III
7
Jurnal Hukum Progresif: Volume XII/ No.2/ Desember 2018

12
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas dari adanya

pengakuan terhadap adanya hukum alam (natural law) yang merupakan cikal bakal

munculnya Hukum HAM. Menurut G. Singer sebagaimana yang dikutip oleh Dede Rosyada

menyatakan, bahwa “hukum alam merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral

dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia”. Munculnya Hukum HAM

yang bersumber dari hukum alam bahwa hukum alam bersumber pada hukum Ilahi

(Ketuhanan), universal dan tidak berubah dalam ruang dan waktu. Hukum alam muncul ke

permukaan dan bertumpu pada akal manusia, terlepas dari setiap pandangan keagamaan.

Hukum alam kaum awam adalah suatu hukum nasional yang mengendalikan semua

hubungan antara manusia-manusia, apapun ras atau status sosial mereka. Bahkan raja-raja

harus tunduk pada undang-undang atau hukum alam yang fundamental, universal, langgeng,

lestari dan tidak berubah-ubah yang mengalir dari sifat-sifat kodrat alam manusia itu sendiri.

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Aprita, Serlika, dan Adhitya, Rio, Filsafat Hukum, Depok: PT. RajaGrafindo Persada,
2020.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama:
1999.

Kurnia, Titon Slamet, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2007.

Nachrawi, Gunawan, Hukum Kontrak Komersial, Bandung: CV. Cendekia Press: 2020.

B. Sumber Jurnal

Jurnal Hukum Progresif, Volume XII, No.2, Tahun, 2018.

C. Sumber Undang-Undang

UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

D. Sumber Internet

https://www.brilio.net/wow/pengertian-ham-menurut-para-ahli-ciri-ciri-dan-contohnya-
2004205.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia

iv

Anda mungkin juga menyukai